Minggu, 29 Agustus 2021

Perhiasan Berbahan Tanduk Sapi Indonesia Tembus Pasar Global

 



Menempati salah satu stand dalam perhelatan Trade Expo Indonesia yang digelar selama lima hari di ICE BSD Tangerang, produk Carmel tampak cerlang diantara puluhan stand yang lainnya.

Tak mengherankan, sebab produk yang ditawarkan merek dagang berwarna merah hitam tersebut, memang menjajakan perhiasan wanita yang mengkhususkan diri menyasar pada produk kalung.

Namun demikian hati-hati terkecoh, meski termasuk kedalam produk perhiasan, siapa sangka bahan dasar pembuatan mata kalung dari produk-produk Carmel, murni terbuat dari limbah tanduk hewan ternak yang didesain secara apik dan mengangkat nilai-nilai Khazanah Nusantara.

"Kita produknya kalung dari tanduk. Itu bahannya ada tanduk kerbau dan sapi, tapi basis desainnya semua kita dari batik," tutur pemilik sekaligus desainer Carmel, Cita Murfi saat ditemui Akurat.co akhir pekan lalu.

Wanita paruh baya itu menjelaskan, bahwa 100 persen produknya merupakan hasil dari desainnya sendiri. Hal itu dapat dibuktikan dengan Surat Penyataan Lisensi yang sudah berhasil ia kantongi. Produk Carmel resmi berstempel HaKI.

"Produk ini kita desain sendiri, dulu bermotif kebaya, sekarang kita bermotif sanggul, dan ya, kita memang selalu temanya berubah-ubah," jelasnya.

Ia menuturkan, dalam melanggeng kibarkan bendera Carmel hingga bisa bertahan lima tahun lamanya, Cita setidaknya dibantu oleh sekitar 11 orang perajin dan desainer, dimana dengan jumlah pekerja segitu, pihaknya mampu menghasilkan 100 unit produk kalung dalam seminggu.

Kendati tak bisa menyebutkan angka pendapatan yang diterimanya dalam menggeluti usahanya, namun Cita mengatakan rata-rata produk Carmel dibanderol dengan harga kisaran Rp350.000 hingga Rp1,2 juta perunitnya.



Terkait pemasaran, tak hanya mengandalkan penjualan online, Carmel juga memiliki sebuah toko offline di kawasan selatan Jakarta. Selain itu, Cita juga menjajakan produknya di beberapa outlet yang tersebar di wilayah ibu kota.

"Toko kita di Kemang, terus kita taruh juga di Kemang village, di alun-alun, dan di beberapa tempat lainnya, ya. Kalau yang kita titipkan di tempat-tempat lain, bukan toko sendiri, kita pakai sistem konsinyasi," terangnya.

Tak hanya beredar di pasar lokal, produk perhiasan Carmel juga sudah menyeberangi lautan hingga sempat mendarat di tanah peradaban Minoa, Eropa.

"Kita pernah ekspor ke Jerman, terus kita sempat pameran ke Hongkong juga beberapa waktu lalu," kata dia.

Sebagai salah satu pelaku usaha yang sudah dapat dikatakan sukses mengirimkan produknya ke pasar global, menurut hematnya, regulasi terkait ekspor di republik ini relatif sudah cukup dipermudah. Tinggal bagaimana para pelaku usaha mau benar-benar serius atau tidak melakukan ekspor.

Ia melanjutkan, jika boleh memberi saran, bagi pelaku Usaha Kecil Mikro (UKM) yang hendak berniat mengikuti jejaknya untuk bisa melempar produknya ke pasar mancanegara, maka salah satu hal utama yang perlu diperhatikan yakni soal mengetahui dengan rinci peraturan suatu negara yang bakal menjadi tujuan ekspor produknya. Sebab, sedikit menjumput pribahasa lama, lain padang tentu saja lain ilang, lain lubuk lain pula ikannya.

"Setiap negara punya standar peraturan. Misal bisa diambil dari kesehatannya, karena ini termasuk barang natural ya, itu kita mesti melengkapi surat-suratnya. Yang penting sebelum kita ekspor kita harus tahu dengan jelas kita mesti apa, kita lengkapi dulu itu semua," kata dia.

Pada kesempatan itu pula ia mewanti-wanti teman-teman para pelaku usaha lain, khususnya yang bergerak di bidang kerajinan untuk bisa menciptakan produk-produk yang variatif dan inovatif, serta tetap bangga menggunakan identitasnya sendiri.

"Kita jangan nyontek dari luar negeri, tapi kita create, kita banyak kok yang bisa dikreasikan, dan selama ini saya merasa pemerintah dukung kita kok kalau mau berkreasi," pungkas Cita kemudian.[]

https://akurat.co/perhiasan-berbahan-tanduk-sapi-indonesia-tembus-pasar-global

Patung Limbah Akar Jati, Dicari Pasar Eropa



Seperti Midas dalam mitologi Yunani yang mampu mengubah apapun menjadi emas hanya dengan menyentuhnya, pun kira-kira begitu yang dilakukan oleh seorang Agus K, lelaki asal Jepara, Jawa Tengah.

Melalui sentuhan tangan dinginnya, seonggok akar pohon jati yang sebelumnya merupakan limbah tak terpakai, mampu ia sulap menjadi produk kriya bernilai seni tinggi hingga bisa dihargai jutaan rupiah di pasar mancanegara.

Menyemarakan perhelatan Trade Expo Indonesia yang digelar pada tanggal 11 hingga 15 Oktober 2017 di ICE BSD Tangerang, pria berusia 43 tahun itu memamerkan beragam hasil buah tangannya yang didominasi dengan karakter binatang, seperti; badak, merak, kijang, ikan-ikan, anjing, kucing, gajah, rusa serta banyak lagi yang lainnya.




Singkat Agus mengisahkan, mula usahanya dirintis sejak tahun 1999. Kala itu ia mengawali kancah wirausaha dengan berjibaku pada bisnis produk kayu. Namun, musabab ketersediaan pohon jati yang kian hari kian sulit untuk dicari, akhirnya enam tahun lalu ia memutuskan mensubtitusi bahan baku kayu dan beralih memanfaatkan material akar yang sempat dipandang sebagai limbah.

"Ini produk dari bahan-bahan akar jati, yang kalau orang bilang dulu ngga kepake. Jadi kalau di furnitur itu kan yang kepake kayunya, terus lambat laun cari kayunya makin kesulitan. Nah, di Perhutani atau di hutan rakyat itu masih banyak bahan-bahan sisa dari tebangan, kaya akar atau ranting yang ngga kepake. Jadi kita manfaatkan bagaimana caranya bisa jadi barang yang ada nilai jualnya," ujarnya saat ditemui Akurat.co akhir pekan lalu.

Dalam melanggengkan usahanya, perajin sekaligus pemilik bendera Veda Sabrina tersebut biasa dibantu oleh sekitar 20 pekerja. Selain itu ia juga memiliki 10 perajin binaan guna bisa membantu dalam memenuhi tingginya jumlah permintaan yang selama ini berdatangan.

"Di tempat kita sendiri itu ada sekitar 20 orang karyawan, tapi kita punya binaan perajin, ada sampai 10 binaan. Masing-masing binaan kita punya karyawan yang jumlahnya sekitar 20 orang, jadi ya ada dua ratusan perajinlah jumlah kasarnya," jelasnya.

Agus menuturkan, pembinaan yang langsung ditangani oleh dirinya tersebut meliputi arahan dalam membuat patung, pemberian bahan baku, serta terkait dengan permodalan.

"Jadi apa yang nanti diproduksi mereka (para perajin binaan Agus-RED) itu dikirim ke kita. Tapi kalau mereka sudah siap mandiri, tidak masalah bila mau mandiri sendiri. Bisa aja kalau memang mereka misalnya dapat pembeli lain," imbuhnya.

Agus menjelaskan, dalam pemberian upah kepada perajin ia memegang sistem borongan. Dimana rata-rata perajin yang sudah memiliki jam terbang tinggi mampu menghasilkan sepuluh model patung dalam seminggu.

"Tapi kalau masih belajar paling 2-3 aja. malah belum tentu jadi. Karena kerajinan ini kan perlu kreasi imajinasi sendiri," ujarnya.

Ia menambahkan, untuk para perajin baru yang masih menjadi binaannya tentu pakai sistem lain dan ada kompensasinya.

Terkait harga produk hasil kerajinannya berkisar dari harga Rp50.000 sampai Rp13 juta. Ia menambahkan, sekali waktu pernah membuat produk limited editional yang dijual dengan sistem lelang dan berhasil ketuk palu di harga Rp15 juta.

"Kita pernah bikin dinosaurus dulu, panjang 8 meter tinggi 3 meter. Laku Rp15 juta, yang beli orang Eropa," imbuhnya.

Adapun pemasaran, dia biasa melakukan sistem penjualan daring dan tak memiliki toko. Namun begitu, bila ada calon pelanggan yang berniat melihat-lihat koleksi produk Veda Sabrina, bisa langsung mengunjungi bengkel sekaligus galeri miliknya yang terletak di Desa Langon 10/5, Tahunan 59425, Jepara.

Dikatakannya, kendati bendera usahanya kurang begitu santer terdengar di pasar lokal, namun produk olahan akar jatinya memiliki pasar utama nun jauh dibelahan bumi seberang, Eropa.

"Kita yang utama di Belanda dan di Inggris. Selain itu ada yang kecil-kecil ngga full satu kontainer, itu ke India, Korea, China... Ke dua negara itu (Belanda dan Inggris) dalam sebulan bisa kirim 2 sampai 3 kontainer. Nilainya kalau dirupiahkan mungkin bisa sampai Rp700 sampai Rp800 juta lah. Itu belum yang termasuk yang kecil-kecil tadi," terangnya.

Pada kesempatan itu pula ia menuturkan, jika boleh sedikit memberi masukan bagi para pelaku UKM yang saat ini barangkali baru merintis usaha, dan berniat untuk mengekspor produknya, ada baiknya, terlebih dulu bisa belajar atau menumpang nama dari perusahaan eksportir yang sudah mapan.

"Kalau sertifikat belum bisa ekspor langsung, sebenarnya ada cara lain, itu ada perusahaan lain, yang sebenarnya bisa kita mintai tolong untuk pinjam namanya untuk ekspor. Tapi sistem sama aja, nanti kita bayar pajak ke mereka, nah, mereka nanti yang bayar pajak ke pemerintah, itu yang pertama," jelasnya.

Kemudiam, kata Agus melanjutkan, cara kedua yang bisa dipakai bagi UKM pendatang baru yakni dengan membuka jaringan atau mengenal pihak keagenan kapal.

"Mereka kadang awam soal ekspor itu sendiri. Ngga tau apa yang harus dilakukan. Biasanya kalau pengen tau ya kenal aja dulu sama orang shipping agent atau keagenan kapal, nanti akan dibantu soal pengurusan dokumennya," imbuhnya.

Ia mengingatkan, sebelum langkah-langkah itu dilakukan, tentunya para pelaku UKM terlebih dulu harus memiliki kontak seseorang atau perusaahan di negara tujuan ekspornya.

"Tentunya harus punya kontak orang disana, kita kirim dulu satu atau dua barang kita buat pasar disana, kalau oke kan mereka mungkin akan beli lagi dalam jumlah yang lebih banyak," kata dia

Bukan hanya itu, langkah yang bisa diambil adalah dengan sering mengikuti ajang pameran yang digelar baik oleh pemerintah ataupun swasta.

"Yang mau memulai sebaiknya harus sering ikutan pameran kaya gini, soalnya bagus sebenarnya, banyak orang asing dateng... Atau pameran apapun. Ikut aja kalau bisa. Contohnya, saya pernah di Singapura pernah ikut pameran, biar dari dana sendiri, saya biasanya ikut itu untuk biar punya kontak dulu dengan orang sana," jelasnya.

Disinggung mengenai tantangan, Agus mengatakan kerap menemui kendala saat memasuki musim penghujan. Hal itu lantaran bahan baku limbah akar yang dicarinya menjadi sulit untuk dijumpai.

Selain itu, masalah sulitnya mendapatkan suntikan modal juga merupakan batu sandungan yang memuat usahanya lambat untuk bisa berkembang.

"Buat UKM seperti saya, mengajuan permodalan tidak segampang yang kita bayangkan. Walau omzet tinggi tapi kalau pinjam dana di bank kan yang pertama dilihat aset. Kalau pun kita punya aset, terus pinjam di bank, nilainya juga ngga sebanding dengan aset yang kita miliki. Jadi selama ini saya jalan dengan apa yang saya punya ngga pinjam bank," tandasnya.

Selanjutnya, menurut Agus, pemerintah diharapkan bisa lebih sering mempromosikan produk UKM keluar negeri. Salah satu jalannya yang bisa ditempuh dengan memberi fasilitas pameran.

"Dalam arti bila adakan pameran bisa dengan biaya yang terjangkau oleh kita.
Banyak teman-teman UKM kita di daerah itu mereka takut. Maksudnya, mereka udah bayar mahal, belum tentu sesuai dengan hasil yang didapat nantinya," tandas Agus.

Ia menambahkan, pemerintah juga mesti lebih memperhatikan UKM-UKM di pelosok daerah yang selama ini belum tersentuh padahal punya potensi untuk mendapat pembinaan.

"UKM yang dibawah itu masih banyak yang punya potensi tapi belum tersentuh mungkin karena keterbatasan Pemerintah untuk bisa mencapai wilayah tertentu. Binaan saya misalnya, itu ada yang sampai di Ngawi. Di dalam hutan. Ituu mereka belum tersentuh," pungkas Agus kemudian.[]



https://akurat.co/patung-limbah-akar-jati-dicari-pasar-eropa

Produk Berbahan Ban Bekas Indonesia Diekspor Hingga Eropa



Sambil menyelam minum air. Begitu pesan nenek moyang yang meski terdengar usang, namun betul-betul dicamkan oleh Sindhu Prasastyo kala berjibaku dengan dunia Wirausaha.

Bagaimana tidak, ditengah kesibukannya sebagai anggota dalam komunitas lingkungan hidup, ia mampu meraup rupiah dari limbah yang disulapnya menjadi ragam produk berdaya guna dan sarat akan ajakan merawat alam.

"Ini pengelolaan limbah ban dalam truk. Dijadiin macam-macam barang, ada tas, dompet, perhiasan, kalung, gelang, macam-macam mas," ujarnya saat memamerkan produknya di ajang Trade Expo Indonesia yang digelar pada tanggal 11-15 Oktober di ICE BSD, Tangerang.

Pria yang biasa disapa Sindhu itu menuturkan, bisnis produk berbahan limbah ban dalam truk tersebut mulai dilakoninya sejak tujuh tahun lalu.

Mengandeng beberapa sejawat sesama pegiat lingkungan hidup yang mahir bermain-main dengan desain, mereka membidani berupa-rupa barang hingga mampu memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi.

"Tahun 2010 mulai usaha ini, tapi riset-risetnya sudah dari 2006. Mulainya dari komunitas lingkungan hidup. Jadi dulu itu beberapa anggotanya anak-anak kreatif sama seniman. Terus ada program yang sebenarnya sih fokusnya ke konservasi air, tapi diluar itu ada swadaya untuk bikin sesuatu yang bisa menghasilkan duit, tapi harus masih ada kaitannya dengan lingkungan. Akhirnya ngolah limbah ini, karena anak-anak kreatif bisa desain," terangnya.

Tak sia-sia, sebab ternyata produk ban dalam bekas yang mereka telurkan tersebut mendapat respon positif dari pasar, khususnya pasar mancanegara.

"60 persen produk kita dikirim ke Eropa; Prancis, Inggris, Jerman, terus ada Slovenia, ada Australia, terus juga ada Amerika sedikit," rinci Sindhu.

Dalam menjual produknya, Sindhu mematok harga yang bisa dibilang memakai sistem pukul rata. Untuk pernak pernik seperti kalung dan gantungan kunci dibanderol dengan harga Rp35.000. Sementara untuk beragam tas berada dikisaran angka Rp750.000 perunitnya.

Adapun rata-rata pendapatan yang bisa dikantongi pria berusia 37 tahun itu, bisa mencapai Rp100 juta hingga Rp150 juta setiap bulannya.

Dalam upayanya untuk terus membesarkan usaha tas berbahan limbah ban bekas, yang kini dipasangi bendera Sapuupcycle itu, ia biasa dibantu oleh sekitar 15 orang pekerja. Dimana dalam sebulan bisa memproduksi sekitar 1.000 sampai 1.500 unit tas.

Kendati merupakan sebuah usaha yang masih terbilang produksi berskala rumah tangga, namun Sindhu optimis apa yang sudah dirintisnya tersebut bakal mampu terus berkembang karena memiliki prospek yang amat besar.

"Indonesia ini kan termasuk lima besar pengguna kendaraan bermotor di dunia ya, jadi kebutuhan akan stok ban dalam ini banyak sekali pastinya," imbuhnya.

Dikatakannya, dalam pengiriman ekspor ke pasar internasional, sejauh ini ia masih mengandalkan jasa pengiriman yang membantunya dalam persoalan mengurus segala keperluan administrasi dan perizinan.

"Karena kita masih tergolong kecil ya untuk industri ini, jadi sejauh ini kita pakai jasa pengiriman. Dalam arti kita masih diurus sama jasa seperti Fed Ex untuk surat perizinan jadi belum bisa kirim pakai kargo atau sewa kontainer sendiri," kata dia.

Ia menambahkan, adapun jumlah pembeli luar negeri yang sudah melakukan kerjasama dengan pihaknya, kini jumlahnya tak kurang dari 10 perusahaan.

Meski saat ini merek dagang Sapuupcycle masih dalam proses pendaftaran HaKI, namun ia menegaskan, bagi pihak-pihak yang ingin bekerjasama dengannya maka harus menyertakan merek dagangnya tersebut.

"Jumlah buyer sekarang sekitar 10. Dalam penjualan kita mempertahankan Sapuupcycle, kalau co branding masih bisa, mereka boleh pakai nama mereka tapi nama pembuatnya masih harus disertakan di informasi produknya," ujar dia.

Terkait tantangan yang dihadapi, Sindhu mengatakan pihaknya masih kerap terkendala dalam memenuhi kebutuhan peralatan produksi yang menurunya masih belum lengkap. Sehingga agak terganjal saat harus memproduksi barang secara massal.

"Kita kan berangkatnya dari komunitas kecil, terus modalnya itu ngga seperti perusahan besar yang disupport dari dana yang memadai, jadi kita ketinggalannya itu di teknologi, Misalnya, satu mesin itu harusnya satu fungsi aja tapi kita jadikan fungsi-fungsi lain, kita bisa-bisain" ungkapnya

Ia menambahkan, "Tapi kita mulai mengarah kesana. Tapi itu proses, sementara ini kita masih pelan-pelan."

Tak hanya bisa meraup keuntungan, ia berharap produk tas berbahan limbah ban bekas bisa benar-benar bisa menjadi sarana baginya untuk mengkampanyekan kepada masyarakat luas tentang pentingnya peduli pada lingkungan.

"Harapan kita produk ini bisa menyebarkan kepada masyarakat soal produk ramah dan baik pada lingkungan. Pengolahan limbah, mengurangi limbah dari pada dibakar dan mencemari tanah dan kali. Gimana caranya bisa kita kelola dan bagus jika dapat menghasilkan uang," tutur dia.

Pada kesempatan itu ia juga menyampaikan, sebagai penegasan sikap peduli lingkungan, ia juga memiliki workshop di daerah Salatiga, Jawa Tengah. Dirinya lebar merentangkan tangan bila ada pihak-pihak yang ingin mengenal dan mau bergandengan tangan bersamanya dalam mengatasi persoalan limbah di republik ini.

"Kita juga sering diundang ke sekolah-sekolah, seminar dan pameran pameran. Mengenalkan konsep ini ke anak-anak sekolah," pungkasnya kemudian.[]



https://akurat.co/produk-berbahan-ban-bekas-indonesia-diekspor-hingga-eropa