Senin, 08 Juli 2019

Arku

“Aturannya sederhana: Tidak ada aturan. Terbangkan saja layang-layangmu.”
The Kite Runner – Khaled Hosseini


***

Senja jingga. Kamu duduk bersila di tanah lapang dalam balutan kasual lengan panjang hijau tatami. Setelah memeram janji yang kita buat jauh-jauh hari untuk sama-sama menerbangkan layang-layang ikan yang kubuat seminggu terakhir, arku dilapisi kertas minyak itu pun kini meliuk-liuk lembut di langit mengikuti gerak angin. Tidak singit seperti layang-layang sebelumnya karena benar katamu tempo lalu; angin hanyalah faktor lain kenapa layang-layang pertamaku tak bisa terbang dengan tenang. Kunci utama yang perlu diperhatikan adalah arku. Proporsi dan rangka yang seimbang adalah penentu bagaimana nantinya layang-layang itu akan bisa dengan anggun mengangkasa. Sebegitu tenang ia terbang kini hingga kenurnya tak perlu kita kendalikan, cukup kaitkan pada sebatang dahan dan biarkan angin senja yang melakukan sisanya. Petuahmu adalah keniscayaan betapa fisika telah menunjukan jati dirinya.

Angin bertiup lembut membawa aroma khas senja dan perdu-perdu yang mengering. Halus mengibas-ngibas ujung kerudung sederhanamu. ‘sebentar lagi’ batinku, ‘biarkan sebentar lagi kunikmati ujung kerudung itu bederai-derai dimainkan angin. Sebelum senja ini benar-benar khatam. Sebelum layang-layang kita turunkan.’

“Kamu tahu asal-usul layang-layang dan hal-hal menarik mengenainya?” ujarmu tiba-tiba sambil menoleh. Menangkap basah mata tak santunku yang lamat-lamat mengamatimu.

“Eh, oh? Serius nanya? Salah orang lu. Gue ditanya asal-usul agama yang gue yakinin aja belum tentu bisa jawab. Apalagi ditanya soal remeh temeh asal-usul layang-layang.” Seperti pencuri yang tertangkap basah, jawabanku melantur kemana-mana.”Memang gimana sejarahnya?”

Sambil menggeleng anggun kamu mengulum senyum, “Konon, layang-layang berasal dari Cina dan sudah ada sejak 3000 tahun yang lalu.”

“Hebat yah, Cina, banyak kebudayaan manusia berasal dari sana. Pantesan dulu nabi nyuruh kita nuntut ilmu jauh-jauh sampai ke negeri tirai bambu itu.” celetukku asal menjumput hadits nabi. Bukan karena aku benar-benar tahu, hal itu hanya semata agar membuatmu terkesan. Maklum saja, semakin sedikit yang ku tahu justru semakin tergoda aku memamerkan yang sedikit itu. “Lalu apa menariknya layang-layang?”

“Jadi pada masa Dinasti Han sekitar 200 SM-200 M, layang-layang digunakan sebagai salah satu alat dalam menghalau musuh. Dengan menempelkan potongan bambu, layang-layang yang diterbangkan akan menghasilakan siulan yang cukup nyaring saat angin menerobos rongga bambu itu. karena banyaknya layang-layang yang diterbangkan menjadikan siulan itu terdengar seperti gemuruh, sehingga membuat musuh yang melintas akan panik lalu melarikan diri. Perang dapat dihindari hanya dengan cara yang sederhana. ”

“Astaga, cupu banget panik cuma gara-gara suara siulan bambu.” Dan dari sok tahu, kini aku menjadi sok pemberani. Kupikir dengan tampak gagah aku bisa mengecoh simpatimu.

Lagi, sambil menggeleng anggun kamu mengulum senyum “Tak berhenti sampai di situ. Sejak tahun 1749 Pemanfaatan layang-layang mulai dipakai untuk penelitian ilmiah. Kala itu Alexander Wilson dan Thomas Melvill dari Skotlandia mencoba mengukur temperatur permukaan bumi dengan cara memasang thermometer pada layang-layang. Lalu menyusul di tahun 1752, ilmuan Benjamin Franklin melalui layang-layang berhasil membuktikan teorinya yang mendunia bahwa petir memiliki muatan listrik. Sementara di tahun 1800 hingga awal 1900an layang-layang dimanfaatkan di bidang meterologi dalam pengukuran cuaca.


“Sudahkah manfaat layang-layang sampai di situ? Nyatanya tidak. Pada era perang dunia II, sekoci-sekoci penyelamat ketika itu dilengkapi layang-layang yang berantena radio guna bisa mengirimkan pesan SOS. Dari sana pada akhirnya membuat jatuhnya korban jiwa semakin bisa diminimalisir karena mendapat pertolongan sesegera mungkin.”

“Ternyata di zaman dulu banyak juga ya, fungsi layang-layang.”

“Ya, memang. Meski tampak sederhana tapi layang-layang pernah menjadi begitu bermanfaat bagi umat manusia. karenanya aku senang saat tempo lalu kamu bilang ingin membuat layang-layang. Aku berharap dari situ nantinya kamu bisa mengadopsi nilai filosofis dari layang-layang. Sederhana, apa adanya, dan tidak rumit, yang penting bagaimana sebisa mungkin kamu mampu menjadi manfaat. Aku suka kamu yang seperti itu”

Sambil menelan ludah aku mencoba mencerna apa yang barusan kamu katakan. Hening singgah beberapa jenak hingga menyadarkan betapa konyolnya aku beberapa menit yang lalu, karena ingin tampak pintar dan pemberani dihadapanmu. Jelas-jelas bukan perkara-perkara itu yang membuat tipikal wanita sepertimu menjadi terkesan.
Mencoba mengalihkan rasa malu yang tiba-tiba bertandang, kuraih kenur layang-layang lalu menarik ulurkan guna membuatnya berputar-putar naik turun. Kemudian sambil lalu aku berujar, “Suka sama yang sederhana dan ngga rumit, tapi kelakuan lu sendiri sering banget rumit buat ‘dibaca’.”

Dan lagi-lagi, sambil menggeleng anggun kamu mengulum senyum. Kali ini aku melihat jelas ada lesung yang terjebak di sana.-



08122016

Aturan Main Semesta

“Apabila buah dari suatu perbuatan jahat belum masak, maka orang bodoh (tak bijaksana) akan menganggapnya manis seperti madu; tetapi apabila buah perbuatan itu telah masak, maka ia akan merasakan pahitnya penderitaan.”
-Siddharta Gautama


“Orang yang menabur kecurangan akan menuai bencana.”
-Yesus


“Lakukan apa saja yang ingin kaulakukan, tapi ingatlah kau akan mendapat balasan sebagaimana yang kau lakukan”
-Rasulullah Muhammad


***

Aturan main semesta itu sederhana. Sesederhana pepatah purba yang pernah diucapkan Epictetus, “Apa yang kamu semai itulah yang kamu tuai.” Kamu melakukan suatu perbuatan, maka kamu akan mendapat ganjaran. Kadang ganjaran yang kamu terima atas perbuatanmu akan terjadi dalam waktu singkat. Tapi tak jarang, ganjaran perbuatanmu akan mengalami proses pengendapan terlebih dulu. Bertahun-tahun lamanya. Sampai kamu lupa. Sampai kamu mungkin tak menduga dan tak menyadari, bahwa cepat atau lambat ganjaran setimpal atas segala perbuatan yang pernah kamu lakukan sebenar-benarnya hanyalah soal perkara waktu.

Beberapa bulan lalu, seorang wanita berusia 37 tahun asal kota hujan, Bogor, masuk dalam DPO dan menjadi buruan pihak berwenang. wanita paruh baya itu diperkarakan banyak orang karena telah melakukan aksi penipuan sejak Juli 2015. Modus yang dilakukannya ialah dengan mengajak para calon korbannya menanam modal dalam bisnis pengadaan barang untuk instansi pemerintah, dan menjanjikan keuntungan macam reproduksi protozoa, yakni dalam waktu singkat dapat membelah diri dan berlipat ganda.

Tergoda pada iming-iming wanita tersebut, banyak orang yang tertipu dan menyerahkan sejumlah uang guna berinvestasi. Tak tanggung-tanggung, total rupiah yang mampu diraup wanita tipu-tipu itu mencapai 14 miliar. Angka yang fantastis dan sangat lebih dari cukup jika digunakan untuk biaya resepsi nikahan empat gebetan sekaligus. Woilah.

Hasil akhirnya seperti yang sudah bisa diterka, bersamaan dengan terkumpulnya uang, wanita itu pun seketika menghilang. kira-kira kelakuan wanita itu 11-12-lah kaya cowo-cowo kampret yang seneng PHP-in dedek-dedek gemes di luaran sana, dan tiba-tiba hilang begitu aja saat si dedek-dedek gemes lagi sedang sayang-sayangnyah. Bedebah memang. (Eh, sebentar. Kok, kayanya saya ngga asing ya, sama cowo model gini? #halah #sudahlah ) : ))

Menyadari bahwa telah tertipu mereka pun akhirnya melaporkan perkara itu pada polisi, dan segera saja polisi melakukan pengejaran terhadap wanita tipu-tipu itu. Tak sia-sia usaha yang dilakukan pihak kepolisian karena akhirnya di daerah Cilacap ia berhasil dibekuk.

Dalam penyelidikan diketahui bahwa keberadaan wanita tipu-tipu itu di Cilacap ialah guna menemui seorang dukun yang konon katanya mampu menggadakan uang. Dalam pikirannya, dengan menggadakan uang pada dukun “sakti” itu, nantinya ia akan bisa mengembalikan uang para korban yang sudah ditipunya dan ia akan mendapat keuntungan dari hasil menggadakan uang tersebut.

Berhasilkah rencana wanita itu?

Ayolah… Yang benar saja. Saat londo-londo pirang sudah berpikir bagaimana membentuk koloni industri di luar angkasa guna meminimalisir polusi di bumi. Di sini masih ada gitu orang-orang yang percaya bahwa uang bisa digandakan dengan instan dan bermodal bakar menyan? Ampun, Gusti...

Alih-alih menggadakan uang, dukun yang konon dipercaya bisa menggadakan uang itu justru membawa kabur uang wanita hasil tipu-tipu tersebut. saat akhirnya ditangkap, wanita itu bingung karena penipuannya terbongkar dan bingung karena ternyata ia juga telah kena tipu oleh dukun abal-abal pengganda uang.

Dari kasus wanita di atas, dapat dilihat betapa aturan main semesta berlaku dalam sekejab dengan memutar keadaan di waktu yang relatif singkat. Pada kasusnya, si wanita itu bisa langsung menginstropeksi kesilapannya. Lalu adakah kasus yang membuktikan bahwa aturan main semesta sebenarnya juga kadang berlaku dengan cara mengendapkan dulu? Bahwa semesta sambil “menopang dagu” sebenarnya hanya tengah menunggu waktu untuk menunjukan aturan mainnya? Cerita yang bersumber dari blog ini http://hoedamanis.blogspot.co.id/…/08/posting-keseribu.html… mungkin bisa menjadi representasi.

Syahdan, hiduplah seorang lelaki salih yang di hormati masyarakatnya. Sebagai pengusaha ia dikenal cukup kaya, taat beribadah, baik pada tetangga, dan ringan tangan. Singkat kata, ia sosok yang dipandang “sempurna” oleh masyarakat. Meski begitu ada hal ironis dari lelaki salih ini, karena ia memiliki empat orang anak yang kesemuanya bermasalah dan tidak beres.

Anak pertamanya lelaki. tidak seperti si ayah yang ringan tangan membantu tetangga, anak sulungnya justru ringan tangan dalam memukul istri. Sudah berkali-kali ia terlibat dalam kasus KDRT mengerikan dan dilaporkan pada pihak berwenang oleh istrinya sendiri. hingga akhirnya rumah tangga itu berujung pada perceraian. Membuat nama baik si lelaki salih pun ikut tercoreng. Anak kedua, lelaki juga. Menjadi penjahat yang kerap keluar masuk bui karena kasus pidana. Anak ketiga, perempuan. Hamil di luar nikah, menggugurkan kandungan lalu kini menjalani kehidupan liar. Dan si bungsu, lelaki, berurusan dengan polisi karena tersandung kasus narkoba.

Awalnya orang-orang menyakini bahwa ketidakberesan anak-anak lelaki salih ini adalah “ujian atau cobaan Tuhan.” Penasaran akan kehidupan si lelaki salih, penulis blog ini akhirnya mencoba menelusuri kehidupannya. Sampai akhirnya ditemukan satu fakta mengejutkan yang tak bisa dibilang kecil. Yakni bahwa ternyata di masa lampau lelaki salih ini pernah merenggut hak milik orang lain. (kisah selengkapnya tidak dijelaskan si penulis blog karena hal itu menyangkut privasi orang.) Dia -si lelaki salih- mungkin lupa pada perbuatannya, tapi orang yang haknya sudah dirampas itu masih sakit hati hingga tak sudi memaafkan perbuatannya. Sebegitu sakit hati sampai orang itu tak mau melayat ketika si lelaki saleh ini meninggal dunia.

Kisah lelaki saleh ini hanya salah satu dari sekian banyaknya cerita, betapa aturan main semesta kadang memang tak selalu mengganjar perbuatan seseorang seketika itu juga. Tak jarang ia akan memeram waktu dan membiarkanmu lupa terlebih dulu. Tapi percayalah, pada akhirnya nanti pada satu titik kamu akan kembali “diingatkan”, bahwa karma itu ada. Bahwa balasan dari segala perbuatan itu nyata. Tidak harus menunggu sampai kau mati dan berada di alam barzah, sebab ia sudah akan menjatuhkan hukumnya sejak kau masih menjejakan kaki di dunia.

Terdengar mengerikan?

Tenanglah, tak hanya pada perkara nista dan tercela, kabar baiknya aturan main semesta juga berlaku pada perbuatan-perbuatan terpuji yang kamu lakukan pada sesama. Meskipun sebiji zarah kebaikan yang kamu perbuat, aturan main semesta juga terjadi di sana. Dengan segera atau dengan tertunda, Ia akan menunjukan wujudnya padamu di waktu dan dengan cara yang tidak disangka-sangka. Tapi untuk kisah ganjaran kebaikan ini barangkali akan saya ulas lain kali. Saya tidak bisa menjanjikan tulisan ini akan berlanjut dalam waktu dekat. Tapi... Saya usahakan untuk sesegera mungkin bisa "menculik" kamu dari bapakmu. -Eh, kok? ini ngomongin apa, yah? #MaapPenutupKalimatnyaKriuk




01122016

CieeehhhGitu


ps. WahyuWidya moga-moga samawa...



fb27112016

Alasan Rangga

“Umur saya waktu itu 23 tahun. Di New York hidup itu ngga gampang. Ayah saya udah gak ada, saya harus nyoba nyelesaiin kuliah sambil kerja serabutan sana sini… …Waktu saya antar kamu ke bandara, ayah kamu sempat bisikin saya...”
*Bapak-bapak pake sepeda ontel lewat

“…Dia bilang, ‘Rangga, kalau kuliahnya sudah selesai cepat kembali ke Jakarta dan cari kerja. Jangan sampai Cinta nunggu kelamaan, kasihan dia.’…
*Bapak-bapak pake sepeda ontel lewat lagi.

“…Yang tidak saya ceritakan ke kamu waktu itu, sebenarnya kuliah saya sedang berantakan. Setelah kamu kembali ke Jakarta, saya terus berpikir, saya ini tidak akan pernah membuat kamu bahagia. Membuat kamu harus menunggu bertahun-tahun sampai kehidupan saya benar-benar baik. Sampai akhirnya saya berpikir sebaiknya kita berpisah. Saya hanya akan membuat kamu susah…”
*lagi-lagi bapak-bapak pake sepeda ontel lewat.

(Rangga dalam AADC?2.)


***

Jadi begini, Ri, (Riri Riza). Maksudnya bapak-bapak pake sepeda ontel bolak balik itu apaaaaahhhh???

#DahGituAjah
Percuma juga berpanjang kata kalau tak bertukar maksudnya.




24112016

Senin, 01 Juli 2019

Perspektif

“Perdebatan dua pihak yang berbeda pandangan dan sekaligus berbeda ‘bahasa’, hanya akan berakhir saling ejek. Itukah tujuannya?”
KH. Ahmad Mustofa Bisri (Gusmus)

***





Suatu hari tiga orang mas-mas (sebut saja mas-mas A, mas-mas B, dan mas-mas C), mengajak jalan seorang dedek-dedek gemes yang sedang berada di usia “lucu-lucunya”. Mereka berempat berencana ingin makan-makan di salah satu kafe di pinggiran kota tempat nakanak muda bisa kongkow menghabiskan malam mingguan.

Sesampainya di kafe yang dituju, mereka pun langsung menempati sebuah meja dengan empat kursi, lalu duduk saling silang berhadap-hadapan. Mas-mas A berhadapan dengan dedek-dedek gemes, mas-mas B berhadapan dengan mas-mas C. Mereka (para mas-mas itu) sengaja mengajak jalan si dedek-dedek gemes dalam rangka usaha ngemodusin doi sebab menurut kabar yang tersiar, dedek-dedek gemes ini tengah jomblo dan sedang mencari jodoh yang bisa diajak berumah tangga. Maka demi mendengar kabar ajaib itu tentu membuat mereka langsung bergerak cepat dan tak mau mengulur-ulur waktu. Satu hal yang mereka tak tahu, kalau sebenarnya si dedek-dedek gemes ini cuma menganggap mereka sebagai kakak-adek-an biasa. Ngga lebih. (Tega kamu, dek.)

Tak lama duduk mbak-mbak pramusaji kafe muncul menyodorkan menu. Para mas-mas mempersilakan si dedek-dedek gemes memesan terlebih dulu. “Ladies First” begitu kata mereka gegayaan gentleman macam Casanova.

Sekejab saja si dedek-dedek gemes memesan makanan dan minumannya, lalu diikuti para mas-mas yang menyamakan menu sesuai dengan apa yang dipesan si dedek-dedek gemes. Mereka mungkin berfikir dengan begitu bisa membuatnya terkesan.

Mas-mas A: “Ih, kok selera makan kita sama, ya? berarti kita cocok, dek…”
Mbak-mbak pramusaji sedikit kagok mencatat.

Mas-mas B: “Saya juga samain kaya pesanan gadis ini, ya, mbak. Apapun menunya, selama makannya sama dia, semua pasti nikmat.”
Mbak-mbak pramusaji mulai bergetar mencatat.

Mas-mas C: “Wah, dari rumah, saya emang lagi pingin makan makanan kaya pesananmu, dek. Kebetulan sekali. Mungkinkah ini pertanda semesta?”
Mbak-mbak pramusaji tampak sudah tak kuat, andai bukan karena demi kesopanan dan tuntutan profesional kerja, barangkali ia sudah muntah-muntah di depan para pengunjungnya yang absurd ini.

Setelah mbak-mbak pramusaji mencatat dan memastikan ulang pesanan, ia beranjak pergi menuju dapur tanpa lupa sebelumnya dengan ramah mohon diri dan meminta mereka untuk menunggu sejenak.

Sambil menunggu pesanan datang, mata mas-mas A menyusur sekeliling kafe guna mencari bahan obrolan. Sempat memutar-mutar kepala ke kiri dan ke kanan, tiba-tiba matanya menangkap sebuah simbol yang terukir di tengah-tengah meja yang sempat terlewat. Seperti simbol aksara “E”, batinnya.

Mas-mas A: “Lho, ini simbol huruf ‘E’ di tengah meja maksudnya apa, ya?” ia membuka percakapan.

Mas-mas B: “Apa? Huruf ‘E’ katamu? Itu huruf ‘W‘, bodoh!” serunya spontan dan langsung masuk ke gigi empat. Dia berfikir sikap konfrontasinya pasti akan membuat ia tampak hebat.

Mas-mas C: “Entah apa yang salah pada mata kalian. Itu bukan ‘E’ bukan juga ‘W‘. Jelas-jelas itu huruf ’m‘!“ Tak mau kalah demi bisa mencuri perhatian dedek-dedek gemes, ia pun turut unjuk gigi.

Mas-mas A: “Hei, perhatikan kalimat kalian berdua. Saya ini anak sastra. Saya hapal aksara seperti guru matematika hapal satu tambah satu sama dengan dua di luar kepala!”

Mas-mas B: “Halah, apalah guna sastra dan ilmu dunia tanpa pemahaman agama. Tak selamat kau nanti saat kena hisab di akhirat kelak. Jelas betul bentuk tanda itu macam tasydid di ilmu tajwid. Jadi sudah pasti itu ‘W‘.“

Mas-mas C: “Kalian berdua itu cuma pintar berteori dan taklid buta. Untuk bisa menakar sebuah bentuk absurd perlu imajinasi. Mana bisa otak kanan kalian meraba perkara ini. Ku beritahu pada kalian, tanda yang kita lihat ini macam gambar burung yang sering dibuat anak-anak TK. Jadi tentu ini huruf ’m‘. Paham?”

Mas-mas A: “Susah memang ngomong sama orang yang logika berpikirnya sudah kadung berkabut karena fanatik dan terlalu surealis.”

Mas-mas B: “Hei, tak usah melecehkan keyakinan saya. Kamu pikir logika dan ilmu pengetahuanmu bisa menjawab semua misteri dunia? Dan kau seniman abal-abal, menggambar makhluk hidup itu haram! Dasar manusia-manusia fasik munafik!”

Mas-mas C: “Apa sih, kalian ini? Semua hal harus empiris. Semua hal diartikan secara harfiah membabi buta. Dangkal dan kering.”

Mendengar debat kusir ketiga mas-mas yang makin meruncing tak keruan, si dedek-dedek gemes berdiri lantas pergi tanpa sepatah kata. Ia jengah. Meninggalkan ketiga mas-mas itu yang kini saling melongo kebingungan.

Bukan tanpa alasan kenapa tiba-tiba dia bersikap demikian, sebab, meski bukan seorang hamba yang bisa dibilang taat dalam beragama, namun dedek-dedek gemes ini pernah sempat membaca kitab Al-Wafi; Syarah Hadits Arba’in Imam An-Nawawi karya DR. Musthafa Dieb Al-Bugha & Syaikh Muhyidin Mistu. Di halaman 83-84 kitab itu tertulis, “Jika timbul perbedaan yang akan menyebabkan terjadi perselisihan, maka dia (Rasulullah) memerintahkan kita untuk berdiri dan meninggalkannya…”

Dalam sebuah riwayat di tulis, bahwa suatu ketika saat Rasulullah sedang sakit keras, beliau hendak menulis bagi mereka (para sahabat) satu kitab (wasiat) agar mereka tidak tersesat untuk selamanya. Namun mereka berselisih antara ditulis atau tidak, maka Rasulullah merobek kitab tersebut dan bersabda, “Pergilah dariku!” sebagai teguran dan peringatan bahwa perselisihan dan saling menghardik satu sama lain adalah sebab kerugian. Satu saat juga Rasulullah bersabda, “Bacalah Alqur’an selama ia mempersatukan hati-hati kalian. Dan Jika kalian berselisih, maka berdirilah dan menghindarlah darinya.”

Si dedek-dedek gemes menyayangkan sikap mas-mas B yang dengan arogan menghakimi orang lain sebagai fasik munafik, hanya karena tidak sependapat dengan interpretasinya dalam memaknai simbol yang terukir di meja itu. Tidakkah mas-mas B belajar dari Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hambali yang meski berbeda mazhab dan pendapat, namun tetap saling menghormati dan tidak mengklaim diri sebagai yang paling benar? Di atas itu semua, tidakkah menghakimi adalah hak prerogratif Sang Khalik?

Tak hanya menyayangkan sikap mas-mas B, si dedek-dedek gemes juga kecewa pada mas-mas A sebab, tidakkah ia menyadari bahwa ilmu pengetahuan yang diketahuinya belumlah final? Tidakkah mas-mas A menyadari bahkan di dalam Kamus Bahasa yang menjadi “kitab suci”nya terdapat kata ambigu, homonim, dan sinestesia? Sehingga sangat mungkin menimbulkan makna ganda antara satu orang dengan lainnya. Jadi bagaimana mungkin dengan yakin ia mengklaim diri sebagai orang yang paling mengerti dalam perkara ini?

Setali tiga uang dengan mas-mas A dan mas-mas B, mas-mas C yang berdiri di ranah seni bukannya meredam perdebatan, ia justru ikut menjadi salah satu bahan bakar perselisihan tersebut hingga terus berlanjut. Bukankah seni bersifat membebaskan, tak ajeg dan keluar dari pakem? Hal itu yang mendasari kenapa seni tidak mengenal konsep salah benar. Sebab dalam ranah seni semua perkara hanya soal pilihan selera. Tapi kenapa mas-mas C justru merasa bahwa interpretasinya yang paling tepat hingga menyalah-nyalahi yang lain?

Si dedek-dedek gemes menyayangkan sikap ketiga mas-mas itu karena terlalu berfokus pada simbol yang mereka lihat. Sebegitu sempit sampai mereka silap bahwa ini sebenarnya bukan semata tentang simbol itu sendiri, melainkan juga dari sisi mana melihatnya. Sebenarnya tak ada yang salah jika simbol itu melahirkan interpretasi yang tak sama di masing-masing kepala mereka, sebab memang mereka pun melihat simbol itu dari sudut yang berbeda-beda. perihal simbol ini menjadi masalah karena masing-masing dari mereka tak sudi meluangkan waktu untuk melihat dari sudut yang berbeda.

Si dedek-dedek gemes berharap, andai saja ketiga mas-mas itu mau menyempatkan diri untuk melihat simbol itu dari sudut tempat si dedek-dedek gemes duduk, barangkali mereka akan menyadari bahwa simbol itu tak akan lagi terlihat sebagai sebuah aksara, melainkan akan tampak seperti sebuah angka. Angka “3”.

Dari sana pada akhirnya nanti semoga mereka bisa benar-benar mengerti, bahwa simbol itu memang dapat dilihat dari beberapa sisi. Jadi masih perlukah mereka saling berselisih?

.

.
*Di meja pojok kafe yang kurang mendapat lampu pencahayaan, si pembuat simbol mengamati dalam remang sambil tertawa diam-diam.




16112016

Aptenodytes Forsteri

“Kita masih melakukan hal yang sama, masih di tempat yang terpisah. Dan tak pernah kau pertanyakan lagi keberadaanku. Sebab bagimu aku selalu ada.”
Elipsis – Devania Annesya

***


Hidup di habitat ekstrem kutub bumi, penguin merupakan makhuk monogami yang sangat setia pada satu pasangan. Penelitian mencatat, meski masa hidup Aptenodytes forsteri ini hanya berada di kisaran 13 sampai 15 tahun, namun usia “pernikahan” sepasang penguin bisa mencapai 10 hingga 13 tahun.

Dalam siklus normal, perkawinan sepasang penguin biasa terjadi pada bulan Juni. Ketika mencari “calon istri”, meski tak bisa terbang, penguin jantan akan mengepak-ngepakan sayap guna mencuri perhatian si betina. Terdengar konyol memang, tapi entah kenapa pada akhirnya ada saja penguin betina yang akan terpikat pada penguin jantan itu. ketika dirasa sudah saling menemukan kecocokan, sepasang penguin kasmaran itu akan membuat ikatan dengan cara saling menepuk sayap. Tepukan sayap ini semacam akad janji untuk bersedia saling hidup setia sampai mati.

Bukan semata omong kosong, kesetian sepasang penguin benar-benar akan diuji kala mereka sudah melangsungkan “pernikahan”. Sebab, tak lama setelah perkawinan itu dilangsungkan mereka harus berpisah. Sementara penguin jantan bersama kelompoknya akan mengembara demi mengumpulkan makanan dan melakukan perjalanan beratus-ratus kilometer jauhnya, si betina akan menetap di sana menjaga bayi mereka. (Ada kalanya terjadi sebaliknya, si betina mencari makan dan si jantan yang akan menjaga anak.) Sebelum pergi, ia akan berjanji pada “istrinya” bahwa mereka akan bertemu lagi di tempat yang sama pada bulan Maret tahun depan.

Benar saja, di waktu yang sudah dijanjikan penguin jantan itu kembali. Dengan siulan, seekor penguin akan memanggil pasangannya. Lalu bagaimana sepasang penguin bisa saling mengenali satu sama lain? mengingat ratusan penguin lain juga melakukan hal yang sama. Dengan ciri fisik dan suara siulan yang serupa, bagaimana mereka bisa saling menemukan?

Tuhan selalu memberi cara untuk makhluknya. Meski tak berakal dan sudah terpisah berbulan-bulan, pingiun memiliki insting untuk mengenali pasangannya dengan sangat baik. Mereka bisa benar-benar membedakan mana yang pasangannya dan mana yang bukan meski sekawanan penguin memiliki ciri fisiologi yang sama. Dan bila si “istri” belum memunculkan diri, penguin jantan akan tetap berada di tempat itu sambil terus menerus bersiul memanggil pasangannya sampai janji bertemunya lunas terbayar.

Tak hanya penguin, meski tak benar-benar sama barangkali kisah yang nyaris serupa juga dialami oleh Piper dan Gabriel.

Kala itu Piper masih berusia 14 tahun dan tinggal di New Hampshire. Sementara Gabriel yang setahun lebih tua darinya menetap di Massachusetts. Keduanya saling mengenal pada tahun 1994 melalui kegiatan korespondensi yang mereka lakukan. Saat akses internet belumlah semudah seperti sekarang ini, memiliki sahabat pena merupakan kegiatan yang sempat marak di kalangan anak-anak muda ketika itu. Lewat sahabat pena seseorang akan mampu menjangkau orang lain meski jarak keduanya terpisah bermil-mil jauhnya.

Empat tahun Piper dan Gabriel menjadi sahabat pena, baru satu kali keduanya bertemu dan bertatap muka. Dari pertemuan itu mereka menjadi semakin saling mengenal satu sama lain, dan ternyata memiliki obsesi yang sama. Baik Piper dan Gabriel sama-sama menyukai Shakespeare dan ingin menjadi aktor.

Sibuk dengan kegiatan dan aktivitas masing-masing guna meraih mimpi, membuat kedua sahabat pena itu sempat kehilangan kontak selama belasan tahun lamanya. Keduanya tak menyadari bahwa setelah empat belas tahun berlalu ternyata mereka sama-sama melanjutkan studi akting di London dan hanya terpisah tiga blok saja.

Tapi Tuhan memang sudah menyiapkan kejutan untuk mereka, sebab pada tahun 2011 keduanya dipertemukan kembali melalui situs cari jodoh, OkCupid. Kala itu Gabriel menemukan profil Paper dan mendapati kecocokan sebesar 94 persen. Awalnya Gabriel tak menyadari bahwa gadis itu tak lain adalah sahabat penanya, sebab Piper menggunakan nama samaran untuk profilnya. Namun alangkah terkejutnya Gabriel saat mengirim chat ajakan untuk bertemu, ia justru mendapat balasan, “Gabe! Ini Piper! Sahabat penamu!”

Sejak saat itu mereka kembali berhubungan. Piper kemudian tahu bahwa surat-surat yang dulu dikirimnya ternyata masih disimpan rapi oleh Gabriel dalam binder ungu bertuliskan ‘Piper G’. Tak rela saling kehilangan untuk kedua kalinya, Piper dan Gabriel memutuskan menikah pada Oktober 2013 dan kini mereka tinggal di Brooklyn.

Well, apa yang bisa dipetik dari sini?

Tak usah terlalu memusingkan diri mencari-cari siapa jodohmu. Untuk saat ini, selama masih punya cukup waktu, ada baiknya fokus saja untuk terus meningkatkan kualitas dirimu. Percaya saja pada rencana-Nya. Percaya saja bahwa segala hal baik akan dipertemukan kebaikan pula. Dan pada akhirnya semua hanya perkara waktu. Karena memang tak ada yang terjadi tidak pada waktunya.




10112016

Aku Melihat Tandamu

“a relationship among sign, an object and a meaning.”
Charles Sanders Pierce

***


Aku melihat tandamu. Aku membaca isyarat itu;
Tentang seekor siput yang merayap pada ujung dahan di atas perairan. Meski merangkak lambat namun siput makhluk yang kuat. Ia mampu memanggul cangkang yang sepuluh kali lebih berat dari tubuhnya. Bukan tanpa alasan kenapa siput sudi membawa serta cangkangnya kemana pun ia beranjak. Semata-mata agar ia bisa selalu mengingat, bahwa cangkang itu tak lain adalah rumahnya. Maka dimanapun pun ia berada dan sejauh apapun ia melata, kepada rumahnya itulah ia selalu memiliki alasan untuk pulang.

Dan sejak saat itu aku merasa kamulah rumah itu, tempat di mana pada akhirnya nanti aku akan pulang ke sisimu.

Aku melihat tandamu. Aku membaca isyarat itu;
Tentang seekor angsa yang berenang sendirian di tepi muara. Sedikit janggal sebab biasanya sekawanan angsa akan terbang bersama-sama ke selatan. Membentuk konfigurasi serupa aksara “V” guna bermigrasi menghindari gigitan musim dingin. Mereka perlu membentuk formasi seperti itu, Sebab dengan begitu kawanan angsa akan mampu terbang beratus-ratus kilometer lebih jauh dibanding bila terbang sendiri. Dalam formasinya, kepakan sayap pemimpin angsa paling depan akan memungkinkan angsa di belakang mendapat dorongan sehingga lebih ringan untuk terbang. Dan bila saatnya nanti sang angsa pemimpin merasa lelah, ia akan bertukar posisi dengan angsa yang lain. Begitu seterusnya hingga akhirnya mereka sampai ke selatan dan menghabiskan musim semi di sana.

Tapi kenapa di petang yang muram angsa itu sendirian? mungkinkah karena lelah membuat ia terpaksa berhenti hingga akhirnya terpisah dari kawanan? Siapa yang kamu maksud? Aku, kah, angsa itu? atau barangkali itu kamu?

Jika kamulah angsa itu maka aku akan menghampirimu. Menemanimu hingga pulih, lalu kita akan membuat kawanan baru dan terbang ke selatan bersama-sama.

Aku melihat tandamu. Aku membaca isyarat itu;
Tentang beruang yang tak mungkin terbang maka ia mencoba cara yang lain. Melesat berlari dengan kecepatan hingga puluhan kilometer perjam, atau ia akan berenang. Mengandalkan tungkai depan sebagai pengayuh dan tungkai belakang sebagai kemudi, beruang mampu berenang berpuluh-puluh mil jauhnya tanpa henti.

Ya, jika ternyata akulah angsa yang terpisah dari kawanan itu karena sudah terlalu lelah untuk terbang, maka aku akan pulang padamu melalui jalan lain. Akan ku coba mengadopsi cara beruang berlari dan atau berenang sesegera mungkin.

Aku melihat tandamu. Aku membaca isyarat itu;
Tentang pendar cahaya ubur-ubur di tepi pantai yang gulita. Pesonanya memang menggoda tapi jangan sekali-kali tertipu, meski jelita ia makhluk yang berbisa. Sengatnya sangat mampu membuat siapa pun lumpuh bahkan terbunuh. Maka jangan pernah berpikir untuk menyentuhnya.

Barangkali dalam perjalanan pulangku, akan ada sekawanan ubur-ubur yang menggoda. Tapi percayalah aku akan camkan pertandamu. Aku hanya ingin mencari tahu bagaimana ubur-ubur menjadi bioluminescene hingga bisa bersinar. Kelak dari situ barangkali aku bisa menghadiahimu pijar cahaya.

Aku melihat tandamu, tapi maaf jika ternyata aku keliru menafsirkan isyarat itu.
Mungkin karena aku hanya terlalu senang telah menemukanmu.




02112016

Sidang Peradilan

“Homines libenter quod volunt credunt.”
Terentius

***


Awalnya ini hanyalah sebuah proses pengaduan biasa. Kamu pelapor dan aku saksi yang menemanimu dalam membuat Berita Acara Perkara. Apa yang kamu perkarakan ketika itu? Kepada pihak berwenang kamu melaporkan tentang hatimu yang hilang. Ya, petugas yang tengah menangani laporanmu itu tak salah dengar, ini memang perkara tentang hilangnya hati seorang gadis muda. Runyam betul sepertinya sampai-sampai membuat petugas itu seketika tersentak. Dari air mukanya ia seolah berkata, kasus ini berpotensi menjadi isu nasional dan bisa menggemparkan jagat media.

“Tragis, Seorang Gadis Kehilangan Hati Hingga Nyaris Mati.” Kira-kira begitu judul headline yang akan tertera di surat kabar pelosok negeri. Tak usah heran kalau judul itu terdengar bombastis dan tendensius, karena banyak media di republik ini memang lebih senang menggiring opini publik ketimbang mewartakan berita yang membebaskan khalayaknya untuk memiliki interpretasinya sendiri.

Petugas yang menangani BAP-mu bergetar, bulir-bulir keringat sebesar biji jagung mulai keluar dari kening dan tengkuknya. Ini bukan perkara sembarang. Ia harus menanganinya dengan serius dan bergegas. Seperti mendapat durian runtuh, kasus menggoda ini serupa santapan sedap yang mampu membuat pangkatnya melesat dalam waktu singkat. Maka bagaimana pun ia mesti segera “mengungkapnya”. Tak jadi soal jika harus menghalalkan segala cara.

Petugas itu lalu memintamu menceritakan runut kronologis dan sejak kapan mulai menyadari kalau ternyata hatimu telah hilang. Sebenarnya kamu sedikit bingung darimana memulai cerita, karena kamu sendiri pun tak bisa benar-benar mengingat dengan pasti, sejak kapan dan bagaimana persisnya sampai hatimu bisa hilang. Seingatmu beberapa bulan yang lalu hatimu masih ada dan baik-baik saja. Kamu baru tahu kalau hati itu sudah tak ada di tempatnya sore tadi saat tengah berada di taman kota tempat kita biasa bertemu.

Gusar karena tiba-tiba menyadari ada bagian dari dirimu yang hilang, kamu segera menghubungiku untuk bisa menemuimu. Tak ambil tempo aku pun bergegas menjemputmu. Sesampainya di taman itu dan setelah kamu memberi sedikit penjelasan, kita pun memutuskan untuk langsung saja melaporkan perkaramu pada pihak yang berwenang. Dan, ya, di sinilah kita akhirnya saat ini.

Mendengar ceritamu petugas itu belum bisa mendapatkan petunjuk. Namun hari merangkak larut. Dan sepertinya karena terlalu terguncang atas kehilangan itu membuatmu menjadi tak terang lagi berbicara. Demi melihat kondisimu akhirnya diputuskan bahwa penyelidikan akan dilanjutkan esok harinya. Kita pun beranjak pulang untuk sementara.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Suram betul suratan nasibmu. Karena setelah kehilangan hati ternyata membuat pikiranmu lumpuh dan susut. Bahkan hanya butuh satu malam akalmu sudah benar-benar beringsut. Sampai-sampai untuk mengenali diri sendiri pun kamu tak sanggup.

Esok paginya alih-alih ke kantor yang berwenang untuk melanjutkan penyelidikan, kamu ternyata harus dibelokan ke panti rehabilitas jiwa. Depresi stadium akut, begitu orang-orang pintar di sana memvonis keadaanmu.

Penyelidikan pun akhirnya dilanjutkan dengan mengandalkan keterangan saksi-saksi. Aku salah satu saksi itu. Tim penyidik melontarkan beberapa pertanyaan guna mengumpulkan informasi dariku. Mereka menanyakan apa hubunganku denganmu? Sudah berapa lama aku mengenalmu? Dengan siapa saja kamu berteman beberapa bulan terakhir? Dan adakah nama-nama yang barangkali bisa dicurigai dalam kasus ini?

Aku menjelaskan bahwa hubungan kita hanya sebatas teman dekat. Entah sejak kapan tepatnya, yang jelas kita sudah saling mengenal sejak bertahun-tahun lalu. Sepanjang pengetahuanku kamu berteman dengan banyak sekali orang. Tapi… ah, ya, aku ingat sekarang, beberapa bulan belakangan ini kamu sempat bercerita tentang sesosok lelaki yang diam-diam kerap datang mengunjungi pikiranmu. Baik di saat terjaga maupun di dalam mimpi. Meski begitu kehadiran lelaki itu tak bisa dibilang mengganggu karena kamu pun ternyata menyukai kedatangannya. Tapi sayangnya kamu tak pernah sekali pun menyebutkan namanya. mungkinkah lelaki itu berkaitan dengan kasus hilangnya hatimu? Kali ini justru aku yang balik bertanya pada tim penyidik.

Mungkin saja. Singkat kata penyidik itu menjawab.

Interogasi dicukupkan, aku dipersilakan untuk pulang. Esoknya tim penyidik memanggil teman-teman dekatmu yang lain untuk menggali informasi lebih lanjut. Aku mengenali mereka sebab memang pada kenyataannya kita semua berada dalam lingkaran pertemanan yang sama.

Lalu langit runtuh. Selang tiga hari kemudian pihak yang berwenang membawa surat penangkapan atas namaku. Dari keterangan saksi-saksi yang dikumpulkan, kesemuanya memiliki kesamaan cerita yang mengarah padaku. Aku terindikasi menjadi pelaku dalam pencurian hatimu sebab hanya akulah satu-satunya lelaki yang dekat denganmu. Tidak hanya beberapa bulan terakhir tapi bahkan sudah bertahun-tahun lamanya. Statusku kini berubah dari saksi menjadi tersangka.

Berminggu-minggu kemudian aku mendekam dalam tahanan sementara pihak berwenang. Setelah berkas delik perkara dilimpahkan ke kejaksaan, segera saja psoses persidangan pun digelar berkali-kali. Hampir semua agenda persidangan telah dilalui. Dari meminta keterangan saksi-saksi, yakni orang-orang terdekatmu hingga keterangan para saksi ahli. Tidak main-main karena dalam persidangan ini bukan hanya menghadirkan pakar kriminologi tapi juga para psikolog, fisiolog, dan grafolog. Tak adanya saksi mata yang benar-benar melihat aksi pencurian hatimu membuat kasus ini menjadi terlalu pelik.

Bukti-bukti seperti CCTV yang ada di taman dan transkip isi pesan singkat yang pernah kita lakukan, sebenarnya juga tidak cukup kuat untuk membuktikan bahwa akulah lelaki yang telah mencuri hatimu. Tapi perkara ini sudah kadung menyita perhatian publik. Jadi bagaimana pun harus ada seseorang yang bisa segera dipidanakan.

Maka persidangan pun terus berlanjut hingga kini memasuki babak pembacaan dakwaan. Setelah menimbang hal-hal yang dianggap memberatkan dan meringankan yang terkesan dipaksakan, tim jaksa penuntut umum akhirnya merubah statusku dari tersangka menjadi terdakwa, lalu menuntutku dengan ancaman hukuman seumur hidup.

Sidang ditutup untuk sementara dan akan dilanjutkan esok lusa dengan agenda pembacaan pledoi dari terdakwa.

Pledoiku…
“Aku benar-benar hanya menganggapnya sebagai teman dekat. Menurutku ia gadis yang hangat dan menyenangkan. Tipikal manusia yang mampu membuat siapa pun yang berada dalam radiusnya akan menemukan zona nyaman. Barangkali inilah alasan kenapa aku bisa berteman dengannya dalam kurun waktu yang sangat lama.

Sebegitu dekatnya kami hingga saling mengerti kebiasaan-kebiasaan kecil satu sama lain. Seperti aku yang tahu persis bagaimana ia akan menggigit bibir jika sedang berpikir, seperti apa raut muka ketidaksukaanya ketika mendapati sesuatu yang diletakkan tidak pada tempatnya, dan bahkan aku hafal di luar kepala pada tanggal berapa saja ia akan melingkari almanak saat tamu bulanannya datang mengunjunginya. Begitu pula sebaliknya, Ia tahu dengan rinci di kalimat mana saja aku jatuh hati pada baris kata-kata dalam sebuah buku yang kubaca, paham betul gelagatku saat tengah berkata benar atau sedang berdusta, sampai-sampai ia hapal perilaku mana saja yang termasuk alter ego tersembunyiku dan mana-mana yang merupakan tabiat asliku.

Jika dalam sebuah jurnal Psikologi dinyatakan bahwa; kedekatan hubungan yang teramat kuat akan mampu membuat manusia-manusia yang terlibat di dalamnya bisa saling mengerti satu sama lain tanpa harus berucap dan saling bertukar kata, maka sudah sampai di titik itulah kedekatan kami.

Jadi bagaimana mungkin aku akan tega mencuri hatinya?

Ya, tak bisa kupungkiri belakangan ini ada sebentuk perasaan baru yang sebenarnya mulai bertumbuh dalam diriku. Awalnya aku sendiri tak menyadari dan tak pernah benar-benar bisa mengindentifikasi perasaan apa itu. Yang jelas aku menjadi kerap dihinggapi perasaan rindu, sebegitu rindu hingga membuat hatiku biru jika sehari saja tak bertemu dengannya. Karenanya aku selalu mencari cara untuk bisa sesering mungkin menjumpainya.

Meski begitu sekali lagi ku tekankan, aku tak pernah sekali pun berniat mencuri hatinya. Aku hanya kerap tergoda untuk bisa menyentuh inti hatinya dengan perlahan. Apakah itu kejahatan?

Sempat aku bertanya-tanya pada diri sendiri mungkinkah ia juga merasakan hal yang sama? Pernahkah ia merasa jatuh rindu bila tak bertemu dengan ku dalam kurun waktu yang lama? Tapi setiap hendak mengkonfirmasikan perihal itu padanya, tiba-tiba saja nyaliku menciut. Keberanianku beringsut pergi mengkhianati tuannya tanpa sedikit pun memberi aba-aba. Aku mati kutu.

Hingga pada satu ketika dia bercerita tentang seorang lelaki misterius yang mulai kerap muncul di pikiran dan mimpi-mimpinya. Lelaki asing yang sepertinya sudah lama ia kenali tapi tak kunjung jelas paras dan garis-garis warnanya. Semakin keras dia mencoba untuk mengingatnya, maka semakin gelap yang ia dapat. Dia sebenarnya senang atas kunjungan-kunjungan surealis itu, tapi bagaimana pun selalu ada ambang batas pada semua perkara. Begitu pula dengan rasa penasarannya.

Tak tahan menyimpan tanda tanya itu sendirian, ia pun menceritakan “pertemuannya” itu padaku. Kontan aku terkejut kali pertama mendengar ceritanya. Tapi kuat-kuat ku coba berdamai dengan gusar yang tiba-tiba saja menjalar di setiap impuls syaraf kesadaranku. Siapa lelaki beruntung namun tak tahu diri itu? mungkinkah aku mengenalinya? Kenapa ia dengan tidak santunnya merebut perhatian gadisku? “merebut gadisku”? ah, tidak, tidak, aku tak berhak menggunakan frasa itu. Kurang ajar! Aku tak tahu harus berbuat apa. Lalu kedap melingkupiku setelah itu.

Berhari-hari kemudian aku mencoba menghindar dan sebisa mungkin menjaga jarak dari radius hidupnya. Bersandiwara baik-baik saja di depan seseorang yang telah membuat kita terguncang sungguh perkara rumit dan sulit untuk dijelaskan. Sampai akhirnya di satu senja yang berjelaga kudapati panggilan darinya. Mengabari perihal tentang hatinya yang tiba-tiba hilang begitu saja.

Dan kini, setelah sidang-sidang panjang yang melelahkan ini aku merasa ada letupan neuron di kepala yang seketika pecah. Seperti pematik api yang mencipta sepercik cahaya di ruang gulita, pendarnya mulai memperjelas tanda yang sebelumnya sempat tak terbaca. Mungkinkah lelaki itu ternyata bukanlah siapa-siapa? Sebab ternyata dia ada disini. Terduduk di atas kursi pesakitan dan terancam menjadi terpidana, karena terlambat membaca tanda implisit dari gadis yang mentalnya kini terlanjur tak genap lagi.

Jika memang demikian tentu ini bukan lagi perkara salah atau tidak. Ini perihal ketololan yang berlapis-lapis karatnya. Maka sebelum hakim menjatuhi hukum dan mengetuk palu, sebenar-benarnya aku layak untuk dikutuk penyelasan seumur hidup.”

Usai pembacaan pledoi sidang ditutup. Putusan hakim akan ditunda hingga pekan depan.




27102016

Kangen Band dan Perkara Pembajakan

“Waktu itu kami seneng banget denger lagu kami dibajak.”
Dodhy Kangen Band

***

Setidaknya, –ini menurut saya- ada tiga hal yang menarik untuk diulas dari band asal Lampung, Kangen Band. Terlepas dari kelakuan Andika sang vokalis yang-mak-jan-kemlinti-tenan, harus diakui band yang terbentuk pada tanggal 4 Juli 2005 dan sempat digawangi oleh enam pemuda kampung ini merupakan salah satu band yang menginspirasi.

Kok, bisa?

Baiklah, mengingat saya sedang asyik memfokuskan diri merampungkan serial The Flash, maka saya akan langsung mengulas perihal ini dengan tempo selekas-lekasnya.
Pertama, dari Kangen Band saya belajar betapa kekuatan mimpi mampu menerabas segala ketidakmungkinan-ketidakmungkinan yang paling tidak mungkin sekalipun.

Dalam bukunya, 45 Inspirasi Hidup Sukses: Mencerahkan dan Menggugah, Daffa Arrafqi sempat mengulas latar belakang kehidupan para personil Kangen Band. Ia menulis bagaimana Dodhy sang gitaris sekaligus penggubah lagu paling produktif, sebelumnya merupakan seorang kuli bangunan, Thama pada gitar ritem adalah penjual sandal jepit, Lim pada drum bekerja di sebuah bengkel, Bebe pada bass mengisi hari-harinya dengan membantu orangtuanya berjualan nasi uduk, dan Andika selaku vokalis dengan poni ajaibnya adalah seorang penjual cendol keliling. Meski hanya bermula dari sekumpulan pemuda biasa dengan latar belakang pekerjaan yang sama-sekali-enggak-punya-urusan dengan diatonik nada, mereka tetap percaya diri dan sepakat untuk membulatkan tekad bahwa kelak melalui lagu mereka akan menaklukan Ibu Kota.

Dengan kegigihan untuk terus berlatih hingga sempat beberapakali menggadaikan sepeda motor hanya demi bisa menyewa studio rental, pada akhirnya mengantarakan mereka mewujudkan mimpi besarnya itu. Tak keliru jika Arai dalam Edensor-nya Andrea Hirata pernah lantang bicara, “Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu.”

Hal kedua yang bisa saya pelajari dari riwayat perjalanan Band yang mulai beranjak naik daun di tahun 2006 ini adalah perihal pentingnya segmented. Betapa kejelian Jusak Sutioso selaku Managing Direktor Warner Musik Indonesia pada waktu itu layak untuk diapresiasi. Seperti Raja Midas dalam Mitologi Yunani yang mampu mengubah setiap apapun yang disentuhnya menjadi emas, melalui tangannyalah, Kangen Band menemukan tipping point dan mencapai puncak kejayaannya.

Kepekaan Jusak yang mampu melihat mass market (pasal massal) ialah merupakan kelompok C dan D, yakni kelompok masyarakat menengah ke bawah yang kerap dilupakan orang sebenarnya adalah masyarakat yang penting untuk diperhitungkan. Ketika banyak orang yang abai dan mengecilkan peran konsumen dari kelompok ini, ia justru membidik sasarannya setepat mungkin di sana. Betapa kecendrungan pasar massal yang menyukai lagu dengan melodi yang didominasi nada minor serta aransemen sederhana –dan semua kapasitas ini dimiliki dalam tubuh Kangen Band—baginya merupakan tambang emas yang hanya perlu sedikit diberi sentuhan.

Hasilnya?

Pada Februari 2007 album pertama Kangen Band yang bertajuk Aku, Kau dan Dia, mampu terjual sebanyak 300.000 keping. Angka yang cukup fantastis mengingat artis terkenal pada masa itu bahkan sangat sulit untuk bisa menembus penjualan 50.000 kopi.

Well, bagi sebagian orang yang pada saat itu sempat mengatakan bahwa musik Kangen Band adalah musik kampungan, dan produk sampah di blantika musik Indonesia barangkali perlu sedikit tahu; (*Ssstt… saya mengucapkan ini sambil berbisik-bisik) setidaknya Kangen Band bersama Jusak dan manajemen WMI mengerti betul apa dan bagaimana pentingnya segmentasi. Lalu apa kabarnya dengan kamu? :)

Ketiga, dan ini yang sempat membuat saya benar-benar takjub beberapa saat, di tengah hingar bingar kampanye anti pembajakan yang dilakukan oleh banyak orang –dalam hal ini orang-orang yang terkait dalam indrustri musik- karena menganggap pembajakan merupakan bentuk pelanggaran terhadap Hak Kekayaan Intelektual dan dapat merugikan para pekerja seni yang mendulang rezeki melalui bermusik, Dodhy selaku “pentolan” dari Kangen Band justru kegirangan arang kepalang kala mengetahui bahwa ternyata lagu-lagu Kangen Band diputar dari CD-MP3 bajakan oleh para penjual kaki lima di Pasar Tengah, Tanjung Karang.

Alih-alih misuh-misuh kepada para PKL sebab sudah menjadi bagian dari lingkaran setan pembajakan yang semena-mena membajak lagunya, ia justru seperti berterimakasih karena merasa dengan cara begitu lagu-lagunya semakin bisa didengarkan oleh sebanyak mungkin orang. Barangkali ketika itu yang terpenting bagi Dodhy bukanlah bagaimana mendulang sebanyak-banyaknya uang melalui royalti lagu-lagu gubahannya, tapi bagaimana caranya agar karyanya itu bisa sampai ke sebanyak mungkin telinga pendengar.

