Minggu, 30 Juni 2019

Puasa Pace

“Walking down the street, in one bloody cold night. Where everyone is blind, they show you how to feed your hate. Education now, war for tomorrow. And i do believe we’re living on a time bomb!”
All Angels Cry – Superman Is Dead.

***


Mblo, percayalah, seasu-asunya mantan kalean yang pergi dengan alesan ngga masuk akal –karena bokap doi sukanya makan bengbeng dingin, sementara kalean lebih suka makan bengbeng langsung—masih jauh lebih asu (oknum) rangorang yang terlibat dalam kasus pembakaran masjid di Tolikara, pembakaran gereja di Aceh Singkil, dan pembakaran vihara juga klenteng di Tanjung Balai. Sebab dalam menyikapi perbedaan yang ada, seenggaknya mantan kalean masih memiliki itikad baik untuk memiliki hubungan baru (baca: temenan aja) yang lebih selo dan ngga resek.

Memang ngga bisa dipungkiri, sewoles apapun perpisahan kadang meninggalkan luka bernanah yang teramat dalam dan butuh waktu lama untuk kering. Tapi sekali lagi mari kita coba renungi dalam hening, seenggaknya mantan kalean pergi tanpa menyalahi dan mengumbar-umbar bahwa dia yang paling benar. Sementara rangorang yang gampang maen bakar rumah peribadatan agama laen kerap melakukan pembenaran bahwa yang mereka lakukan demi membela agamanya. Bahwa mereka sedang berjuang untuk keyakinannya.

Woy! Mabok dogma lu over dosis, woy! Lagian hambok yak kalok emang yakin sama keyakinan sendiri gosah pake ngerusuhin keyakinan orang laen, woy! Jangan berlagak jagi Tuhan, woy!

(Yaelah Ncuk, gosah ngegas juga kalik...)

Duh, hiyak mblo, maap kebawa emosi. Sempitnya hati sama kerdilnya isi kepala sering bikin gue jadi gampang diprovokasi. Dan celakanya perkara ini besifat mewabah dan bisa lebih menular dari virus zika.

Jadi baeklah, tinimbang menambah daftar panjang tulisan-tulisan sampah penebar kebencian yang bisa menyebabkan naiknya hipertensi dan ujung-ujungnya mengakibatkan pembuluh darah pecah, barangkali akan lebih asoy kalok gue mencoba buat ngeshare perkara yang selo selo aja. Yah… meski tulisan ini ngga kalah nyampah, tapi kali aja seengganya bisa dijadiin temen sambil nunggu gebetan baru kalean yang kalok dandan ngalahin durasi persidangan kopi sianida. Iyo po ra? *tos

Ini cerita temen muslim gue, Herry Budiman. Tapi demi menjaga privasi dan demi kenyamanan bersama terpaksa gue harus menyamarkan namanya, maka sebut aja ia Kacrut. Sempat beberapa tahun bekerja sebagai konsultan pertambangan membuat Kacrut jarang pulang dan di rumah, karenanya gosah heran kalok kemudian doi sedikit bermasalah dalam perkara relationship-an dan berstatus jomblo sampe nyaris karatan (mesake yo, cah?)#halah #abaikan. Maksudnya membuat dia kerap melanglang buana dari ujung timur sampe ujung barat Indonesia bahkan beberapa negara tetangga. Masuk keluar hutan, naik turun gunung, dan menyusur hulu hilir sungai demi mencari dan menakar kadar kuantitas serta kualitas barang tambang yang memiliki potensi untuk digali.

Suatu waktu ia mendapat instruksi dari perusahaan tempatnya bekerja untuk meneliti kandungan emas pada satu lokasi di daerah Genyem, Papua. Meski waktu itu bertepatan dengan masuknya bulan Ramadan, yang nantinya berarti pula ia akan turun ke lapangan sambil melaksanakan ibadah puasa, tapi sebagai seorang profesional yang punya etos kerja jempolan sudah barang tentu Kacrut pantang untuk menapik tugas yang udah kadung dipercayakan kepadanya. Maka dengan spirit “bekerja seolah-olah ia akan hidup selamanya dan beribadah seolah-olah ia bakal mati sore nanti setelah nyepikin mba-mba warteg bahari”, Kacrut pun akhirnya berangkat ke lokasi dan melakukan dua perkara itu secara bersamaan sebaik mungkin.

Sekadar informasi, meneliti kandungan barang tambang merupakan pekerjaan bertahap yang dilakukan beberapa minggu dan dalam satu tim tak seberapa besar yang terdiri dari beberapa orang. Selain terdiri dari dua-tiga orang yang sengaja dikirim dari kota sebagai tenaga ahli, biasanya dalam tim tersebut juga terdapat beberapa pekerja lokal yang merupakan warga asli setempat yang tenaganya disewa sebagai –katakanlah, pemandu.

Bukan rahasia bahwa mayoritas penduduk Papua (87 persen di tahun 2005) merupakan pemeluk nasrani, maka tak heran bila pekerja lokal dalam tim Kacrut pun dominan merupakan nonmuslim. Sehingga tidak memiliki kewajiban berpuasa seperti halnya muslim yang kala itu tengah menjalani ibadah Ramadan tersebut. Dan itu bukan masalah. Dan memang perkara ibadah yang satu ini hakikatnya urusan personal masing-masing orang. Tapi ada satu hal yang menarik. Pace, sebut saja begitu (panggilan yang berarti bapak) salah seorang pekerja lokal yang jelas-jelas pemeluk nasrani dengan sikap percaya diri berujar, “Pak Kacrut puasa kah? Kalau bapa puasa. Sa puasa juga.” (Pak Kacrut puasa? kalo bapak puasa saya ikut puasa juga.)

Kacrut yang sempat tercengang demi mendengarnya seketika menanggapi, “Tara usah pace. Biarlah pace karja seperti biasa. Sa su biasa puasa, pace.” (ngga usah bapak, bapak kerja kaya biasa aja. Saya udah biasa puasa.)

“Ah, tara bapa. Sa tetap puasa” (ah, ngga pak, saya tetap puasa.)

Tak mau berdebat kacrut hanya tersenyum menghormati.

Lalu tim Kacrut pun masuk ke hutan menuju lokasi yang akan diteliti. Awal-awal keberangkatan terlihat pace begitu bersemangat. Tekadnya untuk ikut puasa sudah bulat. Tak bergeser niat andai pun ada ulat sagu yang begitu memikat. Di jidat pace seperti tertulis, “Ko larang sa puasa, sa tombak ko.” (Lu larang gue buat puasa, gue tombak luh.) #NgeriDahPokonya

Sekitar Tiga jam berlalu pace mulai goyah menyusuri jalur yang penuh belukar dan menanjak. Demi melihatnya kacrut pun bertanya, “Masi kuat, Pace?”

Meski tidak semantap di awal, pace menjawab, “Masi, pa kacrut.” Perjalanan pun terus berlanjut.

Sesampainya di lokasi dan memasuki jam makan siang pace mulai limbung, tak tegak lagi ia berdiri. Waktu istirahatnya digunakan untuk lebih banyak duduk, barangkali demi menghemat energi. Sekali lagi kacrut bertanya, “Bagaimana Pace? Masi kuat?”

“Mmasi…” Singkat menjawab pace kali ini, tapi terdengar ada getar di kalimatnya.

Usai istirahat pekerjaan berlanjut. Sementara para pekerja lokal membabat beberapa semak belukar, para pekerja ahli menakar seberapa besar kadar konsentrat yang berpotensi untuk digali. Hingga menjelang petang pekerjaan akhirnya dihentikan. Pace seakan sawan. Matanya bisa jadi sudah mulai kunang-kunang. Mungkin karena belum terbiasa berpuasa ditambah tidak makan sahur sudah barang tentu membuat tubuhnya tak bisa kompak untuk diajak bekerja berat. Pace semaput. Terhuyung-huyung mendekati kacrut, lalu dengan sedikit berbisik ia berkata, “Pa Kacrut… Besok saya tak puasa saja yah…”. Pace tumbang menjelang berbuka.

Pecah berantakan ketawa gue kali pertama denger cerita dari kacrut. Tapi sejurus kemudian ada perasaan salut pada pace yang satu itu. Walopun pace dalam cerita ini representasi dari penduduk mayoritas, tapi alih-alih tereak-tereak jemawa minta dihormati sebagai mayoritas, doi justru rela bersusah payah menahan lapar demi bisa menjaga hubungan yang hangat dengan tamunya sebagai perwakilan si minoritas. Sebenarnya tanpa harus ikut menahan lapar dan hanya menghormati tamunya yang sedang berpuasa sudahlah sebuah sikap yang terpuji. Tapi barangkali pace merasa menghormati saja belumlah cukup. Ia ingin meletakkan sikap tolerasi setinggi mungkin yang ia bisa. Pace tak mau setengah-setengah.

Dari cerita kacrut gue kerap membayangkan, andai cerita model pace di atas lebih banyak diperbincangkan dari pada cerita-cerita yang menyulut kebencian, mungkin kita akan menjadi terbiasa melihat perbedaan sebagai perkara yang lucu. Hingga pada akhirnya tak perlu menyikapi perbedaan seperti menyimpan api dalam sekam atau serupa menanam bom waktu.



15092016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar