Minggu, 30 Juni 2019

Otak Gesrek

“Gesrek apaan tuh ka Zal?”
Sandy Abu Hudzaifah

(Nah, kebetulan kak San, kemarenan juga ada yang sempet ngotot soal istilah otak gesrek. Jadi sekalian dah gue coba ulas di sini.)

***



PENTINGNYA MEMAHAMI MAKNA OTAK GESREK DAN PENERAPANNYA DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI


I. Latar Belakang Masalah

Sejarah mencatat kesalahpahaman berkomunikasi dapat mengakibatkan jatuhnya korban kemanusiaan. Dalam perang dunia kedua, diketahui bahwa Jepang yang mendapat ultimatum dari pihak AS pada tahun 1945 memberi respon “mokusatsu” yang sebenarnya memiliki arti: “kami akan mentaati ultimatum tuan tanpa komentar.” Namun disalahartikan oleh staf Jendral MacArthur karena mengartikan padanan kata tersebut dengan “no comment”. MacArthur kemudian melapor kepada Presiden Truman dan akhirnya tragedi jatuhnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pun tak dapat terelakan. (dalam Mulyana, 2008 : ix)

Dewasa ini bermunculannya istilah-istilah baru dalam lingkup pergaulan nakanak tongkrongan kekinian, bisa dibilang adalah bentuk kreativitas linguistik yang dapat memperkaya pembendaharaan kata dan khazanah yang dimiliki oleh bangsa ini. Meski demikian, di sisi lain perkara ini dapat menimbulkan kesalahpahaman dalam berkomunikasi antara nakanak tongkrongan dan nakanak non tongkrongan hingga kerab menjadi muasal terjadinya hubungan yang kurang asoy diantara mereka. Bahkan tak jarang dalam skala jangka panjang dapat mengakibatkan terjadinya gesekan diantara keduanya.

“Otak Gesrek” merupakan salah satu dari sekian banyak istilah baru yang mulai kerap dilontarkan nakanak tongkrongan, sebenarnya memiliki konotasi positif dan lebih kepada becandaan serta biasa dipakai untuk seru-seruan, namun sayangnya oleh beberapa (((oknum))) nakanak non tongkrongan yang terlalu kaku kek BH baru dan terlalu serius dalam melakoni hidup, menganggap bahwa “mengatai” orang lain memiliki “otak gesrek” merupakan hal yang tak elok dan tak patut ditiru.

Pada dasarnya sikap nggak asiknya nakanak non tongkrongan yang tidak sepaham pada beberapa istilah baru nakanak tongkrongan bisa dimaklumi. Sebab mereka menyakini ibarat air yang keluar dari mulut sebuah teko, bahwa ucapan yang terlontar dari lambe seseorang merupakan cerminan isi teko (baca: isi kepala orang itu). Semakin “biadab” omongan yang dilontarkan seseorang maka menjadi tanda semakin tak beradabnya orang tersebut. Ya, mereka –nakanak non tongkrongan menjadi terlalu kaku, barangkali lantaran memiliki cara becandanya sendiri dan tengah mengalami semacam gegar budaya dalam memaknai becandaannya nakanak tongkrongan.

Mengetahui hal ini membuat kegusaran tersendiri bagi gue sehingga tergugah untuk menelaah polemik absurd ini. Menggunakan model komunikasi Lasswell, gue akan mencoba gegayaan mengurai hal ini dari perspektif sok-sok-an akademis berdasarkan ranah ilmu komunikasi. *tersipu malu*

Diharapkan nantinya, ya… kali-kali aja bisa menjadi semacam panduan alternatif bagaimana sebaiknya nakanak tongkrongan dalam berkomunikasi dengan anak non tongkrongan atau sebaliknya. Hingga pada akhirnya pecah kongsi antara keduanya pun dapat dihindari.

II. Rumusan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah pada tulisan ngga genah ini adalah:
“Pentingnya memahami makna otak gesrek dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari”.

III. Tujuan

Tulisan ini diharapkan mampu membuat kekecean gue meningkat 93,28% dari sebelumnya.

(Lha, ngga nyambung?)

ini bukan makalah, skripsi, tesis, apalagi disertasi. Jadi kenapa mesti nyambung? Udahlah… Ngga usah berharap bisa nyambung dan balikan lagi sama mantan kalian. Move on-lah dengan sekaffah-kaffahnya move on.

IV. Manfaat 
Kagak ada manfaatnya sih keknya. Jadi dari pada nerusin baca tulisan sampah ini mending bantu-bantu mama cuci piring aja sanah.

V. Pembahasan

V.1. Model Komunikasi Lasswell

Menurut Lasswell (1974: 10-11) untuk memahami proses komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini:

Who
Say what
In Which Channel
To whom
With What Effect

Ato dalam artian yang lebi asoy:
Siapa – Ngomong Apa – Pake Saluran Apa – Sama Siapa – Dengan Efek Gimana?

Dari definisi Lasswell ini bisa diturunkan lima unsur komunikasi yang saling berkaitan, yakni:
Pertama, sumber. Dia adalah pihak yang punya inisiatif untuk melakukan komunikasi. Alesannya macem-macem, bisa karena ia barangkali lagi kesepian lantaran ditinggal kawin sama mantannya, ato bisa aja karena gebetan barunya udah satu dasawarsa ngga menghubunginya, ato mungkin juga dia cuma lagi pingin ngajak ngobrol-ngobrol biasa sambil becanda-becanda.
Pengalaman masa lalu, rujukan nilai, persepsi, pola pikir, pengetahuan, (kebiasaan nongkrong dimana, bahasa sehari-hari yang dipake) dan beberapa hal lainnya mempengaruhi dia dalam merumuskan pesan yang dalam hal ini bisa berupa pemilihan kata-kata saat melakukan obrolan.

Kedua, pesan. yaitu apa yang ingin dikomunikasikan oleh sumber kepada penerima. Pesan merupakan seperangkat simbol verbal dan non verbal. Simbol terpenting adalah kata-kata ato Bahasa, karena memungkinkan kita berbagi pikiran kepada orang laen.
Tapi biar pun kata-kata memegang peranan penting, pesan yang disampaikan secara nonverbal seperti senyuman dan tatapan mata terkadang bisa lebih mudah dan cepat untuk dipahami.
Bagi cowo-cowo yang pernah ketahuan bohong sama cewenya, terus si cewe dengan nyantainya bilang, “Ngga apa-apa, kok…” tapi sambil senyum dan kasi tatapan mata menghujam pasti ngerti maksud gue tentang kelebihan pesan non verbal yang satu ini. #MatiLuh

Ketiga, saluran ato media, yakni alat yang dipake dalam penyampaian pesan. Merujuk hal ini apakah penyampaian pesan itu dilakukan secara langsung bertatap muka ato dengan menggunakan media semisal surat kek, telpon kek, SMS kek, BBM kek, WA kek, inbox pesbuk kek, DM twitter kek, ato apalah yang-penting-kamu-ngabarin. Emang susah, yah? #yailah *tepok jidat

Keempat, penerima, yakni orang yang menerima pesan dari sumber. Sama halnya seperti sumber, pengalaman masa lalu, rujukan nilai, persepsi, pola pikir, pengetahuan, dan beberapa hal lain yang nantinya akan sangat mempengaruhi si penerima dalam menafsirkan apa yang disampaikan oleh si sumber.

Kelima, efek, yakni apa yang terjadi pada penerima setelah ia menerima pesan dari si sumber. Terhiburkah, merasa mendapat infomasi baru, biasa-biasa aja ato malah misuh-misuh lalu marah. (dalam Mulyana, 2008 : 69-71)

Efektif tidaknya proses komunikasi – menurut Stewart L dan Sylvia Moss (1974:9-13) paling tidak menimbulkan lima hal: pengertian, kesenangan, pengaruh pada sikap, hubungan yang makin baik, dan tindakan. (dalam Rakhmat, 2008 : 13)

Komunikasi yang hanya membuat si sumber dan atau si penerima misuh-misuh lalu berujung saling marah-marah maka bisa menjadi tanda bahwa komunikasi tersebut tidak berjalan efektif.

V.2. Arti Otak Gesrek

Menurut kamus slang.com gesrek memiliki arti: miring beberapa derajat otaknya. (dalam kaitannya dengan hubungan cowo-cewe) bisa diartikan: apapun rela dilakuin demi doi (si pujaan hati); atau jadi bodoh; o’on; salah tingkah.

Namun pada perkembangannya, dalam beberapa tongkrongan istilah gesrek ato biasa disebut juga otak gesrek mulai mengalami ambiguitas. Dari yang semula hanya berkaitan pada hubungan cowo-cewe, kini otak gesrek sering kali dilontarkan untuk menggambarkan seseorang yang punya kelakuan aneh bin ajaib, di luar kebiasaan dan akhirnya menimbulkan gelak tawa. Tentu hal ini dalam konotasi positif dan sebenarnya bisa merupakan sebuah pujian sebab memang ngga semua orang diberi kelebihan otak gesrek ini.

Contoh otak gesrek barangkali bisa dilihat dari kelakuan temen gue, Cobon alias Sakay alias Bi’e –bukan nama sebenernya tapi gue rasa banyak dari kalian tahu siapa orang yang gue maksud. Suatu waktu saat tengah menyeduh sirup sisa lebaran, lantaran ngga nemuin sendok untuk mengaduk dia pun dengan selonya menggunakan jari telunjuk sebagai “alat” pengaduk. #AmpunDije ini perkara sederhana tapi sangat efesien yang sebelumnya ngga pernah terpikirkan oleh gue.

V.3. Pentingnya Sumber Memahami Latar Belakang Penerima Dalam Upaya Menciptakan Komunikasi Efektif

Dari uraian model komunikasi Lasswell kita bisa menarik benang merah bahwa (((perbedaan))) pengalaman masa lalu, rujukan nilai, persepsi, pola pikir, pengetahuan, kebiasaan nongkrong, bahasa sehari-hari yang dipake dan beberapa hal lainnya antara sumber (katakanlah nakanak tongkrongan) dan penerima (katakanlah nakanak nontongkrongan), merupakan hal yang (((melatarbelakangi)) mengapa diantara mereka pada akhirnya (((tidak memiliki pemahaman yang sama))) dalam (((memaknai))) istilah (((otak gesrek))).

Menurut Deddy Mulyana (2008: 311), “Bahasa yang digunakan dalam suatu lingkungan sering tidak berfungsi bila digunakan dalam lingkungan lain…

…Sejumlah kata atau istilah punya arti khusus, unik, menyimpang atau bahkan bertentangan dengan arti yang lazim ketika digunakan oleh orang-orang dari subkultur tertentu.”

Mengetahui berbicara dengan siapa dan bagaimana latar belakangnya, merupakan kunci bagi kita untuk bisa memilih dan memilah kata-kata apa saja yang sebaiknya kita gunakan agar komunikasi dapat berjalan efektif.

Bagi nakanak tongkorang saat harus berkomunikasi dengan nakanak non tongkrongan, usahakan gunakanlah istilah atau kata yang umum-umum aja. Percuma juga pake istilah-istilah baru seperti “otak Gesrek” dengan niat becanda kalo ternyata ujung-ujungnya malah bisa bikin pecah kongsi, lantaran dia-dia pada ternyata kaga ngarti.

Bagi nakanak non tongkrongan saat melihat nakanak tongkrongan yang saling becanda dengan sesamanya pake istilah-istilah antah berantah, sebaiknya biarin aja sih, toh mereka ngga ganggu kalian. Ngga usah menghakimi kalo cara becanda mereka dengan menggunakan istilah-istilah itu adalah bentuk kejahiliahan gaya baru, apalagi sampe rese ngelarang-larang kesenangan mereka dalam menggunakan istilah tersebut.

Deal?

VI. Kesimpulan

Simpulin sendiri aja yak, gue mau ngudut duluk.

VII. Daftar Pustaka

Mulyana, Deddy. 2008. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Rakhmat, Jalaluddin. 2008. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Arti gesrek. Kamusslang.com. Diunduh pada tanggal 22 Juni 2016 dari http://kamusslang.com/






13102016

Hikayat Pohon Cokelat

“Manusia dilahirkan lunak dan lembut, tetapi setelah tua mereka menjadi tua dan kaku. Tanaman muda ringan dan lentur, tapi tanaman yang sudah tua keras dan kaku hingga batangnya perlu ditebang.

“Dengan melunak, kita bisa lebih menyerap. Dengan melembut, kita bisa lebih mendapat. Ibarat spons, dengan kekosongan dapat menghisap air sebanyak-banyaknya.”

Tujuh Musim Setahun – Clara Ng

***


Sebatang pohon coklat tumbuh subur di sisi kiri depan rumah saya. Dulu sekali bapak sengaja menanamnya di sana selain demi memberi sedikit penghijauan, beliau berharap buahnya nanti bisa sesekali kami nikmati. Sebenarnya bapak sendiri tidak terlalu ambil peduli apakah kelak ia bisa benar-benar menikmati buah coklat tersebut atau tidak. Bapak hanya senang menanam. Dan memang pohon coklat itu bukanlah satu-satunya tanaman yang ada di sana. Bagi bapak, bisa mengisi hari-hari senggangnya dengan merawat dan mengamati hijau dedaunan tetumbuhan sudahlah sebuah kesenangan tak terkira-kira. Fokus orientasi bapak tidak pada hasil buah, tapi pada proses bertumbuhnya tanaman.

(Mengetahui kebiasaan ini membuat saya sering berfikir, jangan-jangan tabiat saya yang kerab nyepik-nyepikin cewe-cewe kinyis-kinyis tapi tak berminat “dijadiin” bisa jadi lantaran genetika dari bapak. Tapi sialnya, gen yang turun ke saya itu telah mengalami mutasi dan akhirnya menjadi sebuah anomali kepribadian.) #NdasmuJal *ditempeleng

Bertahun-tahun kemudian pohon coklat itu terus bertumbuh hingga akhirnya berbuah. Tak tanggung-tanggung, saat dipanen pohon itu bisa menghasilkan buah coklat berkantung-kantung dalam setahun. Berkali-kali kami sekeluarga juga beberapa tetangga sekitar merasakan apa yang sudah bapak tanam dulu. Namun celaka, keberadaan dahan-dahan pohon coklat itu mulai menjalar semau-maunya hingga memakan teritorial jalan umum yang ada di depan rumah.

Tak terlalu jadi soal bila jalanan tersebut hanya dilalui manusia, tapi akan menjadi perkara jika yang lewat adalah mobil box atau kendaraan apapun yang memiliki tinggi kisaran dua meter. Karena sudah bisa diduga, mobil itu akan sedikit mengalami kesulitan saat harus melewati pohon coklat yang tidak terlalu tinggi tersebut.

Pohon coklat itu memang punya hak untuk terus bertumbuh dan berbuah. Tapi barangkali ia lupa bahwa haknya dibatasi oleh hak makhluk lain yang hidup berdampingan bersamanya.

Sekali waktu bapak pernah mencoba untuk mengakali dahan-dahan itu dengan membelok-belokan dan mengarahkannya agar tak memakan jalan. Tapi percuma, dahan-dahan itu sudah terlalu liat dan kuat. Semakin tua usianya semakin tak sudi ia diatur-atur arah tumbuhnya. Macam penguasa sebuah negara yang lantaran sudah kadung nyaman berkuasa selama 32 tahun, membuatnya tak bergeming dan tak rela digeser-geser meski sudah “dirayu-rayu” dan “diiming-iming.”

Habis akal menghadapi tabiat pohon coklat yang kini egois dan kian keras kepala, akhirnya dengan perasaan terpaksa dan rela tak rela diputusan bahwa beberapa dahan yang menggangu jalan pun harus dipangkas.

Lantas apa yang terjadi selanjutnya?

(Seandainya saja yang dipangkas itu adalah rambut kita. Manusia. Atau lebih spesifik lagi manusia berjenis kelamin laki-laki, hidup mapan, berstatus lajang, dan ternyata keturunan Prabu Siliwangi, barangkali efek pemangkasan –dengan menyewa jasa ArRasyid Barbershop— bisa membuat kita terlihat semakin klimis dan akhirnya semakin dikerumuni wanita-wanita sosialita perkotaan dewasa ini.)

Tapi sayangnya tidak demikian dengan pohon coklat tersebut, sebab setelah ia kehilangan banyak dahan dan kehilangan lebih dari setengah kerindangan yang dimilikinya, pohon coklat itu kini menjadi tak bisa menghasilkan buah yang lebat seperti sebelumnya. *kibarin bendera setengah tiang

Melihat nasib pohon coklat ini, membuat saya tiba-tiba teringat pada kisah hidup seorang panglima perang asal Mongolia yang sangat termasyur, Jenghis khan. Dalam buku “Bangkit Dan Runtuhnya Bangsa Mongol”, Prof. DR. Ali Muhammad Ash-Shallabi mengisahkan bagaimana masa muda Jenghis Khan yang memiliki nama asli Temujin ialah seorang pemuda yang penuh wibawa, adil, dan mau belajar dari peristiwa sejarah guna dijadikan hikmah. Meski Jenghis Khan terkenal bengis dan sadis pada musuh-musuhnya, namun ia seorang yang sangat setia kawan dan murah hati terhadap para perwiranya bahkan kepada setiap para hamba sahaya. Ia juga merupakan tipikal manusia yang selalu berusaha untuk bisa melipatgandakan kebaikan yang sudah diterimanya dari orang lain. Suatu kombinasi sikap kenapa Jenghis Khan menjadi mudah mendapat simpati dari orang-orang disekitarnya dan mampu menyatukan berbagai suku pada masa itu. Hingga akhirnya memiliki kekuasaan meliputi sebagian besar benua Asia dan sebagian Eropa.

Perihal kemurahan hati Jenghis Khan, Al-Juwani sampai pernah melantunkan sebuah syair,
“Banyak orang yang datang mengetuk pintunya
Seperti banyaknya butiran biji pada buah delima.”

Seiring waktu usia Jenghis Khan pun semakin menua, pada tahun 1226 M setelah menang perang dari pasukan Khawarizmia, ia berencana ingin melakukan penyerangan terhadap sekutunya sendiri yakni kekaisaran Tagut. Hal ini disebabkan karena saat Jenghis Khan bersama tentaranya sedang melakukan peperangan dengan pasukan Khawarizmia, sekutunya itu justru berkhianat dan tak bersedia membantunya.

Setelah matang menyususn rencana, peperangan melawan kekisaran Tagut pun tak dapat terelakan. Namun sial, dalam pertempuran kali ini Jenghis Khan terjatuh dari kuda dan membuat ia akhirnya menderita sakit yang sangat parah. Melihat kondisi ini membuat anak-anak Jenghis Khan beserta para jendralnya bermusyawarah lalu memutuskan untuk sebaiknya pulang terlebih dulu ke negara mereka. Kelak bila kondisi Jenghis Khan telah membaik dan sudah kembali pulih mereka bisa kembali lagi menghadapi pasukan Tagut.

Tapi saran dari anak-anaknya dan juga para jendralnya itu ia tolak mentah-mentah. Jenghis Khan tak mau menunda-nunda penaklukan atas kekaisaran Togut. Tak sudi ia pulang ke negaranya jika belum bisa menundukan sekutu yang sudah mengkhianatinya itu.

Dan benar saja keinginan itu pun akhirnya terpenuhi. Pasukan Mongol dapat menekuk kekaisaran Togut dan menang dengan gilang gemilang. Namun naas, dalam proses penaklukan itu Jenghis Khan tewas dan menutup usia di tahun 1227. Jasadnya dibawa ke Mongolia dan di makamkan di wilayah dekat sungai Onon dan sungai Kerulen.

Sejak saat itu kepemimpinan beralih kepada Ogodel, salah seorang putra Jenghis Khan. Bangsa Mongol melanjutkan invasi ke negara-negara lain sampai pada akhirnya kelak kehilangan masa kejayaannya.





06102016

CieeehGituh






fb01102016

TekaTekiSaja(k)




Menurun:

1. Adam terlalu kesepian
Dia terlelap dikesendirian
Ketika terjaga,
Ia sadar bahwa tulang rusuknya telah hilang
Namun berenkarnasi dalam bentuk lebih sempurna
Sungguh mahluk yang jelita
Dalam hati Adam bertanya,
“Siapa dia?”

2. Bukan sekadar demi sebuah harga diri
Dengan Rahwana dia beradu sakti
Sungguh pun begitu menyesali. Tapi,
Dia datang hanya untuk menjemput cintanya
Dia datang dalam sambut lembut tangan terbuka Sinta.

4. Di tanah tempat Hawa diturunkan:
Seorang pangeran dibalik nama Pawan
Bertopeng sebagai jelata, ia mencari cinta
Menjadi raja bengis lagi keji ketika luka tertoreh di hati
Kelak,
Raja tirani itu meratap saat cintanya telah kembali.

6. Seorang lelaki merana karena cinta
Terluka, oleh cakar tradisi ayah wanitanya
Lewat lirih syair duka
Ia basuh perih lara
Gila. Menggilai Layla.

7. Cinta yang konyol
Cinta yang tolol
Keluarga Capulet dirundung pilu,
musabab sang putri tak hanya bersandiwara dalam mati
Tapi mengapa harus mencabut belati?
Lalu menghujaminya tepat di ulu hati.
–Shakespeare, dalam kisah yang mendunia.

8. Seorang nabi. Bukan Rosul dua puluh lima
Lelaki dengan paras jelita
Tercipta ketika Adam dan Hawa,
Berniat menyatukan putra putrinya
Dia bermula dalam gerabah berisi nutfa.

10. Diantara bintang gemintang yang tersusun tak rapi
Di sana zodiakmu tersembunyi
Tunjuk satu bintang itu
Kaitkan dengan bintangku.

11. Di balik putihnya,
Tersirat harapan cinta sejati yang diliputi duka
Lengkung kelopak sempurna, arti sebuah keteguhan hati
Dia kuntum dengan wangi lembut menenangkan jiwa.
(Penulisan dibalik)


Mendatar:

3. Sebuah persembahan atas nama cinta nan megah
Dari seorang raja yang berduka
Di tanah tempat muasal Bharata
Di bawah kubah yang memesona
Terkubur jasad wanita belahan jiwa.

5. Sebuah kota
Saksi bisu intrik berdarah dua bangsa
Bertaut melilit cinta tiga hati
Caesar, Cleopatra dan Antony
Pernahkah mereka menyesalinya?

9. Dalam urut alfabetis sebuah kamus Bahasa, ku temukan satu istilah:
“Bahwa pada dasarnya manusia adalah individu yang dilahirkan dengan jiwa putih, bersih lagi suci. Kelak, baik atau buruk dibentuk oleh lingkungannya.”
Kau tahu apa istilah itu?

11. Bukan hanya manusia yang diberkati cinta
Dewa Dewi dalam mitologi merasakan hal serupa
Seperti Zeus yang menautkan hati pada Hera,
Osiris pun tak lagi dirundung sepi bersama dewinya.

12. Mungkinkah dia belahan jiwa itu?
Sebab diantara namanya terselip inisialku…







23092016

Kepada Makanan yang Pernah Saya Sia-siakan

“Selamat makan…”
Ichiko

***


Banyak perkara sederhana yang tidak sesederhana kelihatannya. Kira-kira begitu pesan moral yang saya tangkap saat menyaksikan Little Forest, film dua babak besutan sineas asal negeri matahari terbit, Jepang. Dikemas dalam plot lambat namun memikat, dan melalui penokohan seorang gadis sederhana yang notabene merupakan representasi dari masyarakat pedesaan jepang yang menggantungkan hidup dengan bertani, film ini seperti mengajak saya untuk bisa melihat lebih dekat bagaimana keseharian mereka yang nampak remeh dan kerap terlewat begitu saja, namun nyatanya memiliki makna filosofis teramat dalam untuk direnungi.

Menggunakan gaya komunikasi fatik, Junichi Mori sang sutradara seolah tengah menggoda saya untuk ikut bergabung dalam satu percakapan yang sekilas tak penting namun menyenangkan sembari menyesap hangatnya kuzuyu diantara gigitan musim dingin. Yang pada akhirnya mampu menerbitkan kesadaran betapa pun bersahajanya dalam menjalani hidup, setiap orang yang menetap di desa itu harus berusaha keras untuk mau menanam bila ingin merasakan manisnya menuai buah. Bahwa untuk bisa menikmati sebutir nasi mereka perlu terlebih dulu menjalani proses menanam padi.

Berseting di sebuah desa terpencil Komori, dengan lanskap pegunungan berselimut salju yang menawan di wilayah timur laut Jepang, film ini bahkan telah membuat hati saya tertawan sejak di shot-shot awal pembuka.

Berkisah tentang Ichiko –diperankan dengan sangat apik oleh Ai Hashimoto, adalah seorang gadis yang tinggal sendiri di rumahnya karena sang ibu sudah sejak lima tahun lamanya pergi tak diketahui entah kemana. Meski Ibunya sesekali berkirim surat namun tak sekalipun dalam surat itu ia memberi tahu di mana keberadaannya.

Tak ayal Ichiko pun melakukan semua hal sendirian. Tinggal di pedesaan terpencil dimana tidak ada toko penjual makanan, membuat setiap penduduk tak bisa mengandalkan uang jika mereka sedang kelaparan. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari setiap orang harus menanam dan mengolah makanannya sendiri. Tak terkecuali Ichiko.

Bertahun-tahun lalu saat ibunya selalu menyiapkan makanan untuknya, Ichiko kecil kerap tak menghargai jerih payah sang ibu yang sudah berusaha memenuhi segala kebutuhannya, pertengkaran antara ibu dan anak pun seringkali tak dapat terelakan hanya karena perkara makanan. Kini saat Ichiko tinggal sendiri ia pun akhirnya menyadari betapa sulitnya hidup dan perlu kerja keras bahkan hanya untuk menyiapkan semangkuk nasi.

Tapi tak keliru pepatah mengatakan, bahwa guru terbaik adalah pengalaman. Seiring waktu berlalu Ichiko pun mulai terbiasa menjalani kehidupan barunya. Ia membuat makanan dari bahan-bahan yang ditanamnya sendiri atau dari hasil mencari di hutan. Dari sini ia pun banyak belajar bahwasanya manusia sangat bergantung pada alam. Pada dasarnya alam dengan tangan terbukanya sudah berbaik hati menyediakan segala apa yang ia butuhkan. Sebisa mungkin menghindari pengrusakan yang berimbas pada keseimbangan ekosistem dan hanya mengambil secukupnya sesuai kebutuhan adalah kebijaksanaan yang perlu dimiliki oleh setiap orang.

Pengalaman jugalah yang mengajarkan Ichiko untuk mampu membaca siklus alam dan menanam tanaman sesuai musim. Seperti tomat yang hanya ditanamnya di musim panas, sebab tomat tak mungkin tumbuh di musim dingin. Atau seperti bawang yang memerlukan masa tanam nyaris setahun, maka ia harus menyiapkan lahan bawang sesegera mungkin selekas berakhirnya musim dingin. Ia juga sudah hapal di luar kepala pada banyak tabiat dari masing-masing bahan makanan yang ditanamnya. Seperti kubis yang akan rusak bila tersiram hujan. Atau seperti kentang yang akan mengecil bila terlalu banyak memiliki tunas saat di masa tanam. Tak berhenti sampai di situ ia bahkan tahu bagaimana sebaiknya menyimpan bahan makanan hasil panennya sehingga bisa bertahan dalam waktu yang lama.

Dalam pengolahan bahan makanan untuk nantinya bisa dinikmati, Ichiko kerap bereksperimen dari satu masakan ke masakan yang lainnya dengan berbekal ingatan saat dulu masih merasakan masakan ibunya. Layaknya filosofi makan orang Jepang yang sangat terpengaruh pada “the power of five” sebagai panduan dalam memasak, Ichiko sangat memperhatikan rasa, penyajian dan sikap dalam memakan masakannya.

Soal rasa ia mencoba bagaimana menghasilkan makanan yang nikmat dengan menakar rasa asin, manis, asam, pahit dan umami menjadi cita rasa yang menyenangkan. Dalam proses ia mempertimbangkan bagaimana sebaiknya bahan makanannya diolah; disajikan mentah-mentah, direbus, dikukus, digoreng atau dipanggang dengan oven. Dalam peyajian ia mengandalkan imajinasi, apakah nantinya masakan itu akan memiliki warna hitam, putih, merah, hijau, atau kuning. Serta berupaya agar masakannya bisa indah saat dilihat, beraroma sedap, memiliki rasa yang lezat, menyenangkan apabila disentuh hingga akhirnya bisa menimbulkan suasana khidmat yang mendamaikan pendengaran saat dinikmati.

Akhirnya, menyaksikan film berdurasi seratus dua puluh menit ini membuat saya bener-benar serasa dipukul sekaligus dirangkul dalam waktu yang bersamaan. Menyadarkan betapa saya pernah berkali-kali menyia-nyiakan setiap rizki makanan karena tidak mengerti bagaimana panjang dan sulitnya proses yang mesti mereka lalui untuk akhirnya bisa saya nikmati. Maka, kepada setiap butir nasi, remah-remah roti dan segala macam pangan yang pernah saya sia-siakan, di sini saya sampaikan permohonan maaf secara terbuka yang sedalam-dalamnya kepada kalian.




21092016

Puasa Pace

“Walking down the street, in one bloody cold night. Where everyone is blind, they show you how to feed your hate. Education now, war for tomorrow. And i do believe we’re living on a time bomb!”
All Angels Cry – Superman Is Dead.

***


Mblo, percayalah, seasu-asunya mantan kalean yang pergi dengan alesan ngga masuk akal –karena bokap doi sukanya makan bengbeng dingin, sementara kalean lebih suka makan bengbeng langsung—masih jauh lebih asu (oknum) rangorang yang terlibat dalam kasus pembakaran masjid di Tolikara, pembakaran gereja di Aceh Singkil, dan pembakaran vihara juga klenteng di Tanjung Balai. Sebab dalam menyikapi perbedaan yang ada, seenggaknya mantan kalean masih memiliki itikad baik untuk memiliki hubungan baru (baca: temenan aja) yang lebih selo dan ngga resek.

Memang ngga bisa dipungkiri, sewoles apapun perpisahan kadang meninggalkan luka bernanah yang teramat dalam dan butuh waktu lama untuk kering. Tapi sekali lagi mari kita coba renungi dalam hening, seenggaknya mantan kalean pergi tanpa menyalahi dan mengumbar-umbar bahwa dia yang paling benar. Sementara rangorang yang gampang maen bakar rumah peribadatan agama laen kerap melakukan pembenaran bahwa yang mereka lakukan demi membela agamanya. Bahwa mereka sedang berjuang untuk keyakinannya.

Woy! Mabok dogma lu over dosis, woy! Lagian hambok yak kalok emang yakin sama keyakinan sendiri gosah pake ngerusuhin keyakinan orang laen, woy! Jangan berlagak jagi Tuhan, woy!

(Yaelah Ncuk, gosah ngegas juga kalik...)

Duh, hiyak mblo, maap kebawa emosi. Sempitnya hati sama kerdilnya isi kepala sering bikin gue jadi gampang diprovokasi. Dan celakanya perkara ini besifat mewabah dan bisa lebih menular dari virus zika.

Jadi baeklah, tinimbang menambah daftar panjang tulisan-tulisan sampah penebar kebencian yang bisa menyebabkan naiknya hipertensi dan ujung-ujungnya mengakibatkan pembuluh darah pecah, barangkali akan lebih asoy kalok gue mencoba buat ngeshare perkara yang selo selo aja. Yah… meski tulisan ini ngga kalah nyampah, tapi kali aja seengganya bisa dijadiin temen sambil nunggu gebetan baru kalean yang kalok dandan ngalahin durasi persidangan kopi sianida. Iyo po ra? *tos

Ini cerita temen muslim gue, Herry Budiman. Tapi demi menjaga privasi dan demi kenyamanan bersama terpaksa gue harus menyamarkan namanya, maka sebut aja ia Kacrut. Sempat beberapa tahun bekerja sebagai konsultan pertambangan membuat Kacrut jarang pulang dan di rumah, karenanya gosah heran kalok kemudian doi sedikit bermasalah dalam perkara relationship-an dan berstatus jomblo sampe nyaris karatan (mesake yo, cah?)#halah #abaikan. Maksudnya membuat dia kerap melanglang buana dari ujung timur sampe ujung barat Indonesia bahkan beberapa negara tetangga. Masuk keluar hutan, naik turun gunung, dan menyusur hulu hilir sungai demi mencari dan menakar kadar kuantitas serta kualitas barang tambang yang memiliki potensi untuk digali.

Suatu waktu ia mendapat instruksi dari perusahaan tempatnya bekerja untuk meneliti kandungan emas pada satu lokasi di daerah Genyem, Papua. Meski waktu itu bertepatan dengan masuknya bulan Ramadan, yang nantinya berarti pula ia akan turun ke lapangan sambil melaksanakan ibadah puasa, tapi sebagai seorang profesional yang punya etos kerja jempolan sudah barang tentu Kacrut pantang untuk menapik tugas yang udah kadung dipercayakan kepadanya. Maka dengan spirit “bekerja seolah-olah ia akan hidup selamanya dan beribadah seolah-olah ia bakal mati sore nanti setelah nyepikin mba-mba warteg bahari”, Kacrut pun akhirnya berangkat ke lokasi dan melakukan dua perkara itu secara bersamaan sebaik mungkin.

Sekadar informasi, meneliti kandungan barang tambang merupakan pekerjaan bertahap yang dilakukan beberapa minggu dan dalam satu tim tak seberapa besar yang terdiri dari beberapa orang. Selain terdiri dari dua-tiga orang yang sengaja dikirim dari kota sebagai tenaga ahli, biasanya dalam tim tersebut juga terdapat beberapa pekerja lokal yang merupakan warga asli setempat yang tenaganya disewa sebagai –katakanlah, pemandu.

Bukan rahasia bahwa mayoritas penduduk Papua (87 persen di tahun 2005) merupakan pemeluk nasrani, maka tak heran bila pekerja lokal dalam tim Kacrut pun dominan merupakan nonmuslim. Sehingga tidak memiliki kewajiban berpuasa seperti halnya muslim yang kala itu tengah menjalani ibadah Ramadan tersebut. Dan itu bukan masalah. Dan memang perkara ibadah yang satu ini hakikatnya urusan personal masing-masing orang. Tapi ada satu hal yang menarik. Pace, sebut saja begitu (panggilan yang berarti bapak) salah seorang pekerja lokal yang jelas-jelas pemeluk nasrani dengan sikap percaya diri berujar, “Pak Kacrut puasa kah? Kalau bapa puasa. Sa puasa juga.” (Pak Kacrut puasa? kalo bapak puasa saya ikut puasa juga.)

Kacrut yang sempat tercengang demi mendengarnya seketika menanggapi, “Tara usah pace. Biarlah pace karja seperti biasa. Sa su biasa puasa, pace.” (ngga usah bapak, bapak kerja kaya biasa aja. Saya udah biasa puasa.)

“Ah, tara bapa. Sa tetap puasa” (ah, ngga pak, saya tetap puasa.)

Tak mau berdebat kacrut hanya tersenyum menghormati.

Lalu tim Kacrut pun masuk ke hutan menuju lokasi yang akan diteliti. Awal-awal keberangkatan terlihat pace begitu bersemangat. Tekadnya untuk ikut puasa sudah bulat. Tak bergeser niat andai pun ada ulat sagu yang begitu memikat. Di jidat pace seperti tertulis, “Ko larang sa puasa, sa tombak ko.” (Lu larang gue buat puasa, gue tombak luh.) #NgeriDahPokonya

Sekitar Tiga jam berlalu pace mulai goyah menyusuri jalur yang penuh belukar dan menanjak. Demi melihatnya kacrut pun bertanya, “Masi kuat, Pace?”

Meski tidak semantap di awal, pace menjawab, “Masi, pa kacrut.” Perjalanan pun terus berlanjut.

Sesampainya di lokasi dan memasuki jam makan siang pace mulai limbung, tak tegak lagi ia berdiri. Waktu istirahatnya digunakan untuk lebih banyak duduk, barangkali demi menghemat energi. Sekali lagi kacrut bertanya, “Bagaimana Pace? Masi kuat?”

“Mmasi…” Singkat menjawab pace kali ini, tapi terdengar ada getar di kalimatnya.

Usai istirahat pekerjaan berlanjut. Sementara para pekerja lokal membabat beberapa semak belukar, para pekerja ahli menakar seberapa besar kadar konsentrat yang berpotensi untuk digali. Hingga menjelang petang pekerjaan akhirnya dihentikan. Pace seakan sawan. Matanya bisa jadi sudah mulai kunang-kunang. Mungkin karena belum terbiasa berpuasa ditambah tidak makan sahur sudah barang tentu membuat tubuhnya tak bisa kompak untuk diajak bekerja berat. Pace semaput. Terhuyung-huyung mendekati kacrut, lalu dengan sedikit berbisik ia berkata, “Pa Kacrut… Besok saya tak puasa saja yah…”. Pace tumbang menjelang berbuka.

Pecah berantakan ketawa gue kali pertama denger cerita dari kacrut. Tapi sejurus kemudian ada perasaan salut pada pace yang satu itu. Walopun pace dalam cerita ini representasi dari penduduk mayoritas, tapi alih-alih tereak-tereak jemawa minta dihormati sebagai mayoritas, doi justru rela bersusah payah menahan lapar demi bisa menjaga hubungan yang hangat dengan tamunya sebagai perwakilan si minoritas. Sebenarnya tanpa harus ikut menahan lapar dan hanya menghormati tamunya yang sedang berpuasa sudahlah sebuah sikap yang terpuji. Tapi barangkali pace merasa menghormati saja belumlah cukup. Ia ingin meletakkan sikap tolerasi setinggi mungkin yang ia bisa. Pace tak mau setengah-setengah.

Dari cerita kacrut gue kerap membayangkan, andai cerita model pace di atas lebih banyak diperbincangkan dari pada cerita-cerita yang menyulut kebencian, mungkin kita akan menjadi terbiasa melihat perbedaan sebagai perkara yang lucu. Hingga pada akhirnya tak perlu menyikapi perbedaan seperti menyimpan api dalam sekam atau serupa menanam bom waktu.



15092016

Dongeng Kancil

“…dongeng memiliki pesan psikologis untuk pengembangan jiwa anak-anak, merangsang kecerdasan, bahasan, perkembangan emosi, moral, dan juga pembangun komunikasi yang kuat antara anak dan orang tua.”
Kak Seto dalam wawancara dengan Republika.


“Ga semua orang itung untung rugi dalam menjalani hidup. Beberapa cuma ingin menjalani dengan riang gembira dengan penuh cinta.”
Arman Dhani

***


Semua penghuni rimba belantara tentulah tahu, bahwa kambing putih merupakan saudara kambing hitam. Dan bukan rahasia bila sejak kecil kambing putih bersahabat karib dengan kancil, maka tak heran saat dalam kesulitan keduanya kerap saling membantu satu sama lain.

Pada suatu hari kambing putih dengan napas tersengal-sengal datang menemui kancil. Apa pasal? Ternyata kambing hitam selaku saudara kambing putih terancam hukuman gantung dan akan dieksekusi esok hari. Kambing putih berharap kancil dapat membantu saudaranya itu. Karena ia yakin kambing hitam sebenarnya tidak bersalah.

Mengetahui hal ini kancil pun pergi menemui kerbau selaku hakim di rimba belantara. Secara pribadi ia meminta hakim kerbau untuk menjelaskan duduk perkara dari kasus kambing hitam ini. Meski dengan setengah hati karena sudah lelah pada persidangan, hakim kerbau pun akhirnya tetap bercerita,
“Dua hari yang lalu serigala mengadukan kakinya yang patah kepadaku.”

“Kenapa bisa patah?” tanya kancil.

“Karena serigala terjatuh dari atap rumah kijang saat hendak mencuri barang milik kijang.”

“Lalu?”

“Serigala menuntut agar si pembuat atap rumah kijang dijatuhi hukuman, karena dianggapnya telah lalai dengan membuat genting yang rapuh dan mudah jatuh saat dipijak.”

“Lalu?”

“Rubah selaku pembuat genting akhirnya kupanggil. Tapi dia berkilah kelalaiannya disebabkan adanya burung merak yang tiba-tiba lewat. Kecantikan burung merak membuat konsentasinya hilang dalam sekejab.”

“Lalu?”

“Burung merak kupanggil. Saat akan kuketuk palu dan menjatuhkan hukuman merak mengatakan bahwa kecantikannya disebabkan oleh perhiasan yang ia kenakan.”

“Lalu?”

“Jerapah kupanggil karena dia yang membuat perhiasan bagi burung merak. Tapi saat hendak digantung ternyata jerapah lebih tinggi dari tiang gantung. Tak mungkin aku membuat tiang gantungan yang baru hanya demi bisa menggantung jerapah.”

“Lalu?”

“Aku memerintahkan prajurit untuk mencari pembuat perhiasan lain di rimba belantara ini, yang tidak terlalu tinggi sehingga bisa digantung di tiang gantung yang sudah ada. dan akhirnya para prajurit menemukan pembuat perhiasan yang lain yakni kambing hitam.”

“Wahai hakim kerbau,” ujar kancil kali ini, “Tahukan tuan bahwa kambing hitam menjadi pembuat perhiasan bukan atas kemauannya sendiri. dia hanya mematuhi perintah.”

“Perintah siapa?” tanya hakim kerbau.

“Perintah Tuhan!” seru kancil sedikit kesal pada hakim kerbau yang tak mau mencoba mengerti keadaan kambing hitam. Ia binatang lugu dan tak pandai membuat alasan. meski keinginan kambing hitam sebenarnya tak ingin menjadi pembuat perhiasan. Tapi mau tak mau ia mesti menjalani peran yang sudah ditentukan Tuhan.

Hakim kerbau akhirnya menyadari kekeliruannya, karena bila tidak, itu sama saja ia menyalahi dan akan berhadapan langsung dengan Tuhan. Akhirnya ia mencabut hukuman gantung dan tidak akan mencari kambing hitam lagi karena kenyataannya kambing hitam sebenarnya tidak terbukti bersalah.

***

Mengetahui hukuman gantung bagi kambing hitam telah dicabut oleh hakim kerbau, membuat serigala akhirnya menaruh dendam pada binatang ternak. Sambil bersembunyi di lubang persembunyian ia memangsa setiap binatang ternak yang ditemuinya. Kini keadaan rimba belantara menjadi mencekam. Banyak binatang yang merasa terancam saat harus mencari makan. Perihal ini membuat hakim kerbau gusar dan akhirnya mengeluarkan sayembara; barangsiapa yang bisa menangkap serigala hidup atau mati, dia akan dijadikan pejabat hutan.

Mendengar hadiah yang ditawarkan, membuat banyak binatang tertarik untuk bisa mengikuti sayembara. Mereka mencari segala cara untuk bisa memerangkap serigala. Tapi alih-alih berhasil menangkapnya, banyak binatang yang justru kehilangan nyawa karena kalah cerdik dan akhirnya hanya menjadi santapan serigala. Rimba belantara semakin mencekam karena kini serigala semakin nekat. Sudah berkali-kali ia menculik dan memangsa anak-anak binatang ternak.

Hakim kerbau nyaris hilang akal. Sebenarnya ia berharap kancil bisa mengikuti sayembara mengingat kecerdikannya sudah kerap menolong banyak binatang di seantero rimba. Tapi sepertinya kali ini kancil tak berminat untuk mengikuti sayembara. Sudah benar-benar gusar dan tak tahan menyimpan penasaran, hakim kerbau pun memanggil kancil guna bertanya.
“Mengapa kau tidak mengikuti sayembara ini?” tanya hakim kerbau begitu kancil datang.

“karena aku tak tertarik?” Singkat kancil menjawab.

“kenapa? Tidak kah hadiah yang di tawarkan menarik?”

“Terus terang aku tak tertarik menjadi pejabat. Biarlah jabatan itu dipegang keledai, bunglon, dan tuan hakim sediri.”

“Kalau begitu bagaimana kalau aku meminta tolong saja padamu?”

“Umm… Baiklah. Beri saya waktu beberapa hari.” Kata kancil seraya mohon diri.

Minggu pertama tak ada kabar dari kancil membuat hakim kerbau mulai khawatir. Minggu kedua juga tak ada berita yang mengabarkan keadaan kancil menjadikan hakim kerbau semakin ketar-ketir. Hingga minggu ketiga tak ada satu pun binatang di hutan yang mengetahui keberadaan kancil, membuat hakim kerbau mulai putus asa dan dilingkupi praduga bahwa kancil barangkali juga sudah menjadi korban kebuasan serigala. Batinnya nyilu memikirkan hal tersebut, mengingat bila kancil saja tak sanggup mengatasi licin dan liciknya serigala, maka binatang mana lagi yang bisa ia andalkan.

Namun di minggu keempat kekhawatiran hakim kerbau terjawab. Kancil muncul dengan sehat dan wajah yang berseri-seri. Disampingnya berdiri orang utan yang sedang menggotong mayat serigala yang mati tanpa ada sedikit pun bekas luka di tubuhnya.

Dihinggapi rasa senang sekaligus penasaran, hakim kerbau pun bertanya, “bagaimana kau bisa menangkap serigala tanpa ada sedikitpun tanda penganiayaan?”

Ringan kancil menjawab, “Pertama aku menghidari pertemuan langsung dengan serigala.”

“Bagaimana caranya?”

“Dengan mengetahui arah angin. Sebab serigala sangat mengandalkan indra penciumannya saat hendak mencari mangsa.”

“Lalu setelah itu?”

“Mencari tahu kelemahannya.”

“Apa kelemahan serigala?”

“kebiasaan serigala yang tidak pernah berubah-ubah bisa menjadi kelemahannya.”

“Lalu apa langkah selanjutnya?”

“Mempelajari kesukaan serigala.”

“Apa itu?”

“Darah.”

“lalu?”

“Aku mencari bambu lalu membuat sembilu. Kemudian sembilu itu kutancapkan berdiri di atas tanah dan melumurinya dengan darahku. Angin membawa bau darah itu hingga tercium oleh serigala yang akhirnya mendekat dan langsung menjilati darah yang ada di sembilu itu. Tentu saja ketajaman sembilu membuat lidah serigala berdarah. Tapi karena keserakahan dan kebiasaannya yang berulang-ulang, dia tidak menyadari bahwa darah yang ia jilati kini sebenarnya adalah darahnya sendiri. dan akhirnya ia pun mati karena kehabisan darah.” Kancil menutup percakapan dan undur diri untuk pulang.

***

(Disarikan dari buku Taktik Kancil jilid 2, Ach. Muchlis.)




08092016

Labirin

“Alangkah buruknya nilai kasih sayang yang meletakkan batu di satu sisi bangunan dan menghancurkan dinding di sisi lainnya.”
Kahlil Gibran.

***


Dia lelaki yang terjebak dalam labirin kenangan. Mencoba mencari jalan keluar tanpa sudi memintas jalan. Menyusuri setiap kelok dan persimpangan, membaca jejak serupa kode enigma di setiap kemungkinan kemungkinan. Beberapa kali ia memang hanya berputar dan bersinggungan di jalan yang sama. Tapi tak mengapa, baginya itu masih lebih baik dari pada mesti memotong jalan dan mengelabuhi diri sendiri.

Adalah abu abu, warna yang memenuhi setiap dinding labirin itu. Senada warna awan mendung yang menggelantung. Cat di beberapa sisi dinding mulai pudar, mengelupas, bahkan perlahan dilumat pelapukan. Mungkin karena ada bagian awan mendung yang akhirnya jenuh lalu runtuh menjadi hujan, membuat beberapa sisi dinding yang lapuk tadi kemudian berlubang. Dari celah terbuka itu sesekali ia mencuri pandang ke luar labirin. Lalu dengan malu malu melihat berupa rupa bunga segar yang mulai bertumbuh mekar, kelopak cantiknya melambai lambai seperti meminta untuk dipetik. Hipokrit bila lelaki itu berkilah sama sekali tak pernah tergoda untuk berhenti saja dan merobohkan dinding, guna bisa menjumpai bunga bunga di luar sana.

Tapi kemudian ia berpikir ulang, labirinnya bukanlah dinding Berlin yang dibangun sebagai pemisah antara tirani dan kemanusiaan. Meski nampak kelabu, namun dinding itu dibangun dari batu batu harapan yang diguratkannya bersama wanita bermata teduhnya. “Manusia bisa hidup berhari hari tanpa remah remah roti. Tapi takkan mungkin bisa hidup sedetik pun tanpa harapan.” Begitulah guratan kalimat dari wanita bermata teduh itu pada batu pertamanya. Dan sejak saat itu mereka menyusun bertumpuk tumpuk harapan di sana.

Kadang wanita bermata teduhnya menulisi beberapa batu dengan aksara aksara yang belum dipahami oleh si lelaki. Tak apa. Biarlah waktu yang nanti akan membantunya mengerti. Untuk sementara ini si lelaki hanya akan menyusun batu batu itu dan menandainya sebagai pekerjaan rumah di kemudian hari.

Kadang si lelaki kehilangan kalimat hingga akhirnya hanya akan menuliskan seluruh abjad yang ia tahu pada bahu batu batu. Tak masalah. Serupa doa doa dalam hening biar saja nanti Tuhan yang merangkai abjad itu menjadi kalimat kalimat terbaik untuknya. Tak lupa sebelum merekatkan batu itu pada batu batu yang lain, wanita bermata teduhnya akan selalu membubuhi kata “Aamiin” di kaki kaki batu tadi.

Dengan cara begitu mereka bisa saling menggenggam satu sama lain. Sebentuk genggaman paling kencang yang pernah dilakukan sepasang anak manusia.

Dan waktu berlalu terasa sesingkat senja. Umumnya hikayat purba yang dirajut dari tiga babak, kisah lelaki bersama gadis bermata teduh itu pun berlanjut tahap. Saat batu batu harapan mereka mulai menunjukkan bentuk namum belum sempat bertudung atap, leluhur dari gadis bermata teduh mengutus seekor gagak hitam. Mengirimi satu pesan yang mentitahkannya untuk segera pulang barang sejenak sebelum senja khatam, sebelum petang datang. Ada satu dua nubuat yang tak bisa ditunda tunda lagi perkaranya, demikian isi pesan singkat itu bertanda seru. Meski firasat ganjil sempat membebat mereka, tapi pesan itu sudah barang tentu serupa sabda panditha ratu yang pantang untuk ditampik bahkan diulur ulur tenggang waktu. Maka tak ambil tempo, bertolak pulang lah gadis bermata teduh itu dengan langkah masygul memanggul seribu tanda tanya.

