Jumat, 02 Juni 2023

Simalakama Pekik Toa Rumah Ibadah

9 March 2022 16:49



“Polemik pekik toa dari rumah ibadah serupa api dalam sekam. Simalakama acap hinggap kepada mereka yang terusik atas bunyi-bunyi berlebih dari congor toa masjid dan musala. Seolah, mereka pun hanya disuguhi dua opsi; Mengeluh berarti siap untuk dicap sebagai penista agama atau diam tutup mulut sembari memeram geram dan terus menerus makan hati.”

Dilansir dari artikel humor Nu Online yang terbit pada Selasa, 17 Maret 2015, dalam sebuah pertemuan sejumlah tokoh lintas agama, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur terlibat percakapan dengan seorang biksu dan pendeta.

Di awal cakap, sang biksu mengklaim bahwa Budha merupakan agama yang paling dekat dengan Tuhan. Kedekatan tersebut tercermin kala umat Budhis memanggil Tuhan dengan sebutan 'OM' dalam menjalani ritual keagamaannya.

"Nah, kalian tahu sendiri, kan, seberapa dekat antara paman dengan keponakannya?” ujar biksu.

Tak mau kalah, pendeta menyangkal klaim biksu. Ia bilang, kedekatan itu masih tak seberapa ketimbang dekatnya umat kristen dengan Tuhan. Jika para Budhis hanya sebatas pertalian paman-kemenakan, maka kedekatan bagi kristiani dengan Tuhan tak bedanya hubungan ayah dan anak.

“Kalau di agama saya memanggil tuhan itu ‘Bapa’. Nah, kalian tahu sendiri, kan, lebih dekat mana anak sama bapaknya daripada keponakan dengan pamannya?” retoris pendeta.

Alih-alih ikut unjuk gigi, secara mengejutkan Gus Dur justru berpendapat bahwa Islam sepertinya agama yang paling jauh dengan Tuhan. Tak ayal, pernyataan Cendekiawan Muslim ini menerbitkan rasa penasaran dari dua pemuka agama lain yang tengah beradu argumen itu, "Lho, kok begitu?"

Menjawab tanya dua koleganya, Gus Dur dengan santai berseloroh, “Gimana tidak? Lah, wong kalau di agama saya itu kalau memanggil Tuhan saja harus memakai Toa (pengeras suara)," ujarnya sembari terpingkal.

Satire Gus Dur tersebut menyimpan ceruk pesan yang dalam. Dari jauh hari, Presiden ke-enam RI dan Guru Bangsa kontroversial ini memang sudah kerap memberi sinyal lampu kuning atas fenomena bising toa masjid dan musala.

Apa pasal? Tradisi ribut saling sahut antara pengeras suara satu masjid dengan masjid lain dinilai berpotensi memicu konflik horizontal di lapisan akar rumput. Jangankan terhadap umat lintas agama, tensi tinggi antar sesama muslim bisa saja bergejolak lantaran perkara pekik toa yang tak mengidahkan hak dan kepentingan umum.

Sebut salah satunya kisruh teranyar antar warga yang dipicu dari bising pelantang Musala Nurul Yakin Rabu malam, 16 Maret 2022 di Jalan Pemuda, Kelurahan Tampan, Kecamatan Payung Sekaki, Pekanbaru, Riau.

Adu urat antar warga sempat menjadi sorotan saat seorang pria berinisial R mengajukan protes atas berisiknya pengeras suara musala. Kepada pengurus, dia pun meminta arah corong toa musala yang selama ini tepat menghadap ke rumahnya agar digeser ke arah lain.

Bukan tanpa alasan R meminta arah corong toa diubah. Hal itu lantaran siang dan malam kebisingan toa telah mengganggu istirahat jabang bayinya yang sedang tidak sehat.

"Saudara R ini merasa bahwa pengeras suara yang ada di musala di sekitar rumahnya, hal itu mengakibatkan anaknya yang berusia tiga tahun sedang mengalami suatu penyakit (jadi) terganggu," jelas Kapolsek Payung Sekaki, Iptu Bayu Ramadhan Effendi dalam rekaman video yang dikutip dari Kompas.com.

Alih-alih mendapat respon positif, R justru berselisih paham dengan warga lain yang tak terima dengan usulan tersebut hingga ketegangan pun sempat tersulut. Beruntung, konflik bisa segera diredam dan kata damai akhirnya disepakati usai dilakukan mediasi.

Bukan kali pertama, konflik antar warga dipicu bising pengeras suara rumah ibadah sebelumnya juga pernah terjadi di Tanjung Balai, Medan, Sumatera Utara pada 29 Juli 2016. Seorang warga keturunan Tionghoa non-muslim bernama Meiliana berdebat keras dengan jamaah Masjid Al Maksun karena protes atas berisiknya azan yang menggema.

Tak seberuntung R yang berakhir damai di atas materai, protes Meiliana justru berbuntut panjang hingga membuat ia terpaksa harus berurusan dengan Pengadilan Negeri Medan dan divonis 1,5 tahun penjara lantaran dijerat pasal penodaan agama.

Tak hanya berujung pada jeruji besi, imbas protes Meiliana bahkan sempat melebar ke sejumlah peristiwa kerusuhan. Warga muslim yang tersulut emosinya melakukan perusakan di rumah Meiliana. Selain itu, massa juga menyerang Vihara Tri Ratna dan Kelenteng Dewi Samudera di tepi Sungai Asahan hingga kisruh terus meluas. Sedikitnya 3 vihara, 8 kelenteng, dan 2 yayasan Tionghoa, serta satu tempat pengobatan rusak akibat rentetan peristiwa yang terjadi.

Kembali menarik mundur, pada 12 Desember 2012 perkara bising toa masjid juga telah mendorong Haji Sayed Hasan bin Sayed Abbas untuk menggugat Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama dan tujuh pihak lainnya ke Pengadilan Negeri Banda Aceh. Gugatan itu terdaftar dengan Nomor 28/pdt.G/2012/PN-BNA.

Alasan warga Gampong Jawa, Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh ini melayangkan gugatan lantaran merasa terganggu dengan riuhnya suara pengajian dari 10 pelantang di Masjid Al-Muchsinin yang terletak tak jauh dari rumahnya.

Menurut kakek yang saat itu berusia 75 tahun tersebut, 2 dari 10 pengeras suara yang ada mengarah tepat ke rumahnya, sehingga apabila bulan Ramadan, selepas shalat tarawih, suara tadarus, zikir dan tasbih dari masjid menggangu dirinya saat beribadah dan beristirahat di rumah.

Dalam surat gugatannya, Sayed Hasan juga mengatakan bahwa ceramah agama dan lantunan bacaan ayat Al-Quran dari cassete tape recorder, selama 30 menit sebelum shalat subuh dan sekitar sejam sebelum shalat magrib juga tak kalah menggangu.

Meski sudah sempat disidangkan pada 11 Februari 2013, namun Sayed Hasan akhirnya mencabut gugatan tersebut lantaran mendapat tekanan dari gerombolan warga yang marah dan mengancam bakal menggelar aksi massa.

Tiga kasus di muka hanyalah puncak gunung es dari berjibun kasus serupa. Pecah konflik antar warga imbas pekik toa masjid dan musala sebenarnya memiliki sederet daftar yang lebih panjang. Sampai di sini barangkali akan terbit pertanyaan, sebenarnya sejak kapan orang Indonesia mulai menggunakan toa dalam rumah ibadah.

Berdasarkan artikel dari Historia.id, toa sebenarnya merupakan merek dagang pengeras suara dari perusahaan alat elektronik asal Jepang, Toa Electric Manufaktur. Berdiri pada 1 September 1934, toa masuk ke Indonesia sekitar tahun 1960-an. Merek alat pengeras suara itu kemudian menjadi yang paling kesohor di desa dan kota, mengalahkan merek lainnya yang lebih dulu muncul.

Kees Van Dijk dalam tulisannya berjudul 'Perubahan Kontur Masjid' yang mengutip 'Studien over de geschiedenis van de Islam' karya G.F. Pijper mengungkapkan, bahwa sebenarnya pengeras suara --selain merek Toa-- sudah mulai digunakan di masjid tanah air jauh sebelum tahun 1960-an.

"Pengeras suara dikenal luas untuk menyuarakan azan di Indonesia sejak tahun 1930-an. Masjid Agung Surakarta adalah masjid pertama yang dilengkapi pengeras suara," tulis Van Dijk.

Memasuki era kemerdekaan atau tepatnya sekitar tahun 1968 pengeras suara yang kala itu didominasi merek toa kemudian terpasang di sejumlah masjid di Jakarta. Dua diantaranya yakni Masjid Al-Muhajirin dan Al-Anshar yang berada di Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Namun demikian, tidak semua masjid di Jakarta pada kisaran tahun itu sudah menggunakan pengeras suara. Sekelas masjid besar Al-Azhar saja, baru menggunakan pengeras suara pada 1970an.

Bersamaan dengan kepopuleran toa, terdapat sejumlah warga yang mulai berdebat tentang penggunaan pelantang di masjid dan musala ini. Permasalahan suara yang terlalu keras menjadi salah satu perdebatan yang muncul.

"Bagaimana kalau ada orang yang sakit di sekitar masjid dan meninggal karena suara azan yang terlalu keras, misalnya," protes seorang warga Jakarta yang tidak ingin disebutkan namanya, ditulis Espress, (22/08/1970).

Bahkan, menurut Kordinator Dakwah Islam Jakarta, A.M. Fatwa, pada tahun 1970-an terdapat salah satu masjid di daerah Kebon Jeruk, Jakarta yang mengharamkan penggunaan pengeras suara dengan dalih tak sesuai dengan tuntunan di zaman nabi.


Aturan Main Penggunaan Toa Rumah Ibadah

Menindaklanjuti potensi marak terjadinya tensi tinggi antar warga akibat pekik toa di rumah ibadah, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas kemudian berinisiatif menerbitkan edaran berisi aturan main penggunaan pengeras suara di masjid dan musala.

Aturan ini tertuang dalam Surat Edaran Menteri Agama (SE Menag) Nomor 5 tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala.

Menurut Menag, SE yang resmi diterbitkan pada tanggal 18 Februari 2022 ini tak lain merupakan upaya dalam merawat persaudaraan dan harmonisasi sosial di tengah majemuknya masyarakat Indonesia.

Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini tak menampik, pengeras suara di masjid dan musala merupakan kebutuhan bagi kaum Muslim sebagai salah satu media syiar umat. Namun demikian, perlu menjadi catatan, bahwa sejatinya Indonesia merupakan negara bhineka, baik dari sisi agama, keyakinan, latar belakang, dan lainnya.

“Pedoman diterbitkan sebagai upaya meningkatkan ketenteraman, ketertiban, dan keharmonisan antarwarga masyarakat,” ujar Menag Yaqut dikutip dari kemenag.go.id. 

SE Menag ditujukan kepada Kepala Kanwil Kemenag Provinsi, Kepala Kantor Kemenag kabupaten/kota, Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan, Ketua Majelis Ulama Indonesia, Ketua Dewan Masjid Indonesia, Pimpinan Organisasi Kemasyarakatan Islam, dan Takmir/Pengurus Masjid dan Musala di seluruh Indonesia. Sebagai tembusan, edaran ini juga ditujukan kepada seluruh Gubernur dan Bupati/Walikota di seluruh Indonesia.

Berikut rincian ketentuan dalam SE Menag Nomor 5 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala:


Pedoman Umum

1. Pengeras suara terdiri atas pengeras suara dalam dan luar.

a) Pengeras suara dalam merupakan perangkat pengeras suara yang difungsikan atau diarahkan ke dalam ruangan masjid atau musala. 

b) Pengeras suara luar difungsikan diarahkan ke luar ruangan masjid atau musala.

 2. Penggunaan pengeras suara pada masjid dan musala mempunyai tujuan:

a) Mengingatkan kepada masyarakat melalui pengajian Al-Quran, selawat atas Nabi, dan suara azan sebagai tanda masuknya waktu salat fardu;

b) Menyampaikan suara muazin kepada jemaah ketika azan, suara imam kepada makmum ketika salat berjemaah, atau suara khatib dan penceramah kepada jemaah;

c) Menyampaikan dakwah kepada masyarakat secara luas baik di dalam maupun di luar masjid dan musala.


Pemasangan dan Penggunaan Pengeras Suara


1. Pemasangan pengeras suara dipisahkan antara pengeras suara yang difungsikan ke luar dengan pengeras suara yang difungsikan ke dalam masjid dan musala;


2. Untuk mendapatkan hasil suara yang optimal, hendaknya dilakukan pengaturan akustik yang baik;


3. Volume pengeras suara diatur sesuai dengan kebutuhan, dan paling besar 100 dB (seratus desibel);


4. Dalam hal penggunaan pengeras suara dengan pemutaran rekaman, hendaknya memperhatikan kualitas rekaman, waktu, dan bacaan akhir ayat, selawat atau tarhim.


Tata Cara Penggunaan Pengeras Suara

1. Ketentuan penggunaan pada waktu salat:

Subuh:

a) Sebelum azan pada waktunya, pembacaan Al-Quran atau selawat atau tarhim dapat menggunakan Pengeras Suara Luar dalam jangka waktu paling lama 10 menit;

b) Pelaksanaan salat Subuh, zikir, doa, dan kuliah Subuh menggunakan Pengeras Suara Dalam.

 Zuhur, Asar, Magrib, dan Isya:

a) Sebelum azan pada waktunya, pembacaan Al-Quran atau selawat atau tarhim dapat menggunakan Pengeras Suara Luar dalam jangka waktu paling lama 5 menit;

b) Sesudah azan dikumandangkan, yang digunakan Pengeras Suara Dalam.

 Khusus di hari Jumat:

a) Sebelum azan pada waktunya, pembacaan Al-Quran atau selawat atau tarhim dapat menggunakan Pengeras Suara Luar dalam jangka waktu paling lama 10 menit;

b) Penyampaian pengumuman mengenai petugas Jumat, hasil infak sedekah, pelaksanaan Khutbah Jumat, salat, zikir, dan doa, menggunakan Pengeras Suara Dalam.

2. Pengumandangan azan menggunakan Pengeras Suara Luar.

3. Kegiatan Syiar Ramadan, gema takbir Idulfitri, Iduladha, dan Upacara Hari Besar Islam:

a) Penggunaan pengeras suara di bulan Ramadan baik dalam pelaksanaan Salat Tarawih, ceramah atau kajian Ramadan, dan tadarrus Al-Quran menggunakan Pengeras Suara Dalam;

b) Takbir pada tanggal 1 Syawal atau 10 Zulhijjah di masjid dan musala dapat dilakukan dengan menggunakan Pengeras Suara Luar sampai dengan pukul 22.00 waktu setempat dan dapat dilanjutkan dengan Pengeras Suara Dalam;

c) Pelaksanaan Salat Idulfitri dan Iduladha dapat dilakukan dengan menggunakan Pengeras Suara Luar;

d) Takbir Iduladha di hari Tasyrik pada tanggal 11 sampai dengan 13 Zulhijjah dapat dikumandangkan setelah pelaksanaan Salat Rawatib secara berturut-turut dengan menggunakan Pengeras Suara Dalam;

e) Upacara Peringatan Hari Besar Islam atau pengajian menggunakan Pengeras Suara Dalam, kecuali apabila pengunjung tablig melimpah ke luar arena masjid dan musala dapat menggunakan Pengeras Suara Luar.

Suara yang dipancarkan melalui Pengeras Suara

Harus diperhatikan kualitas dan kelayakannya, suara yang disiarkan memenuhi persyaratan:

1. Bagus atau tidak sumbang;


2. Pelafazan secara baik dan benar.


Pembinaan dan Pengawasan


1. Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Surat Edaran ini menjadi tanggung jawab Kementerian Agama secara berjenjang.


2. Kementerian Agama dapat bekerja sama dengan Pemerintah Daerah dan Organisasi Kemasyarakatan Islam dalam pembinaan dan pengawasan.

Bukan tanpa pro-kontra, SE Menag Nomor 5 Tahun 2022 terkait aturan penggunaan pengeras suara di Masjid dan Musala mendapat respon dari berbagai pihak. Ada yang mendukung, namun tak sedikit yang mengkritisi.

Nada minor kritik salah satunya datang dari Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Bukhori Yusuf. Ia menilai, pengaturan penggunaan toa di masjid dan musala secara substansi seolah mengabaikan dinamika kondisi sosiologis dan kultural masyarakat, utamanya yang tinggal di pedesaan.

Menurutnya, bagi masyarakat tradisional komunal, pelantang sudah menjadi bagian dari tradisi umat islam di Indonesia dalam mensiarkan ajaran agama. Mereka juga relatif memiliki penerimaan yang lebih positif terhadap riuhnya suara azan, lantunan zikir dan atau pengajian yang keluar dari toa masjid atau musala.

Selain itu, di lingkungan yang homogen seperti pedesaan, riuh pengeras suara sudah menjelma sebagai soundscape atau bunyi lingkungan, sehingga apabila frekuensi ataupun kapasitas dari bunyi tersebut berkurang, melemah, bahkan menghilang, maka dapat berpengaruh terhadap suasana kebatinan penduduk.

Kendati demikian, Anggota Komisi VIII ini tak menepis bahwa penerimaan atas eksistensi pengeras suara dari masjid dan musala oleh masyarakat desa tidak bisa dipukul rata di setiap wilayah. Ia bahkan mengakui, tingginya intensitas riuh dari pengeras suara rumah ibadah memang tak cocok diterapkan di perkotaan, di mana notabene penduduknya sudah terbiasa hidup dalam suasana heterogen, individualistik, serta bising, sehingga ketenangan menjadi semacam oase yang justru dicari.

Dalam kondisi tersebut, menurut Bukhori, pengaturan pengeras suara pada tingkat yang proporsional menjadi hal yang perlu dilakukan. Namun begitu, untuk mewujudkan hal itu negara seharusnya tidak perlu mengintervensi atau mencampuri hingga urusan teknis soal peribadatan. 

"Menurut saya, Kemenag tidak perlu mengatur hal-hal yang sangat teknis tentang masalah ibadah, utamanya penggunaan speaker untuk azan, pengajian, maupun lainnya di masyarakat. Iya, karena hal itu di setiap kampung yang satu dengan lainnya tidak sama," kata Bukhori, Senin, (21/2/2022) dikutip dari detik.com.

Bertolak dengan Bukhori, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) akur satu suara mendukung adanya kebijakan pembatasan intensitas dan frekuensi pengeras suara dari masjid dan musala yang diterbitkan Kemenag.

Ketua PP Muhammadiyah Dadang Kahmad menilai, pembatasan penggunaan toa di rumah ibadah memang diperlukan. Pengaturan dilakukan agar para pengurus masjid atau siapa pun yang diserahi tanggung jawab atas aktivitas penggunaan pelantang tidak serampangan.

"Bagus ada pengaturan. Supaya penggunaan pengeras suara masjid ataupun yang lain tidak sembarangan. Tidak sembarang waktu," kata Dadang, Selasa, 22 Februari 2022, dikutip dari Antara.

Dadang pun mendorong agar pedoman penggunaan pengeras suara di masjid dan musala yang tertuang dalam SE Menag Nomor 5 Tahun 2022 seyogianya dapat ditaati semua pihak. Hal tersebut, katanya, agar terwujud kesyahduan dan suara dari pelantang antara satu masjid dengan masjid lain yang dikeluarkan tidak berbenturan.


Sementara itu, Cholil Nafis selaku Rais Syuriyah PBNU merekomendasikan agar SE Menag soal detail pengaturan penggunaan toa perlu disosialisasikan secara masif. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman di tengah masyarakat. Cholil menilai, sejatinya penggunaan pengeras suara pada masjid dan musala merupakan bagian dari upaya syiar Islam, selama dipergunakan secara proporsional dan sesuai waktunya.

"Memang ada relevansinya berkenaan dengan pengeras suara, azan sama sekali tidak diatur (asalkan pada waktunya dan sesuai syariah), yang diatur adalah penggunaan pengeras suara untuk kegiatan, misalnya bacaan sebelum adzan atau tarhim," kata dia.


Pengaturan Penggunaan Pengeras Suara di Sejumlah Negara


Tak hanya di Indonesia, aturan main penggunaan pengeras suara di rumah ibadah seperti masjid dan musala sejatinya juga sudah diberlakukan di sejumlah negara, utamanya di negara-negara yang mayoritas penduduknya umat muslim.

Dilansir dari Tempo.id, salah satu negara yang sudah sejak lama membatasi penggunaan pengeras suara pada masjid yakni Arab Saudi. Negara dengan mayoritas hampir 90 persen total penduduknya beragama Islam ini memberlakukan aturan pembatasan penggunaan pengeras suara di masjid pada 2015 silam. Negara Timur Tengah tersebut melakukan pembatasan penggunaan pengeras suara hanya diperuntukan untuk azan dan iqamat saja. Adapun volume pengeras suara diturunkan ke tingkat sepertiga.