Yah, bagaimana pun pembajakan merupakan perbuatan tercela dan menyalahi hak cipta. Tapi sikap Dodhy yang lebih memilih senang saat lagu-lagunya dibajak, tentu merupakan pilihan yang mesti sama-sama kita hormati.

Dari sikap Dodhy ini saya belajar, memperoleh uang dari karya-karya yang kita hasilkan itu memang kabar gembira. Tapi mendapati karya-karya kita bisa diterima dan dicintai oleh sebanyak mungkin orang ternyata –Puji Tuhan- hal itu jauh lebih menyenangkan.



20102016

Minggu, 30 Juni 2019

Otak Gesrek

“Gesrek apaan tuh ka Zal?”
Sandy Abu Hudzaifah

(Nah, kebetulan kak San, kemarenan juga ada yang sempet ngotot soal istilah otak gesrek. Jadi sekalian dah gue coba ulas di sini.)

***



PENTINGNYA MEMAHAMI MAKNA OTAK GESREK DAN PENERAPANNYA DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI


I. Latar Belakang Masalah

Sejarah mencatat kesalahpahaman berkomunikasi dapat mengakibatkan jatuhnya korban kemanusiaan. Dalam perang dunia kedua, diketahui bahwa Jepang yang mendapat ultimatum dari pihak AS pada tahun 1945 memberi respon “mokusatsu” yang sebenarnya memiliki arti: “kami akan mentaati ultimatum tuan tanpa komentar.” Namun disalahartikan oleh staf Jendral MacArthur karena mengartikan padanan kata tersebut dengan “no comment”. MacArthur kemudian melapor kepada Presiden Truman dan akhirnya tragedi jatuhnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pun tak dapat terelakan. (dalam Mulyana, 2008 : ix)

Dewasa ini bermunculannya istilah-istilah baru dalam lingkup pergaulan nakanak tongkrongan kekinian, bisa dibilang adalah bentuk kreativitas linguistik yang dapat memperkaya pembendaharaan kata dan khazanah yang dimiliki oleh bangsa ini. Meski demikian, di sisi lain perkara ini dapat menimbulkan kesalahpahaman dalam berkomunikasi antara nakanak tongkrongan dan nakanak non tongkrongan hingga kerab menjadi muasal terjadinya hubungan yang kurang asoy diantara mereka. Bahkan tak jarang dalam skala jangka panjang dapat mengakibatkan terjadinya gesekan diantara keduanya.

“Otak Gesrek” merupakan salah satu dari sekian banyak istilah baru yang mulai kerap dilontarkan nakanak tongkrongan, sebenarnya memiliki konotasi positif dan lebih kepada becandaan serta biasa dipakai untuk seru-seruan, namun sayangnya oleh beberapa (((oknum))) nakanak non tongkrongan yang terlalu kaku kek BH baru dan terlalu serius dalam melakoni hidup, menganggap bahwa “mengatai” orang lain memiliki “otak gesrek” merupakan hal yang tak elok dan tak patut ditiru.

Pada dasarnya sikap nggak asiknya nakanak non tongkrongan yang tidak sepaham pada beberapa istilah baru nakanak tongkrongan bisa dimaklumi. Sebab mereka menyakini ibarat air yang keluar dari mulut sebuah teko, bahwa ucapan yang terlontar dari lambe seseorang merupakan cerminan isi teko (baca: isi kepala orang itu). Semakin “biadab” omongan yang dilontarkan seseorang maka menjadi tanda semakin tak beradabnya orang tersebut. Ya, mereka –nakanak non tongkrongan menjadi terlalu kaku, barangkali lantaran memiliki cara becandanya sendiri dan tengah mengalami semacam gegar budaya dalam memaknai becandaannya nakanak tongkrongan.

Mengetahui hal ini membuat kegusaran tersendiri bagi gue sehingga tergugah untuk menelaah polemik absurd ini. Menggunakan model komunikasi Lasswell, gue akan mencoba gegayaan mengurai hal ini dari perspektif sok-sok-an akademis berdasarkan ranah ilmu komunikasi. *tersipu malu*

Diharapkan nantinya, ya… kali-kali aja bisa menjadi semacam panduan alternatif bagaimana sebaiknya nakanak tongkrongan dalam berkomunikasi dengan anak non tongkrongan atau sebaliknya. Hingga pada akhirnya pecah kongsi antara keduanya pun dapat dihindari.

II. Rumusan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah pada tulisan ngga genah ini adalah:
“Pentingnya memahami makna otak gesrek dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari”.

III. Tujuan

Tulisan ini diharapkan mampu membuat kekecean gue meningkat 93,28% dari sebelumnya.

(Lha, ngga nyambung?)

ini bukan makalah, skripsi, tesis, apalagi disertasi. Jadi kenapa mesti nyambung? Udahlah… Ngga usah berharap bisa nyambung dan balikan lagi sama mantan kalian. Move on-lah dengan sekaffah-kaffahnya move on.

IV. Manfaat 
Kagak ada manfaatnya sih keknya. Jadi dari pada nerusin baca tulisan sampah ini mending bantu-bantu mama cuci piring aja sanah.

V. Pembahasan

V.1. Model Komunikasi Lasswell

Menurut Lasswell (1974: 10-11) untuk memahami proses komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini:

Who
Say what
In Which Channel
To whom
With What Effect

Ato dalam artian yang lebi asoy:
Siapa – Ngomong Apa – Pake Saluran Apa – Sama Siapa – Dengan Efek Gimana?

Dari definisi Lasswell ini bisa diturunkan lima unsur komunikasi yang saling berkaitan, yakni:
Pertama, sumber. Dia adalah pihak yang punya inisiatif untuk melakukan komunikasi. Alesannya macem-macem, bisa karena ia barangkali lagi kesepian lantaran ditinggal kawin sama mantannya, ato bisa aja karena gebetan barunya udah satu dasawarsa ngga menghubunginya, ato mungkin juga dia cuma lagi pingin ngajak ngobrol-ngobrol biasa sambil becanda-becanda.
Pengalaman masa lalu, rujukan nilai, persepsi, pola pikir, pengetahuan, (kebiasaan nongkrong dimana, bahasa sehari-hari yang dipake) dan beberapa hal lainnya mempengaruhi dia dalam merumuskan pesan yang dalam hal ini bisa berupa pemilihan kata-kata saat melakukan obrolan.

Kedua, pesan. yaitu apa yang ingin dikomunikasikan oleh sumber kepada penerima. Pesan merupakan seperangkat simbol verbal dan non verbal. Simbol terpenting adalah kata-kata ato Bahasa, karena memungkinkan kita berbagi pikiran kepada orang laen.
Tapi biar pun kata-kata memegang peranan penting, pesan yang disampaikan secara nonverbal seperti senyuman dan tatapan mata terkadang bisa lebih mudah dan cepat untuk dipahami.
Bagi cowo-cowo yang pernah ketahuan bohong sama cewenya, terus si cewe dengan nyantainya bilang, “Ngga apa-apa, kok…” tapi sambil senyum dan kasi tatapan mata menghujam pasti ngerti maksud gue tentang kelebihan pesan non verbal yang satu ini. #MatiLuh

Ketiga, saluran ato media, yakni alat yang dipake dalam penyampaian pesan. Merujuk hal ini apakah penyampaian pesan itu dilakukan secara langsung bertatap muka ato dengan menggunakan media semisal surat kek, telpon kek, SMS kek, BBM kek, WA kek, inbox pesbuk kek, DM twitter kek, ato apalah yang-penting-kamu-ngabarin. Emang susah, yah? #yailah *tepok jidat

Keempat, penerima, yakni orang yang menerima pesan dari sumber. Sama halnya seperti sumber, pengalaman masa lalu, rujukan nilai, persepsi, pola pikir, pengetahuan, dan beberapa hal lain yang nantinya akan sangat mempengaruhi si penerima dalam menafsirkan apa yang disampaikan oleh si sumber.

Kelima, efek, yakni apa yang terjadi pada penerima setelah ia menerima pesan dari si sumber. Terhiburkah, merasa mendapat infomasi baru, biasa-biasa aja ato malah misuh-misuh lalu marah. (dalam Mulyana, 2008 : 69-71)

Efektif tidaknya proses komunikasi – menurut Stewart L dan Sylvia Moss (1974:9-13) paling tidak menimbulkan lima hal: pengertian, kesenangan, pengaruh pada sikap, hubungan yang makin baik, dan tindakan. (dalam Rakhmat, 2008 : 13)

Komunikasi yang hanya membuat si sumber dan atau si penerima misuh-misuh lalu berujung saling marah-marah maka bisa menjadi tanda bahwa komunikasi tersebut tidak berjalan efektif.

V.2. Arti Otak Gesrek

Menurut kamus slang.com gesrek memiliki arti: miring beberapa derajat otaknya. (dalam kaitannya dengan hubungan cowo-cewe) bisa diartikan: apapun rela dilakuin demi doi (si pujaan hati); atau jadi bodoh; o’on; salah tingkah.

Namun pada perkembangannya, dalam beberapa tongkrongan istilah gesrek ato biasa disebut juga otak gesrek mulai mengalami ambiguitas. Dari yang semula hanya berkaitan pada hubungan cowo-cewe, kini otak gesrek sering kali dilontarkan untuk menggambarkan seseorang yang punya kelakuan aneh bin ajaib, di luar kebiasaan dan akhirnya menimbulkan gelak tawa. Tentu hal ini dalam konotasi positif dan sebenarnya bisa merupakan sebuah pujian sebab memang ngga semua orang diberi kelebihan otak gesrek ini.

Contoh otak gesrek barangkali bisa dilihat dari kelakuan temen gue, Cobon alias Sakay alias Bi’e –bukan nama sebenernya tapi gue rasa banyak dari kalian tahu siapa orang yang gue maksud. Suatu waktu saat tengah menyeduh sirup sisa lebaran, lantaran ngga nemuin sendok untuk mengaduk dia pun dengan selonya menggunakan jari telunjuk sebagai “alat” pengaduk. #AmpunDije ini perkara sederhana tapi sangat efesien yang sebelumnya ngga pernah terpikirkan oleh gue.

V.3. Pentingnya Sumber Memahami Latar Belakang Penerima Dalam Upaya Menciptakan Komunikasi Efektif

Dari uraian model komunikasi Lasswell kita bisa menarik benang merah bahwa (((perbedaan))) pengalaman masa lalu, rujukan nilai, persepsi, pola pikir, pengetahuan, kebiasaan nongkrong, bahasa sehari-hari yang dipake dan beberapa hal lainnya antara sumber (katakanlah nakanak tongkrongan) dan penerima (katakanlah nakanak nontongkrongan), merupakan hal yang (((melatarbelakangi)) mengapa diantara mereka pada akhirnya (((tidak memiliki pemahaman yang sama))) dalam (((memaknai))) istilah (((otak gesrek))).

Menurut Deddy Mulyana (2008: 311), “Bahasa yang digunakan dalam suatu lingkungan sering tidak berfungsi bila digunakan dalam lingkungan lain…

…Sejumlah kata atau istilah punya arti khusus, unik, menyimpang atau bahkan bertentangan dengan arti yang lazim ketika digunakan oleh orang-orang dari subkultur tertentu.”

Mengetahui berbicara dengan siapa dan bagaimana latar belakangnya, merupakan kunci bagi kita untuk bisa memilih dan memilah kata-kata apa saja yang sebaiknya kita gunakan agar komunikasi dapat berjalan efektif.

Bagi nakanak tongkorang saat harus berkomunikasi dengan nakanak non tongkrongan, usahakan gunakanlah istilah atau kata yang umum-umum aja. Percuma juga pake istilah-istilah baru seperti “otak Gesrek” dengan niat becanda kalo ternyata ujung-ujungnya malah bisa bikin pecah kongsi, lantaran dia-dia pada ternyata kaga ngarti.

Bagi nakanak non tongkrongan saat melihat nakanak tongkrongan yang saling becanda dengan sesamanya pake istilah-istilah antah berantah, sebaiknya biarin aja sih, toh mereka ngga ganggu kalian. Ngga usah menghakimi kalo cara becanda mereka dengan menggunakan istilah-istilah itu adalah bentuk kejahiliahan gaya baru, apalagi sampe rese ngelarang-larang kesenangan mereka dalam menggunakan istilah tersebut.

Deal?

VI. Kesimpulan

Simpulin sendiri aja yak, gue mau ngudut duluk.

VII. Daftar Pustaka

Mulyana, Deddy. 2008. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Rakhmat, Jalaluddin. 2008. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Arti gesrek. Kamusslang.com. Diunduh pada tanggal 22 Juni 2016 dari http://kamusslang.com/






13102016

Hikayat Pohon Cokelat

“Manusia dilahirkan lunak dan lembut, tetapi setelah tua mereka menjadi tua dan kaku. Tanaman muda ringan dan lentur, tapi tanaman yang sudah tua keras dan kaku hingga batangnya perlu ditebang.

“Dengan melunak, kita bisa lebih menyerap. Dengan melembut, kita bisa lebih mendapat. Ibarat spons, dengan kekosongan dapat menghisap air sebanyak-banyaknya.”

Tujuh Musim Setahun – Clara Ng

***


Sebatang pohon coklat tumbuh subur di sisi kiri depan rumah saya. Dulu sekali bapak sengaja menanamnya di sana selain demi memberi sedikit penghijauan, beliau berharap buahnya nanti bisa sesekali kami nikmati. Sebenarnya bapak sendiri tidak terlalu ambil peduli apakah kelak ia bisa benar-benar menikmati buah coklat tersebut atau tidak. Bapak hanya senang menanam. Dan memang pohon coklat itu bukanlah satu-satunya tanaman yang ada di sana. Bagi bapak, bisa mengisi hari-hari senggangnya dengan merawat dan mengamati hijau dedaunan tetumbuhan sudahlah sebuah kesenangan tak terkira-kira. Fokus orientasi bapak tidak pada hasil buah, tapi pada proses bertumbuhnya tanaman.

(Mengetahui kebiasaan ini membuat saya sering berfikir, jangan-jangan tabiat saya yang kerab nyepik-nyepikin cewe-cewe kinyis-kinyis tapi tak berminat “dijadiin” bisa jadi lantaran genetika dari bapak. Tapi sialnya, gen yang turun ke saya itu telah mengalami mutasi dan akhirnya menjadi sebuah anomali kepribadian.) #NdasmuJal *ditempeleng

Bertahun-tahun kemudian pohon coklat itu terus bertumbuh hingga akhirnya berbuah. Tak tanggung-tanggung, saat dipanen pohon itu bisa menghasilkan buah coklat berkantung-kantung dalam setahun. Berkali-kali kami sekeluarga juga beberapa tetangga sekitar merasakan apa yang sudah bapak tanam dulu. Namun celaka, keberadaan dahan-dahan pohon coklat itu mulai menjalar semau-maunya hingga memakan teritorial jalan umum yang ada di depan rumah.

Tak terlalu jadi soal bila jalanan tersebut hanya dilalui manusia, tapi akan menjadi perkara jika yang lewat adalah mobil box atau kendaraan apapun yang memiliki tinggi kisaran dua meter. Karena sudah bisa diduga, mobil itu akan sedikit mengalami kesulitan saat harus melewati pohon coklat yang tidak terlalu tinggi tersebut.

Pohon coklat itu memang punya hak untuk terus bertumbuh dan berbuah. Tapi barangkali ia lupa bahwa haknya dibatasi oleh hak makhluk lain yang hidup berdampingan bersamanya.

Sekali waktu bapak pernah mencoba untuk mengakali dahan-dahan itu dengan membelok-belokan dan mengarahkannya agar tak memakan jalan. Tapi percuma, dahan-dahan itu sudah terlalu liat dan kuat. Semakin tua usianya semakin tak sudi ia diatur-atur arah tumbuhnya. Macam penguasa sebuah negara yang lantaran sudah kadung nyaman berkuasa selama 32 tahun, membuatnya tak bergeming dan tak rela digeser-geser meski sudah “dirayu-rayu” dan “diiming-iming.”

Habis akal menghadapi tabiat pohon coklat yang kini egois dan kian keras kepala, akhirnya dengan perasaan terpaksa dan rela tak rela diputusan bahwa beberapa dahan yang menggangu jalan pun harus dipangkas.

Lantas apa yang terjadi selanjutnya?

(Seandainya saja yang dipangkas itu adalah rambut kita. Manusia. Atau lebih spesifik lagi manusia berjenis kelamin laki-laki, hidup mapan, berstatus lajang, dan ternyata keturunan Prabu Siliwangi, barangkali efek pemangkasan –dengan menyewa jasa ArRasyid Barbershop— bisa membuat kita terlihat semakin klimis dan akhirnya semakin dikerumuni wanita-wanita sosialita perkotaan dewasa ini.)

Tapi sayangnya tidak demikian dengan pohon coklat tersebut, sebab setelah ia kehilangan banyak dahan dan kehilangan lebih dari setengah kerindangan yang dimilikinya, pohon coklat itu kini menjadi tak bisa menghasilkan buah yang lebat seperti sebelumnya. *kibarin bendera setengah tiang

Melihat nasib pohon coklat ini, membuat saya tiba-tiba teringat pada kisah hidup seorang panglima perang asal Mongolia yang sangat termasyur, Jenghis khan. Dalam buku “Bangkit Dan Runtuhnya Bangsa Mongol”, Prof. DR. Ali Muhammad Ash-Shallabi mengisahkan bagaimana masa muda Jenghis Khan yang memiliki nama asli Temujin ialah seorang pemuda yang penuh wibawa, adil, dan mau belajar dari peristiwa sejarah guna dijadikan hikmah. Meski Jenghis Khan terkenal bengis dan sadis pada musuh-musuhnya, namun ia seorang yang sangat setia kawan dan murah hati terhadap para perwiranya bahkan kepada setiap para hamba sahaya. Ia juga merupakan tipikal manusia yang selalu berusaha untuk bisa melipatgandakan kebaikan yang sudah diterimanya dari orang lain. Suatu kombinasi sikap kenapa Jenghis Khan menjadi mudah mendapat simpati dari orang-orang disekitarnya dan mampu menyatukan berbagai suku pada masa itu. Hingga akhirnya memiliki kekuasaan meliputi sebagian besar benua Asia dan sebagian Eropa.

Perihal kemurahan hati Jenghis Khan, Al-Juwani sampai pernah melantunkan sebuah syair,
“Banyak orang yang datang mengetuk pintunya
Seperti banyaknya butiran biji pada buah delima.”

Seiring waktu usia Jenghis Khan pun semakin menua, pada tahun 1226 M setelah menang perang dari pasukan Khawarizmia, ia berencana ingin melakukan penyerangan terhadap sekutunya sendiri yakni kekaisaran Tagut. Hal ini disebabkan karena saat Jenghis Khan bersama tentaranya sedang melakukan peperangan dengan pasukan Khawarizmia, sekutunya itu justru berkhianat dan tak bersedia membantunya.

Setelah matang menyususn rencana, peperangan melawan kekisaran Tagut pun tak dapat terelakan. Namun sial, dalam pertempuran kali ini Jenghis Khan terjatuh dari kuda dan membuat ia akhirnya menderita sakit yang sangat parah. Melihat kondisi ini membuat anak-anak Jenghis Khan beserta para jendralnya bermusyawarah lalu memutuskan untuk sebaiknya pulang terlebih dulu ke negara mereka. Kelak bila kondisi Jenghis Khan telah membaik dan sudah kembali pulih mereka bisa kembali lagi menghadapi pasukan Tagut.

Tapi saran dari anak-anaknya dan juga para jendralnya itu ia tolak mentah-mentah. Jenghis Khan tak mau menunda-nunda penaklukan atas kekaisaran Togut. Tak sudi ia pulang ke negaranya jika belum bisa menundukan sekutu yang sudah mengkhianatinya itu.

Dan benar saja keinginan itu pun akhirnya terpenuhi. Pasukan Mongol dapat menekuk kekaisaran Togut dan menang dengan gilang gemilang. Namun naas, dalam proses penaklukan itu Jenghis Khan tewas dan menutup usia di tahun 1227. Jasadnya dibawa ke Mongolia dan di makamkan di wilayah dekat sungai Onon dan sungai Kerulen.

Sejak saat itu kepemimpinan beralih kepada Ogodel, salah seorang putra Jenghis Khan. Bangsa Mongol melanjutkan invasi ke negara-negara lain sampai pada akhirnya kelak kehilangan masa kejayaannya.





06102016

CieeehGituh






fb01102016

TekaTekiSaja(k)




Menurun:

1. Adam terlalu kesepian
Dia terlelap dikesendirian
Ketika terjaga,
Ia sadar bahwa tulang rusuknya telah hilang
Namun berenkarnasi dalam bentuk lebih sempurna
Sungguh mahluk yang jelita
Dalam hati Adam bertanya,
“Siapa dia?”

2. Bukan sekadar demi sebuah harga diri
Dengan Rahwana dia beradu sakti
Sungguh pun begitu menyesali. Tapi,
Dia datang hanya untuk menjemput cintanya
Dia datang dalam sambut lembut tangan terbuka Sinta.

4. Di tanah tempat Hawa diturunkan:
Seorang pangeran dibalik nama Pawan
Bertopeng sebagai jelata, ia mencari cinta
Menjadi raja bengis lagi keji ketika luka tertoreh di hati
Kelak,
Raja tirani itu meratap saat cintanya telah kembali.

6. Seorang lelaki merana karena cinta
Terluka, oleh cakar tradisi ayah wanitanya
Lewat lirih syair duka
Ia basuh perih lara
Gila. Menggilai Layla.

7. Cinta yang konyol
Cinta yang tolol
Keluarga Capulet dirundung pilu,
musabab sang putri tak hanya bersandiwara dalam mati
Tapi mengapa harus mencabut belati?
Lalu menghujaminya tepat di ulu hati.
–Shakespeare, dalam kisah yang mendunia.

8. Seorang nabi. Bukan Rosul dua puluh lima
Lelaki dengan paras jelita
Tercipta ketika Adam dan Hawa,
Berniat menyatukan putra putrinya
Dia bermula dalam gerabah berisi nutfa.

10. Diantara bintang gemintang yang tersusun tak rapi
Di sana zodiakmu tersembunyi
Tunjuk satu bintang itu
Kaitkan dengan bintangku.

11. Di balik putihnya,
Tersirat harapan cinta sejati yang diliputi duka
Lengkung kelopak sempurna, arti sebuah keteguhan hati
Dia kuntum dengan wangi lembut menenangkan jiwa.
(Penulisan dibalik)


Mendatar:

3. Sebuah persembahan atas nama cinta nan megah
Dari seorang raja yang berduka
Di tanah tempat muasal Bharata
Di bawah kubah yang memesona
Terkubur jasad wanita belahan jiwa.

5. Sebuah kota
Saksi bisu intrik berdarah dua bangsa
Bertaut melilit cinta tiga hati
Caesar, Cleopatra dan Antony
Pernahkah mereka menyesalinya?

9. Dalam urut alfabetis sebuah kamus Bahasa, ku temukan satu istilah:
“Bahwa pada dasarnya manusia adalah individu yang dilahirkan dengan jiwa putih, bersih lagi suci. Kelak, baik atau buruk dibentuk oleh lingkungannya.”
Kau tahu apa istilah itu?

11. Bukan hanya manusia yang diberkati cinta
Dewa Dewi dalam mitologi merasakan hal serupa
Seperti Zeus yang menautkan hati pada Hera,
Osiris pun tak lagi dirundung sepi bersama dewinya.

12. Mungkinkah dia belahan jiwa itu?
Sebab diantara namanya terselip inisialku…







23092016

Kepada Makanan yang Pernah Saya Sia-siakan

“Selamat makan…”
Ichiko

***


Banyak perkara sederhana yang tidak sesederhana kelihatannya. Kira-kira begitu pesan moral yang saya tangkap saat menyaksikan Little Forest, film dua babak besutan sineas asal negeri matahari terbit, Jepang. Dikemas dalam plot lambat namun memikat, dan melalui penokohan seorang gadis sederhana yang notabene merupakan representasi dari masyarakat pedesaan jepang yang menggantungkan hidup dengan bertani, film ini seperti mengajak saya untuk bisa melihat lebih dekat bagaimana keseharian mereka yang nampak remeh dan kerap terlewat begitu saja, namun nyatanya memiliki makna filosofis teramat dalam untuk direnungi.

Menggunakan gaya komunikasi fatik, Junichi Mori sang sutradara seolah tengah menggoda saya untuk ikut bergabung dalam satu percakapan yang sekilas tak penting namun menyenangkan sembari menyesap hangatnya kuzuyu diantara gigitan musim dingin. Yang pada akhirnya mampu menerbitkan kesadaran betapa pun bersahajanya dalam menjalani hidup, setiap orang yang menetap di desa itu harus berusaha keras untuk mau menanam bila ingin merasakan manisnya menuai buah. Bahwa untuk bisa menikmati sebutir nasi mereka perlu terlebih dulu menjalani proses menanam padi.

Berseting di sebuah desa terpencil Komori, dengan lanskap pegunungan berselimut salju yang menawan di wilayah timur laut Jepang, film ini bahkan telah membuat hati saya tertawan sejak di shot-shot awal pembuka.

Berkisah tentang Ichiko –diperankan dengan sangat apik oleh Ai Hashimoto, adalah seorang gadis yang tinggal sendiri di rumahnya karena sang ibu sudah sejak lima tahun lamanya pergi tak diketahui entah kemana. Meski Ibunya sesekali berkirim surat namun tak sekalipun dalam surat itu ia memberi tahu di mana keberadaannya.

Tak ayal Ichiko pun melakukan semua hal sendirian. Tinggal di pedesaan terpencil dimana tidak ada toko penjual makanan, membuat setiap penduduk tak bisa mengandalkan uang jika mereka sedang kelaparan. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari setiap orang harus menanam dan mengolah makanannya sendiri. Tak terkecuali Ichiko.

Bertahun-tahun lalu saat ibunya selalu menyiapkan makanan untuknya, Ichiko kecil kerap tak menghargai jerih payah sang ibu yang sudah berusaha memenuhi segala kebutuhannya, pertengkaran antara ibu dan anak pun seringkali tak dapat terelakan hanya karena perkara makanan. Kini saat Ichiko tinggal sendiri ia pun akhirnya menyadari betapa sulitnya hidup dan perlu kerja keras bahkan hanya untuk menyiapkan semangkuk nasi.

Tapi tak keliru pepatah mengatakan, bahwa guru terbaik adalah pengalaman. Seiring waktu berlalu Ichiko pun mulai terbiasa menjalani kehidupan barunya. Ia membuat makanan dari bahan-bahan yang ditanamnya sendiri atau dari hasil mencari di hutan. Dari sini ia pun banyak belajar bahwasanya manusia sangat bergantung pada alam. Pada dasarnya alam dengan tangan terbukanya sudah berbaik hati menyediakan segala apa yang ia butuhkan. Sebisa mungkin menghindari pengrusakan yang berimbas pada keseimbangan ekosistem dan hanya mengambil secukupnya sesuai kebutuhan adalah kebijaksanaan yang perlu dimiliki oleh setiap orang.

Pengalaman jugalah yang mengajarkan Ichiko untuk mampu membaca siklus alam dan menanam tanaman sesuai musim. Seperti tomat yang hanya ditanamnya di musim panas, sebab tomat tak mungkin tumbuh di musim dingin. Atau seperti bawang yang memerlukan masa tanam nyaris setahun, maka ia harus menyiapkan lahan bawang sesegera mungkin selekas berakhirnya musim dingin. Ia juga sudah hapal di luar kepala pada banyak tabiat dari masing-masing bahan makanan yang ditanamnya. Seperti kubis yang akan rusak bila tersiram hujan. Atau seperti kentang yang akan mengecil bila terlalu banyak memiliki tunas saat di masa tanam. Tak berhenti sampai di situ ia bahkan tahu bagaimana sebaiknya menyimpan bahan makanan hasil panennya sehingga bisa bertahan dalam waktu yang lama.

Dalam pengolahan bahan makanan untuk nantinya bisa dinikmati, Ichiko kerap bereksperimen dari satu masakan ke masakan yang lainnya dengan berbekal ingatan saat dulu masih merasakan masakan ibunya. Layaknya filosofi makan orang Jepang yang sangat terpengaruh pada “the power of five” sebagai panduan dalam memasak, Ichiko sangat memperhatikan rasa, penyajian dan sikap dalam memakan masakannya.

Soal rasa ia mencoba bagaimana menghasilkan makanan yang nikmat dengan menakar rasa asin, manis, asam, pahit dan umami menjadi cita rasa yang menyenangkan. Dalam proses ia mempertimbangkan bagaimana sebaiknya bahan makanannya diolah; disajikan mentah-mentah, direbus, dikukus, digoreng atau dipanggang dengan oven. Dalam peyajian ia mengandalkan imajinasi, apakah nantinya masakan itu akan memiliki warna hitam, putih, merah, hijau, atau kuning. Serta berupaya agar masakannya bisa indah saat dilihat, beraroma sedap, memiliki rasa yang lezat, menyenangkan apabila disentuh hingga akhirnya bisa menimbulkan suasana khidmat yang mendamaikan pendengaran saat dinikmati.

Akhirnya, menyaksikan film berdurasi seratus dua puluh menit ini membuat saya bener-benar serasa dipukul sekaligus dirangkul dalam waktu yang bersamaan. Menyadarkan betapa saya pernah berkali-kali menyia-nyiakan setiap rizki makanan karena tidak mengerti bagaimana panjang dan sulitnya proses yang mesti mereka lalui untuk akhirnya bisa saya nikmati. Maka, kepada setiap butir nasi, remah-remah roti dan segala macam pangan yang pernah saya sia-siakan, di sini saya sampaikan permohonan maaf secara terbuka yang sedalam-dalamnya kepada kalian.




21092016

Puasa Pace

“Walking down the street, in one bloody cold night. Where everyone is blind, they show you how to feed your hate. Education now, war for tomorrow. And i do believe we’re living on a time bomb!”
All Angels Cry – Superman Is Dead.

***


Mblo, percayalah, seasu-asunya mantan kalean yang pergi dengan alesan ngga masuk akal –karena bokap doi sukanya makan bengbeng dingin, sementara kalean lebih suka makan bengbeng langsung—masih jauh lebih asu (oknum) rangorang yang terlibat dalam kasus pembakaran masjid di Tolikara, pembakaran gereja di Aceh Singkil, dan pembakaran vihara juga klenteng di Tanjung Balai. Sebab dalam menyikapi perbedaan yang ada, seenggaknya mantan kalean masih memiliki itikad baik untuk memiliki hubungan baru (baca: temenan aja) yang lebih selo dan ngga resek.

Memang ngga bisa dipungkiri, sewoles apapun perpisahan kadang meninggalkan luka bernanah yang teramat dalam dan butuh waktu lama untuk kering. Tapi sekali lagi mari kita coba renungi dalam hening, seenggaknya mantan kalean pergi tanpa menyalahi dan mengumbar-umbar bahwa dia yang paling benar. Sementara rangorang yang gampang maen bakar rumah peribadatan agama laen kerap melakukan pembenaran bahwa yang mereka lakukan demi membela agamanya. Bahwa mereka sedang berjuang untuk keyakinannya.

Woy! Mabok dogma lu over dosis, woy! Lagian hambok yak kalok emang yakin sama keyakinan sendiri gosah pake ngerusuhin keyakinan orang laen, woy! Jangan berlagak jagi Tuhan, woy!

(Yaelah Ncuk, gosah ngegas juga kalik...)

Duh, hiyak mblo, maap kebawa emosi. Sempitnya hati sama kerdilnya isi kepala sering bikin gue jadi gampang diprovokasi. Dan celakanya perkara ini besifat mewabah dan bisa lebih menular dari virus zika.

Jadi baeklah, tinimbang menambah daftar panjang tulisan-tulisan sampah penebar kebencian yang bisa menyebabkan naiknya hipertensi dan ujung-ujungnya mengakibatkan pembuluh darah pecah, barangkali akan lebih asoy kalok gue mencoba buat ngeshare perkara yang selo selo aja. Yah… meski tulisan ini ngga kalah nyampah, tapi kali aja seengganya bisa dijadiin temen sambil nunggu gebetan baru kalean yang kalok dandan ngalahin durasi persidangan kopi sianida. Iyo po ra? *tos

Ini cerita temen muslim gue, Herry Budiman. Tapi demi menjaga privasi dan demi kenyamanan bersama terpaksa gue harus menyamarkan namanya, maka sebut aja ia Kacrut. Sempat beberapa tahun bekerja sebagai konsultan pertambangan membuat Kacrut jarang pulang dan di rumah, karenanya gosah heran kalok kemudian doi sedikit bermasalah dalam perkara relationship-an dan berstatus jomblo sampe nyaris karatan (mesake yo, cah?)#halah #abaikan. Maksudnya membuat dia kerap melanglang buana dari ujung timur sampe ujung barat Indonesia bahkan beberapa negara tetangga. Masuk keluar hutan, naik turun gunung, dan menyusur hulu hilir sungai demi mencari dan menakar kadar kuantitas serta kualitas barang tambang yang memiliki potensi untuk digali.

Suatu waktu ia mendapat instruksi dari perusahaan tempatnya bekerja untuk meneliti kandungan emas pada satu lokasi di daerah Genyem, Papua. Meski waktu itu bertepatan dengan masuknya bulan Ramadan, yang nantinya berarti pula ia akan turun ke lapangan sambil melaksanakan ibadah puasa, tapi sebagai seorang profesional yang punya etos kerja jempolan sudah barang tentu Kacrut pantang untuk menapik tugas yang udah kadung dipercayakan kepadanya. Maka dengan spirit “bekerja seolah-olah ia akan hidup selamanya dan beribadah seolah-olah ia bakal mati sore nanti setelah nyepikin mba-mba warteg bahari”, Kacrut pun akhirnya berangkat ke lokasi dan melakukan dua perkara itu secara bersamaan sebaik mungkin.

Sekadar informasi, meneliti kandungan barang tambang merupakan pekerjaan bertahap yang dilakukan beberapa minggu dan dalam satu tim tak seberapa besar yang terdiri dari beberapa orang. Selain terdiri dari dua-tiga orang yang sengaja dikirim dari kota sebagai tenaga ahli, biasanya dalam tim tersebut juga terdapat beberapa pekerja lokal yang merupakan warga asli setempat yang tenaganya disewa sebagai –katakanlah, pemandu.

Bukan rahasia bahwa mayoritas penduduk Papua (87 persen di tahun 2005) merupakan pemeluk nasrani, maka tak heran bila pekerja lokal dalam tim Kacrut pun dominan merupakan nonmuslim. Sehingga tidak memiliki kewajiban berpuasa seperti halnya muslim yang kala itu tengah menjalani ibadah Ramadan tersebut. Dan itu bukan masalah. Dan memang perkara ibadah yang satu ini hakikatnya urusan personal masing-masing orang. Tapi ada satu hal yang menarik. Pace, sebut saja begitu (panggilan yang berarti bapak) salah seorang pekerja lokal yang jelas-jelas pemeluk nasrani dengan sikap percaya diri berujar, “Pak Kacrut puasa kah? Kalau bapa puasa. Sa puasa juga.” (Pak Kacrut puasa? kalo bapak puasa saya ikut puasa juga.)

Kacrut yang sempat tercengang demi mendengarnya seketika menanggapi, “Tara usah pace. Biarlah pace karja seperti biasa. Sa su biasa puasa, pace.” (ngga usah bapak, bapak kerja kaya biasa aja. Saya udah biasa puasa.)

“Ah, tara bapa. Sa tetap puasa” (ah, ngga pak, saya tetap puasa.)

Tak mau berdebat kacrut hanya tersenyum menghormati.

Lalu tim Kacrut pun masuk ke hutan menuju lokasi yang akan diteliti. Awal-awal keberangkatan terlihat pace begitu bersemangat. Tekadnya untuk ikut puasa sudah bulat. Tak bergeser niat andai pun ada ulat sagu yang begitu memikat. Di jidat pace seperti tertulis, “Ko larang sa puasa, sa tombak ko.” (Lu larang gue buat puasa, gue tombak luh.) #NgeriDahPokonya

Sekitar Tiga jam berlalu pace mulai goyah menyusuri jalur yang penuh belukar dan menanjak. Demi melihatnya kacrut pun bertanya, “Masi kuat, Pace?”

Meski tidak semantap di awal, pace menjawab, “Masi, pa kacrut.” Perjalanan pun terus berlanjut.

Sesampainya di lokasi dan memasuki jam makan siang pace mulai limbung, tak tegak lagi ia berdiri. Waktu istirahatnya digunakan untuk lebih banyak duduk, barangkali demi menghemat energi. Sekali lagi kacrut bertanya, “Bagaimana Pace? Masi kuat?”

“Mmasi…” Singkat menjawab pace kali ini, tapi terdengar ada getar di kalimatnya.

Usai istirahat pekerjaan berlanjut. Sementara para pekerja lokal membabat beberapa semak belukar, para pekerja ahli menakar seberapa besar kadar konsentrat yang berpotensi untuk digali. Hingga menjelang petang pekerjaan akhirnya dihentikan. Pace seakan sawan. Matanya bisa jadi sudah mulai kunang-kunang. Mungkin karena belum terbiasa berpuasa ditambah tidak makan sahur sudah barang tentu membuat tubuhnya tak bisa kompak untuk diajak bekerja berat. Pace semaput. Terhuyung-huyung mendekati kacrut, lalu dengan sedikit berbisik ia berkata, “Pa Kacrut… Besok saya tak puasa saja yah…”. Pace tumbang menjelang berbuka.

Pecah berantakan ketawa gue kali pertama denger cerita dari kacrut. Tapi sejurus kemudian ada perasaan salut pada pace yang satu itu. Walopun pace dalam cerita ini representasi dari penduduk mayoritas, tapi alih-alih tereak-tereak jemawa minta dihormati sebagai mayoritas, doi justru rela bersusah payah menahan lapar demi bisa menjaga hubungan yang hangat dengan tamunya sebagai perwakilan si minoritas. Sebenarnya tanpa harus ikut menahan lapar dan hanya menghormati tamunya yang sedang berpuasa sudahlah sebuah sikap yang terpuji. Tapi barangkali pace merasa menghormati saja belumlah cukup. Ia ingin meletakkan sikap tolerasi setinggi mungkin yang ia bisa. Pace tak mau setengah-setengah.

Dari cerita kacrut gue kerap membayangkan, andai cerita model pace di atas lebih banyak diperbincangkan dari pada cerita-cerita yang menyulut kebencian, mungkin kita akan menjadi terbiasa melihat perbedaan sebagai perkara yang lucu. Hingga pada akhirnya tak perlu menyikapi perbedaan seperti menyimpan api dalam sekam atau serupa menanam bom waktu.



15092016

Dongeng Kancil

“…dongeng memiliki pesan psikologis untuk pengembangan jiwa anak-anak, merangsang kecerdasan, bahasan, perkembangan emosi, moral, dan juga pembangun komunikasi yang kuat antara anak dan orang tua.”
Kak Seto dalam wawancara dengan Republika.


“Ga semua orang itung untung rugi dalam menjalani hidup. Beberapa cuma ingin menjalani dengan riang gembira dengan penuh cinta.”
Arman Dhani

***


Semua penghuni rimba belantara tentulah tahu, bahwa kambing putih merupakan saudara kambing hitam. Dan bukan rahasia bila sejak kecil kambing putih bersahabat karib dengan kancil, maka tak heran saat dalam kesulitan keduanya kerap saling membantu satu sama lain.

Pada suatu hari kambing putih dengan napas tersengal-sengal datang menemui kancil. Apa pasal? Ternyata kambing hitam selaku saudara kambing putih terancam hukuman gantung dan akan dieksekusi esok hari. Kambing putih berharap kancil dapat membantu saudaranya itu. Karena ia yakin kambing hitam sebenarnya tidak bersalah.

