Minggu, 11 Juli 2021

Macrame, Kerajinan Purba yang Sempat Hilang


Berupaya membangkitkan kembali relik peradaban purba yang sempat terpendam, hal itulah yang dilakukan seorang Dewi Kartini saat ini.

Melalui kibaran bendera D'KagaLupe', wanita paruh baya itu seakan ingin memberi tahu, nun jauh di masa lalu jazirah Arab pernah memiliki seni kriya adiluhung tinggi mutu. Macrame.

"Jadi kalau baca literasi, ini (macrame) asalnya dari tanah Arab, sudah ada ribuan tahun lalu, tapi kemudian tehnik macrame itu berkembang di Eropa; di Spanyol, di Inggris. Terus dia sempat lama hilang, kemudian berkembang pesat di Jepang" ujarnya saat ditemui tim Akurat.co dalam perhelatan Bazaar Ideafest X Tokopedia 2017.

Dirinya menjelaskan, seni macrame adalah teknik kriya yang memanfaatkan tali dan benang sebagai bahan dasar kerajinan, untuk menciptakan aneka ragam aksesoris dan produk dengan memilin simpul-simpul.

"Tapi ini bukan dirajut, ini disimpul. Kita ikat-ikat tanpa alat bantu apapun," tambahnya.

Dewi, begitu ia karib disapa, menceritakan, kali pertama dirinya mengenal tehnik kerajinan macrame terjadi pada tahun 2008 silam.

Kala itu, Dewi yang masih bekerja sebagai kuli tinta pada salah satu media masa nasional, diminta untuk membuat sebuah artikel mengenai seni kerajinan yang melibatkan tali temali tersebut.

Demi menjawab permintaan itu, ia pun kemudian mencari tahu segala seluk beluk tentang kerajinan macrame melalui buku-buku sebagai bahan referensi artikelnya.

Tak dinyana dan entah bagaimana persisnya, menekuri tehnik macrame di lipatan buku yang ia baca, membuat wanita berkacamata itu seakan menemukan cinta yang selama ini dicarinya. Ia langsung terpeleset jatuh hati pada seni kriya yang satu itu.

"Saya tertarik pada macrame, karena saya ngerasa kalau ternyata sebenarnya passion saya ada di benang dan tali. Tapi biar suka benang dan tali, saya ngga suka yang pakai alat kaya jarum saat nyulam, saya suka yang tehniknya iket-iket aja. Jadi saya ngga tergantung alat. Selama tangan saya sehat, saya bisa tetap kerja," tuturnya.

Dari situlah ia kemudian mulai keranjingan membuat macrame. Ditambah kerajinan itu memiliki tehnik basic yang bervariasi, membuat Dewi tak pernah bertemu jemu dalam memproduksi setiap macrame.

Kian hari kian bertambah koleksinya, Dewi akhirnya menjadikan macrame sebagai buah tangan untuk diberikan kepada sejawat-sejawatnya sebagai hadiah dan cinderamata.

Sama sekali ia tak menduga, bahwa kelak, dari situlah awal jarum kompas nasibnya berubah arah hingga mengantarkan Dewi menjadi seorang wirausahawan.

"Awalnya tuh bikin cuma buat dikasih ke teman-teman aja, buat hadiah, banyak yang suka, akhirnya ada yang mulai beli, sadar ada peminatnya, akhirnya mulai ditekunin. Dan mutusin 2014 akhir, buat berhenti kerja," ungkapnya.

Ia menambahkan, "Mulai serius dibisnisin tahun 2015, jadi masih baru memang,"

Dikatakannya, dalam menjalani usaha macrame artisan itu, ia mengandalkan sistem pemasaran daring yakni melalui Instragram. Selain itu dirinya juga bekerja sama dengan Tokopedia dan qlapa.com.

"Penjualan dilakukan dengan sistem pre order. Jadi barang itu belum jadi, mereka pesen dulu, mereka bayar, lalu saya buat, terus dikirim beberapa hari kemudian," jelasnya.

Lebih lanjut ia mengatakan, ada beberapa produk yang pemasarannya hanya bisa dilakukan di seputaran Jakarta, Tangerang dan Bekasi. Hal itu lantaran dirinya khawatir jika saat pengiriman dengan jarak yang jauh, dapat membuat produknya menjadi rusak.

"Dia (macrame) ngga bisa dilipat mas, maksudnya sayang kalau dilipat, jadi kalau cuma di seputaran Jakarta, pengirimannya bisa dilakukan melalui Go Send atau Grab Express, atau bisa juga meraka ambil langsung dari rumah saya. Saya belum terlalu yakin kirim lewat jasa pengiriman, pengepakannya takut ngga bagus, takut barang terlipat, " katanya menerangkan.

Dewi menuturkan, rata-rata produk kerajinannya itu dibanderol dengan harga berkisar Rp700.000 hingga Rp1.000.000. Namun demikian, pada beberapa kerajinan memiliki harga tertentu.

Terkait durasi pembuatan, satu produk macrame biasanya dibuat dalam tempo sekitar seminggu untuk model yang relatif sederhana, sementara yang rumit bisa sampai sebulan lebih lamanya.

"Dalam arti gini, saya menargetkan mengerjakan satu produk maksimal tiga jam sehari, nanti setelah tiga jam saya kerjain yang lain, tiga jam lain lagi, karena supaya saya ngga bosan," terang dia.

Ia mengatakan, kendala yang kerap dihadapi adalah sulitnya mencari bahkan baku tali. Sebab, khusus produksi macrame harus menggunakan jenis tali yang tepat dan sedikit agak berbeda dari tali biasanya, serta memiliki varian ukuran diameter yang amat beragam.

"Tali rami itu punya ketebalan diameternya banyak. Kadang dalam satu produk butuhnya tali rami yang diameternya 0,5 cm, ada yang 10 mili, ada yang 2 mili, mencari kebutuhan-kebutuhan kaya gitu yang agak susah, karena di Indonesia belum ada pabrik yang memproduksi tali khusus untuk macrame," jelas Dewi.

Selanjutnya ia mengatakan, untuk sekarang belum bisa mengekspor produknya ke pasar global, mengingat di luar negeri sendiri kerajinan macrame saat ini lebih berkembang.

"Malahan di Australia, Inggris sama Amerika, mereka udah nyediain tali khusus macrame," imbuhnya.

Disinggung mengenai kenapa memakai nama brand D'KagaLupe', Dewi mengungkapkan huruf "D" pada awal merek dagang tersebut merupakan inisial namanya, sementara sisanya merupakan asal kata yang dicomot dari bahasa Betawi.

"D'KagaLupe', itu dari kata "kaga lupe" , itu bahasa Betawi kan... Ya maksudnya Kaga Lupa, 'D' itu inisial nama saya, saya berharapnya produk yang saya buat ini, produk yang ngga banyak bisa ditemuin, karena itu tidak akan terlupakan," katanya seraya mengulum tersenyum.

Dalam melanggengkan usahanya, ia dibantu oleh seorang pekerja yang biasa diberdayakan untuk mengurus pesanan yang sifatnya sederhana dan tak terlalu rumit.

Dirinya mengatakan, untuk bisa mengenalkan kerajinan macrame secara luas kepada masyarakat, ia membuka kelas bagi siapa saja yang barangkali berminat untuk belajar secara privat.

Pada kesempatan itu juga ia menilai, eksistensi UMKM dewasa ini berkembang sangat pesat. Hal ini tentunya sangat dipengaruhi oleh semakin majunya teknologi sehingga memberi kemudahan bagi pelaku usaha dalam memasarkan barang dagangnya.

"Buat seorang seniman, UMKM saat ini bisa sangat mampu berkembang. Tinggal gimana kreativitas aja untuk menyelaraskan antara pekerjaan kita ini dengan kepekaan mengambil gambar, kepekaan untuk mempublikasikan apa yang kita kerjakan, merekam momen-momen menarik dari pekerjaan kita, untuk akhirnya kita publikasikan melalui media sosial. Tapi itu butuh usaha dan ngga gampang, benar-benar butuh kepekaan," tutur dia.

Ia menambahkan, buat dia, instagram bukan hanya untuk menceritakan tentang produk apa saja yang ia  jual. Tapi bagaimana proses dirinya  bekerja, serta seperti apa ia mengajar murid-muridnya.

"Sehingga ada proses kreatif di sana, ada pencarian," tandasnya.

Selanjutnya Dewi berharap, kedepan perkara kendala bahan baku tali bisa dapat teratasi. Menurutnya, dengan semakin banyaknya orang yang mengenal macrame, maka tentunya para produsen tali bakal menyadari adanya peluang bisnis baru bagi mereka, sehingga tergerak untuk memproduksi tali khusus macrame.

"Terus yang kedua, makin banyak orang yang mau belajar macrame, saya sih maunya macrame bisa kaya nyulam, dimana-mana orang sudah banyak yang tahu, tidak mengerutkan kening ketika melihat kerajinan ini," lanjut dia.

Kemudian, dengan lebih banyaknya masyarakat yang mengenal kerajinan macrame, ia berharap orang akan bisa menghargai keberadaan seni kerajinan tersebut.

"Sayangnya sih, orang suka terkagum-kagum sama suatu handycraft tapi begitu tahu harganya mereka mengerutkan kening, padahal kan handycraft itu memerlukan proses yang panjang, mulai dari dari desain, persiapan, kemudian pengerjaannya," pungkas Dewi. []

Telah tayang:
https://akurat.co/macrame-kerajinan-purba-yang-sempat-hilang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar