Minggu, 30 Juni 2019

Labirin

“Alangkah buruknya nilai kasih sayang yang meletakkan batu di satu sisi bangunan dan menghancurkan dinding di sisi lainnya.”
Kahlil Gibran.

***


Dia lelaki yang terjebak dalam labirin kenangan. Mencoba mencari jalan keluar tanpa sudi memintas jalan. Menyusuri setiap kelok dan persimpangan, membaca jejak serupa kode enigma di setiap kemungkinan kemungkinan. Beberapa kali ia memang hanya berputar dan bersinggungan di jalan yang sama. Tapi tak mengapa, baginya itu masih lebih baik dari pada mesti memotong jalan dan mengelabuhi diri sendiri.

Adalah abu abu, warna yang memenuhi setiap dinding labirin itu. Senada warna awan mendung yang menggelantung. Cat di beberapa sisi dinding mulai pudar, mengelupas, bahkan perlahan dilumat pelapukan. Mungkin karena ada bagian awan mendung yang akhirnya jenuh lalu runtuh menjadi hujan, membuat beberapa sisi dinding yang lapuk tadi kemudian berlubang. Dari celah terbuka itu sesekali ia mencuri pandang ke luar labirin. Lalu dengan malu malu melihat berupa rupa bunga segar yang mulai bertumbuh mekar, kelopak cantiknya melambai lambai seperti meminta untuk dipetik. Hipokrit bila lelaki itu berkilah sama sekali tak pernah tergoda untuk berhenti saja dan merobohkan dinding, guna bisa menjumpai bunga bunga di luar sana.

Tapi kemudian ia berpikir ulang, labirinnya bukanlah dinding Berlin yang dibangun sebagai pemisah antara tirani dan kemanusiaan. Meski nampak kelabu, namun dinding itu dibangun dari batu batu harapan yang diguratkannya bersama wanita bermata teduhnya. “Manusia bisa hidup berhari hari tanpa remah remah roti. Tapi takkan mungkin bisa hidup sedetik pun tanpa harapan.” Begitulah guratan kalimat dari wanita bermata teduh itu pada batu pertamanya. Dan sejak saat itu mereka menyusun bertumpuk tumpuk harapan di sana.

Kadang wanita bermata teduhnya menulisi beberapa batu dengan aksara aksara yang belum dipahami oleh si lelaki. Tak apa. Biarlah waktu yang nanti akan membantunya mengerti. Untuk sementara ini si lelaki hanya akan menyusun batu batu itu dan menandainya sebagai pekerjaan rumah di kemudian hari.

Kadang si lelaki kehilangan kalimat hingga akhirnya hanya akan menuliskan seluruh abjad yang ia tahu pada bahu batu batu. Tak masalah. Serupa doa doa dalam hening biar saja nanti Tuhan yang merangkai abjad itu menjadi kalimat kalimat terbaik untuknya. Tak lupa sebelum merekatkan batu itu pada batu batu yang lain, wanita bermata teduhnya akan selalu membubuhi kata “Aamiin” di kaki kaki batu tadi.

Dengan cara begitu mereka bisa saling menggenggam satu sama lain. Sebentuk genggaman paling kencang yang pernah dilakukan sepasang anak manusia.

Dan waktu berlalu terasa sesingkat senja. Umumnya hikayat purba yang dirajut dari tiga babak, kisah lelaki bersama gadis bermata teduh itu pun berlanjut tahap. Saat batu batu harapan mereka mulai menunjukkan bentuk namum belum sempat bertudung atap, leluhur dari gadis bermata teduh mengutus seekor gagak hitam. Mengirimi satu pesan yang mentitahkannya untuk segera pulang barang sejenak sebelum senja khatam, sebelum petang datang. Ada satu dua nubuat yang tak bisa ditunda tunda lagi perkaranya, demikian isi pesan singkat itu bertanda seru. Meski firasat ganjil sempat membebat mereka, tapi pesan itu sudah barang tentu serupa sabda panditha ratu yang pantang untuk ditampik bahkan diulur ulur tenggang waktu. Maka tak ambil tempo, bertolak pulang lah gadis bermata teduh itu dengan langkah masygul memanggul seribu tanda tanya.

Sehari, dua hari, bahkan tak terasa belasan purnama sudah si lelaki menunggu wanita bermata teduh itu kembali. Namun kabar asing datang mengirim pesan agar si lelaki melupakan saja gadis bermata teduhnya. Ia telah menemukan rumah dengan seorang lelaki lain di dalamnya. Sebuah rumah yang dibangun dari dinding senyum para leluhurnya. Ringan kabar itu dihembuskan, seringan jatuhnya dedaunan yang layu mengkerut di musim dingin.

Lelaki itu tertegun serasa dunia kedap seketika. Sepertinya baru kemarin mereka mulai menyusun batu batu harapan itu, tapi ternyata saat ini batu batu mereka telah menjelma menjadi sebangun ruang dengan dinding yang menjulang. Berpola serupa oktagonal jejaring laba laba yang bersekat sekat, bangunan itu membentuk labirin bertabiat memerangkap dan lelaki itu kini terjebak di dalamnya.

Tidakkah lelaki itu berpikir untuk pulang?

Ya, tentu saja ia menginginkan itu. Labirinnya bukanlah “dinding ratapan” tempat bagi kaum ortodok Yahudi memiliki alasan untuk pulang. Meski labirinnya hanyalah persinggahan, tapi ia tak mau terburu-buru keluar dari sana dengan merobohkan setiap dinding yang ada. Sekali lagi ia hanya ingin menyusur setiap jalur dan keluar dengan benar. Bagaimana pun pada satu masa di tempat itu ia pernah –dan masih- menaruh percaya pada harapan. Mungkin saat keluar nanti ia memang tak bersama dengan wanita bermata teduhnya. Tapi bukankah Tuhan sudah berjanji pada dua perkara? Jika sesuatu bukanlah hal yang tertunda, maka sesuatu itu akan terganti menjadi perkara yang baru. Yang lebih baik menurutNya tentu. Lelaki itu mengimani bahwa Tuhan akan mengirimkan seseorang yang mampu membantunya merangkai kalimat terbaik dari setiap abjad yang dulu pernah ia tulisi di batu batu. Seperti memecah kode enigma dan menjadi petunjuk arah untuk nantinya bisa keluar melalui pintu.



01092016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar