Senin, 08 Juli 2019

Arku

“Aturannya sederhana: Tidak ada aturan. Terbangkan saja layang-layangmu.”
The Kite Runner – Khaled Hosseini


***

Senja jingga. Kamu duduk bersila di tanah lapang dalam balutan kasual lengan panjang hijau tatami. Setelah memeram janji yang kita buat jauh-jauh hari untuk sama-sama menerbangkan layang-layang ikan yang kubuat seminggu terakhir, arku dilapisi kertas minyak itu pun kini meliuk-liuk lembut di langit mengikuti gerak angin. Tidak singit seperti layang-layang sebelumnya karena benar katamu tempo lalu; angin hanyalah faktor lain kenapa layang-layang pertamaku tak bisa terbang dengan tenang. Kunci utama yang perlu diperhatikan adalah arku. Proporsi dan rangka yang seimbang adalah penentu bagaimana nantinya layang-layang itu akan bisa dengan anggun mengangkasa. Sebegitu tenang ia terbang kini hingga kenurnya tak perlu kita kendalikan, cukup kaitkan pada sebatang dahan dan biarkan angin senja yang melakukan sisanya. Petuahmu adalah keniscayaan betapa fisika telah menunjukan jati dirinya.

Angin bertiup lembut membawa aroma khas senja dan perdu-perdu yang mengering. Halus mengibas-ngibas ujung kerudung sederhanamu. ‘sebentar lagi’ batinku, ‘biarkan sebentar lagi kunikmati ujung kerudung itu bederai-derai dimainkan angin. Sebelum senja ini benar-benar khatam. Sebelum layang-layang kita turunkan.’

“Kamu tahu asal-usul layang-layang dan hal-hal menarik mengenainya?” ujarmu tiba-tiba sambil menoleh. Menangkap basah mata tak santunku yang lamat-lamat mengamatimu.

“Eh, oh? Serius nanya? Salah orang lu. Gue ditanya asal-usul agama yang gue yakinin aja belum tentu bisa jawab. Apalagi ditanya soal remeh temeh asal-usul layang-layang.” Seperti pencuri yang tertangkap basah, jawabanku melantur kemana-mana.”Memang gimana sejarahnya?”

Sambil menggeleng anggun kamu mengulum senyum, “Konon, layang-layang berasal dari Cina dan sudah ada sejak 3000 tahun yang lalu.”

“Hebat yah, Cina, banyak kebudayaan manusia berasal dari sana. Pantesan dulu nabi nyuruh kita nuntut ilmu jauh-jauh sampai ke negeri tirai bambu itu.” celetukku asal menjumput hadits nabi. Bukan karena aku benar-benar tahu, hal itu hanya semata agar membuatmu terkesan. Maklum saja, semakin sedikit yang ku tahu justru semakin tergoda aku memamerkan yang sedikit itu. “Lalu apa menariknya layang-layang?”

“Jadi pada masa Dinasti Han sekitar 200 SM-200 M, layang-layang digunakan sebagai salah satu alat dalam menghalau musuh. Dengan menempelkan potongan bambu, layang-layang yang diterbangkan akan menghasilakan siulan yang cukup nyaring saat angin menerobos rongga bambu itu. karena banyaknya layang-layang yang diterbangkan menjadikan siulan itu terdengar seperti gemuruh, sehingga membuat musuh yang melintas akan panik lalu melarikan diri. Perang dapat dihindari hanya dengan cara yang sederhana. ”

“Astaga, cupu banget panik cuma gara-gara suara siulan bambu.” Dan dari sok tahu, kini aku menjadi sok pemberani. Kupikir dengan tampak gagah aku bisa mengecoh simpatimu.

Lagi, sambil menggeleng anggun kamu mengulum senyum “Tak berhenti sampai di situ. Sejak tahun 1749 Pemanfaatan layang-layang mulai dipakai untuk penelitian ilmiah. Kala itu Alexander Wilson dan Thomas Melvill dari Skotlandia mencoba mengukur temperatur permukaan bumi dengan cara memasang thermometer pada layang-layang. Lalu menyusul di tahun 1752, ilmuan Benjamin Franklin melalui layang-layang berhasil membuktikan teorinya yang mendunia bahwa petir memiliki muatan listrik. Sementara di tahun 1800 hingga awal 1900an layang-layang dimanfaatkan di bidang meterologi dalam pengukuran cuaca.


“Sudahkah manfaat layang-layang sampai di situ? Nyatanya tidak. Pada era perang dunia II, sekoci-sekoci penyelamat ketika itu dilengkapi layang-layang yang berantena radio guna bisa mengirimkan pesan SOS. Dari sana pada akhirnya membuat jatuhnya korban jiwa semakin bisa diminimalisir karena mendapat pertolongan sesegera mungkin.”

“Ternyata di zaman dulu banyak juga ya, fungsi layang-layang.”

“Ya, memang. Meski tampak sederhana tapi layang-layang pernah menjadi begitu bermanfaat bagi umat manusia. karenanya aku senang saat tempo lalu kamu bilang ingin membuat layang-layang. Aku berharap dari situ nantinya kamu bisa mengadopsi nilai filosofis dari layang-layang. Sederhana, apa adanya, dan tidak rumit, yang penting bagaimana sebisa mungkin kamu mampu menjadi manfaat. Aku suka kamu yang seperti itu”

Sambil menelan ludah aku mencoba mencerna apa yang barusan kamu katakan. Hening singgah beberapa jenak hingga menyadarkan betapa konyolnya aku beberapa menit yang lalu, karena ingin tampak pintar dan pemberani dihadapanmu. Jelas-jelas bukan perkara-perkara itu yang membuat tipikal wanita sepertimu menjadi terkesan.
Mencoba mengalihkan rasa malu yang tiba-tiba bertandang, kuraih kenur layang-layang lalu menarik ulurkan guna membuatnya berputar-putar naik turun. Kemudian sambil lalu aku berujar, “Suka sama yang sederhana dan ngga rumit, tapi kelakuan lu sendiri sering banget rumit buat ‘dibaca’.”

Dan lagi-lagi, sambil menggeleng anggun kamu mengulum senyum. Kali ini aku melihat jelas ada lesung yang terjebak di sana.-



08122016

Aturan Main Semesta

“Apabila buah dari suatu perbuatan jahat belum masak, maka orang bodoh (tak bijaksana) akan menganggapnya manis seperti madu; tetapi apabila buah perbuatan itu telah masak, maka ia akan merasakan pahitnya penderitaan.”
-Siddharta Gautama


“Orang yang menabur kecurangan akan menuai bencana.”
-Yesus


“Lakukan apa saja yang ingin kaulakukan, tapi ingatlah kau akan mendapat balasan sebagaimana yang kau lakukan”
-Rasulullah Muhammad


***

Aturan main semesta itu sederhana. Sesederhana pepatah purba yang pernah diucapkan Epictetus, “Apa yang kamu semai itulah yang kamu tuai.” Kamu melakukan suatu perbuatan, maka kamu akan mendapat ganjaran. Kadang ganjaran yang kamu terima atas perbuatanmu akan terjadi dalam waktu singkat. Tapi tak jarang, ganjaran perbuatanmu akan mengalami proses pengendapan terlebih dulu. Bertahun-tahun lamanya. Sampai kamu lupa. Sampai kamu mungkin tak menduga dan tak menyadari, bahwa cepat atau lambat ganjaran setimpal atas segala perbuatan yang pernah kamu lakukan sebenar-benarnya hanyalah soal perkara waktu.

Beberapa bulan lalu, seorang wanita berusia 37 tahun asal kota hujan, Bogor, masuk dalam DPO dan menjadi buruan pihak berwenang. wanita paruh baya itu diperkarakan banyak orang karena telah melakukan aksi penipuan sejak Juli 2015. Modus yang dilakukannya ialah dengan mengajak para calon korbannya menanam modal dalam bisnis pengadaan barang untuk instansi pemerintah, dan menjanjikan keuntungan macam reproduksi protozoa, yakni dalam waktu singkat dapat membelah diri dan berlipat ganda.

Tergoda pada iming-iming wanita tersebut, banyak orang yang tertipu dan menyerahkan sejumlah uang guna berinvestasi. Tak tanggung-tanggung, total rupiah yang mampu diraup wanita tipu-tipu itu mencapai 14 miliar. Angka yang fantastis dan sangat lebih dari cukup jika digunakan untuk biaya resepsi nikahan empat gebetan sekaligus. Woilah.

Hasil akhirnya seperti yang sudah bisa diterka, bersamaan dengan terkumpulnya uang, wanita itu pun seketika menghilang. kira-kira kelakuan wanita itu 11-12-lah kaya cowo-cowo kampret yang seneng PHP-in dedek-dedek gemes di luaran sana, dan tiba-tiba hilang begitu aja saat si dedek-dedek gemes lagi sedang sayang-sayangnyah. Bedebah memang. (Eh, sebentar. Kok, kayanya saya ngga asing ya, sama cowo model gini? #halah #sudahlah ) : ))

Menyadari bahwa telah tertipu mereka pun akhirnya melaporkan perkara itu pada polisi, dan segera saja polisi melakukan pengejaran terhadap wanita tipu-tipu itu. Tak sia-sia usaha yang dilakukan pihak kepolisian karena akhirnya di daerah Cilacap ia berhasil dibekuk.

Dalam penyelidikan diketahui bahwa keberadaan wanita tipu-tipu itu di Cilacap ialah guna menemui seorang dukun yang konon katanya mampu menggadakan uang. Dalam pikirannya, dengan menggadakan uang pada dukun “sakti” itu, nantinya ia akan bisa mengembalikan uang para korban yang sudah ditipunya dan ia akan mendapat keuntungan dari hasil menggadakan uang tersebut.

Berhasilkah rencana wanita itu?

Ayolah… Yang benar saja. Saat londo-londo pirang sudah berpikir bagaimana membentuk koloni industri di luar angkasa guna meminimalisir polusi di bumi. Di sini masih ada gitu orang-orang yang percaya bahwa uang bisa digandakan dengan instan dan bermodal bakar menyan? Ampun, Gusti...

Alih-alih menggadakan uang, dukun yang konon dipercaya bisa menggadakan uang itu justru membawa kabur uang wanita hasil tipu-tipu tersebut. saat akhirnya ditangkap, wanita itu bingung karena penipuannya terbongkar dan bingung karena ternyata ia juga telah kena tipu oleh dukun abal-abal pengganda uang.

Dari kasus wanita di atas, dapat dilihat betapa aturan main semesta berlaku dalam sekejab dengan memutar keadaan di waktu yang relatif singkat. Pada kasusnya, si wanita itu bisa langsung menginstropeksi kesilapannya. Lalu adakah kasus yang membuktikan bahwa aturan main semesta sebenarnya juga kadang berlaku dengan cara mengendapkan dulu? Bahwa semesta sambil “menopang dagu” sebenarnya hanya tengah menunggu waktu untuk menunjukan aturan mainnya? Cerita yang bersumber dari blog ini http://hoedamanis.blogspot.co.id/…/08/posting-keseribu.html… mungkin bisa menjadi representasi.

Syahdan, hiduplah seorang lelaki salih yang di hormati masyarakatnya. Sebagai pengusaha ia dikenal cukup kaya, taat beribadah, baik pada tetangga, dan ringan tangan. Singkat kata, ia sosok yang dipandang “sempurna” oleh masyarakat. Meski begitu ada hal ironis dari lelaki salih ini, karena ia memiliki empat orang anak yang kesemuanya bermasalah dan tidak beres.

Anak pertamanya lelaki. tidak seperti si ayah yang ringan tangan membantu tetangga, anak sulungnya justru ringan tangan dalam memukul istri. Sudah berkali-kali ia terlibat dalam kasus KDRT mengerikan dan dilaporkan pada pihak berwenang oleh istrinya sendiri. hingga akhirnya rumah tangga itu berujung pada perceraian. Membuat nama baik si lelaki salih pun ikut tercoreng. Anak kedua, lelaki juga. Menjadi penjahat yang kerap keluar masuk bui karena kasus pidana. Anak ketiga, perempuan. Hamil di luar nikah, menggugurkan kandungan lalu kini menjalani kehidupan liar. Dan si bungsu, lelaki, berurusan dengan polisi karena tersandung kasus narkoba.

Awalnya orang-orang menyakini bahwa ketidakberesan anak-anak lelaki salih ini adalah “ujian atau cobaan Tuhan.” Penasaran akan kehidupan si lelaki salih, penulis blog ini akhirnya mencoba menelusuri kehidupannya. Sampai akhirnya ditemukan satu fakta mengejutkan yang tak bisa dibilang kecil. Yakni bahwa ternyata di masa lampau lelaki salih ini pernah merenggut hak milik orang lain. (kisah selengkapnya tidak dijelaskan si penulis blog karena hal itu menyangkut privasi orang.) Dia -si lelaki salih- mungkin lupa pada perbuatannya, tapi orang yang haknya sudah dirampas itu masih sakit hati hingga tak sudi memaafkan perbuatannya. Sebegitu sakit hati sampai orang itu tak mau melayat ketika si lelaki saleh ini meninggal dunia.

Kisah lelaki saleh ini hanya salah satu dari sekian banyaknya cerita, betapa aturan main semesta kadang memang tak selalu mengganjar perbuatan seseorang seketika itu juga. Tak jarang ia akan memeram waktu dan membiarkanmu lupa terlebih dulu. Tapi percayalah, pada akhirnya nanti pada satu titik kamu akan kembali “diingatkan”, bahwa karma itu ada. Bahwa balasan dari segala perbuatan itu nyata. Tidak harus menunggu sampai kau mati dan berada di alam barzah, sebab ia sudah akan menjatuhkan hukumnya sejak kau masih menjejakan kaki di dunia.

Terdengar mengerikan?

Tenanglah, tak hanya pada perkara nista dan tercela, kabar baiknya aturan main semesta juga berlaku pada perbuatan-perbuatan terpuji yang kamu lakukan pada sesama. Meskipun sebiji zarah kebaikan yang kamu perbuat, aturan main semesta juga terjadi di sana. Dengan segera atau dengan tertunda, Ia akan menunjukan wujudnya padamu di waktu dan dengan cara yang tidak disangka-sangka. Tapi untuk kisah ganjaran kebaikan ini barangkali akan saya ulas lain kali. Saya tidak bisa menjanjikan tulisan ini akan berlanjut dalam waktu dekat. Tapi... Saya usahakan untuk sesegera mungkin bisa "menculik" kamu dari bapakmu. -Eh, kok? ini ngomongin apa, yah? #MaapPenutupKalimatnyaKriuk




01122016

CieeehhhGitu


ps. WahyuWidya moga-moga samawa...



fb27112016

Alasan Rangga

“Umur saya waktu itu 23 tahun. Di New York hidup itu ngga gampang. Ayah saya udah gak ada, saya harus nyoba nyelesaiin kuliah sambil kerja serabutan sana sini… …Waktu saya antar kamu ke bandara, ayah kamu sempat bisikin saya...”
*Bapak-bapak pake sepeda ontel lewat

“…Dia bilang, ‘Rangga, kalau kuliahnya sudah selesai cepat kembali ke Jakarta dan cari kerja. Jangan sampai Cinta nunggu kelamaan, kasihan dia.’…
*Bapak-bapak pake sepeda ontel lewat lagi.

“…Yang tidak saya ceritakan ke kamu waktu itu, sebenarnya kuliah saya sedang berantakan. Setelah kamu kembali ke Jakarta, saya terus berpikir, saya ini tidak akan pernah membuat kamu bahagia. Membuat kamu harus menunggu bertahun-tahun sampai kehidupan saya benar-benar baik. Sampai akhirnya saya berpikir sebaiknya kita berpisah. Saya hanya akan membuat kamu susah…”
*lagi-lagi bapak-bapak pake sepeda ontel lewat.

(Rangga dalam AADC?2.)


***

Jadi begini, Ri, (Riri Riza). Maksudnya bapak-bapak pake sepeda ontel bolak balik itu apaaaaahhhh???

#DahGituAjah
Percuma juga berpanjang kata kalau tak bertukar maksudnya.




24112016

Senin, 01 Juli 2019

Perspektif

“Perdebatan dua pihak yang berbeda pandangan dan sekaligus berbeda ‘bahasa’, hanya akan berakhir saling ejek. Itukah tujuannya?”
KH. Ahmad Mustofa Bisri (Gusmus)

***





Suatu hari tiga orang mas-mas (sebut saja mas-mas A, mas-mas B, dan mas-mas C), mengajak jalan seorang dedek-dedek gemes yang sedang berada di usia “lucu-lucunya”. Mereka berempat berencana ingin makan-makan di salah satu kafe di pinggiran kota tempat nakanak muda bisa kongkow menghabiskan malam mingguan.

Sesampainya di kafe yang dituju, mereka pun langsung menempati sebuah meja dengan empat kursi, lalu duduk saling silang berhadap-hadapan. Mas-mas A berhadapan dengan dedek-dedek gemes, mas-mas B berhadapan dengan mas-mas C. Mereka (para mas-mas itu) sengaja mengajak jalan si dedek-dedek gemes dalam rangka usaha ngemodusin doi sebab menurut kabar yang tersiar, dedek-dedek gemes ini tengah jomblo dan sedang mencari jodoh yang bisa diajak berumah tangga. Maka demi mendengar kabar ajaib itu tentu membuat mereka langsung bergerak cepat dan tak mau mengulur-ulur waktu. Satu hal yang mereka tak tahu, kalau sebenarnya si dedek-dedek gemes ini cuma menganggap mereka sebagai kakak-adek-an biasa. Ngga lebih. (Tega kamu, dek.)

Tak lama duduk mbak-mbak pramusaji kafe muncul menyodorkan menu. Para mas-mas mempersilakan si dedek-dedek gemes memesan terlebih dulu. “Ladies First” begitu kata mereka gegayaan gentleman macam Casanova.

Sekejab saja si dedek-dedek gemes memesan makanan dan minumannya, lalu diikuti para mas-mas yang menyamakan menu sesuai dengan apa yang dipesan si dedek-dedek gemes. Mereka mungkin berfikir dengan begitu bisa membuatnya terkesan.

Mas-mas A: “Ih, kok selera makan kita sama, ya? berarti kita cocok, dek…”
Mbak-mbak pramusaji sedikit kagok mencatat.

Mas-mas B: “Saya juga samain kaya pesanan gadis ini, ya, mbak. Apapun menunya, selama makannya sama dia, semua pasti nikmat.”
Mbak-mbak pramusaji mulai bergetar mencatat.

Mas-mas C: “Wah, dari rumah, saya emang lagi pingin makan makanan kaya pesananmu, dek. Kebetulan sekali. Mungkinkah ini pertanda semesta?”
Mbak-mbak pramusaji tampak sudah tak kuat, andai bukan karena demi kesopanan dan tuntutan profesional kerja, barangkali ia sudah muntah-muntah di depan para pengunjungnya yang absurd ini.

Setelah mbak-mbak pramusaji mencatat dan memastikan ulang pesanan, ia beranjak pergi menuju dapur tanpa lupa sebelumnya dengan ramah mohon diri dan meminta mereka untuk menunggu sejenak.

Sambil menunggu pesanan datang, mata mas-mas A menyusur sekeliling kafe guna mencari bahan obrolan. Sempat memutar-mutar kepala ke kiri dan ke kanan, tiba-tiba matanya menangkap sebuah simbol yang terukir di tengah-tengah meja yang sempat terlewat. Seperti simbol aksara “E”, batinnya.

Mas-mas A: “Lho, ini simbol huruf ‘E’ di tengah meja maksudnya apa, ya?” ia membuka percakapan.

Mas-mas B: “Apa? Huruf ‘E’ katamu? Itu huruf ‘W‘, bodoh!” serunya spontan dan langsung masuk ke gigi empat. Dia berfikir sikap konfrontasinya pasti akan membuat ia tampak hebat.

Mas-mas C: “Entah apa yang salah pada mata kalian. Itu bukan ‘E’ bukan juga ‘W‘. Jelas-jelas itu huruf ’m‘!“ Tak mau kalah demi bisa mencuri perhatian dedek-dedek gemes, ia pun turut unjuk gigi.

Mas-mas A: “Hei, perhatikan kalimat kalian berdua. Saya ini anak sastra. Saya hapal aksara seperti guru matematika hapal satu tambah satu sama dengan dua di luar kepala!”

Mas-mas B: “Halah, apalah guna sastra dan ilmu dunia tanpa pemahaman agama. Tak selamat kau nanti saat kena hisab di akhirat kelak. Jelas betul bentuk tanda itu macam tasydid di ilmu tajwid. Jadi sudah pasti itu ‘W‘.“

Mas-mas C: “Kalian berdua itu cuma pintar berteori dan taklid buta. Untuk bisa menakar sebuah bentuk absurd perlu imajinasi. Mana bisa otak kanan kalian meraba perkara ini. Ku beritahu pada kalian, tanda yang kita lihat ini macam gambar burung yang sering dibuat anak-anak TK. Jadi tentu ini huruf ’m‘. Paham?”

Mas-mas A: “Susah memang ngomong sama orang yang logika berpikirnya sudah kadung berkabut karena fanatik dan terlalu surealis.”

Mas-mas B: “Hei, tak usah melecehkan keyakinan saya. Kamu pikir logika dan ilmu pengetahuanmu bisa menjawab semua misteri dunia? Dan kau seniman abal-abal, menggambar makhluk hidup itu haram! Dasar manusia-manusia fasik munafik!”

Mas-mas C: “Apa sih, kalian ini? Semua hal harus empiris. Semua hal diartikan secara harfiah membabi buta. Dangkal dan kering.”

Mendengar debat kusir ketiga mas-mas yang makin meruncing tak keruan, si dedek-dedek gemes berdiri lantas pergi tanpa sepatah kata. Ia jengah. Meninggalkan ketiga mas-mas itu yang kini saling melongo kebingungan.

Bukan tanpa alasan kenapa tiba-tiba dia bersikap demikian, sebab, meski bukan seorang hamba yang bisa dibilang taat dalam beragama, namun dedek-dedek gemes ini pernah sempat membaca kitab Al-Wafi; Syarah Hadits Arba’in Imam An-Nawawi karya DR. Musthafa Dieb Al-Bugha & Syaikh Muhyidin Mistu. Di halaman 83-84 kitab itu tertulis, “Jika timbul perbedaan yang akan menyebabkan terjadi perselisihan, maka dia (Rasulullah) memerintahkan kita untuk berdiri dan meninggalkannya…”

Dalam sebuah riwayat di tulis, bahwa suatu ketika saat Rasulullah sedang sakit keras, beliau hendak menulis bagi mereka (para sahabat) satu kitab (wasiat) agar mereka tidak tersesat untuk selamanya. Namun mereka berselisih antara ditulis atau tidak, maka Rasulullah merobek kitab tersebut dan bersabda, “Pergilah dariku!” sebagai teguran dan peringatan bahwa perselisihan dan saling menghardik satu sama lain adalah sebab kerugian. Satu saat juga Rasulullah bersabda, “Bacalah Alqur’an selama ia mempersatukan hati-hati kalian. Dan Jika kalian berselisih, maka berdirilah dan menghindarlah darinya.”

Si dedek-dedek gemes menyayangkan sikap mas-mas B yang dengan arogan menghakimi orang lain sebagai fasik munafik, hanya karena tidak sependapat dengan interpretasinya dalam memaknai simbol yang terukir di meja itu. Tidakkah mas-mas B belajar dari Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hambali yang meski berbeda mazhab dan pendapat, namun tetap saling menghormati dan tidak mengklaim diri sebagai yang paling benar? Di atas itu semua, tidakkah menghakimi adalah hak prerogratif Sang Khalik?

Tak hanya menyayangkan sikap mas-mas B, si dedek-dedek gemes juga kecewa pada mas-mas A sebab, tidakkah ia menyadari bahwa ilmu pengetahuan yang diketahuinya belumlah final? Tidakkah mas-mas A menyadari bahkan di dalam Kamus Bahasa yang menjadi “kitab suci”nya terdapat kata ambigu, homonim, dan sinestesia? Sehingga sangat mungkin menimbulkan makna ganda antara satu orang dengan lainnya. Jadi bagaimana mungkin dengan yakin ia mengklaim diri sebagai orang yang paling mengerti dalam perkara ini?

Setali tiga uang dengan mas-mas A dan mas-mas B, mas-mas C yang berdiri di ranah seni bukannya meredam perdebatan, ia justru ikut menjadi salah satu bahan bakar perselisihan tersebut hingga terus berlanjut. Bukankah seni bersifat membebaskan, tak ajeg dan keluar dari pakem? Hal itu yang mendasari kenapa seni tidak mengenal konsep salah benar. Sebab dalam ranah seni semua perkara hanya soal pilihan selera. Tapi kenapa mas-mas C justru merasa bahwa interpretasinya yang paling tepat hingga menyalah-nyalahi yang lain?

Si dedek-dedek gemes menyayangkan sikap ketiga mas-mas itu karena terlalu berfokus pada simbol yang mereka lihat. Sebegitu sempit sampai mereka silap bahwa ini sebenarnya bukan semata tentang simbol itu sendiri, melainkan juga dari sisi mana melihatnya. Sebenarnya tak ada yang salah jika simbol itu melahirkan interpretasi yang tak sama di masing-masing kepala mereka, sebab memang mereka pun melihat simbol itu dari sudut yang berbeda-beda. perihal simbol ini menjadi masalah karena masing-masing dari mereka tak sudi meluangkan waktu untuk melihat dari sudut yang berbeda.

Si dedek-dedek gemes berharap, andai saja ketiga mas-mas itu mau menyempatkan diri untuk melihat simbol itu dari sudut tempat si dedek-dedek gemes duduk, barangkali mereka akan menyadari bahwa simbol itu tak akan lagi terlihat sebagai sebuah aksara, melainkan akan tampak seperti sebuah angka. Angka “3”.

Dari sana pada akhirnya nanti semoga mereka bisa benar-benar mengerti, bahwa simbol itu memang dapat dilihat dari beberapa sisi. Jadi masih perlukah mereka saling berselisih?

.

.
*Di meja pojok kafe yang kurang mendapat lampu pencahayaan, si pembuat simbol mengamati dalam remang sambil tertawa diam-diam.




16112016

Aptenodytes Forsteri

“Kita masih melakukan hal yang sama, masih di tempat yang terpisah. Dan tak pernah kau pertanyakan lagi keberadaanku. Sebab bagimu aku selalu ada.”
Elipsis – Devania Annesya

***


Hidup di habitat ekstrem kutub bumi, penguin merupakan makhuk monogami yang sangat setia pada satu pasangan. Penelitian mencatat, meski masa hidup Aptenodytes forsteri ini hanya berada di kisaran 13 sampai 15 tahun, namun usia “pernikahan” sepasang penguin bisa mencapai 10 hingga 13 tahun.

Dalam siklus normal, perkawinan sepasang penguin biasa terjadi pada bulan Juni. Ketika mencari “calon istri”, meski tak bisa terbang, penguin jantan akan mengepak-ngepakan sayap guna mencuri perhatian si betina. Terdengar konyol memang, tapi entah kenapa pada akhirnya ada saja penguin betina yang akan terpikat pada penguin jantan itu. ketika dirasa sudah saling menemukan kecocokan, sepasang penguin kasmaran itu akan membuat ikatan dengan cara saling menepuk sayap. Tepukan sayap ini semacam akad janji untuk bersedia saling hidup setia sampai mati.

Bukan semata omong kosong, kesetian sepasang penguin benar-benar akan diuji kala mereka sudah melangsungkan “pernikahan”. Sebab, tak lama setelah perkawinan itu dilangsungkan mereka harus berpisah. Sementara penguin jantan bersama kelompoknya akan mengembara demi mengumpulkan makanan dan melakukan perjalanan beratus-ratus kilometer jauhnya, si betina akan menetap di sana menjaga bayi mereka. (Ada kalanya terjadi sebaliknya, si betina mencari makan dan si jantan yang akan menjaga anak.) Sebelum pergi, ia akan berjanji pada “istrinya” bahwa mereka akan bertemu lagi di tempat yang sama pada bulan Maret tahun depan.

Benar saja, di waktu yang sudah dijanjikan penguin jantan itu kembali. Dengan siulan, seekor penguin akan memanggil pasangannya. Lalu bagaimana sepasang penguin bisa saling mengenali satu sama lain? mengingat ratusan penguin lain juga melakukan hal yang sama. Dengan ciri fisik dan suara siulan yang serupa, bagaimana mereka bisa saling menemukan?

Tuhan selalu memberi cara untuk makhluknya. Meski tak berakal dan sudah terpisah berbulan-bulan, pingiun memiliki insting untuk mengenali pasangannya dengan sangat baik. Mereka bisa benar-benar membedakan mana yang pasangannya dan mana yang bukan meski sekawanan penguin memiliki ciri fisiologi yang sama. Dan bila si “istri” belum memunculkan diri, penguin jantan akan tetap berada di tempat itu sambil terus menerus bersiul memanggil pasangannya sampai janji bertemunya lunas terbayar.

Tak hanya penguin, meski tak benar-benar sama barangkali kisah yang nyaris serupa juga dialami oleh Piper dan Gabriel.

Kala itu Piper masih berusia 14 tahun dan tinggal di New Hampshire. Sementara Gabriel yang setahun lebih tua darinya menetap di Massachusetts. Keduanya saling mengenal pada tahun 1994 melalui kegiatan korespondensi yang mereka lakukan. Saat akses internet belumlah semudah seperti sekarang ini, memiliki sahabat pena merupakan kegiatan yang sempat marak di kalangan anak-anak muda ketika itu. Lewat sahabat pena seseorang akan mampu menjangkau orang lain meski jarak keduanya terpisah bermil-mil jauhnya.

Empat tahun Piper dan Gabriel menjadi sahabat pena, baru satu kali keduanya bertemu dan bertatap muka. Dari pertemuan itu mereka menjadi semakin saling mengenal satu sama lain, dan ternyata memiliki obsesi yang sama. Baik Piper dan Gabriel sama-sama menyukai Shakespeare dan ingin menjadi aktor.

Sibuk dengan kegiatan dan aktivitas masing-masing guna meraih mimpi, membuat kedua sahabat pena itu sempat kehilangan kontak selama belasan tahun lamanya. Keduanya tak menyadari bahwa setelah empat belas tahun berlalu ternyata mereka sama-sama melanjutkan studi akting di London dan hanya terpisah tiga blok saja.

Tapi Tuhan memang sudah menyiapkan kejutan untuk mereka, sebab pada tahun 2011 keduanya dipertemukan kembali melalui situs cari jodoh, OkCupid. Kala itu Gabriel menemukan profil Paper dan mendapati kecocokan sebesar 94 persen. Awalnya Gabriel tak menyadari bahwa gadis itu tak lain adalah sahabat penanya, sebab Piper menggunakan nama samaran untuk profilnya. Namun alangkah terkejutnya Gabriel saat mengirim chat ajakan untuk bertemu, ia justru mendapat balasan, “Gabe! Ini Piper! Sahabat penamu!”

Sejak saat itu mereka kembali berhubungan. Piper kemudian tahu bahwa surat-surat yang dulu dikirimnya ternyata masih disimpan rapi oleh Gabriel dalam binder ungu bertuliskan ‘Piper G’. Tak rela saling kehilangan untuk kedua kalinya, Piper dan Gabriel memutuskan menikah pada Oktober 2013 dan kini mereka tinggal di Brooklyn.

Well, apa yang bisa dipetik dari sini?

Tak usah terlalu memusingkan diri mencari-cari siapa jodohmu. Untuk saat ini, selama masih punya cukup waktu, ada baiknya fokus saja untuk terus meningkatkan kualitas dirimu. Percaya saja pada rencana-Nya. Percaya saja bahwa segala hal baik akan dipertemukan kebaikan pula. Dan pada akhirnya semua hanya perkara waktu. Karena memang tak ada yang terjadi tidak pada waktunya.




10112016

Aku Melihat Tandamu

“a relationship among sign, an object and a meaning.”
Charles Sanders Pierce

***


Aku melihat tandamu. Aku membaca isyarat itu;
Tentang seekor siput yang merayap pada ujung dahan di atas perairan. Meski merangkak lambat namun siput makhluk yang kuat. Ia mampu memanggul cangkang yang sepuluh kali lebih berat dari tubuhnya. Bukan tanpa alasan kenapa siput sudi membawa serta cangkangnya kemana pun ia beranjak. Semata-mata agar ia bisa selalu mengingat, bahwa cangkang itu tak lain adalah rumahnya. Maka dimanapun pun ia berada dan sejauh apapun ia melata, kepada rumahnya itulah ia selalu memiliki alasan untuk pulang.

Dan sejak saat itu aku merasa kamulah rumah itu, tempat di mana pada akhirnya nanti aku akan pulang ke sisimu.

Aku melihat tandamu. Aku membaca isyarat itu;
Tentang seekor angsa yang berenang sendirian di tepi muara. Sedikit janggal sebab biasanya sekawanan angsa akan terbang bersama-sama ke selatan. Membentuk konfigurasi serupa aksara “V” guna bermigrasi menghindari gigitan musim dingin. Mereka perlu membentuk formasi seperti itu, Sebab dengan begitu kawanan angsa akan mampu terbang beratus-ratus kilometer lebih jauh dibanding bila terbang sendiri. Dalam formasinya, kepakan sayap pemimpin angsa paling depan akan memungkinkan angsa di belakang mendapat dorongan sehingga lebih ringan untuk terbang. Dan bila saatnya nanti sang angsa pemimpin merasa lelah, ia akan bertukar posisi dengan angsa yang lain. Begitu seterusnya hingga akhirnya mereka sampai ke selatan dan menghabiskan musim semi di sana.

Tapi kenapa di petang yang muram angsa itu sendirian? mungkinkah karena lelah membuat ia terpaksa berhenti hingga akhirnya terpisah dari kawanan? Siapa yang kamu maksud? Aku, kah, angsa itu? atau barangkali itu kamu?

Jika kamulah angsa itu maka aku akan menghampirimu. Menemanimu hingga pulih, lalu kita akan membuat kawanan baru dan terbang ke selatan bersama-sama.

Aku melihat tandamu. Aku membaca isyarat itu;
Tentang beruang yang tak mungkin terbang maka ia mencoba cara yang lain. Melesat berlari dengan kecepatan hingga puluhan kilometer perjam, atau ia akan berenang. Mengandalkan tungkai depan sebagai pengayuh dan tungkai belakang sebagai kemudi, beruang mampu berenang berpuluh-puluh mil jauhnya tanpa henti.

Ya, jika ternyata akulah angsa yang terpisah dari kawanan itu karena sudah terlalu lelah untuk terbang, maka aku akan pulang padamu melalui jalan lain. Akan ku coba mengadopsi cara beruang berlari dan atau berenang sesegera mungkin.

Aku melihat tandamu. Aku membaca isyarat itu;
Tentang pendar cahaya ubur-ubur di tepi pantai yang gulita. Pesonanya memang menggoda tapi jangan sekali-kali tertipu, meski jelita ia makhluk yang berbisa. Sengatnya sangat mampu membuat siapa pun lumpuh bahkan terbunuh. Maka jangan pernah berpikir untuk menyentuhnya.

Barangkali dalam perjalanan pulangku, akan ada sekawanan ubur-ubur yang menggoda. Tapi percayalah aku akan camkan pertandamu. Aku hanya ingin mencari tahu bagaimana ubur-ubur menjadi bioluminescene hingga bisa bersinar. Kelak dari situ barangkali aku bisa menghadiahimu pijar cahaya.

Aku melihat tandamu, tapi maaf jika ternyata aku keliru menafsirkan isyarat itu.
Mungkin karena aku hanya terlalu senang telah menemukanmu.




02112016

Sidang Peradilan

“Homines libenter quod volunt credunt.”
Terentius

***


Awalnya ini hanyalah sebuah proses pengaduan biasa. Kamu pelapor dan aku saksi yang menemanimu dalam membuat Berita Acara Perkara. Apa yang kamu perkarakan ketika itu? Kepada pihak berwenang kamu melaporkan tentang hatimu yang hilang. Ya, petugas yang tengah menangani laporanmu itu tak salah dengar, ini memang perkara tentang hilangnya hati seorang gadis muda. Runyam betul sepertinya sampai-sampai membuat petugas itu seketika tersentak. Dari air mukanya ia seolah berkata, kasus ini berpotensi menjadi isu nasional dan bisa menggemparkan jagat media.

“Tragis, Seorang Gadis Kehilangan Hati Hingga Nyaris Mati.” Kira-kira begitu judul headline yang akan tertera di surat kabar pelosok negeri. Tak usah heran kalau judul itu terdengar bombastis dan tendensius, karena banyak media di republik ini memang lebih senang menggiring opini publik ketimbang mewartakan berita yang membebaskan khalayaknya untuk memiliki interpretasinya sendiri.

Petugas yang menangani BAP-mu bergetar, bulir-bulir keringat sebesar biji jagung mulai keluar dari kening dan tengkuknya. Ini bukan perkara sembarang. Ia harus menanganinya dengan serius dan bergegas. Seperti mendapat durian runtuh, kasus menggoda ini serupa santapan sedap yang mampu membuat pangkatnya melesat dalam waktu singkat. Maka bagaimana pun ia mesti segera “mengungkapnya”. Tak jadi soal jika harus menghalalkan segala cara.

Petugas itu lalu memintamu menceritakan runut kronologis dan sejak kapan mulai menyadari kalau ternyata hatimu telah hilang. Sebenarnya kamu sedikit bingung darimana memulai cerita, karena kamu sendiri pun tak bisa benar-benar mengingat dengan pasti, sejak kapan dan bagaimana persisnya sampai hatimu bisa hilang. Seingatmu beberapa bulan yang lalu hatimu masih ada dan baik-baik saja. Kamu baru tahu kalau hati itu sudah tak ada di tempatnya sore tadi saat tengah berada di taman kota tempat kita biasa bertemu.

Gusar karena tiba-tiba menyadari ada bagian dari dirimu yang hilang, kamu segera menghubungiku untuk bisa menemuimu. Tak ambil tempo aku pun bergegas menjemputmu. Sesampainya di taman itu dan setelah kamu memberi sedikit penjelasan, kita pun memutuskan untuk langsung saja melaporkan perkaramu pada pihak yang berwenang. Dan, ya, di sinilah kita akhirnya saat ini.

Mendengar ceritamu petugas itu belum bisa mendapatkan petunjuk. Namun hari merangkak larut. Dan sepertinya karena terlalu terguncang atas kehilangan itu membuatmu menjadi tak terang lagi berbicara. Demi melihat kondisimu akhirnya diputuskan bahwa penyelidikan akan dilanjutkan esok harinya. Kita pun beranjak pulang untuk sementara.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Suram betul suratan nasibmu. Karena setelah kehilangan hati ternyata membuat pikiranmu lumpuh dan susut. Bahkan hanya butuh satu malam akalmu sudah benar-benar beringsut. Sampai-sampai untuk mengenali diri sendiri pun kamu tak sanggup.

Esok paginya alih-alih ke kantor yang berwenang untuk melanjutkan penyelidikan, kamu ternyata harus dibelokan ke panti rehabilitas jiwa. Depresi stadium akut, begitu orang-orang pintar di sana memvonis keadaanmu.

Penyelidikan pun akhirnya dilanjutkan dengan mengandalkan keterangan saksi-saksi. Aku salah satu saksi itu. Tim penyidik melontarkan beberapa pertanyaan guna mengumpulkan informasi dariku. Mereka menanyakan apa hubunganku denganmu? Sudah berapa lama aku mengenalmu? Dengan siapa saja kamu berteman beberapa bulan terakhir? Dan adakah nama-nama yang barangkali bisa dicurigai dalam kasus ini?

Aku menjelaskan bahwa hubungan kita hanya sebatas teman dekat. Entah sejak kapan tepatnya, yang jelas kita sudah saling mengenal sejak bertahun-tahun lalu. Sepanjang pengetahuanku kamu berteman dengan banyak sekali orang. Tapi… ah, ya, aku ingat sekarang, beberapa bulan belakangan ini kamu sempat bercerita tentang sesosok lelaki yang diam-diam kerap datang mengunjungi pikiranmu. Baik di saat terjaga maupun di dalam mimpi. Meski begitu kehadiran lelaki itu tak bisa dibilang mengganggu karena kamu pun ternyata menyukai kedatangannya. Tapi sayangnya kamu tak pernah sekali pun menyebutkan namanya. mungkinkah lelaki itu berkaitan dengan kasus hilangnya hatimu? Kali ini justru aku yang balik bertanya pada tim penyidik.

Mungkin saja. Singkat kata penyidik itu menjawab.

Interogasi dicukupkan, aku dipersilakan untuk pulang. Esoknya tim penyidik memanggil teman-teman dekatmu yang lain untuk menggali informasi lebih lanjut. Aku mengenali mereka sebab memang pada kenyataannya kita semua berada dalam lingkaran pertemanan yang sama.

