Sabtu, 18 Maret 2017

Menunggu Hujan Ini Reda

Aku pernah berbincang dengan hujan. Empat mata. Hanya aku dan hujan tanpa kamu. Karena ketika itu kau tengah sibuk dengan seseorang yang katamu jauh lebih nyata, dia lelaki yang berani menawarkan nama pada hubungan kalian, Ada kejelasan dan komitmen disana. Yah... Kau memang pantas mendapatkannya.

Kau tahu apa yang kuperbincangkan dengan hujan?

Awalnya aku bertanya apakah ia pernah merasa kesepian?

Sambil tertawa ringan ia bilang, "bagaimana mungkin aku kesepian, aku sekumpulan butir-butir air yang jatuh hati pada bumi, dimana gaya gravitasinya telah mampu menarikku. Luruh. meresap ke setiap inci pori-pori tanah, tempat dimana kali pertama sebenarnya aku bermula. Ini tak bedanya dengan aku pulang. Jadi tentu menyenangkan bukan??".

Terus terang, aku tertular akan kegembiraannya. Ternyata benar bahwa bahagia bisa dibagi tanpa sedikitpun mengurangi kadar kebahagiaan itu sendiri. Terbukti karena ia semakin melebarkan tawa ketika mendapatiku tak hanya mengulum tapi telah benar-benar menarik semua otot mukaku untuk tersenyum.

aku bertanya lagi apakah ia pernah merasa bosan?

Beberapa detik hanya suara rintik yang menggelitik membran gendang telingaku, hingga tepat beriringan dengan cahaya kilat yang berkelebat melesat diapun lantas Berucap, "bosan? Hm... Terlalu lama menggantung diawan, dan terus menerus diombang-ambing angin yang tak pernah ingin menunjukan siapa jati dirinya. Ah, yah, tentu saja aku jenuh. Benar-benar jemu ketika itu"

Aku merasa ada yang janggal kali ini, jelas-jelas ia menggerutu, tapi ada sengurat senyum yang sepertinya dipaksa untuk bersembunyi ketika ia bicara soal angin. Entah apa yang salah, aku tak ingin ambil pusing. 

Kemudian aku pun melanjutkan bertanya, bagaimana ia bisa terperangkap diawan?

Terdengar gemuruh guntur menggelegar ketika ia mulai kembali bercerita, seakan menjadi pertanda bahwa kini, ia ingin agar aku benar-benar mendengar apa yang akan ia katakan, "Awalnya sibola api -kalian biasa menyebutnya matahari menguapkan segala jenis air di bumi. air samudera, air telaga, air di hulu sungai yangbelum tercemari, air di muara yang rusak terkontaminasi merkuri, air selokan, air gletser, air oase di gurun gurun murung, air dari tetesan embun pagi, air seni, air keringat dari tubuh wanitamu yang sepertinya punya masalah dengan kata 'diam dan tenang', air liur yang kau hasilkan saat tengah mengamatinya, dan air mata yang... 

...Ah, entah kenapa kalian berdua pernah saling menyakiti hingga harus meneteskan air mata? Tapi baiklah, mungkin itu memang salah satu cara kalian untuk menjadi dewasa, serta air-air lain yang tak bisa kusebutkan namanya satu persatu namun sedikitpun tak mengurangi rasa hormat dan terima kasihku karena telah menjadi muasal dari kejadianku. bersama partikel-partikel debu yang diterbangkan angin, kami saling memilin, mendekap namun tidak membebat satu sama lain. 

Dan diangkasa sepakat untuk bersatu menjadi sebentuk awan tanpa berucap. Yang bilamana dari bumi tempatmu berdiri, kami akan terlihat seperti gumpalan padat rapat saling mengikat, tapi siapa kira ketika disentuh menjadi embun yang rapuh. Gumpalan itu terus menerus membesar menyebar hingga pada akhirnya -seperti yang kukatakan tadi -aku jenuh maka akupun runtuh menjadi hujan. Kadang kau mungkin mendapatiku yang. membadai, hal itu terjadi ketika aku dan angin bertengkar. Ia kadang begitu menjengkelkan karena sepertinya tak juga mengerti bahwa sesekali aku butuh eksistensi, lewat hujan aku ingin diakui. 

Yah... Meski tak bisa kupungkiri, bahwa proses penguapan yang tak kasat mata, dimana aku bertemu dengan angin yang membawa partikel-partikel debu hingga menjadi awan, merupakan saat-saat yang tidak ingin aku lupakan, aku belajar banyak disana, tentang perbedaan-perbedaan, tentang sinar matahari yang hangat, tentang aku yang lembab, tentang butir debu yang padat, tentang angin yang abstrak, tentang seni bertengkar dan bersabar, tentang banyak hal lainnya. Ah, sudahlah aku jadi melantur kemana-mana bukan? Jadi baiklah, bagaimana denganmu? Kenapa kau sendiri disini? Diatas sana aku kerap mengamatimu bersamanya. Iyah, wanita yang senyumnya dapat membuat indah pelangi -si kolegaku yang berwarna-warni itu- meratap iri bila melihatnya. Kemana dia? Apa kalian bertengkar lagi?? 

Oh, Ayolah... Sebagai lelaki kau harus lebih keras lagi untuk belajar mengerti. Dia, wanitamu itu memang kadang mahluk yang membingungkan. tangguh tapi sekaligus rapuh. Dan kurasa karena itu tuhan memberimu bahu yang bidang dan dada yang lapang. Jadi kenapa tidak kau saja yang mengalah? Hm... Omong-omong kau mengerti maksudku, kan?"


Entah sejak kapan, semakin lama berbincang dengan hujan aku merasa kini ia menjadi menyebalkan karena terlalu banyak bicara dan bertanya. Oke. Oke. Aku tahu itu sekadar retoris saja. Ia tidak ingin mendengar jawaban. Ia hanya ingin satu saat, entah kapan aku melakukan apa yang seharusnya memang aku lakukan.

Hujan yang beberapa saat tadi mereda, kini benar-benar berhenti. Butir-butir air itu kini telah kembali ke tempat kali pertama dia bermula. Tanah. Yah, sebaiknya akupun juga akan pulang. Dan semoga satu saat kamupun juga akan pulang. di rumah, meski hanya ditemani secangkir kopi hitam untukku dan vanili late untukmu, kita bisa berbagi cerita dan kehangatan.

fb251212

Sibuk

Aku sibuk. Kamu sibuk. Yah, sibuklah yang menjadi semacam irisan diantara dua himpunan yang masing-masing kita miliki. Bedanya, aku sibuk merampungkan apa yang seharusnya aku selesaikan. Sementara kamu sibuk mengkritisi apa yang tengah aku kerjakan, agar terlihat menjadi sempurna. Atau setidaknya mengebiri cacat yang mungkin saja terjadi.

Yeah... Kamu memang kritikus yang perfeksionis sekaligus menyebalkan. Satu komposisi yang sepertinya terlanjur melekat kuat dan mengurat liat pada dna mu.

Sembari mengangkat karton putih persegi, dengan lubang ditengah berbentuk hati, aku bilang, "ini simbol lope".

"Apa? Lope??" Katamu menegaskan dengan nada minor ejekan, kemudian tertawa dengan suara cetar menggelegar, membahana badai katrina ulala,.

Sungguh sebentuk tawa yang membuat para balita pasti akan secara refleks mencari ketiak ibu mereka bila sempat mendengarnya. Sawan tiba-tiba. -_____-"

Agak mengerikan memang, mendapati ada seorang wanita dewasa yang mampu tertawa selebar itu.

"Ok, Fine.. it's love" defensif aku meralat.

Tapi Kamu tak peduli. mungkin bagimu aku lucu dengan ketololanku.

Satu kata untuk Kamu dan kritikanmu itu; kacrut!!





(fb:14142012)

Sementara Ini Judulnya "Aurora" Dulu

"jangan lekas bergegas tidur saat hujan semakin deras. karena ketika reda nanti, kamu takkan bisa melihat indah pelangi." begitu katamu dulu ketika aku tengah berpikir untuk menyerah saja.


"ini kan udah malem, emang pelangi bakal keliatan?" begini kataku, yang selalu saja mencari alasan mengapa menyerah itu bisa dibenarkan.


"ah, tentu, kamu takkan bisa melihat indah pelangi dimalam hari. tapi sebagai pengganti, akan ada aurora yang tak kalah mempesona di ujung langit selatan dan utara. ingat, Tuhan tak pernah kehabisan cara untuk membuat segala hal menjadi indah bila waktunya." 


yah, begitulah, kamu pun selalu punya cara untuk membuatku percaya bahwa menyerah bukanlah pilihan. pada akhirnya.

fb:191112

Hikayat Kupu

"...sebenarnya gadis kecil itu tengah bercengkrama bersama imajinasi, ketika dengan tak 'sengaja' calon bayi kupukupu yang tengah mencoba keluar dari kungkungan kepompong di tangkai bunga asoka depan beranda rumah tiba-tiba saja mencuri perhatiannya, hingga tanpa sadar dia telah membiarkan sang imajinasi pergi, entah menghampiri gadis kecil mana lagi di belahan lain bumi.


susah payah bayi kupukupu berusaha menggenapi siklus semesta untuk mencapai bentuk sempurnanya. sampai pada satu titik, lelah memaksa ia untuk sejenak berhenti bergerak. sekedar demi rehat.


dihinggapi perasaan iba, melihat calon kupukupu seperti tak berdaya, si gadis kecil pun berinisiatif membantu dengan menggunting lapisan kulit kepompong, sehingga bayi kupukupu itupun akhirnya dapat keluar, meski dalam keadaan basah karena masih diselimuti lendir disekujur tubuhnya.


beberapa menit kupukupu muda itu mencoba untuk menggerak kepakan sayap. menerbitkan segurat senyum di rona si gadis kecil. namun lama kelamaan gerakannya menjadi semakin melambat, seperti terbebat beban berat sampai pada akhirnya benar-benar berhenti. mati.


yah, kupukupu muda itu mati terlalu dini sebelum bisa merasakan bagaimana euforia terbang. meninggalkan si gadis kecil yang kini di hinggapi perasaan suram tak terjelaskan.


si gadis kecil mungkin hanya belum tahu, bahwa proses keluarnya calon kupukupu dari kepompong yang sangat melelahkan ternyata merupakan bagian dari aturan main alam, yang justru berguna untuk menguatkan sayap-sayap dan meliatkan setiap otot saraf kupukupu muda.


...sebentar kau atur nafas...


dari kisah ini semoga kamu dapat mengerti, bahwa bantuan yang sebenarnya adalah membiarkanmu menjalani proses ini sendiri. tapi kamu juga tak perlu khawatir, karena aku tidak kemana-mana. seperti semacam pemandu sorak, aku akan tetap di sini dan sesekali meneriaki namamu saat tengah membutuhkan semangat. yah, semoga itu cukup bagimu."


dulu, panjang lebar kamu menceritakan kisah 'si gadis kecil dan kupukupu', ketika aku mencetuskan sebuah ide tolol tak tahu malu, "lo kan nguasain banget pelajaran ini, gimana kalau nanti pas ulangan lagi, lo kasih contekan ke gue?"





(fb:06112012)