Kamis, 11 Mei 2023

Patgulipat Vonis Korupsi Edhy Disunat

23 March 2022 16:49



"Ketuk palu Mahkamah Agung (MA) untuk menyunat vonis Edhy Prabowo mendapat sorotan banyak pihak. Apa pasal? Putusan MA dalam perkara suap izin ekspor benur ini dinilai mencederai rasa keadilan bagi masyarakat. Tak pelak bila kemudian putusan tersebut menerbitkan dugaan adanya praktik patgulipat."


Lobster menjadi salah satu komoditas bahari nusantara bernilai ekonomi tinggi. Tak sekadar isapan jempol, harga animalia crustacea ini bisa dibanderol hingga jutaan rupiah. Sebut salah satunya seperti Panulirus Ornatus atau secara umum dikenal sebagai Lobster Mutiara. Di pasaran, lobster jenis ini bisa dilego mencapai Rp 1,5 juta per kilogramnya.

Ironis, adanya segelintir oknum culas yang mencoba mengambil keuntungan secara instan, membuat Indonesia merugi lantaran keuntungan yang diperoleh negara atas penjualan komoditas lobster terpangkas signifikan. Caranya, pihak-pihak yang berlaku lancung ini menyelundupkan lobster sejak masih berusia benih atau benur ke pasar internasional.

Menindaklanjuti realitas ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) era kepemimpinan Susi Pudjiastuti menelurkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 56 Tahun 2016 tentang larangan penangkapan dan/atau pengeluaran lobster, kepiting dan rajungan dari wilayah negara Republik Indonesia.

Mengutip laman resmi KKP, setidaknya ada dua alasan utama kenapa Susi menerbitkan larangan tersebut. Pertama, Srikandi Jokowi dalam Kabinet Indonesia Maju ini ingin mendongkrak nilai tambah dari lobster sebelum diperjualbelikan di pasar global. Kedua, wanita yang lahir dan besar di pesisir Pantai Pangandaran ini ingin populasi lobster dapat tumbuh berkelanjutan di laut Indonesia sebelum terjadi kelangkaan.

Tak hanya melarang ekspor benur, Sebelumnya Susi juga sudah menerbitkan larangan penangkapan benih lobster melalui Permen KP No 1 Tahun 2015. Pasalnya, penangkapan benur acapkali justru lebih menguntungkan negara tetangga seperti Vietnam.

Benur yang ditangkap masyarakat Indonesia dan diperjualbelikan ke negara tetangga bakal dilego dengan harga yang relatif jauh lebih rendah. Setelahnya, benur diekspor kembali oleh negara tersebut dengan nilai lebih tinggi dari yang dijual oleh Indonesia.

Vietnam kerap diuntungkan jika mendapat pasokan benur dari Indonesia. Tercatat, angka ekspor Vietnam sempat mencapai 1.000 ton per tahun, sementara Indonesia hanya dapat ekspor 300 ton per tahun.

"Tujuan pemerintah menerbitkan permen tersebut bukanlah melarang penangkapan benih lobster untuk dibudidaya. Hanya saja, jika diizinkan mengambil benih lobster, masyarakat akan kembali mengekspor benih lobster ke negara lain," kata Susi Pudjiastuti dalam rilis pada Kamis, 13 Juli 2017, dikutip dari Suara.com.

Selepas Susi hengkang dari kursi menteri, KKP kemudian dinahkodai oleh Edhy Prabowo yang ditunjuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan dalam Kabinet Indonesia Maju Jilid II. Pada era kepemimpinannya, Edhy lantas menganulir Permen KP Nomor 56 Tahun 2016 dan menggantinya dengan Permen KP Nomor 12 Tahun 2020.

Mengacu pada Permen yang diteken pada 4 Mei 2020 tersebut, Edhy membuka kran ekspor benur ke sejumlah negara tetangga. Politikus Partai Gerindra ini berdalih, izin ekspor benur digadang dapat mensejahterakan masyarakat akar rumput utamanya para nelayan.

Perihal lobster yang bakal terancam punah jika terus diekspor, Edhy berkelit bahwa hal tersebut tak perlu dikhawatirkan lantaran satu lobster bisa bertelur sampai 1 juta ekor sekaligus pada musim panas.

"Saya ingin buka kembali ekspor ini karena ada masyarakat kita yang lapar gara-gara dilarang, gara-gara ada peraturan ini (larangan penangkapan benih lobster)," ujar Edhy di Jakarta, Rabu, 25 Desember 2019, dikutip dari Detik.com.

Alih-alih menggeliatkan perekonomian wong cilik, Permen KP Nomor 12 Tahun 2020 yang terbit justru cenderung lebih menjadi kabar baik bagi sejumlah perseroan kelas kakap untuk berkompetisi mengeruk keuntungan berkat dibukanya kran ekspor benur.

Tersiar, kala itu Edhy telah memberikan izin terhadap 26 perusahaan untuk melakukan ekspor benur. Namun demikian, siapa nyana beredar data bahwa perusahaan yang mendapatkan izin ekspor sebenarnya sebanyak 61 perusahaan.

Hal tersebut berdasarkan dari beredarnya surat undangan kepada 61 Direktur perusahaan bernomor B.20733/DJPT/TU.330.D1/XI/2020 tanggal 2 November 2020. Surat itu ditandatangani langsung oleh Direktur Pengelolaan Sumber Daya Ikan KKP, Trian Yunanda. Adapun daftar 61 perusahaan tersebut meliputi:









Edhy Dicokok KPK


Berselang enam bulan pasca-terbitnya Permen KP Nomor 12 Tahun 2020, pada Rabu dini hari, 25 November 2020 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencokok Edhy di Bandara Soekarno-Hatta. Ia ditangkap usai bertolak dari kunjungan kerja ke Amerika Serikat.

Lembaga antirasuah menetapkan Edhy sebagai tersangka kasus suap terkait perizinan ekspor benih lobster. Tak hanya Edhy, KPK juga menetapkan enam orang lainnya sebagai tersangka.

Keenamnya yakni staf khusus Menteri KKP, Safri dan Andreu Pribadi Misata; Pengurus PT Aero Citra Kargo (PT ACK), Siswadhi Pranoto Loe; staf isteri Menteri KKP, Ainul Faqih dan Amiril Mukminin; serta Direktur PT Duta Putera Perkasa Pratama (PT DPPP), Suharjito. Dalam kasus ini Suharjito sebagai pemberi suap sementara lainnya sebagai penerima.

Edhy disinyalir menerima suap mencapai Rp25,7 miliar dari para eksportir. Suap itu tak lain sebagai upaya patgulipat memuluskan proses persetujuan pemberian izin budidaya lobster dan izin ekspor benur.

Secara rinci, Edhy diduga menerima suap sebesar USD 77.000 atau setara Rp1,1 miliar dari pemilik PT DPPP, Suharjito. Uang sogokan itu diterima Edhy melalui sekretaris pribadinya, Amiril Mukminin dan staf khususnya, Safri. 

Kemudian, Edhy juga menerima uang pelicin sebesar Rp24,6 miliar dari Suharjito dan eksportir lainnya. Suap itu diterima melalui sejumlah perantara selain Amiril dan Safri, yakni lewat staf pribadi Iis Rosita Dewi, Ainul Faqih; staf khusus Edhy, Andreau Misanta Pribadi; serta pihak PT ACK, Siswadhi.

Atas perbuatan lancung tersebut, keenam tersangka penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Adapun pihak pemberi suap disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.


Tarik Ulur Vonis Edhy


Usai menjalani persidangan Edhy terbukti secara sah dan menyakinkan dinyatakan bersalah pada perkara penerimaan suap terkait ekspor benur. Tak pelak, pada 15 Juli 2021 Majelis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta akhirnya menjatuhkan vonis 5 tahun penjara ditambah denda Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan.

Selain itu, Edhy juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 9,68 miliar dan USD 77 ribu, serta pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 2 tahun sejak selesai menjalani hukuman.

Tak terima dengan putusan Majelis Pengadilan Tipikor Jakarta, melalui kuasa hukumnya Edhy kemudian mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 24 Juli 2021.

Apa lacur, alih-alih mendapat keringanan, Majelis Hakim Banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta justru menambah hukuman Edhy. Vonis pidana bagi maling uang rakyat itu menjadi 9 tahun penjara ditambah denda Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan. Edhy juga dibebankan kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp9.68 miliar dan USD 77 ribu serta pencabutan untuk dipilih dalam jabatan publik selama 3 tahun.

Ketuk palu di tingkat banding itu diputuskan pada 21 Oktober 2021 oleh hakim ketua Haryono dan hakim anggota yang terdiri dari Mohammad Lutfi, Singgih Budi Prakoso, Reny Halida Ilham Malik serta Anton Saragih.

Menurut Hakim, pemberatan hukuman layak diterima Edhy lantaran vonis pada pengadilan tingkat pertama belum mencerminkan rasa keadilan bagi masyarakat. Selaku pejabat publik, Edhy dinilai telah merusak tatanan kerja yang selama ini telah berlaku dan terpelihara di KKP.

"Terlebih lagi terdakwa adalah seorang menteri yang membawahi Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, telah dengan mudahnya memerintahkan anak buahnya berbuat hal yang menyimpang dan tidak jujur," kata hakim dalam putusan tersebut dikutip dari Tempo.co.

Mendapati putusan tersebut, sudah barang tentu Edhy semakin tak puas atas vonis yang diterima, ia pun lantas melanjutkan upaya dengan mengajukan kasasi pada 18 Januari 2022.

Dan, kali ini Dewi Fortuna sedikit memihak Edhy. Sebab, Mahkamah Agung (MA) akhirnya memutuskan menyunat hukuman pidana penjara bagi Edhy sehingga kembali turun menjadi 5 tahun penjara dengan kewajiban-kewajiban lain yang serupa dengan vonis pada Pengadilan Tipikor Jakarta.

Putusan kasasi MA yang ditetapkan pada 7 Maret 2022 itu dipimpin oleh Sofyan Sitompul selaku hakim ketua majelis, dan Gazalba Saleh, serta Sinintha Yuliansih sebagai hakim anggota.

Majelis kasasi beralasan, diskon hukuman tersebut lantaran selama menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy dinilai sudah bekerja dengan baik.

"Bahwa putusan Pengadilan Tinggi yang mengubah putusan Pengadilan Negeri kurang mempertimbangkan keadaan yang meringankan terdakwa, sehingga perlu diperbaiki dengan alasan bahwa pada faktanya terdakwa sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan RI sudah bekerja dengan baik dan telah memberi harapan yang besar kepada masyarakat khususnya nelayan," demikian disebutkan hakim dikutip dari Idxchannel.com.

Menurut hakim, kebijakan Edhy dalam menganulir Permen KP Nomor 56 Tahun 2016 dan menggantinya dengan Permen KP Nomor 12 Tahun 2020 bertujuan mensejahterakan masyarakat utamanya para nelayan.

"Dengan tujuan adanya semangat untuk memanfaatkan benih lobster guna kesejahteraan masyarakat, yaitu ingin memberdayakan nelayan karena lobster di Indonesia sangat besar," kata hakim.

Putusan kasasi MA yang telah menyunat vonis Edhy tak pelak menyulut pro kontra. Pengamat Hukum Pidana Universitas Parahyangan Asep Iwan Iriawan menilai, alasan hakim yang memberi diskon hukuman bagi Edhy tidak masuk akal dan tak sejalan dengan hukum yang logis.

Menurutnya, hakim tidak memiliki kewenangan dalam menakar baik buruknya kebijakan yang telah ditelurkan Edhy selama menjabat menteri. Sejatinya, kewenangan hakim sebatas mengadili tidak pidana korupsi yang dilakukan oleh terdakwa.

"Yang menilai menteri baik itu bukan kompetensi hakim, yang menilai menteri itu presiden. Hakim hanya menilai perbuatan salah benarnya atau memenuhi unsur atau tidak," kata Asep dikutip dari Kompas TV.

Asep juga berpendapat majelis hakim kasasi MA tidak mempertimbangkan Pasal 52 KUHP. Di mana pada pasal tersebut tertera bahwa pejabat yang melakukan perbuatan pidana dalam jabatannya, maka hukuman pidananya dapat ditambah sepertiga.