Lalu langit runtuh. Selang tiga hari kemudian pihak yang berwenang membawa surat penangkapan atas namaku. Dari keterangan saksi-saksi yang dikumpulkan, kesemuanya memiliki kesamaan cerita yang mengarah padaku. Aku terindikasi menjadi pelaku dalam pencurian hatimu sebab hanya akulah satu-satunya lelaki yang dekat denganmu. Tidak hanya beberapa bulan terakhir tapi bahkan sudah bertahun-tahun lamanya. Statusku kini berubah dari saksi menjadi tersangka.

Berminggu-minggu kemudian aku mendekam dalam tahanan sementara pihak berwenang. Setelah berkas delik perkara dilimpahkan ke kejaksaan, segera saja psoses persidangan pun digelar berkali-kali. Hampir semua agenda persidangan telah dilalui. Dari meminta keterangan saksi-saksi, yakni orang-orang terdekatmu hingga keterangan para saksi ahli. Tidak main-main karena dalam persidangan ini bukan hanya menghadirkan pakar kriminologi tapi juga para psikolog, fisiolog, dan grafolog. Tak adanya saksi mata yang benar-benar melihat aksi pencurian hatimu membuat kasus ini menjadi terlalu pelik.

Bukti-bukti seperti CCTV yang ada di taman dan transkip isi pesan singkat yang pernah kita lakukan, sebenarnya juga tidak cukup kuat untuk membuktikan bahwa akulah lelaki yang telah mencuri hatimu. Tapi perkara ini sudah kadung menyita perhatian publik. Jadi bagaimana pun harus ada seseorang yang bisa segera dipidanakan.

Maka persidangan pun terus berlanjut hingga kini memasuki babak pembacaan dakwaan. Setelah menimbang hal-hal yang dianggap memberatkan dan meringankan yang terkesan dipaksakan, tim jaksa penuntut umum akhirnya merubah statusku dari tersangka menjadi terdakwa, lalu menuntutku dengan ancaman hukuman seumur hidup.

Sidang ditutup untuk sementara dan akan dilanjutkan esok lusa dengan agenda pembacaan pledoi dari terdakwa.

Pledoiku…
“Aku benar-benar hanya menganggapnya sebagai teman dekat. Menurutku ia gadis yang hangat dan menyenangkan. Tipikal manusia yang mampu membuat siapa pun yang berada dalam radiusnya akan menemukan zona nyaman. Barangkali inilah alasan kenapa aku bisa berteman dengannya dalam kurun waktu yang sangat lama.

Sebegitu dekatnya kami hingga saling mengerti kebiasaan-kebiasaan kecil satu sama lain. Seperti aku yang tahu persis bagaimana ia akan menggigit bibir jika sedang berpikir, seperti apa raut muka ketidaksukaanya ketika mendapati sesuatu yang diletakkan tidak pada tempatnya, dan bahkan aku hafal di luar kepala pada tanggal berapa saja ia akan melingkari almanak saat tamu bulanannya datang mengunjunginya. Begitu pula sebaliknya, Ia tahu dengan rinci di kalimat mana saja aku jatuh hati pada baris kata-kata dalam sebuah buku yang kubaca, paham betul gelagatku saat tengah berkata benar atau sedang berdusta, sampai-sampai ia hapal perilaku mana saja yang termasuk alter ego tersembunyiku dan mana-mana yang merupakan tabiat asliku.

Jika dalam sebuah jurnal Psikologi dinyatakan bahwa; kedekatan hubungan yang teramat kuat akan mampu membuat manusia-manusia yang terlibat di dalamnya bisa saling mengerti satu sama lain tanpa harus berucap dan saling bertukar kata, maka sudah sampai di titik itulah kedekatan kami.

Jadi bagaimana mungkin aku akan tega mencuri hatinya?

Ya, tak bisa kupungkiri belakangan ini ada sebentuk perasaan baru yang sebenarnya mulai bertumbuh dalam diriku. Awalnya aku sendiri tak menyadari dan tak pernah benar-benar bisa mengindentifikasi perasaan apa itu. Yang jelas aku menjadi kerap dihinggapi perasaan rindu, sebegitu rindu hingga membuat hatiku biru jika sehari saja tak bertemu dengannya. Karenanya aku selalu mencari cara untuk bisa sesering mungkin menjumpainya.

Meski begitu sekali lagi ku tekankan, aku tak pernah sekali pun berniat mencuri hatinya. Aku hanya kerap tergoda untuk bisa menyentuh inti hatinya dengan perlahan. Apakah itu kejahatan?

Sempat aku bertanya-tanya pada diri sendiri mungkinkah ia juga merasakan hal yang sama? Pernahkah ia merasa jatuh rindu bila tak bertemu dengan ku dalam kurun waktu yang lama? Tapi setiap hendak mengkonfirmasikan perihal itu padanya, tiba-tiba saja nyaliku menciut. Keberanianku beringsut pergi mengkhianati tuannya tanpa sedikit pun memberi aba-aba. Aku mati kutu.

Hingga pada satu ketika dia bercerita tentang seorang lelaki misterius yang mulai kerap muncul di pikiran dan mimpi-mimpinya. Lelaki asing yang sepertinya sudah lama ia kenali tapi tak kunjung jelas paras dan garis-garis warnanya. Semakin keras dia mencoba untuk mengingatnya, maka semakin gelap yang ia dapat. Dia sebenarnya senang atas kunjungan-kunjungan surealis itu, tapi bagaimana pun selalu ada ambang batas pada semua perkara. Begitu pula dengan rasa penasarannya.

Tak tahan menyimpan tanda tanya itu sendirian, ia pun menceritakan “pertemuannya” itu padaku. Kontan aku terkejut kali pertama mendengar ceritanya. Tapi kuat-kuat ku coba berdamai dengan gusar yang tiba-tiba saja menjalar di setiap impuls syaraf kesadaranku. Siapa lelaki beruntung namun tak tahu diri itu? mungkinkah aku mengenalinya? Kenapa ia dengan tidak santunnya merebut perhatian gadisku? “merebut gadisku”? ah, tidak, tidak, aku tak berhak menggunakan frasa itu. Kurang ajar! Aku tak tahu harus berbuat apa. Lalu kedap melingkupiku setelah itu.

Berhari-hari kemudian aku mencoba menghindar dan sebisa mungkin menjaga jarak dari radius hidupnya. Bersandiwara baik-baik saja di depan seseorang yang telah membuat kita terguncang sungguh perkara rumit dan sulit untuk dijelaskan. Sampai akhirnya di satu senja yang berjelaga kudapati panggilan darinya. Mengabari perihal tentang hatinya yang tiba-tiba hilang begitu saja.

Dan kini, setelah sidang-sidang panjang yang melelahkan ini aku merasa ada letupan neuron di kepala yang seketika pecah. Seperti pematik api yang mencipta sepercik cahaya di ruang gulita, pendarnya mulai memperjelas tanda yang sebelumnya sempat tak terbaca. Mungkinkah lelaki itu ternyata bukanlah siapa-siapa? Sebab ternyata dia ada disini. Terduduk di atas kursi pesakitan dan terancam menjadi terpidana, karena terlambat membaca tanda implisit dari gadis yang mentalnya kini terlanjur tak genap lagi.

Jika memang demikian tentu ini bukan lagi perkara salah atau tidak. Ini perihal ketololan yang berlapis-lapis karatnya. Maka sebelum hakim menjatuhi hukum dan mengetuk palu, sebenar-benarnya aku layak untuk dikutuk penyelasan seumur hidup.”

Usai pembacaan pledoi sidang ditutup. Putusan hakim akan ditunda hingga pekan depan.




27102016

Kangen Band dan Perkara Pembajakan

“Waktu itu kami seneng banget denger lagu kami dibajak.”
Dodhy Kangen Band

***

Setidaknya, –ini menurut saya- ada tiga hal yang menarik untuk diulas dari band asal Lampung, Kangen Band. Terlepas dari kelakuan Andika sang vokalis yang-mak-jan-kemlinti-tenan, harus diakui band yang terbentuk pada tanggal 4 Juli 2005 dan sempat digawangi oleh enam pemuda kampung ini merupakan salah satu band yang menginspirasi.

Kok, bisa?

Baiklah, mengingat saya sedang asyik memfokuskan diri merampungkan serial The Flash, maka saya akan langsung mengulas perihal ini dengan tempo selekas-lekasnya.
Pertama, dari Kangen Band saya belajar betapa kekuatan mimpi mampu menerabas segala ketidakmungkinan-ketidakmungkinan yang paling tidak mungkin sekalipun.

Dalam bukunya, 45 Inspirasi Hidup Sukses: Mencerahkan dan Menggugah, Daffa Arrafqi sempat mengulas latar belakang kehidupan para personil Kangen Band. Ia menulis bagaimana Dodhy sang gitaris sekaligus penggubah lagu paling produktif, sebelumnya merupakan seorang kuli bangunan, Thama pada gitar ritem adalah penjual sandal jepit, Lim pada drum bekerja di sebuah bengkel, Bebe pada bass mengisi hari-harinya dengan membantu orangtuanya berjualan nasi uduk, dan Andika selaku vokalis dengan poni ajaibnya adalah seorang penjual cendol keliling. Meski hanya bermula dari sekumpulan pemuda biasa dengan latar belakang pekerjaan yang sama-sekali-enggak-punya-urusan dengan diatonik nada, mereka tetap percaya diri dan sepakat untuk membulatkan tekad bahwa kelak melalui lagu mereka akan menaklukan Ibu Kota.

Dengan kegigihan untuk terus berlatih hingga sempat beberapakali menggadaikan sepeda motor hanya demi bisa menyewa studio rental, pada akhirnya mengantarakan mereka mewujudkan mimpi besarnya itu. Tak keliru jika Arai dalam Edensor-nya Andrea Hirata pernah lantang bicara, “Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu.”

Hal kedua yang bisa saya pelajari dari riwayat perjalanan Band yang mulai beranjak naik daun di tahun 2006 ini adalah perihal pentingnya segmented. Betapa kejelian Jusak Sutioso selaku Managing Direktor Warner Musik Indonesia pada waktu itu layak untuk diapresiasi. Seperti Raja Midas dalam Mitologi Yunani yang mampu mengubah setiap apapun yang disentuhnya menjadi emas, melalui tangannyalah, Kangen Band menemukan tipping point dan mencapai puncak kejayaannya.

Kepekaan Jusak yang mampu melihat mass market (pasal massal) ialah merupakan kelompok C dan D, yakni kelompok masyarakat menengah ke bawah yang kerap dilupakan orang sebenarnya adalah masyarakat yang penting untuk diperhitungkan. Ketika banyak orang yang abai dan mengecilkan peran konsumen dari kelompok ini, ia justru membidik sasarannya setepat mungkin di sana. Betapa kecendrungan pasar massal yang menyukai lagu dengan melodi yang didominasi nada minor serta aransemen sederhana –dan semua kapasitas ini dimiliki dalam tubuh Kangen Band—baginya merupakan tambang emas yang hanya perlu sedikit diberi sentuhan.

Hasilnya?

Pada Februari 2007 album pertama Kangen Band yang bertajuk Aku, Kau dan Dia, mampu terjual sebanyak 300.000 keping. Angka yang cukup fantastis mengingat artis terkenal pada masa itu bahkan sangat sulit untuk bisa menembus penjualan 50.000 kopi.

Well, bagi sebagian orang yang pada saat itu sempat mengatakan bahwa musik Kangen Band adalah musik kampungan, dan produk sampah di blantika musik Indonesia barangkali perlu sedikit tahu; (*Ssstt… saya mengucapkan ini sambil berbisik-bisik) setidaknya Kangen Band bersama Jusak dan manajemen WMI mengerti betul apa dan bagaimana pentingnya segmentasi. Lalu apa kabarnya dengan kamu? :)

Ketiga, dan ini yang sempat membuat saya benar-benar takjub beberapa saat, di tengah hingar bingar kampanye anti pembajakan yang dilakukan oleh banyak orang –dalam hal ini orang-orang yang terkait dalam indrustri musik- karena menganggap pembajakan merupakan bentuk pelanggaran terhadap Hak Kekayaan Intelektual dan dapat merugikan para pekerja seni yang mendulang rezeki melalui bermusik, Dodhy selaku “pentolan” dari Kangen Band justru kegirangan arang kepalang kala mengetahui bahwa ternyata lagu-lagu Kangen Band diputar dari CD-MP3 bajakan oleh para penjual kaki lima di Pasar Tengah, Tanjung Karang.

Alih-alih misuh-misuh kepada para PKL sebab sudah menjadi bagian dari lingkaran setan pembajakan yang semena-mena membajak lagunya, ia justru seperti berterimakasih karena merasa dengan cara begitu lagu-lagunya semakin bisa didengarkan oleh sebanyak mungkin orang. Barangkali ketika itu yang terpenting bagi Dodhy bukanlah bagaimana mendulang sebanyak-banyaknya uang melalui royalti lagu-lagu gubahannya, tapi bagaimana caranya agar karyanya itu bisa sampai ke sebanyak mungkin telinga pendengar.

Yah, bagaimana pun pembajakan merupakan perbuatan tercela dan menyalahi hak cipta. Tapi sikap Dodhy yang lebih memilih senang saat lagu-lagunya dibajak, tentu merupakan pilihan yang mesti sama-sama kita hormati.

Dari sikap Dodhy ini saya belajar, memperoleh uang dari karya-karya yang kita hasilkan itu memang kabar gembira. Tapi mendapati karya-karya kita bisa diterima dan dicintai oleh sebanyak mungkin orang ternyata –Puji Tuhan- hal itu jauh lebih menyenangkan.



20102016