Minggu, 11 Juli 2021

Motif Kain Tradisional di Sepatu Ethnic Collaboration

Kalau enggan ada seribu alasan, kalau ingin ada seribu jalan. Kurang lebih begitu pepatah tanah Andalas yang menjadi landas kaki seorang Zulfa Nurhani, saat membabat alas laju usahanya.

Berangkat dari keinginan melestarikan kain tradisional namun tak melulu menjadi baju, dara berdarah Jambi itu bersama karibnya, Astari Putri Utami, ligas menggagas motif kain lokal agar tercetak pada produk sepatu.

"Kita fokus bikin sepatu handmade, sepatu yang dikombinasiin dengan bahan-bahan kain batik dan tenun dari Indonesia. Kita coba kombinasiinnya itu sama kulit atau bahan-bahan lain," ujarnya saat ditemui tim Akurat.co.

Turut menyemarakan Bazaar Ideafest X Tokopedia 2017 akhir pekan lalu, Zulfa menuturkan, bendera Ethnic Collaboration yang dikibarkannya merupakan produk fashion yang menyasar kalangan muda. Khususnya mahasiswa.

Oleh sebab itu, lanjut dia, agar mampu dijangkau oleh anak-anak muda dan tak membuat kantung mereka kebobolan, maka kain batik yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan produknya tersebut memakai kain batik cap, bukan batik tulis asli.

"Kalau sekarang kami masih pakai batik yang cap, karena marketnya sendiri masih ke anak muda, atau levelnya masih medium, kantong-kantong mahasiswa masih bisa menjangkau lah," imbuhnya

Gadis berusia 25 tahun ini menambahkan, kedepan, pihaknya juga bakal ekspansi dengan membuat produk premium sehingga bisa menyasar pangsa yang lebih lebar.

"Kita bakal bikin yang premium tapi itu masih coming soon," lanjut dia.

Lebih jauh ia menerangkan, bahwa produknya juga menekankan konsep limited edition. Dalam artian, jika satu kain batik atau tenun dengan motif tertentu sudah diproduksi sekali. Maka saat produk sepatu itu sudah tandas dipasaran, pihaknya takkan membuat kembali motif produk yang sama seperti sebelumnya.

"Misalnya, kita ada bahan satu lembar tenun, itu misalnya cuma jadi tiga sepatu, nah, kalau itu habis, kita ngga akan restock lagi. Ngga produksi lagi dengan motif tenun yang sama, karena menurut kita bakal lebih baik untuk mengeksplor tenun lain, dari daerah yang lain, daripada menggunakan motif yang sama lagi," jelas dia.

Dikatakannya, untuk mendapatkan kain-kain lokal sebagai bahan baku produksi, ia biasa melakukannya dengan dua cara, dikirim langsung dari perajin-perajin kain batik dan tenun, atau didapatkannya saat dia tengah plesiran ke daerah-daerah di Indonesia.

Terkait harga, produk Ethnic Collaboration rata-rata dibanderol berkisar antara Rp150.000 hingga Rp240.000 per unit.

"Untuk yang dua ratus ribuan itu yang model wedges atau ada haknya. Kalau yang flet-flet itu seratus lima puluh ribu," kata Zulfa.

Ia menuturkan, usahanya tersebut masih merupakan usaha rintisan yang baru dimulai pada tahun 2015 lalu. Dan sejauh ini pemasarannya dilakukan melalui sistem penjualan daring serta dengan mengikuti berbagai ajang pameran.

"Selain online paling ikut bazar, karena kita (dia dan rekannya) sendiri masih sama-sama kerja, dan ini sejauh ini juga cuma masih hobi," katanya.

Pada kesempatan itu juga ia berujar, Kedepan dirinya ingin benar-benar mandiri, dan berharap usaha rintisannnya bisa terus tumbuh hingga mampu menyerap sebanyak mungkin tenaga kerja.

"Perajin kita masih lepasan sifatnya, 3 sampai 4 orang kalau lagi ada orderan... Tentu ya, kita berharap kedepannya bisa punya banyak pegawai. Kita pengen banget bisa ngebuka lapangan kerja buat orang lain, buat masyarakat," tandasnya kemudian. []

Telah tayang:
https://akurat.co/motif-kain-tradisional-di-sepatu-ethnic-collaboration

Macrame, Kerajinan Purba yang Sempat Hilang


Berupaya membangkitkan kembali relik peradaban purba yang sempat terpendam, hal itulah yang dilakukan seorang Dewi Kartini saat ini.

Melalui kibaran bendera D'KagaLupe', wanita paruh baya itu seakan ingin memberi tahu, nun jauh di masa lalu jazirah Arab pernah memiliki seni kriya adiluhung tinggi mutu. Macrame.

"Jadi kalau baca literasi, ini (macrame) asalnya dari tanah Arab, sudah ada ribuan tahun lalu, tapi kemudian tehnik macrame itu berkembang di Eropa; di Spanyol, di Inggris. Terus dia sempat lama hilang, kemudian berkembang pesat di Jepang" ujarnya saat ditemui tim Akurat.co dalam perhelatan Bazaar Ideafest X Tokopedia 2017.

Dirinya menjelaskan, seni macrame adalah teknik kriya yang memanfaatkan tali dan benang sebagai bahan dasar kerajinan, untuk menciptakan aneka ragam aksesoris dan produk dengan memilin simpul-simpul.

"Tapi ini bukan dirajut, ini disimpul. Kita ikat-ikat tanpa alat bantu apapun," tambahnya.

Dewi, begitu ia karib disapa, menceritakan, kali pertama dirinya mengenal tehnik kerajinan macrame terjadi pada tahun 2008 silam.

Kala itu, Dewi yang masih bekerja sebagai kuli tinta pada salah satu media masa nasional, diminta untuk membuat sebuah artikel mengenai seni kerajinan yang melibatkan tali temali tersebut.

Demi menjawab permintaan itu, ia pun kemudian mencari tahu segala seluk beluk tentang kerajinan macrame melalui buku-buku sebagai bahan referensi artikelnya.

Tak dinyana dan entah bagaimana persisnya, menekuri tehnik macrame di lipatan buku yang ia baca, membuat wanita berkacamata itu seakan menemukan cinta yang selama ini dicarinya. Ia langsung terpeleset jatuh hati pada seni kriya yang satu itu.

"Saya tertarik pada macrame, karena saya ngerasa kalau ternyata sebenarnya passion saya ada di benang dan tali. Tapi biar suka benang dan tali, saya ngga suka yang pakai alat kaya jarum saat nyulam, saya suka yang tehniknya iket-iket aja. Jadi saya ngga tergantung alat. Selama tangan saya sehat, saya bisa tetap kerja," tuturnya.

Dari situlah ia kemudian mulai keranjingan membuat macrame. Ditambah kerajinan itu memiliki tehnik basic yang bervariasi, membuat Dewi tak pernah bertemu jemu dalam memproduksi setiap macrame.

Kian hari kian bertambah koleksinya, Dewi akhirnya menjadikan macrame sebagai buah tangan untuk diberikan kepada sejawat-sejawatnya sebagai hadiah dan cinderamata.

Sama sekali ia tak menduga, bahwa kelak, dari situlah awal jarum kompas nasibnya berubah arah hingga mengantarkan Dewi menjadi seorang wirausahawan.

"Awalnya tuh bikin cuma buat dikasih ke teman-teman aja, buat hadiah, banyak yang suka, akhirnya ada yang mulai beli, sadar ada peminatnya, akhirnya mulai ditekunin. Dan mutusin 2014 akhir, buat berhenti kerja," ungkapnya.

Ia menambahkan, "Mulai serius dibisnisin tahun 2015, jadi masih baru memang,"

Dikatakannya, dalam menjalani usaha macrame artisan itu, ia mengandalkan sistem pemasaran daring yakni melalui Instragram. Selain itu dirinya juga bekerja sama dengan Tokopedia dan qlapa.com.

"Penjualan dilakukan dengan sistem pre order. Jadi barang itu belum jadi, mereka pesen dulu, mereka bayar, lalu saya buat, terus dikirim beberapa hari kemudian," jelasnya.

Lebih lanjut ia mengatakan, ada beberapa produk yang pemasarannya hanya bisa dilakukan di seputaran Jakarta, Tangerang dan Bekasi. Hal itu lantaran dirinya khawatir jika saat pengiriman dengan jarak yang jauh, dapat membuat produknya menjadi rusak.

"Dia (macrame) ngga bisa dilipat mas, maksudnya sayang kalau dilipat, jadi kalau cuma di seputaran Jakarta, pengirimannya bisa dilakukan melalui Go Send atau Grab Express, atau bisa juga meraka ambil langsung dari rumah saya. Saya belum terlalu yakin kirim lewat jasa pengiriman, pengepakannya takut ngga bagus, takut barang terlipat, " katanya menerangkan.

Dewi menuturkan, rata-rata produk kerajinannya itu dibanderol dengan harga berkisar Rp700.000 hingga Rp1.000.000. Namun demikian, pada beberapa kerajinan memiliki harga tertentu.

Terkait durasi pembuatan, satu produk macrame biasanya dibuat dalam tempo sekitar seminggu untuk model yang relatif sederhana, sementara yang rumit bisa sampai sebulan lebih lamanya.

"Dalam arti gini, saya menargetkan mengerjakan satu produk maksimal tiga jam sehari, nanti setelah tiga jam saya kerjain yang lain, tiga jam lain lagi, karena supaya saya ngga bosan," terang dia.

Ia mengatakan, kendala yang kerap dihadapi adalah sulitnya mencari bahkan baku tali. Sebab, khusus produksi macrame harus menggunakan jenis tali yang tepat dan sedikit agak berbeda dari tali biasanya, serta memiliki varian ukuran diameter yang amat beragam.

"Tali rami itu punya ketebalan diameternya banyak. Kadang dalam satu produk butuhnya tali rami yang diameternya 0,5 cm, ada yang 10 mili, ada yang 2 mili, mencari kebutuhan-kebutuhan kaya gitu yang agak susah, karena di Indonesia belum ada pabrik yang memproduksi tali khusus untuk macrame," jelas Dewi.

Selanjutnya ia mengatakan, untuk sekarang belum bisa mengekspor produknya ke pasar global, mengingat di luar negeri sendiri kerajinan macrame saat ini lebih berkembang.

"Malahan di Australia, Inggris sama Amerika, mereka udah nyediain tali khusus macrame," imbuhnya.

Disinggung mengenai kenapa memakai nama brand D'KagaLupe', Dewi mengungkapkan huruf "D" pada awal merek dagang tersebut merupakan inisial namanya, sementara sisanya merupakan asal kata yang dicomot dari bahasa Betawi.

"D'KagaLupe', itu dari kata "kaga lupe" , itu bahasa Betawi kan... Ya maksudnya Kaga Lupa, 'D' itu inisial nama saya, saya berharapnya produk yang saya buat ini, produk yang ngga banyak bisa ditemuin, karena itu tidak akan terlupakan," katanya seraya mengulum tersenyum.

Dalam melanggengkan usahanya, ia dibantu oleh seorang pekerja yang biasa diberdayakan untuk mengurus pesanan yang sifatnya sederhana dan tak terlalu rumit.

Dirinya mengatakan, untuk bisa mengenalkan kerajinan macrame secara luas kepada masyarakat, ia membuka kelas bagi siapa saja yang barangkali berminat untuk belajar secara privat.

Pada kesempatan itu juga ia menilai, eksistensi UMKM dewasa ini berkembang sangat pesat. Hal ini tentunya sangat dipengaruhi oleh semakin majunya teknologi sehingga memberi kemudahan bagi pelaku usaha dalam memasarkan barang dagangnya.

"Buat seorang seniman, UMKM saat ini bisa sangat mampu berkembang. Tinggal gimana kreativitas aja untuk menyelaraskan antara pekerjaan kita ini dengan kepekaan mengambil gambar, kepekaan untuk mempublikasikan apa yang kita kerjakan, merekam momen-momen menarik dari pekerjaan kita, untuk akhirnya kita publikasikan melalui media sosial. Tapi itu butuh usaha dan ngga gampang, benar-benar butuh kepekaan," tutur dia.

Ia menambahkan, buat dia, instagram bukan hanya untuk menceritakan tentang produk apa saja yang ia  jual. Tapi bagaimana proses dirinya  bekerja, serta seperti apa ia mengajar murid-muridnya.

"Sehingga ada proses kreatif di sana, ada pencarian," tandasnya.

Selanjutnya Dewi berharap, kedepan perkara kendala bahan baku tali bisa dapat teratasi. Menurutnya, dengan semakin banyaknya orang yang mengenal macrame, maka tentunya para produsen tali bakal menyadari adanya peluang bisnis baru bagi mereka, sehingga tergerak untuk memproduksi tali khusus macrame.

"Terus yang kedua, makin banyak orang yang mau belajar macrame, saya sih maunya macrame bisa kaya nyulam, dimana-mana orang sudah banyak yang tahu, tidak mengerutkan kening ketika melihat kerajinan ini," lanjut dia.

Kemudian, dengan lebih banyaknya masyarakat yang mengenal kerajinan macrame, ia berharap orang akan bisa menghargai keberadaan seni kerajinan tersebut.

"Sayangnya sih, orang suka terkagum-kagum sama suatu handycraft tapi begitu tahu harganya mereka mengerutkan kening, padahal kan handycraft itu memerlukan proses yang panjang, mulai dari dari desain, persiapan, kemudian pengerjaannya," pungkas Dewi. []

Telah tayang:
https://akurat.co/macrame-kerajinan-purba-yang-sempat-hilang

Minkymumu Artdeco, Tas dengan Seni Decoupage Berbahan Tisu

Ramaikan perhelatan Bazaar Ideafest X Tokopedia 2017, produk yang dijajakan Minkymumu Artdeco di muka stand akan sangat mungkin menculik perhatian para pengunjung yang bertandang.

Bagaimana tidak, jejeran tas dan kerajaang anyaman yang tergantung, tampak terlihat berbeda dari tas atau keranjang pada umumnya karena memiliki motif warna-warni berkilau seakan dilapisi kaca.

Anni Halimah, salah seorang perajin yang ditemui tim Akurat.co mengatakan, motif warna warni mentereng yang tercetak di tas-tas tersebut tak lain dan tak bukan karena sudah mendapat sentuhan dari seni decoupage.

Wanita berusia 36 tahun itu menjelaskan secara singkat, decoupage, diambil dari bahasa Prancis découper, adalah seni menempel potongan-potongan kertas pada sebuah objek barang yang menjadi media lalu di pernis atau dipelitur. Pada produknya kertas yang dipilih adalah tisu dengan beragam corak warna.

"Ini produk decoupage, dari tisu, ini medianya ada rotan, pandan, macem-macem. Hiasannya semua ini dari tisu. Ditempel ke media misalnya keranjang dari rotan, tisu itu kita lem, pakai dasar air, terus dipernis," terangnya.

"Pernisnya itu yang jenis water based, jadi lentur, ngga kaku, nanti pas sudah jadi, hasilnya ngga pecah," katanya menambahkan.

Seni decoupage ini menjadikan potongan-potongan kertas tisu yang rata menjadi tampak dalam dan bertekstur, serta membuat motif pola dan gambar pada produk-produknya yang kini dijajakannya itu terlihat seolah-olah dilukis.

Halimah mengatakan, sudah tiga tahun terlibat dalam bisnis kerajinan seni decoupage. Bukan sebagai pemilik, dirinya adalah salah satu perajin yang kebetulan mendapat giliran menjaga stand Minkymumu Artdeco pada saat dimana tim Akurat.co bertandang.

Untuk objek atau keranjang tas rotan yang nantinya akan dipoles dengan sentuhan decoupace, Minkymumu Artdeco biasa mendapatkannya langsung dari para perajin rotan di daerah Tasikmalaya, Jawa Barat.

Dikatakannya, dalam sistem pemasaran produk decoupage Minkymumu Artdeco, dirinya baru berfokus pada penjualan daring serta melalui pameran-pemeran, karena belum memiliki toko sendiri.

"Kita kebetulan juga buka kelas di daerah Cinere. Tapi kalau buka kelas, kita biasanya yang datang ke tempat orang-orang yang pingin belajar. Misalnya, ada beberapa orang yang maunya di kantor, nah, kita yang ke sana," tutur Halimah.

Ia melanjutkan, bagi siapa pun yang tertarik dan ingin tahu lebih lanjut atau berminat untuk belajar mengenai seni decoupage, bisa mengikuti kelas dengan membayar biaya pelatihan sebesar Rp300.000 sampai Rp700.000 per orang, untuk satu kali pertemuan.

"Kalau ikut kelas bayar dari Rp350.000-Rp700.000, untuk satu kali pelatihan. Dapet medianya, tisu, lem, kuas, pernisnya, nanti hasil karya juga dibawa pulang, dapet makan juga," Terangnya.

Halimah melanjutkan, decoupage bisa dibilang bukan kerajinan baru di Indonesia, hanya saja, memang belum cukup familiar bagi sebagian kalangan masyarakat.

"Ada Komunitasnya, di Cinere juga, biasanya yang ikut itu ibu-ibu pensiun. Dan kalau kita buka kelas tuh yang ikut memang ibu ibu pensiunan kebanyakan," imbuhnya.

Pada kesempatan yang sama, Akbar, perajin decoupage yang juga tengah mendapat giliran menjaga stand mengatakan, terkait harga, rata-rata produk Minkymumu Artdeco dibanderol dari Rp50.000 hingga Rp550.000. Nilai tersebut merupakan harga normal yang belum mendapat potongan.

"Kisaran harga, yang keranjang rotan ini harganya Rp400.000 dari harga normalnya Rp550.000. Kalau yang tas jinjing pandan itu dijual Rp200.000 dari harga Rp350.000 di luar pameran. Ada juga sih yang Rp50.000, itu yang kaya kontak-kotak pensil itu," kali ini Akbar yang berbincang.

Disinggung mengenai lama proses pembuatan, pria berusia 37 tahun itu mengatakan, dalam sehari biasanya seorang perajin hanya bisa membuat satu produk decoupage.

"Karena ini seni jadi ngga banyak, dan juga memang ini perlu dijemur disinar matahari. Ngga bisa melalui pengeringan oven, jadi harus pakai panas matahari biar kilaunya keluar, mas..." jelasnya.

Dirinya berharap pameran yang diinisisasi Ideafest dan Tokopedia bisa menular ke e-commerce lainnya, sehingga jadi semakin sering digelar. Menurutnya, melalui pameran bisa menjadi ajang memperkenalkan seni decoupage kepada masyarakat yang lebih luas.

"Dengan ikut pameran semacem ini bisa mengedukasi masyarakat lah ya, soalnya banyak orang belum tahu soal kerajinan ini," kata Akbar.[]

Telah tayang:
https://akurat.co/minkymumu-artdeco-tas-dengan-seni-decoupage-berbahan-tisu

Mahi Watch, Bisnis Jam Kayu Beromset Puluhan Juta



Membumi namun tetap tampak elegan. Adalah citra yang barangkali terbit saat mengenakan produk jam tangan yang satu ini.

Berbahan baku kayu, Mahi Watch tak hanya bermaslahat sebagai pengingat waktu, namun juga menjadi representasi artsy dari daya kriya manusia.

Melalui Mahi Watch pula, Eldo Hardiyanto seakan menggamit pergelangan tangan setiap pelanggan yang mengenakan produknya, untuk bisa merawat lestari bumi dalam setiap ketukan detik yang merambat.

"Nama Mahi ini diambil dari bahasa Sansekerta artinya bumi, karena kita menciptakan produknya sendiri dari kayu, representasi dari bumi itu sendiri," ujarnya kepada akurat.co akhir pekan lalu.

Mengisi salah satu stand dalam perhelatan Bazaar Ideafest X Tokopedia 2017, Eldo menawarkan produk jam tangannya dengan dua pilihan bahan baku, kayu maple dan kayu sonokeling.

Pria berusia 35 tahun ini menuturkan, produk jam kayunya dikerjakan langsung oleh para perajin dari daerah Yogyakarta yang sudah dirangkulnya sejak satu setengah tahun yang lalu.

"Produksi kita memang bekerja sama dengan perajin di Yogya, tapi untuk semua desain dari kita," imbuhnya.

Sejauh ini, setidaknya dia telah menelurkan sepuluh model dan desain jam kayu Mahi Watch dan kesemuanya sudah dilempar ke pasaran melalui sistem penjualan daring.

"Untuk pemasaran masih by online, awal masuk di Instagram, Facebook. Lalu kita juga kerjasama dengan qlapa.com hampir setahun, ada juga reseller yang lain seperti market place, dan toko tentunya Tokopedia," terang Eldo.

Bicara soal harga, untuk satu produk jam tangannya itu Eldo mematok di kisaran harga Rp600.000 sampai Rp700.000. namun begitu, di momen-momen promo atau saat dirinya mengikuti event-event tertentu angka tersebut bisa turun nyaris setengah harga, yakni Rp400.000 per unit.

Terkait omzet, dirinya tak bisa menuturkan secara tepat angka pastinya, mengingat usaha dengan mengibarkan bendera Mahi Watch merupakan kerjaan sampingan yang hanya ia geluti disela-sela kesibukannya sebagai karyawan di salah satu perusahaan swasta di Jakarta.

Kendati demikian ia memperkirakan, pendapatan dari menjual produknya itu berkisar di angka Rp20 juta hingga Rp 30 juta perbulan.

Angka yang cukup membuat hatinya bersorak girang. Pasalnya, modal awal yang dulu ia keluarkan hanya berkisar Rp6 juta.

"Modal awalnya dulu... kita dulu produksi kan cuma 20 unit, jadi modalnya itu sekitar Rp6 jutaan lah," tuturnya.

Dalam memberi pelayanan lebih kepada para pelanggannya, Eldo menuturkan siap bila ada diantara costumer yang ingin memesan produk custom. Tentu dengan harga dan jumlah pesanan yang telah disepakati.

"Kita juga menerima custom meski dengan quantiti tertentu ya, terus kita juga bisa terima kalau misalnya ada customer yang mungkin mau dikasih nama atau apa di belakang jamnya, kita juga bisa itu dengan quantiti tertentu juga," jelasnya.

Selain itu, dirinya juga memberi garansi pada setiap penjualan produknya. Namun perlu diketahui, garansi yang dimaksud hanya terkait dengan kerusakan mesin dan tidak mencakup apabila kerusakannya terjadi pada bagian yang berbahan kayu.

"Garansi hanya mesin doang, kalau kayu kita ngga ada garansi, dan biasanya dari awal udah kita sampaikan ke costumer, saat pemakaian, mesti berhati-hati sebab ini barang yang rentan, terus jangan juga dipakai pada saat berenang. Semua jam tangan kayu tak ada yang tahan air," terang dia.

Eldo mengatakan, usahanya tersebut belum memiliki hak paten, dan beberapa waktu lalu sempat ditawari pengurusannya, namun hal itu belum bisa ia lakukan karena menurutnya usaha sampingannya belum bisa dibilang stabil.

"Kita juga belum berbadan hukum. Pastinya punya rencana ke situ (melegalkan usaha dan daftar HaKI-RED), tapi tentunya kita harus tingkatkan dulu penjual by online. Kalau bener-bener sudah konstan penjualannya, baru kita mulai perkuat brandnya dengan membuat perusahaan lalu kita daftarkan di HaKI," pungkas Eldo menutup.[]



Telah tayang:
https://akurat.co/mahi-watch-bisnis-jam-kayu-beromset-puluhan-juta

Hippo, Perhiasan yang Menggenggam Konsep Hippies-Bohemian


Enam setengah tahun sudah Indri Sekar Sari dibuat sakit kepala. Perkara tersebut lantaran ia harus mencari-cari jenis kelamin usaha yang rancak dengan kata hatinya. Tak sia-sia, proses pencarian serupa menemukan jarum di tumpuk jerami itu pun lunas terbayar di pertengahan tahun 2015 lalu.

Hippo, merek dagang yang akhirnya mengkhatamkan pencariannya itu. Adalah produk perhiasan yang menggagas konsep Hippies dan Bohemian, yang tak lain dan tak bukan merupakan perlambang dari jiwa-jiwa bebas juga anti mainstream.

"Produk aku aksesoris, ada anting, kalung, gelang, tapi dengan konsep Hippies dan Bohemian," ujarnya saat berbincang dengan Akurat.co akhir pekan lalu.

Turut meramaikan Bazaar Ideafest X Tokopedia 2017, wanita berusia 33 tahun itu menawarkan produk jewelry dengan keunggulan beragam bahan benang dipadu kilau batu-batu alam, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri.

"Bahan macem-macem, kita lebih banyak maen ditassel, benang, benangnya juga macem-macem ada benang rajut, ada benang wol, ada benang jahit biasa, terus nanti dikombinasikan pakai batu-batu alam," rincinya.

Ia menambahkan, "Bahan baku sebagian di dapat di pasar lokal, sementara bebebera bahan baku seperti liontin, kita suplai dari luar, ada yang dari Turki, Cina, juga Singapura," katanya lebih lanjut.

Indri, begitu wanita itu biasa disapa, menuturkan, bahwa dalam sehari dirinya mampu memproduksi 20 unit jenis kerajinan andai fokusnya tak terbelah urusan rumah.

Perihal harga, produk jewelry Hippo dibanderol dengan harga kisaran Rp50.000 sampai Rp250.000 per unit. Namun demikian tak perlu gusar, dirinya mengaku bisa diajak mufakat dengan cara-cara kekeluargaan.

"Kita juga bisa custom, kita fleksibel kok, misalnya ada yang pesen barang sebenernya (harga produk asli) Rp100.000, tapi dia uangnya ngga sampe segitu, ya bisa diaturlah (dengan mensubtitusi beberapa bahan)," terang Indri diplomatis.

Terkait sistem pemasaran, dirinya tak hanya mengandalkan penjualan daring dan menjajakan produk pada ajang pameran-pameran, tapi juga melakukan konsinyasi dengan beberapa store, antara lain di Living Room Bogor dan Balai Pelestarian Nilai dan Budaya DKI (BPNB DKI). Belakangan ia juga mulai menggandeng mesra e-commerce qlapa.com.

Kendati belum pernah menjual ke pasar global secara mandiri, namun sekali waktu produknya sempat terbang ke Amerika memenuhi pesanan pihak kedua yang menjadi perantara.

Disinggung mengenai omzet penjualan produk Hippo, Indri menuturkan jumlahnya tak menentu. Untuk pencatatan keluar masuk keuangan pun belum bisa dibilang akuntabel. Namun demikian jika boleh mengkalkulasi secara kasar, setidaknya ia bisa mengantongi pendapatan berkisar Rp3 juta hingga Rp15juta.

"Ngga nentu ya mas... Pernah dapet 3 juta, pernah dapet 15 juta, itu untuk gabungan semua produk ya, maksudnya, penjualan di store, online juga di bazar-bazar," jelas dia.

Pada kesempatan itu Ia berharap, usaha bisa terus berkembang dan berumur panjang. Dalam pada itu ia juga menyambut senang jika ajang pameran yang dihelat oleh Tokopedia dan e-commerce lainnya bisa semakin sering terselenggara. Hal itu dapat membantu dalam mengenalkan produk kerajinannya lebih dekat kepada masyarakat.

"Orang jadi lebih mengenal, sekarang kan memang bisa lihat di online, tapi di gambar dan aslinya kan suka beda. Nah, dengan acara bazar kata gini mereka bisa lihat lebih dekat barangnya, bisa lihat dulu material barangnya, walaupun mereka ngga beli, seenggaknya mereka udah pernah lihat langsung barang seperti apa, materialnya gimana," tutur Indri kemudian.[]


Telah tayang:
https://akurat.co/hippo-perhiasan-yang-menggenggam-konsep-hippies-bohemian

Kecapung, Produk Kulit Sarat Filosofi Tahan Banting


Jangan terkecoh mata, biar kecil capung ternyata binatang yang kuat dan tahan banting. Demi melihat pesan filosofi yang tersemat pada serangga bernama latin Anisoptera itu, membuat seorang Deiby Nugroho empat tahun lalu, akhirnya memutuskan meminjam nama ordo Odonata itu agar tertera di bendera dagang produk kerajinan kulit miliknya. Kecapung.

"Sesuai dengan konsep produk saya ini, jadi tahan lama, kuat dan dari segi desainnya kita cari yang memang ngga buat keren-kerenan sih, supaya langgeng," ujar Deiby saat ditemui tim Akurat.co akhir pekan lalu.

Turut menyemarakan perhelatan Bazaar Ideafest X Tokopedia 2017, Deiby menuturkan, dengan meminjam nama serangga yang biasa terbang di sawah-sawah dan hutan-hutan itu, dirinya secara gamblang ingin menunjukkan bahwa dagangannya merupakan 100 persen produk lokal Indonesia. Baik dari desain, bahan baku hingga para pekerja yang terlibat dalam segala proses produksinya.

"Kita produknya tas kulit asli. Kita desain langsung dan produksi langsung. Kita juga punya workshop sendiri di Yogyakarta. Tapi pemasaran kita terpusat di Jakarta," imbuhnya.

Ditanya soal hak paten, Deiby mengatakan, pihaknya sudah memenuhi segala persyaratan yang diperlukan untuk bisa mengantongi HakI. Dan saat ini sedang dalam masa tunggu sambil dipantau oleh Kementerian Hukum dan HAM.

"Kita lagi proses HaKI. Sudah sekitar setahun, jadi kalau yang sudah-sudah proses HaKI memang lama ya, paling cepat setahun, jadi ya kira-kira kita masih nunggu setahun lagi," imbuhnya.

Wanita berusia 40 tahun itu menjelaskan, pihaknya tak hanya menerima pemesanan untuk pasar ritel dalam jumlah produksi yang besar, tapi juga siap menerima pesanan secara khusus berapa pun quantitinya.

"Kita bisa untuk ritel yang jumlahnya banyak, ini untuk penjualan ready stok, sama yang custom order. Nah, kalau yang custom order, bagi mereka yang punya desain sendiri atau punya kulit sendiri, itu bisa kita bikinin walaupun cuma satu aja. Kalau yang produksi ritel, itu dikerjakan di workshop karena jumlahnya agak banyak. Kalau yang custom order saya kerjain sendiri," terangnya.

Deiby menuturkan, untuk melanggengkan usaha kerajinan kulitnya tersebut, ia biasa mengerahkan emam hingga delapan orang perajin asal Yogyakarta.

Terkait pemasaran, saat ini pihaknya tak hanya terfokus pada sistem penjualan daring, tetapi juga kerap mengikuti pameran-pameran yang digelar baik oleh pemerintah maupun swasta. Ia juga menjajakan produknya pada sebuah toko kerajinan di daerah Bogor dengan sistem konsinyasi.

"Penjualan ekspor pernah, ke Spanyol. Tapi waktu itu mereka pakai brand sendiri. Nah, mereka minta dibuatkannya sama kita. Kita sih oke aja," imbuhnya.

Ia menambahkan, "Kita sering diajak Kementerian Perindustrian untuk pameran-pameran dan difasilitasi. Diantara itu... di Surabaya sama Makasar.

Sementara untuk harga, satu produk tas kulit produksi kecapung dibandrol dengan harga berkisar antara Rp400.000 hingga Rp1,8 juta.

"Kalau untuk dompet, kita mulai dari yang paling murah itu Rp100.000 sampai Rp350.000," kata Deiby menambahkan.

Sudah berkibar selama empat tahun, menurut Deiby, omzet rata-rata penjualan semua produk Kecapung perbulan bisa mencapai total Rp20 juta sampai Rp30 juta.

Tak berarti tanpa aral melintang, dalam upayanya memanjangkan umur Kecapung, Deiby bukan sekali dua kali menemui kerikil-kerikil kecil yang merecoki langkah kakinya, satu diantara terkait bahan baku. Tak hanya kadang sulit di dapat, bahan kulit yang dibutuhkan juga kerap bikin kepala sakit lantaran harganya yang melangit.

"Jujur aja, untuk aksesoris-aksesoris yang kita pakai kebanyakan masih impor dari China. Nah, itu banyak dari temen-temen yang mengeluhkan... kalau beli mahal dan ketersediaannya juga susah. Dan bahan baku kulit mentahnya sendiri kebanyakan untuk di ekspor, nah, begitu balik lagi jadi bahan kulit siap pakai, harganya jadi makin mahal, itu merugikan karena kita hanya dapat sisaan atau dapat dengan harga yang mahal," uangkapnya.

Pada kesempatan itu, jika dirinya boleh memberi saran, sebaiknya pemerintah lebih memperhatikan bagaimana memajukan sisi marketing UMKM, hal itu bisa dilakukan dengan memberi training atau pelatihan-pelatihan yang memiliki manfaat nyata bagi para pelaku usaha.

Selanjutnya, menanggapi geliat perkembangan UMKM atau start up di republik ini yang kian menunjukan eksistensinya, Deiby merasa hal tersebut merupakan titik cerah yang menggembirakan dan patut mendapat dukungan dari berbagai pihak, khususnya pemerintah itu sendiri.

"Ya seneng, karena semakin banyak kan berarti suaranya makin ada dan bakal semakin diperhatikan pemerintah, mudah-mudahan bisa mewadahi kita," kata Deiby.

Terakhir, Deiby mewanti-wanti bagi teman-teman yang hendak fokus menjadi enterpreneur, sebelum benar-benar terjun ke ranah itu, ada baiknya mengetahui terlebih dulu segala seluk beluk terkait usaha yang bakal dirintisnya.

"Buat temen-temen startup baru. Kita harus benar-benar suka dulu sama apa yang pingin kita fokusin itu. Jangan taunya cuma ngejual barang tapi ngga mau tau soal produksinya. Ya ngga bisa begitu, kalau kita udah mau di bidang itu, ya kita harus tau semua-muanya. Dari hal sekecil-kecilnya karena itu nentuin langgeng engganya bisnis yang kita jalani nanti," pesan Deiby seraya menutup perbincangan dengan Akurat.co. []



Telah tayang:
https://akurat.co/kecapung-produk-kulit-sarat-filosofi-tahan-banting

Kulikin, Kerajinan Plywood dari Anak DKV yang Suka Nongkrong



"Kulikin itu dari kata ngulik-ngulik, lu taulah... Anak tongkrongan, kan, biasa ngomong 'ngulik bikin ini, yok, ngulik bikin itu, yok', gimana caranya bisa bikin produk, tapi kita ngulik yang bisa ngepress budget," begitu kata Yakubi saat membuka percakapan dengan tim Akurat.co, akhir pekan lalu.

Pemuda 24 tahun itu menerangkan, merek Kulikin miliknya, yang turut menyemarakan ajang berkumpulnya para startup dalam perhelatan bertajuk Bazaar Ideafest X Tokopedia 2017, merupakan produk kerajinan berbahan dasar olahan kayu plywood yang disulap menjadi beragam barang unik berdaya guna.

"Basicly produk kita pakai bahan plywood, kita bikin-bikin kerajinan dari plywood, dan bentuknya macem-macem, ada jam, ada gantungan kunci, holder, pen holder, tempat penyimpanan, ada tempat buku juga, macem-macem modelnya, banyak," rinci Yakub.

Ia mengatakan, usaha rintisannya itu dibangun bersama seorang karibnya yang notabene sama-sama lulusan sarjana Desain Komunikasi Visual di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta.

Alasan kenapa dirinya menjatuhkan pilihan pada plywood sebagai bahan baku dan tidak memakai bahan kayu seperti albasia, maple atau papan kayu lain dalam produk kerajinannya, sebab hal itu sebagai upaya untuk bisa menekan harga jual barang-barang buatannya.

"Kita jual harganya juga ngga pengen terlalu mahal. Lagian, jenis plywood yang paling tinggi mutuya itu ngga lebih mahal dari jenis kayu murni (bermutu rendah) yang harganya paling murah, karena sayang dong kalau gue pakai bahan kayu tapi kualitas rendah. Mending gue pakai bahan semi kayu, tapi kualitasnya cukup baik," terangnya.

Dalam membuat kerajinan plywood tersebut, Yakub CS melakukannya secara mandiri, dari mulai mendesain produk sampai ke proses produksi hingga akhirnya menjadi suatu barang yang siap pakai.

Untuk harga yang dipatok bisa dibilang lumayan bersalaman, sebab, rata-rata produk kerajinannya itu hanya berada di kisaran harga Rp15.000 hingga Rp35.000 per unit.

"Jam dinding paling mahal, kita jual Rp 200.000 untuk satu (produk) jam," katanya menambahkan.

Mengingat usaha rintisan tersebut masih seumur jagung dan merupakan pekerjaan sampingan, Yakub belum bisa merincikan secara pasti jumlah rata-rata pendapatan perbulan yang bisa dia kantongi dari produk Kulikin.

"Ini sampingan sih, gue sama temen gue masih sama-sama sambil kerja, terus juga kita-kita masih suka ngerjain proyek lain, jadi bingung kalau ditanya omzet. Intinya (Kulikin) ini cuma salah satu cara kita buat nge-push masa muda... Ah, yah, yang jelas pendapatannya cukuplah... Bisa jadi tambahan buat ngajak jalan pacar," imbuhnya seraya tertawa.

Disinggung masalah kendala, menurutnya saat ini tak banyak masyarakat Indonesia yang mau mengapresiasi karya orang lain, khusus produk-produk kerajinan anak bangsa.

Untuk alasan itulah mengapa ia dan kawannya sengaja memproduksi barang-barang dengan harga jual semurah mungkin. Ia menerka-nerka, barangkali dengan harga yang membumi bisa membuat produk kerajinannya bakal dilirik banyak orang.

"Kita lihat aja, kalau produk (yang sama) buatan luar negeri, biar harganya sampe Rp500.000 juga dibeli, cuman kalau produk lokal boro-boro dilirik. Jadi itu kendalanya, kurang apresiasi dari masyarakat sendiri. Gue perlu cari akal gimana caranya bisa bikin produk yang berkualitas baik tapi harganya ngga mahal," tukasnya.

Terkait modal awal, ia mengatakan tak begitu banyak yang dikeluarkanya. menurut kalkulasi kasarnya, cuma beberapa ratus ribu rupiah, hal itu lantaran dalam proses pembuatan produk, dirinya hanya perlu membeli bahan dasar plywood. Sementara untuk alat-alat produksi, Yakub mendapat pinjaman mesin potong papan kayu dari orang tua temannya yang mendukung usahanya itu.

Pada kesempatan itu ia berharap, di tahun depan, Kulikin sudah mulai bisa dibuatkan hak paten, selain itu ia juga mengingatkan kepada teman-teman lulusan DKV lainnya untuk berani memulai usaha, dan mengimplementasikan seluruh teori yang sudah diperoleh selama di bangku kuliah.

"Harapan gue juga, ngga banyak anak-anak DKV yang masuk industri lama-lama. Jadi berharap mereka bisa mandiri, buka usaha sendiri, berkreasi sendiri, untuk majuin produk lokal," pungkas Yakub kemudian.[]

Telah tayang:
https://akurat.co/kulikin-kerajinan-plywood-dari-anak-dkv-yang-suka-nongkrong

NAZ, Produk Lokal Citra Kekayaan Khazanah Nusantara


Mencoba berwirausaha sembari menjawat kekayaan khazanah nusantara. Hal itulah yang dilakukan oleh seorang gadis muda Nazlia Masyhur kala mengibarkan bendera NAZ, sebuah usaha rintisan yang baru dimulainya dalam kurun waktu setahun terakhir.

Melestarikan budaya bangsa melalui produk yang lebih karib menyentuh segmen anak muda, gadis lajang berusia 26 tahun itu mendesain kain-kain batik menjadi pakaian trendi agar lebih bisa diterima generasi milenia.

"Produkku ini lebih ke baju-baju fashion etnik, cuma... Biasanya kan, kalo etnit itu batik tapi gitu-gitu aja, nah, aku bikin modelnya menyasar ke fashionnya anak-anak muda, lebih outerwear, satu baju bisa beberapa model, jadi orang beli satu baju tapi bisa dipakai tiga model. Nantinya mereka bisa kreasiin sendiri," ujarnya mengawali percakapan dengan Akurat.co saat mengikuti Bazaar Ideafest X Tokopedia 2017, akhir pekan lalu.

Inaz, begitu ia biasa disapa, menjelaskan, bahan baku berupa lembaran kain batik diperolehnya dari perajin-perajin dibeberapa daerah di Jawa Tengah, diantaranya yakni Jogjakarta, Solo, Klaten dan Jepara.

Lantas, bahan kain batik tersebut diproduksi di kediamannya yang biasa ia sebut sebagai "rumah jahit" yang berdomisili di daerah Ciputat, Tangerang Selatan.

"Aku ada rumah jahit sendiri di Ciputat. Ummm... Sebenarnya nggak batik aja sih, aku juga main songket, udah mulai main jumputan Palembang juga, jadi pokoknya etnik-etnik Nusantara deh yang aku produksi," tambahnya.

Inaz tak memungkiri, produk pakaian batiknya tersebut merupakan usaha yang awalnya memang merupakan usaha keluarga, lalu kemudian boleh dikata turun kepada dirinya.

Kendati demikian, produk pakaian batiknya benar-benar berbeda dari produk batik orang tuanya, karena sudah mengalami pergantian merek juga modelnya.

"Usaha ini memang awalnya dari orang tua, tapi orang tuaku lebih ke penjualan yang produksinya ke orang-orang kantoran, lalu langsung aku rebranding, aku sih memperdayakan fasilitas yang ada ya, aku bikin yang menyasar ke anak-anak muda, bisa dipakai buat kuliah, juga bisa buat kondangan, buat hangout juga oke," paparnya.

Terkait hak paten merek, ia menuturkan brand NAZ yang dijumput dari namanya sendiri itu tengah dalam proses HaKI, yang didaftarkannya di Kementerian Hukum dan HAM. Namun sejauh ini ia belum tahu secara pasti bagaimana perkembangan dari upayanya itu, yang jelas menurut informasi terakhir semua berkas sedang ditangani oleh Kementerian Koperasi dan UKM.

Gadis yang menggandrungi bidang desain tapi sempat kuliah di jurusan sastra Inggris itu mengatakan, dalam pemasaran, produk NAZ belum memiliki store karena masih berfokus pada penjualan online, dan melalui pameran-pameran yang diadakan pemerintah atau pun swasta.

"Pameran pernah ke Makassar, pernah dikirim ke Jepang juga dari Tangsel (Tangerang Selatan), jadi aku mewakili Tangsel untuk buka stand di Tokyo Fashion World, itu lumayan juga sih, mereka mengapresiasi banget produk kita," tuturnya dengan riang.

Disinggung mengenai omzet, secara gamblang ia mengungkapkan, bisa mendapatkan pendapatan rata-rata berkisar Rp10 juta sampai Rp20 juta per bulan.

Sementara dalam melanggengkan usahanya, gadis itu biasa dibantu oleh empat penjahit yang tak lain adalah para pekerja dari usaha batik orang tuanya juga.

Pada kesempatan itu pula Inaz mengatakan, untuk terus mengembangkan usaha dan bisa membuka wawasan terkait bisnis fashion, dirinya juga sengaja bergabung dalam komunitas wirausaha di daerah tempat ia tinggal.

"Aku juga ikut komunitas di Tangsel, di Ciputat, basecamp di BSD. Juga di juragan fashion and Craft. Membernya 40 orang. Ikut komunitas bikin tambah wawasan karena kita bisa saling sharing gimana caranya bisa terus ngembangin usaha, khususnya fashion, ya gitulah," kata dia.

Dalam pada itu Inaz berharap, kedepannya generasi muda bisa lebih peduli pada produk lokal dan tidak melulu bangga memakai produk ekspor, sebab dengan cara itu, nantinya tak hanya produk lokal yang berkembang tetapi juga kekayaan khazanah nusantara bisa tetap dilestarikan.

"Dan untuk anak muda yang punya local brand jangan patah semangat, walaupun pasar lagi sepi dan naik turun, tetep semangat, produk kita ngga kalah dengan brand luar. Malah kalau produk kita, kita bawa keluar mereka lebih appreciation. Indonesia tuh kaya banget," pungkas Inaz.[]


Telah tayang:
https://akurat.co/naz-produk-lokal-citra-kekayaan-khazanah-nusantara

Deisha Keisha Handmade Accessories, Punya Mata Batu Alam Sungguhan


Jangan remehkan produk kerajinan aksesoris pernak pernik. Perhiasan pemanis bagi wanita ini bisa dibilang tak pernah kehilangan peminat, kendati daya beli masyarakat di republik ini macam wahana permainan roller coaster. Kadang naik, kadang turun berjungkal-jungkal kondisinya.

Deisha Putri, perajin sekaligus pemilik Deisha Keisha Handmade Accessories sudah membuktikannya. Tiga tahun bergelut sebagai enterpreneur jewelry, ia masih bisa tetap eksis bahkan semakin lebar mengembangkan sayap usahanya.

"Ini produk dari bahan dasar wire, jadi wire itu dari kawat coil gitu, nah, ada beberapa kawat yang warna gold, silver, dan hitam itu saya impor dari Amerika... Barangnya itu kalung, cincin, gelang, sama anting, lebih ke jewelry gitu," ujarnya saat ditemui dalam perhelatan Bazaar Ideafest X Tokopedia 2017 di Jakarta convention center, akhir pekan lalu.

Wanita berusia 29 tahun melanjutkan, untuk mata perhiasannya, ia menggunakan batu-batu alam seperti kristal yang merupakan batu khas asli dari berbagai daerah pedalaman Indonesia.

Menurutnya, hal menyenangkan dari menjalani bisnis pernak-pernik ini, selain karena modal awalnya yang terjangkau, omset yang diterima pun relatif cenderung stabil.

"Modal awal dulu satu juta, pendapatan perbulan bisa sampai Rp3 juta, cukup untuk terus jalanin usaha ini karena saya jalanin ini sendiri," imbuhnya.

Terkait kendala, dirinya menuturkan kerap terbentur masalah bahan baku batu yang kadang sulit ditemukan. Musabab adanya jenis batu yang sulit dicari itulah yang membuat beberapa produk Deisha Keisha Handmade Accessories memiliki harga yang lebih tinggi dibanding produk-produk yang lain.

"Itu (sambil menunjukkan barang yang display di meja etalase-RED), kaya produk yang ada di etalase depan, itu batunya jarang makannya paling cuma ada tiga sampai empat biji. Bikin satu aja harganya bisa lumayan. Kalau untuk kisaran harga rata-rata dari Rp40.000 Sampai Rp200.000," ujarnya.

Ia menambahkan, untuk bahan baku yang sulit diperoleh harganya bisa dipatok hingga Rp300.000 per unit.

Saat ini, merek dagang Deisha Keisha Handmade Accessories tengah dalam proses pengurusan hak paten di kementerian Hukum dan HAM.

"Kita sekarang masih dalam tahap dipantau. Kita harus upload produknya terus untuk bahan produknya itu juga dikasih tau juga (dalam keterangan setiap posting barang-RED). Terus, mereka memastikan kalau desain kita harus beda, kalau produknya ada yang sama dengan punya orang lain pasti gagal (tak dapat hak patennya)," terang Deisha.

Dalam melakoni usaha, Deisha mengaku tak memungkiri sempat mengalami jatuh bangun, seperti penurunan penjualan produk karena pelanggan mungkin merasa monoton pada produk yang itu-itu melulu. Untuk itulah kenapa dirinya terus tertantang agar produknya bisa terus di-upgrade.

"Banyak sih cerita jatuh bangun. Awalnya aku masuk ke Zalora dulu, itu memang bagus untuk penjualan. Tapi, lama kelamaan itu agak menurun, jadi aku mesti cari lagi gimana cara bisa ningkatin penjualan, cari marketnya yang tepat itu gimana... terus desainnya juga harus ngikutin minat pasar juga harus berkembang terus," tutur Deisha.

Pada kesempatan itu, ia berharap produk Deisha Keisha Handmade Accessories bisa benar-benar mulai merambah pasar global pada tahun depan. Mengingat sudah ada beberapa pihak yang mengajaknya bekerjasama.

"Harapannya aku pengen jual ekspor tahun depan, InsyaAllah November nanti mau mulai aku jual ke Jerman. Doain ya mas...," kata dia. []


Telah tayang:
https://akurat.co/deisha-keisha-handmade-accessories-punya-mata-batu-alam-sungguhan

NyamNyon Crafty Handmade, Seni Melukis Wajah Dipadu Digital Printing

 


Turut meramaikan perhelatan Bazaar Ideafest X Tokopedia 2017 di Jakarta convention center, akhir pekan lalu. NyamNyon Crafty Handmade tampak menempati salah satu stand di sudut ruang pameran.

Kendati letak standnya berada di sudut yang kurang menguntungkan dalam teori pemasaran, tak berarti keunikan produk NyamNyon Crafty Handmade dapat disembunyikan hingga luput dari perhatian.

"Ini produk saya cetak digital printing, saya jadiin sarung bantal, ada Tote bag, macem-macem, saya juga terima custom order, misalnya untuk wedding, acara ulang tahun, wisuda, itu bisa custom," ujar Intan Qurotul Aini membuka percakapan kepada Akurat.co.

Jangan salah, berbeda dengan usaha digital printing pada umumnya, NyamNyon Crafty Handmade menawarkan jasa melukis wajah secara manual sebelum hasil lukisan itu dilekatkan pada sebuah produk yang diinginkan oleh pelanggan.

Intan Qurotul Aini, pemilik sekaligus kreator NyamNyon Crafty Handmade bercakap, bertahun-tahun bekerja sebagai pegawai di salah satu perusahaan swasta, tidak lantas membuat hobi melukis wajah dan menggambar karikatur yang digandrunginya menjadi lindap dan sirna begitu saja.

Sebab, disela-sela kesibukan membagi waktu antara menjadi seorang istri dan menjadi karyawati, wanita berusia 27 tahun itu masih tetap mampu menyempatkan diri bersenang-senang dan berkutat pada hobinya tersebut.

Seakan gayung bersambut, melihat potensi istrinya, sang suami ternyata mendukung hobi positifnya itu dan bahkan mendorong NyamNyom --begitu panggilan sayang si suami pada dirinya yang kemudian dipakai sebagai merek dagang-- untuk menjadikan kegiatan mengisi waktu luang itu sebagai ladang usaha sehingga bisa menjaring uang tambahan.

"Ini hobi dari kecil, dari SD suka bikin-bikin sesuatu untuk saya jual, terus pas udah nikah di support sama suami, soalnya kan kalau lagi di rumah saya suka gambar, suka bikin bikin apa, terus suami kasih saran untuk dijadiin usaha sekalian aja. Diseriusin terus dijual," kenangnya sambil mengulum senyum.

Intan menuturkan, percaya dirinya semakin subur bertumbuh seiring respon positif yang didapat dari masyarakat hingga tak pelak pemintaan pun melonjak.

"Biasanya mereka minta karakter atau wajah si pemesan, itu saya gambar manual, abis itu saya cetak di produk yang di pesan, misalnya di sarung bantal, ya, saya cetak di sarung bantalnya," imbuhnya.

Kendati belum genap setahun, namun ia memutuskan kedepannya akan fokus pada usaha rintisannya itu, dan tengah mempersiapkan segala hal yang diperlukan untuk benar-benar bisa mengibarkan bendera NyamNyon Crafty Handmade secara legal dan berbadan hukum.

Ia melanjutkan, saat ini dalam proses produksi, Intan telah menggandeng seorang penjahit yang sudah dipercayanya.

Terkait harga, intan mematok harga yang bersahabat karena masih bisa dirundingkan. Sementara untuk omzet penjualan, dirinya memang belum memiliki target khusus karena usahanya ini masih dibilang sebagai permulaan.

"Omzet saya ngga menargetkan ya, soalnya karena ini masih sampingan, tapi kalau dihitung kasar, bisa sih masuk sebulan sampai Rp5 juta, penjualan pun masih seratus persen melalui online," tutur Intan.

Adapun terkait tantangan, menurutnya, hal menantang terbesar saat ini yakni lebih terkait kepada persaingan usaha, mengingat digital printing merupakan usaha yang mulai menjamur dimana-mana. untuk itu kreatif dan inovatif dalam melahirkan produk yang memiliki sentuhan lain dalam satu produk yang sama adalah kunci jika ingin tetap berkembang.

Pada kesempatan itu ia berharap, kedepan usahanya bakal benar-benar bisa besar, sehingga ia tak perlu lagi bekerja pada perusahaan orang lain. Justru sebaliknya, usaha digital printingnya bisa membuka lapangan pekerjaan bagi banyak orang.

"Semoga saya kedepan bisa benar-benar lepas (tidak lagi jadi pegawai). Orang bilang kan pekerjaan paling menyenangkan ya hobi, jadi ngga terasa ngejalaninnya. Hobi yang bisa menjadi peluang dan bisa menghasilkan uang... Pengen ini diseriusin, terus punya store offlinenya, lalu merek labelnya punya hak paten," pungkas Intan kemudian. []

Telah tayang:
https://akurat.co/nyamnyon-crafty-handmade-seni-melukis-wajah-dipadu-digital-printing

Versail Handmade Soap, Buah Tangan Agar Mandi Tanpa Perlu Berbusa

 


Nana korobi ya oki. Demikian bunyi ungkapan Jepang yang kurang lebih memiliki arti; jatuh tujuh kali, maka bangun delapan kali. Dan ungkapan itulah yang melecutkan tekad seorang Velecia dalam membuat produk sabun dari tangannya sendiri.

Sempat berkali-kali gagal membidani sabun produksi rumah tangga, tak membuat gadis muda bermata sipit, berlesung pipit itu patah arang. Sebaliknya, ia justru semakin dibuat penasaran untuk bisa menghasilkan produk sabun yang tak hanya aman saat digunakan tetapi juga menarik dalam tampilan.

Dirasa tak cukup dengan hanya mengikuti runut video youtube tentang tutorial membuat sabun, ia pun menambah referensinya dengan melahap buku-buku aneka tips dan trik membuat produk pembersih badan tersebut.

Kerja kerasnya lunas, beberapa produk sabun buatan tangannya itu, kini tampak elegan terjaja di muka sebuah etlase dalam pameran bertajuk Bazaar Ideafest X Tokopedia 2017 yang dihelat di JCC, Jakarta, akhir pekan lalu.

"Versail Handmade Soap, ini sabun handmade, buatan sendiri, kelebihannya, kita bahan dasarnya natural, lalu kita juga nggak pakai pengawet, nggak pakai tambahan SLS. SLS itu sejenis detergen yang biasa dipakai untuk sabun yang kadang bisa bikin alergi, kulit merah-merah, gatal, makannya sabun kita aman lah," ujarnya saat ditemui Akurat.co.

Velecia menjelaskan, peruntukan produk sabunnya itu dibagi menjadi dua macam, yang pertama sebagai merchandise, giftting atau souvernir. Dan yang kedua sebagai pembersih badan yang biasa digunakan sehari-hari.

"Yang kita pajang di depan ini temanya tematik, biasanya bisa untuk souvenir, merchantdise, atau kado hadiah. Nah, kalau yang di belakang itu personaliti, untuk pemakaian sehari-hari," jelas Velecia.

Khusus untuk produk personaliti, ia menerangkan, Versail Handmade Soap mengangkat tema natural, maksudnya dalam proses produksi benar-benar mencampur bahan-bahan yang alami seperti teh, susu, kopi, coklat dan lain sebagainya.

"Yang personaliti, untuk pemakaian sehari-hari, itu kita angkat temanya menggunakan natural, maksudnya pakai green tea, milk, itu benar-benar pakai bahan asli, dan lagi-lagi semua ini ngga pake pengawet. Pewarnaan kita juga pakai food grade, pewarna yang biasa dipakai untuk makanan, jadi aman, kita usahakan semua bahannya benar-benar save dan semua kulit bisa cocok menggunakannya," katanya lebih lanjut.

Sembari mempersilahkan tim Akurat.co untuk menengok produknya, Velecia mengisahkan, pembuatan sabun buatan tangannya itu bermula dari kegiatan mengisi waktu luang saat dirinya tengah libur bekerja.

Ya, Valencia saat ini memang masih tercatat sebagai seorang karyawan di salah satu perusahaan swasta. Namun demikian, jauh di lubuk hatinya, ia memeram cita-cita untuk bisa menjadi wirausahawan pada suatu hari nanti sehingga tak perlu lagi bekerja pada orang lain. Dan mengibarkan Versail Handmade Soap merupakan salah satu langkah mula yang ia pilih untuk menuju kesana.

Ia mengungkapkan, sabun yang diproduksinya itu awalnya hanya dipakai untuk diri sendiri dan oleh orang-orang terdekat saja. Tapi ternyata setelah ia mencoba menawarkan kepada teman-temannya, mereka merasa cocok hingga memesan kembali produk sabun handmadenya itu.

"Dari situ mulai aku komersialin deh itu di instagram, eh, tau-tau Tokopedia ngontrak saya, awalnya sih disuruh join dulu, ya udah deh aku coba, habis itu, nextnya mereka akhirnya nawarin aku buat ikut acara-acara pameran kaya gini, sempet kaget juga sih, kok cepet banget dapet kepercayaan kaya gini," ujarnya dengan bungah.

Kendati tak bisa menyebutkan jumlah pendapatan yang diperoleh dari menjual produk Versail Handmade Soap, Velicia mengatakan produknya berada dikisaran harga Rp15.000 hingga Rp35.000 perbuah. Angka tersebut dipatok dengan berdasarkan dari berat produk.

"Aku baru sih, ya, belum ada setahun, jadi belum tahu pasti rata-rata pendapatan. Tapi kalau kisaran harga, aku bedain per-gramnya aja, emang sih untuk harga produksi lebih mahal dalam produksi yang natural, cuma aku bedain (harga) karena berat gramnya aja, untuk natural ini aku hargain Rp35.000, itu beratnya sekitar 100-110 gram, kalau yang kecil buat giftting dan merchantdise dengan bentuk kristal itu beratnya 30 gram, aku kasih Rp15.000 itu" rincinya.

Dalam melakoni bisnis rintisannya tersebut, ia mengungkapkan sering terkendala masalah bahan baku yang sulit dicari. Dan demi menjaga keamanan serta kualitas barang, ia juga perlu selektif saat memilah bahan baku yang cocok, serta harus benar-benar mendapatkannya dari produsen yang sudah terpercaya.

Tak berhenti sampai disitu, tantangan yang menghadangnya kemudian yakni terkait ketersedian alat-alat produksi. Untuk melengkapi beragam cetakan yang diperlukan, ia harus mengimpornya dari China lantaran di dalam negeri belum ada yang menjual alat-alat produksi sabun home industri.

"Misalnya untuk beli loyang, cetakan, saya kan biasanya pesennya dari luar negeri, nah, kalau pesen di online itu, karena saya kan masih kecil ya, jadi beli alat loyangnya itu paling satu-dua. Mungkin karena masih pembelian kecil jadi pengirimannya itu lama banget dan ongkirnya juga mahal banget, untuk alat-alatnya itu harus impor karena di Indonesia belum saya temuin," ungkap Velecia.

Dalam pada itu, ia juga menyampaikan kegusarannya terkait mengurus perizinan usaha yang dirasa cukup merepotkan dan rumit. Padahal, izin itu sangat diperlukannya untuk saat ini, mengingat produk yang ditawarkannya merupakan produk kosmetik yang akan lebih dipercaya masyarakat bila sudah mengantongi sertifikasi lulus uji dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).

"Kalau boleh saran sih, buat aturan perizinan, gimana ya, kalau untuk sertifikasi ada levelnya lha ya, mungkin untuk level satu untuk usaha yang bener-bener masih awal dengan syarat-syarat yang lebih sederhana, kemudian yang kedua, lebih meningkat lagi syarat izinnya, maksudnya, kategorinya dipisah-pisah, jangan dipukul rata. Soalnya kok susah banget yak buat dapet izin itu," saran Velecia.

Pada kesempatan itu ia juga berharap agar masyarakat jangan takut menggunakan produk lokal. Menurutnya, para pelaku usaha yang baru merintis usahanya juga berhak untuk mendapat kesempatan berkembang. Jika dari masyarakat saja tak ada dukungan, bagaimana produk lokal bisa tumbuh dan menjadi tuan rumah di negerinya sendiri.

"Kalau bisa cobalah dulu satu, kalau misalnya cocok ya syukur, kalau nggak cocok, ya bisa kasih saran ke kita," pungkas Velecia. []

Telah tayang:
https://akurat.co/versail-handmade-soap-buah-tangan-agar-mandi-tanpa-perlu-berbusa

Reko-Reko Craft, Sepasang Sepatu Rajut Untuk Si Buah Hati

 


Mendung kelabu sempat merundung hati seorang Tari Tarbiyatun pada satu waktu yang telah lalu. Apa pasal? Keinginannya untuk membelikan sepasang sepatu rajut untuk si buah hati, harus kandas karena keterbatasan ekonomi.

Tak rela menyerah pada keterbatasan, terlintaslah di kepala wanita yang kini berusia 38 tahun itu untuk merajut sepatu sendiri. Bermodal buku-buku tentang seni merajut, ia runut segala tahap-tahap dalam tutorial yang tertera di buku itu.

Dan, voila! Bersalinlah sepatu rajut pertama dari tangannya hingga mampu menerbitkan seulas senyum ceria di paras cantik putri emasnya.

"Awalnya karena keterbatasan ekonomi, gara-gara the power of kepepet itu, punya anak cewek, pengen ngedadanin... cuma uang dikit pas-pasan mas, sedih kan ya, dari situ aku mikir, aduh kayanya bisa deh aku bikin ini (sepatu rajut) sendiri, jadi, dari rasa sakit hati itu malah keluar inspirasi ini (bikin sepatu rajut) sendiri," ujarnya saat berbincang dengan Akurat.co saat mengikuti Bazaar Ideafest X Tokopedia 2017 di Jakarta convention center, akhir pekan lalu.

Tak dinyana, sepatu rajutannya tersebut ternyata menculik perhatian anak-anak sepermainan putrinya, saat buah hatinya itu duduk di bangku PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini).

Dari situ, kemudian muncul banyak permintaan dari orangtua-orangtua murid PAUD agar dibuatkan sepatu rajut yang sama untuk putra putri mereka.

"Tapi tadinya malu-malu buat nawarin, sampai dibawa kemana-mana cuma di simpen di tas, karena malu itu, tapi ternyata banyak orang yang suka, sekarang jadi udah biasa buat nawar-nawarin," imbuhnya mengenang seraya mengulum senyum.

Kini, dengan mengibarkan bendera Reko-Reko Craft, sepatu rajutannya itu telah menjadi salah satu ladang usaha dan mampu berkontribusi dalam mendongkrak perekonomian keluarga.

Tari menuturkan, dalam pembuatan sepasang sepatu rajut, biasanya dibutuhkan waktu sekitar satu hari. Itu pun sambil diselingi kegiatan dalam mengurus rumah tangganya.

Bukan cuma sepatu, saat ini rajutannya juga sudah merambah ke barang-barang lain seperti tas, sandal, topi, hiasan rumah dan barang-barang lainnya.

Tapi seperti tak mudah berpuas hati, ibu tiga anak itu kini juga mulai mengeksplor diri untuk memproduksi kerajinan-kerajinan lain seperti mengkreasikan kain perca dan flanel menjadi beragam pernak-pernik.

"Kalau kisaran harga variatif ya mas... Bros-bros Rp5.000 ribu, kalau sepatu rata-rata Rp350.000, kalau Rp400.000 untuk yang paling mahal, dia benangnya juga dobel," rincinya.

Dalam memasarkan produk kerajinannya, Tari fokus mengandalkan media sosial seperti instagram dan melalui grup-grup WhatsApp yang ia ikuti. Saat ini, Tari juga mulai membuka kios kecil di muka rumahnya yang didanai oleh salah satu e-commerce Indonesia yang menawarkan kerjasama.

Disinggung mengenai alasannya menggunakan nama Reko-Reko Craft untuk melabeli produknya, Tari mengatakan merek itu diambil dari celetukan yang kerap dilontarkan putrinya saat dirinya tengah merajut barang-barang pesanan orang.

Tak hanya itu, beberapa orang juga menyarankan dirinya untuk melabeli kerajinannya itu sebelum diposting ke sosial media agar mengantisipasi pembajakan foto produk.

"Waktu itu juga ada saran dari orang-orang kalau posting di IG, foto barang-barang, kasih watermark biar ngga diakuin orang, dari situ saya mikir, kasih nama apa ya... Soalnya kan kalau nama saya sendiri kayanya kurang menjual, akhirnya saya kepikiran pakai nama reko-reko celetukan anak saya itu," terangnya.

Ia melanjutkan, dalam memenuhi pesanan yang kadang membeludak, ia biasa dibantu oleh beberapa tetangga yang sebelumnya sudah diajari cara merajut dan menjahit yang disesuaikan produknya.

"Sekarang kadang dibantu tetangga, teman yang baru ngerajut dua orang, dan yang ngejahit satu," imbuhnya

Terkait tantangan, ia mengaku harus mampu mengembangkan diri dalam membuat model-model produk baru agar pelanggan tak monoton. Selain itu, ia juga tengah berlatih cara-cara mengambil foto-foto produk yang baik sehingga mampu menarik minat calon pelanggan baru.

"Tantangannya, lebih harus bisa mengembangkan model baru, terus mesti belajar lagi, terutama soal gimana apload foto-foto barangnya biar bisa makin menarik kalau di IG, itu saya harus pelajarin itu," tuturnya.

Dalam menjawab tantangan tersebut, Tari tak menutup diri sehingga telah bergabung dengan beberapa komunitas-komunitas yang mendukung usaha kerajinannya itu.

"Saya gabung di komunitas-komunitas yang bisa mendukung saya, banyak dapet ilmu baru juga di situ, di komunitas di Depok sekarang juga sudah jadi binaan dari dinas Desperindag kan, jadi ada beberapa fasilitas dan ikut pameran, pelatihan buat upgrade juga mulai banyak," ujarnya.

Kendati baru benar-benar fokus melakoni usaha Reko-Reko Craft di dua tahun terakhir, tapi Tari berharap usahanya bisa terus tumbuh dan menjadi usaha legal yang besar. Sehingga tak hanya membuka lapangan kerja bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi orang-orang yang berada dalam radius hidupnya.

"Reko-reko benar-benar jadi bisnis legal yang besar. Satu lagi, saya juga pengen pensiun-dini-kan suami saya, saya ngerasa perihatin ngeliatnya, sebegitu beratnya kerja sama orang tapi ngga sebanding sama yang didapat, saya ngerasa bakal lebih enak kalau kita bisa jadi bos untuk diri sendiri," ujarnya penuh harap.

Ia menambahkan, "Saya nggak nyuruh suami untuk berhenti bekerja, tapi ini prepare, Plan B saya, saya optimis sekali, apalagi lihat pelaku pelaku UKM disini saya jadi kepacu banget mas... Anak-anak mudanya top kreatif, saya jadi ngerasa telat baru mulai ini sekarang," tutup Tari sambil tertawa.[]


Telah tayang:
https://akurat.co/reko-reko-craft-sepasang-sepatu-rajut-untuk-si-buah-hati