Mengetahui hal ini kancil pun pergi menemui kerbau selaku hakim di rimba belantara. Secara pribadi ia meminta hakim kerbau untuk menjelaskan duduk perkara dari kasus kambing hitam ini. Meski dengan setengah hati karena sudah lelah pada persidangan, hakim kerbau pun akhirnya tetap bercerita,
“Dua hari yang lalu serigala mengadukan kakinya yang patah kepadaku.”

“Kenapa bisa patah?” tanya kancil.

“Karena serigala terjatuh dari atap rumah kijang saat hendak mencuri barang milik kijang.”

“Lalu?”

“Serigala menuntut agar si pembuat atap rumah kijang dijatuhi hukuman, karena dianggapnya telah lalai dengan membuat genting yang rapuh dan mudah jatuh saat dipijak.”

“Lalu?”

“Rubah selaku pembuat genting akhirnya kupanggil. Tapi dia berkilah kelalaiannya disebabkan adanya burung merak yang tiba-tiba lewat. Kecantikan burung merak membuat konsentasinya hilang dalam sekejab.”

“Lalu?”

“Burung merak kupanggil. Saat akan kuketuk palu dan menjatuhkan hukuman merak mengatakan bahwa kecantikannya disebabkan oleh perhiasan yang ia kenakan.”

“Lalu?”

“Jerapah kupanggil karena dia yang membuat perhiasan bagi burung merak. Tapi saat hendak digantung ternyata jerapah lebih tinggi dari tiang gantung. Tak mungkin aku membuat tiang gantungan yang baru hanya demi bisa menggantung jerapah.”

“Lalu?”

“Aku memerintahkan prajurit untuk mencari pembuat perhiasan lain di rimba belantara ini, yang tidak terlalu tinggi sehingga bisa digantung di tiang gantung yang sudah ada. dan akhirnya para prajurit menemukan pembuat perhiasan yang lain yakni kambing hitam.”

“Wahai hakim kerbau,” ujar kancil kali ini, “Tahukan tuan bahwa kambing hitam menjadi pembuat perhiasan bukan atas kemauannya sendiri. dia hanya mematuhi perintah.”

“Perintah siapa?” tanya hakim kerbau.

“Perintah Tuhan!” seru kancil sedikit kesal pada hakim kerbau yang tak mau mencoba mengerti keadaan kambing hitam. Ia binatang lugu dan tak pandai membuat alasan. meski keinginan kambing hitam sebenarnya tak ingin menjadi pembuat perhiasan. Tapi mau tak mau ia mesti menjalani peran yang sudah ditentukan Tuhan.

Hakim kerbau akhirnya menyadari kekeliruannya, karena bila tidak, itu sama saja ia menyalahi dan akan berhadapan langsung dengan Tuhan. Akhirnya ia mencabut hukuman gantung dan tidak akan mencari kambing hitam lagi karena kenyataannya kambing hitam sebenarnya tidak terbukti bersalah.

***

Mengetahui hukuman gantung bagi kambing hitam telah dicabut oleh hakim kerbau, membuat serigala akhirnya menaruh dendam pada binatang ternak. Sambil bersembunyi di lubang persembunyian ia memangsa setiap binatang ternak yang ditemuinya. Kini keadaan rimba belantara menjadi mencekam. Banyak binatang yang merasa terancam saat harus mencari makan. Perihal ini membuat hakim kerbau gusar dan akhirnya mengeluarkan sayembara; barangsiapa yang bisa menangkap serigala hidup atau mati, dia akan dijadikan pejabat hutan.

Mendengar hadiah yang ditawarkan, membuat banyak binatang tertarik untuk bisa mengikuti sayembara. Mereka mencari segala cara untuk bisa memerangkap serigala. Tapi alih-alih berhasil menangkapnya, banyak binatang yang justru kehilangan nyawa karena kalah cerdik dan akhirnya hanya menjadi santapan serigala. Rimba belantara semakin mencekam karena kini serigala semakin nekat. Sudah berkali-kali ia menculik dan memangsa anak-anak binatang ternak.

Hakim kerbau nyaris hilang akal. Sebenarnya ia berharap kancil bisa mengikuti sayembara mengingat kecerdikannya sudah kerap menolong banyak binatang di seantero rimba. Tapi sepertinya kali ini kancil tak berminat untuk mengikuti sayembara. Sudah benar-benar gusar dan tak tahan menyimpan penasaran, hakim kerbau pun memanggil kancil guna bertanya.
“Mengapa kau tidak mengikuti sayembara ini?” tanya hakim kerbau begitu kancil datang.

“karena aku tak tertarik?” Singkat kancil menjawab.

“kenapa? Tidak kah hadiah yang di tawarkan menarik?”

“Terus terang aku tak tertarik menjadi pejabat. Biarlah jabatan itu dipegang keledai, bunglon, dan tuan hakim sediri.”

“Kalau begitu bagaimana kalau aku meminta tolong saja padamu?”

“Umm… Baiklah. Beri saya waktu beberapa hari.” Kata kancil seraya mohon diri.

Minggu pertama tak ada kabar dari kancil membuat hakim kerbau mulai khawatir. Minggu kedua juga tak ada berita yang mengabarkan keadaan kancil menjadikan hakim kerbau semakin ketar-ketir. Hingga minggu ketiga tak ada satu pun binatang di hutan yang mengetahui keberadaan kancil, membuat hakim kerbau mulai putus asa dan dilingkupi praduga bahwa kancil barangkali juga sudah menjadi korban kebuasan serigala. Batinnya nyilu memikirkan hal tersebut, mengingat bila kancil saja tak sanggup mengatasi licin dan liciknya serigala, maka binatang mana lagi yang bisa ia andalkan.

Namun di minggu keempat kekhawatiran hakim kerbau terjawab. Kancil muncul dengan sehat dan wajah yang berseri-seri. Disampingnya berdiri orang utan yang sedang menggotong mayat serigala yang mati tanpa ada sedikit pun bekas luka di tubuhnya.

Dihinggapi rasa senang sekaligus penasaran, hakim kerbau pun bertanya, “bagaimana kau bisa menangkap serigala tanpa ada sedikitpun tanda penganiayaan?”

Ringan kancil menjawab, “Pertama aku menghidari pertemuan langsung dengan serigala.”

“Bagaimana caranya?”

“Dengan mengetahui arah angin. Sebab serigala sangat mengandalkan indra penciumannya saat hendak mencari mangsa.”

“Lalu setelah itu?”

“Mencari tahu kelemahannya.”

“Apa kelemahan serigala?”

“kebiasaan serigala yang tidak pernah berubah-ubah bisa menjadi kelemahannya.”

“Lalu apa langkah selanjutnya?”

“Mempelajari kesukaan serigala.”

“Apa itu?”

“Darah.”

“lalu?”

“Aku mencari bambu lalu membuat sembilu. Kemudian sembilu itu kutancapkan berdiri di atas tanah dan melumurinya dengan darahku. Angin membawa bau darah itu hingga tercium oleh serigala yang akhirnya mendekat dan langsung menjilati darah yang ada di sembilu itu. Tentu saja ketajaman sembilu membuat lidah serigala berdarah. Tapi karena keserakahan dan kebiasaannya yang berulang-ulang, dia tidak menyadari bahwa darah yang ia jilati kini sebenarnya adalah darahnya sendiri. dan akhirnya ia pun mati karena kehabisan darah.” Kancil menutup percakapan dan undur diri untuk pulang.

***

(Disarikan dari buku Taktik Kancil jilid 2, Ach. Muchlis.)




08092016

Labirin

“Alangkah buruknya nilai kasih sayang yang meletakkan batu di satu sisi bangunan dan menghancurkan dinding di sisi lainnya.”
Kahlil Gibran.

***


Dia lelaki yang terjebak dalam labirin kenangan. Mencoba mencari jalan keluar tanpa sudi memintas jalan. Menyusuri setiap kelok dan persimpangan, membaca jejak serupa kode enigma di setiap kemungkinan kemungkinan. Beberapa kali ia memang hanya berputar dan bersinggungan di jalan yang sama. Tapi tak mengapa, baginya itu masih lebih baik dari pada mesti memotong jalan dan mengelabuhi diri sendiri.

Adalah abu abu, warna yang memenuhi setiap dinding labirin itu. Senada warna awan mendung yang menggelantung. Cat di beberapa sisi dinding mulai pudar, mengelupas, bahkan perlahan dilumat pelapukan. Mungkin karena ada bagian awan mendung yang akhirnya jenuh lalu runtuh menjadi hujan, membuat beberapa sisi dinding yang lapuk tadi kemudian berlubang. Dari celah terbuka itu sesekali ia mencuri pandang ke luar labirin. Lalu dengan malu malu melihat berupa rupa bunga segar yang mulai bertumbuh mekar, kelopak cantiknya melambai lambai seperti meminta untuk dipetik. Hipokrit bila lelaki itu berkilah sama sekali tak pernah tergoda untuk berhenti saja dan merobohkan dinding, guna bisa menjumpai bunga bunga di luar sana.

Tapi kemudian ia berpikir ulang, labirinnya bukanlah dinding Berlin yang dibangun sebagai pemisah antara tirani dan kemanusiaan. Meski nampak kelabu, namun dinding itu dibangun dari batu batu harapan yang diguratkannya bersama wanita bermata teduhnya. “Manusia bisa hidup berhari hari tanpa remah remah roti. Tapi takkan mungkin bisa hidup sedetik pun tanpa harapan.” Begitulah guratan kalimat dari wanita bermata teduh itu pada batu pertamanya. Dan sejak saat itu mereka menyusun bertumpuk tumpuk harapan di sana.

Kadang wanita bermata teduhnya menulisi beberapa batu dengan aksara aksara yang belum dipahami oleh si lelaki. Tak apa. Biarlah waktu yang nanti akan membantunya mengerti. Untuk sementara ini si lelaki hanya akan menyusun batu batu itu dan menandainya sebagai pekerjaan rumah di kemudian hari.

Kadang si lelaki kehilangan kalimat hingga akhirnya hanya akan menuliskan seluruh abjad yang ia tahu pada bahu batu batu. Tak masalah. Serupa doa doa dalam hening biar saja nanti Tuhan yang merangkai abjad itu menjadi kalimat kalimat terbaik untuknya. Tak lupa sebelum merekatkan batu itu pada batu batu yang lain, wanita bermata teduhnya akan selalu membubuhi kata “Aamiin” di kaki kaki batu tadi.

Dengan cara begitu mereka bisa saling menggenggam satu sama lain. Sebentuk genggaman paling kencang yang pernah dilakukan sepasang anak manusia.

Dan waktu berlalu terasa sesingkat senja. Umumnya hikayat purba yang dirajut dari tiga babak, kisah lelaki bersama gadis bermata teduh itu pun berlanjut tahap. Saat batu batu harapan mereka mulai menunjukkan bentuk namum belum sempat bertudung atap, leluhur dari gadis bermata teduh mengutus seekor gagak hitam. Mengirimi satu pesan yang mentitahkannya untuk segera pulang barang sejenak sebelum senja khatam, sebelum petang datang. Ada satu dua nubuat yang tak bisa ditunda tunda lagi perkaranya, demikian isi pesan singkat itu bertanda seru. Meski firasat ganjil sempat membebat mereka, tapi pesan itu sudah barang tentu serupa sabda panditha ratu yang pantang untuk ditampik bahkan diulur ulur tenggang waktu. Maka tak ambil tempo, bertolak pulang lah gadis bermata teduh itu dengan langkah masygul memanggul seribu tanda tanya.

Sehari, dua hari, bahkan tak terasa belasan purnama sudah si lelaki menunggu wanita bermata teduh itu kembali. Namun kabar asing datang mengirim pesan agar si lelaki melupakan saja gadis bermata teduhnya. Ia telah menemukan rumah dengan seorang lelaki lain di dalamnya. Sebuah rumah yang dibangun dari dinding senyum para leluhurnya. Ringan kabar itu dihembuskan, seringan jatuhnya dedaunan yang layu mengkerut di musim dingin.

Lelaki itu tertegun serasa dunia kedap seketika. Sepertinya baru kemarin mereka mulai menyusun batu batu harapan itu, tapi ternyata saat ini batu batu mereka telah menjelma menjadi sebangun ruang dengan dinding yang menjulang. Berpola serupa oktagonal jejaring laba laba yang bersekat sekat, bangunan itu membentuk labirin bertabiat memerangkap dan lelaki itu kini terjebak di dalamnya.

Tidakkah lelaki itu berpikir untuk pulang?

Ya, tentu saja ia menginginkan itu. Labirinnya bukanlah “dinding ratapan” tempat bagi kaum ortodok Yahudi memiliki alasan untuk pulang. Meski labirinnya hanyalah persinggahan, tapi ia tak mau terburu-buru keluar dari sana dengan merobohkan setiap dinding yang ada. Sekali lagi ia hanya ingin menyusur setiap jalur dan keluar dengan benar. Bagaimana pun pada satu masa di tempat itu ia pernah –dan masih- menaruh percaya pada harapan. Mungkin saat keluar nanti ia memang tak bersama dengan wanita bermata teduhnya. Tapi bukankah Tuhan sudah berjanji pada dua perkara? Jika sesuatu bukanlah hal yang tertunda, maka sesuatu itu akan terganti menjadi perkara yang baru. Yang lebih baik menurutNya tentu. Lelaki itu mengimani bahwa Tuhan akan mengirimkan seseorang yang mampu membantunya merangkai kalimat terbaik dari setiap abjad yang dulu pernah ia tulisi di batu batu. Seperti memecah kode enigma dan menjadi petunjuk arah untuk nantinya bisa keluar melalui pintu.



01092016