Kamis, 11 Mei 2023

Talak Kemenag untuk MUI

March 2022 15:39



Eksistensi Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam melabelisasi halalnya produk di ujung tanduk. Apa pasal? Logo halal yang anyar diterbitkan Kementerian Agama (Kemenag), tak dapat disangkal sebagai sinyal kuat dari kementerian yang diimami Yaqut Cholil Qoumas untuk menalak MUI.


Berdiri sejak 7 Rajab 1395 Hijriah atau 26 Juli 1975 Masehi, MUI menjadi organisasi dalam mewadahi para ulama, zu'ama dan cendekiawan muslim Indonesia. Tak sembarang, sejak mula MUI sudah diserahi tanggung jawab untuk membantu pemerintah dalam mengetuk palu sejumlah putusan yang berkaitan dengan maslahat umat. Mulai dari mengeluarkan fatwa soal halalnya produk pangan, penentuan kebenaran sebuah aliran islam, juga berbagai perkara terkait relasi muslim dengan lingkungannya.


Mengutip laman resmi mui.or.id, disebutkan bahwa, awalnya para ulama, zu'ama dan cendekiawan muslim dari seluruh wilayah di tanah air sepakat menghelat pertemuan. Mereka diantaranya, 26 ulama dari masing-masing provinsi, 10 tokoh ulama dari ormas Islam tingkat pusat, meliputi NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan Polri, serta 13 tokoh atau cendekiawan perorangan.


Dari pertemuan tersebut seluruh peserta akhirnya mufakat satu suara untuk membidani MUI sebagai wadah musyawarah para ulama, zu'ama dan cendekiawan muslim se-Indonesia. Momentum tersebut resmi tertuang dalam “Piagam Berdirinya MUI,” yang diteken oleh seluruh peserta musyawarah.


Sertifikasi Halal Indonesia


Perjalanan sertifikasi halal di Indonesia memiliki histori berusia nyaris setengah abad. Mengutip buku “Ekosistem Industri Halal” yang diterbitkan Bank Indonesia pada Desember 2019, dipaparkan pada awalnya labelisasi dilakukan pemerintah hanya terhadap produk non-halal.


Kebijakan tersebut mengacu pada Surat Keputusan Menteri Kesehatan (SK Menkes) Nomor 280 tanggal 10 November 1976 tentang Ketentuan Peredaran dan Penandaan Pada Makanan Yang Mengandung Bahan Berasal Dari Babi.


Dalam SK yang diteken Menkes GA Siwabessy itu, tertuang aturan main yang mewajibkan seluruh makanan dan minuman dengan unsur babi harus dibubuhi label bertuliskan “mengandung babi”. Selain itu, label harus dilengkapi gambar seekor babi berwarna merah di atas dasar putih.


Namun berselang sewindu, menyeruak desakan dari masyarakat agar labelisasi seharusnya juga menyasar pada produk halal. Tuntutan tersebut muncul lantaran pada tahun 1988 banyak ditemukan makanan yang sebenarnya mengandung material tidak halal namun tetap beredar di pasaran.


Untuk meredam keresahan masyarakat, MUI kemudian berinisiatif mendirikan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika atau lebih dikenal dengan LPPOM MUI. Lembaga ini resmi berdiri pada tanggal 6 Januari 1989 sebagai bagian dari upaya untuk memberikan ketenteraman umat, utamanya dalam memperoleh ketayiban sebuah produk.


Pada awal-awal tahun kelahirannya, LPPOM MUI berulang kali menggelar seminar, diskusi dengan para pakar, dan melakukan sejumlah kunjungan kerja bersifat studi banding serta muzakarah. Hal ini untuk mempersiapkan diri dalam menentukan standar kehalalan dan prosedur pemeriksaan, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kaidah agama.


Memasuki awal tahun 1994, barulah LPPOM MUI mengeluarkan sertifikat halal pertamanya untuk konsumen maupun produsen, sehingga manfaat kehadirannya dapat dirasakan masyarakat.


Terkait pelaksanaan sertifikat halal ini, LPPOM MUI pun menggandeng Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Departemen Agama (Depag), Institut Pertanian Bogor (IPB), Kementerian Pertanian (Kementan), dan Kementerian Koperasi (Kemenkop). Khusus dengan BPOM dan Kementerian Agama, sertifikat halal MUI merupakan persyaratan dalam penentuan label pada kemasan.


Selama rentang 30 tahun sertifikasi produk halal berada di bawah kewenangan LPPOM MUI, hingga akhirnya pada 17 Oktober 2019, ditetapkan bahwa penyelenggaraan labelisasi halal di Indonesia beralih menjadi tanggung jawab Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kemenag.


Penetapan tersebut tertuang dalam Pasal 72 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.


Mengacu pada aturan baru itu, maka terhitung di tanggal yang sama, perusahaan dari dalam maupun luar negeri yang akan mengajukan pendaftaran perdana atau perpanjangan sertifikasi halal ke Indonesia harus melalui BPJPH Kemenag.


Adapun untuk perusahaan, baik di dalam dan luar negeri, yang mengajukan sertifikasi halal ke MUI sebelum tanggal 17 Oktober 2019, masih dibenarkan sesuai regulasi. Namun demikian, jika masa berlaku sertifikat halal itu bakal berakhir atau sudah kedaluarsa, maka proses perpanjangannya diwajibkan lewat BPJPH Kemenag.


“Sebelum Oktober 2019, audit produknya dilakukan oleh LPPOM-MUI dan sertifikat halalnya dikeluarkan MUI. Namun setelah 17 Oktober 2019, penerbitan sertifikat halalnya dikeluarkan oleh BPJPH,” kata Plt Kepala BPJPH Kemenag, Mastuki dikutip dari laman kemenag.go.id.


Pengalihan wewenang sertifikasi halal dari LPPOM MUI menjadi tanggung jawab BPJPH Kemenag sempat menuai pro-kontra dari sejumlah pihak. Aktris senior Marissa Haque merupakan salah satu figur yang keras mengkritisi kebijakan tersebut.


Dalam sebuah rekaman video yang diunggah dikanal YouTube Dr Cool981, istri penyanyi Ikang Fauzi ini menyayangkan hilangnya pasal 14 dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, berimplikasi pada eksistensi MUI sebagai pemberi fatwa halal suatu produk diganti dengan keputusan BPJPH.

Ia menilai peralihan tersebut mengkhawatirkan. Pasalnya, auditor dalam menentukan kehalalan suatu produk tidak menutup kemungkinan nantinya bakal melibatkan non-muslim. Sehingga, jaminan halal yang ditetapkannya pun patut untuk dipertanyakan.

"Di dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, kan, ada pasal 13, pasal 14 yaitu ketentuan di pasal 14 dihapus, hilang, dan konsekuensinya non muslim bisa jadi auditor, kan kacau, ini kan urusan halal kok," tandasnya.

Berbeda dengan Marissa, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta A Tholabi Kharlie menilai transisi kewenangan sertifikasi halal dari LPPOM MUI ke BPJPH menjadi titik baru dalam menciptakan ekosistem halal di Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia. Menurutnya, secara teori dan praksis, kebijakan peralihan sertifikasi ini bakal membuat industri halal akan semakin terkonsolidasi dengan baik.

Anggota Komisi Fatwa MUI Pusat ini pun menampik persepsi bahwa transisi kewenangan sertifikasi halal bakal menganulir peran MUI. Pasalnya MUI tetap dipertahankan dalam perkara penetapan kehalalan sebuah produk. Bedanya kali ini, MUI bukan sebagai penyelenggara, melainkan pendukung dalam penetapan dosa atau tidak dosanya sebuah produk dikonsumsi umat muslim.

"Salah besar jika membuat narasi bahwa MUI tidak lagi berperan dalam sertifikasi halal. Dalam Pasal 10 UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja disebutkan BPJPH dan MUI melakukan kerjasama dalam penetapan kehalalan produk," cetus Tholabi.


Logo Baru Halal Indonesia


Kharisma MUI dalam penetapan kehalalan sebuah produk kini semakin redup. Warisan logo yang sudah ada sejak 1989 pun digeser dengan logo besutan BPJPH yang menuai pro-kontra.

Kendati memicu pro-kontra, keputusan Kemenag untuk melimpahkan kewenangan sertifikasi halal dari LPPOM MUI kepada BPJPH tetap berlanjut. Sinyal kuat transisi peralihan kian kentara kala logo halal baru versi BPJPH resmi ditetapkan dan mulai berlaku efektif secara nasional sejak 1 Maret 2022.

Penetapan logo halal tersebut bahkan sudah dituangkan dalam Surat Keputusan BPJPH Nomor 40 Tahun 2022 tentang Penetapan Label Halal. SK diteken oleh Kepala BPJPH Muhammad Aqil Irham dan ditetapkan di Jakarta pada 10 Februari 2022.

Penetapan logo halal terbaru dilakukan sebagai tindak lanjut dari ketentuan Pasal 37 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014. Penetapan ini juga bagian dari pelaksanaan amanat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal.

Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas mengatakan, logo halal terdahulu yang dikeluarkan oleh MUI nantinya secara bertahap tak akan lagi berlaku. Ia menyebut logo halal MUI masih bisa beredar hingga tahun 2026 sepanjang stok produk yang lama masih ada.

"Di waktu-waktu yang akan datang, secara bertahap label halal yang diterbitkan oleh MUI dinyatakan tidak berlaku lagi. Sertifikasi halal, sebagaimana ketentuan undang-undang, diselenggarakan oleh pemerintah, bukan lagi ormas (organisasi masyarakat)," tulis Yaqut seperti di akun instagram resminya @gusyaqut, Sabtu (12/3/2022).

Terbitnya logo halal baru versi BPJPH tak ayal kembali menjadi kontroversial. Salah satu kritikan disampaikan oleh Wakil Ketua Umum MUI Anwar Abbas. Ia kecewa lantaran pada logo halal yang baru itu tidak tersemat kata "MUI".

"Ada kata BPJPH, MUI dan kata halal di mana kata MUI dan kata halal ditulis dalam bahasa Arab. Tetapi setelah logo tersebut jadi, kata ‘BPJPH dan ‘MUI’-nya hilang," katanya.

Selain menyayangkan kata "MUI" yang tak tertera, Anwar menilai logo halal anyar tersebut juga dinilai lebih mengedepankan seni ketimbang kata halal berbahasa Arab. Ia berpendapat, alih-alih terlihat sebagai kata halal, logo baru itu justru lebih tampak seperti gambar gunungan.

Menanggapi polemik terkait logo halal besutan BPJPH ini, Tholabi Kharlie menilai perubahan logo halal menggunakan kaligrafi (dalam hal ini jenis khat Kufi) sejatinya memang tidak ditujukan untuk kepentingan baca tulis, tetapi lebih pada kepentingan estetika.

"Oleh karena itu aspek keterbacaan atau kejelasan tulisan menjadi tidak dominan. Terlebih ini digunakan untuk logo yang juga mempertimbangkan aspek kepantasan, keserasian, dan keindahan. Sedangkan logo halal yang lama menggunakan jenis khat Naskhi. Khat yang fungsional tulis-baca," urai Tholabi dalam keterangannya.

Lebih lanjut mantan Pimpinan Tim Penulis Alquran Mushaf Banten ini menjelaskan, dari sisi kaidah khat maupun kaidah imla'i, tidak ada yang keliru dalam penulisan logo tersebut. Sebab, semua unsur huruf dalam kata halal, yakni ha'-lam-alif-lam tertulis dengan lengkap.

Menurut Tholabi, respons publik terhadap logo halal yang baru, ada baiknya menjadi tantangan sekaligus kesempatan bagi BPJPH untuk semakin masif dalam sosialisasi.

Diketahui, logo halal terbitan BPJPH Kemenag memang dituangkan dalam kaligrafi berwarna ungu berbentuk menyerupai gunungan dengan latar putih. Di bawah kaligrafi tertera tulisan kapital latin "HALAL INDONESIA".

Logo halal Indonesia terdiri atas dua objek, yakni gunungan dan motif surjan atau lurik gunungan pada wayang kulit yang berbentuk limas, lancip ke atas. Bentuk gunungan ini memiliki makna bahwa semakin tinggi ilmu dan semakin tua usia, maka manusia harus semakin mengerucut atau semakin dekat dengan Sang Pencipta.

Sementara untuk motif surjan mengandung filosofi yang mendalam. Surjan atau yang disebut juga sebagai pakaian takwa memiliki tiga pasang kancing atau 6 biji kancing secara keseluruhan pada bagian leher, di mana hal tersebut menggambarkan jumlah rukun iman.

Selain itu, motif surjan atau lurik yang sejajar satu sama lain juga mengandung makna sebagai pembeda atau pemberi batas yang jelas. Hal ini sejalan dengan tujuan penyelenggaraan Jaminan Produk Halal di Indonesia untuk menghadirkan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan produk.

Adapun untuk pemilihan warna ungu sebagai warna utama logo merepresentasikan makna keimanan, kesatuan lahir batin, dan daya imajinasi. Kemudian untuk warna sekundernya yakni hijau toska, merupakan representasi dari kebijaksanaan, stabilitas, dan ketenangan. (*)




https://kuatbaca.com/telik/detail/politik/talak-kemenag-untuk-mui-92


Tidak ada komentar:

Posting Komentar