Dengan kata lain, majelis hakim kasasi MA seyogianya menambah hukuman terhadap Edhy dari putusan sebelumnya di tingkat banding yang telah menjatuhkan 9 tahun penjara. Bukan justru menyunat vonis hukuman.

Dengan kata lain, majelis hakim kasasi MA seyogianya menambah hukuman terhadap Edhy dari putusan sebelumnya di tingkat banding yang telah menjatuhkan 9 tahun penjara. Bukan justru menyunat vonis hukuman.


Sementara itu, Ketua KPK Firli Bahuri menyatakan menghargai putusan majelis hakim kasasi MA atas diskon hukuman yang diberikan terhadap Edhy Prabowo. Menurutnya, majelis hakim tentu lebih memahami dan mengetahui setiap perkara yang diputuskan.

Firli menilai lembaga peradilan memiliki kekuasaan yang merdeka dan tidak bisa diintervensi dari pihak mana pun. Sebab itu ia pun menghormati seluruh putusan dari majelis hakim kasasi MA.

“Menghormati putusan peradilan adalah inti negara hukum. Kekuasaan peradilan adalah kekuasaan yang merdeka dan bebas dari seluruh intervensi. Sama dengan KPK, dalam melakukan tugas dan kewenangannya, tidak tunduk dan terpengaruh dengan kekuasaan apa pun,” ujarnya dikutip dari Jawapos.com.


Hakim Ketua Kasasi MA Jadi Sorotan


Hakim ketua majelis kasasi MA, Sofyan Sitompul menjadi sorotan usai memutuskan untuk menyunat hukuman bagi terdakwa Edhy dari yang semula 9 tahun penjara menjadi 5 tahun penjara.

Bukan kali pertama, berdasar rekam jejaknya, Sofyan memang sempat beberapa kali memberi keringanan vonis bagi terdakwa kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara.

Meringankan vonis sempat Sofyan putuskan dalam kasus Mikael Kambuaya. Ia menyunat hukuman mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum (Kadis PU) Papua itu dari 6 tahun penjara menjadi 3 tahun penjara. Kambuaya sendiri telah terbukti korupsi atas proyek jalan Kemiri-Depapre senilai Rp 90 miliar.

Selain itu, Sofyan juga sempat mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) Irjen Pol Djoko Susilo sebatas aset yang dirampas. Meski tetap memutus vonis selama 18 tahun penjara bagi Djoko dan kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp 32 miliar, namun, kekayaan yang didapat sebelum terjadinya kasus korupsi simulasi SIM dikembalikan kepada terpidana. Dalam PK, Sofyan juga merevisi pencabutan hak politik Djoko Susilo menjadi lima tahun sejak keluar dari penjara.

Selanjutnya, Sofyan juga pernah mengabulkan upaya hukum PK Lucas. Pengacara ini sempat terjerat kasus merintangi penyidikan KPK dengan tersangka mantan petinggi Lippo Group Eddy Sindoro. Sofyan beralasan, yang memberi kesaksian bahwa terdakwa Lucas yang menyarankan agar Eddy Sindoro tidak pulang terlebih dulu ke Indonesia adalah saksi Novel Baswedan. Atas dikabulkannya PK Lucas oleh MA, membuat ia akhirnya bisa bebas.

Menurut keterangan Novel Baswedan di persidangan bahwa sekitar Desember 2016, Novel mendapatkan bukti adanya rekaman Eddy Sindoro dengan Lucas di mana dalam pembicaraan tersebut terdengar Eddy Sindoro tidak mau pulang karena Lucas memberikan saran dan masukan agar tidak pulang dulu.

Sepak terjang Sofyan Sitompul, bengkong hukuman Edhy, tercatat lunak kepada para koruptor. Edhy bisa jadi pengantin sunat terakhir sebelum lulusan terbaik Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) pada 1983 itu pensiun bulan depan karena usianya sudah menginjak 70 tahun. 

"Saya yang terbaik, the best one, ranking pertama," klaim Sofyan dalam channel YouTube Mahkamah Agung (MA) yang dikutip detikcom, Kamis (10/3/2022).



https://kuatbaca.com/telik/detail/politik/patgulipat-vonis-korupsi-edhy-disunat-91

Tidak ada komentar:

Posting Komentar