Tak hanya Arab Saudi, Turki yang mayoritas penduduknya kaum muslimin juga sudah terbiasa dengan adanya pembatasan penggunaan toa masjid. Pengeras suara pada masjid-masjid di negara pecahan Kesultanan Utsmaniyah ini hanya diizinkan dipergunakan saat azan dan khutbah salat Jumat. Selain itu, volume azan dan khutbah masjid juga harus dengan frekuensi normal dan tidak terlalu keras.

Bergeser ke Suriah. Negara yang kerap dilanda perang saudara ini menetapkan aturan bahwa penggunaan pengeras suara luar masjid hanya diperbolehkan untuk dipakai saat mengumandangkan azan. Sementara saat khutbah Jumat atau pengajian, wajib memakai pengeras suara dalam. Kendati demikian, tidak ada pembatasan volume azan.

Selain tiga negara di atas, Mesir juga menjadi Negara Timur Tengah yang mengeluarkan aturan main terkait pembatasan penggunaan pengeras suara di rumah ibadah. Pemerintah Negeri Piramida itu memberlakukan aturan khusus untuk pengeras suara masjid sejak Ramadan tahun 2018. Kebijakan itu terkait pelarangan menggunakan speaker luar masjid saat ibadah salat tengah dilakukan.

Di Asia Tenggara, Negeri Jiran Malaysia juga sudah menelurkan aturan soal pengeras suara. Namun demikian, kebijakan di setiap masjid berbeda-beda tergantung wilayahnya. Larangan penggunaan pengeras suara luar masjid untuk menyampaikan ceramah dan khotbah berlaku di Selangor. Di wilayah itu penggunaan pelantang masjid hanya sebatas untuk mengumandangkan azan dan pembacaan ayat-ayat Alquran.


Peluru Hampa

Aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat Pusat Studi Agama dan Perdamaian atau International Commission on Radiological Protection (ICRP), Ahmad Nurcholish, mewanti-wanti pemerintah, dalam hal ini Kemenag, agar terbitnya SE Menag Nomor 5 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala harus disertai pelaksanaan yang benar. Ia berharap, nasib SE Menag ini tak hanya sekadar jadi peluru hampa seperti edaran sejenis yang sebelumnya sudah diterbitkan melalui Instruksi Dirjen Bina Masyarakat Islam Kemenag tahun 1978.

"Bisa menjadi peluru hampa kalau implementasi tidak dikawal dengan benar. Kemenag perlu melakukan edukasi dan penyadaran agar takmir masjid menggunakan pengeras suara sesuai aturan," kata Nurcholish, Selasa (22/02/2022), dikutip dari BBC News Indonesia.

Tak hanya terimplementasi dengan benar, Nurcholish juga mendorong adanya sanksi tegas terhadap tempat ibadah yang melanggar aturan. Sanksi tersebut bisa berupa pelarangan menggunakan pengeras suara luar sama sekali selama seminggu terhadap tempat ibadah yang melanggar aturan. Sanksi juga bisa berupa teguran keras. “Tanpa (sanksi) itu rasanya surat edaran ini, tidak akan ditaati," ujarnya.

Nurcholish mengungkapkan, berdasarkan fakta di lapangan ia menemukan sedikitnya terdapat 4.000 masjid di Jakarta yang diketahui menjadi penyumbang kebisingan hingga dikeluhkan warga. Ia mencontohkan, keluhan dari artis Zaskia Adya Mecca yang mempertanyakan keetisan menggunakan pengeras suara masjid untuk membangunkan sahur saat Ramadan 2021 lalu.

Lebih lanjut, Nurcholis berharap, SE Menag Nomor 5 Tahun 2022 dapat melindungi hak warga dalam menyampaikan aspirasi apabila merasa terganggu dengan bisingnya pengeras suara rumah ibadah. Sehingga warga yang mengadukan keluhan mereka tidak ujug-ujug langsung dipidanakan seperti kasus penistaan agama di Tanjung Balai, Sumatera Utara, dengan terdakwa Meiliana yang divonis 18 bulan penjara.

"Surat Edaran ini dapat menjadi pijakan bahwa orang tidak serta merta bisa dipidana karena protes suara keras di rumah ibadah," pungkas pria kelahiran 1974 tersebut.




Jurnalis : Rizal Mahmuddhin

Editor : Virga Agesta

Illustrator : Priyana Nur Hasanah

Infografis : Zakki Fauzi









 https://kuatbaca.com/telik/detail/sosial-budaya/simalakama-pekik-toa-rumah-ibadah-97