Sehari, dua hari, bahkan tak terasa belasan purnama sudah si lelaki menunggu wanita bermata teduh itu kembali. Namun kabar asing datang mengirim pesan agar si lelaki melupakan saja gadis bermata teduhnya. Ia telah menemukan rumah dengan seorang lelaki lain di dalamnya. Sebuah rumah yang dibangun dari dinding senyum para leluhurnya. Ringan kabar itu dihembuskan, seringan jatuhnya dedaunan yang layu mengkerut di musim dingin.

Lelaki itu tertegun serasa dunia kedap seketika. Sepertinya baru kemarin mereka mulai menyusun batu batu harapan itu, tapi ternyata saat ini batu batu mereka telah menjelma menjadi sebangun ruang dengan dinding yang menjulang. Berpola serupa oktagonal jejaring laba laba yang bersekat sekat, bangunan itu membentuk labirin bertabiat memerangkap dan lelaki itu kini terjebak di dalamnya.

Tidakkah lelaki itu berpikir untuk pulang?

Ya, tentu saja ia menginginkan itu. Labirinnya bukanlah “dinding ratapan” tempat bagi kaum ortodok Yahudi memiliki alasan untuk pulang. Meski labirinnya hanyalah persinggahan, tapi ia tak mau terburu-buru keluar dari sana dengan merobohkan setiap dinding yang ada. Sekali lagi ia hanya ingin menyusur setiap jalur dan keluar dengan benar. Bagaimana pun pada satu masa di tempat itu ia pernah –dan masih- menaruh percaya pada harapan. Mungkin saat keluar nanti ia memang tak bersama dengan wanita bermata teduhnya. Tapi bukankah Tuhan sudah berjanji pada dua perkara? Jika sesuatu bukanlah hal yang tertunda, maka sesuatu itu akan terganti menjadi perkara yang baru. Yang lebih baik menurutNya tentu. Lelaki itu mengimani bahwa Tuhan akan mengirimkan seseorang yang mampu membantunya merangkai kalimat terbaik dari setiap abjad yang dulu pernah ia tulisi di batu batu. Seperti memecah kode enigma dan menjadi petunjuk arah untuk nantinya bisa keluar melalui pintu.



01092016

Wanita dan Transaksi Jual Beli

“Bingung gue.”
Celetuk Bob di antara percakapan absurd para jomblo akud.

***


Dalam sebuah transaksi jual beli di salah satu lapak buah di pasar tradisional pinggir kota.
Si lelaki: “Sekilonya berapa, mba?”
Penjual: “Lima belas ribu aja, mas.”
“Empat kilo lima puluh ribu, yah?”
“Wah, belum dapet mas. Lima puluh lima ribu gimana?”
“Ya udah, saya ambil.”

Sambil lalu bertanya, Sebentar tawar menawar, lalu mufakat. Sebagian lelaki sering berfikir, andai cinta sesederhana transaksi jual beli.

Di waktu yang nyaris bersamaan, di lapak buah yang persis bersebelahan dengan si lelaki tadi melakukan negoisasi jual belinya.
Si wanita: “Sekilonya berapa, bang?”
Penjual: “Lima belas ribu, mba.”
“Mahal amat. Tujuh ribu aja.”
“Wah, belum balik modal, mbak. Tiga belas ribu deh.”
“Tujuh ribu.”
“Sepuluh ribu, deh, mba…”
“Tujuh ribu.”
“Tambahin lima ratus lagi, mba... Tujuh ribu rima ratus.”
Tanpa berucap si wanita pergi dengan muka acuh tak acuh. Butuh nggak butuh.
Si penjual setengah berteriak memanggil, “Mbak, mbak, Ya udah, mba. Mau beli berapa kilo?”
Si wanita kembali, “Sekilo aja.”

Pasang muka datar, singkat kata dalam tawar menawar, lalu pura-pura pergi agar dipanggil lagi dan, “Gotcha!” Tercapailah apa yang diingini.

Bagi wanita ini bukan sekadar seni tawar menawar dalam jual beli. Ada kerumitan di sana yang sampai-sampai para ekonom, sosiolog, psikolog, antropolog, sejarawan, budayawan, insinyur tehnik sipil, petugas sensus, duta pariwisata, penggiat kelestarian primata, broker saham, pemerhati pendidikan, pengusaha batu bara, ahli pangan, ahli nujum, peramal tarot, penafsir mimpi, menteri perdagangan, anak kolong yang doyan ngelem, agen pegadaian, agen MLM, saudagar sembako, tauke toko grosir, mamang warung kopi, om-om lubis warung klontong, dan segenap elemen pelaku pasar belum tentu bisa menguraikannya dengan singkat dan sederhana.

Celakanya, kuat dugaan saya wanita menerapkan ini tidak hanya dalam konteks transaksi jual beli, tapi juga dalam perkara menjalani suatu hubungan. Di balik tingkah mereka yang kadang “Take it or leave it”, tersembunyi desakan –sedikit mengutip istilah Andrea Hirata- “Cepat, tolol! Culik aku dari bapakku!”

Dan lu tau, mblo? Bagaimana njelimetnya bagan prasyarat uji kelayakan dari bapaknya yang mesti lu lewati terlebih dulu?

Mampus! Dah, lu mblo.



25082016

Hukum Newton Pertama

“Setiap benda akan mempertahankan keadaan diam atau bergerak konstan, kecuali ada gaya yang bekerja untuk mengubahnya.”
–Hukum Newton Pertama

***


“Tuh, sudah aku tulis rangkap materinya.” Ujarmu ujug-ujug sambil meletakan buku bersampul putih itu di atas mejaku, “Baca-baca lagi di rumah. Jangan sampai usahaku jadi kerjaan yang sia-sia.” Sedikit tersembul nada merajuk di sana.

Astaga, sebegitu pedulinya kamu pada nasib suram pencapaian akademikku, sampai-sampai mencatat materi pelajaran di dua buku sekaligus. Satu untukmu, satu lagi untukku. Kurang kerjaan.

Ya, tak bisa dipungkiri aku hanyalah seorang bocah SMA biasa, dengan kemampuan daya tangkap yang mengkhawatirkan dan kemauan untuk menyerap pelajaran yang sangat mengenaskan. Malas tak kepalang. Culas bukan buatan. Tak seperti Newton yang memandang ilmu pengetahuan serupa perawan ranum, yang bisa membuat jakun pria-pria pemuja keindahan eros naik turun, minatku pada pengetahuan sudah lindap. Kejahiliyahan pun berkarat-karat. Saat Newton rela hidup “selibat” sepanjang hayat hanya demi menjaga kecintaannya pada fisika, matematika, astronomi dan kimia agar tak terkorosi karena perihal remeh yang ditawarkan dunia, aku justru kerap mengelabuhi waktu dengan perkara-perkara nisbi tak kurang-kurang mudharatnya. Main, tidur. Main-main, tidur-tiduran. Hanya seputaran itulah siklus konstanku di masa-masa semester pertama saat SMA dulu. Suram.

“Aku harap kamu bisa sedikit respek pada diri sendiri. Kalau kamu malas menulis materi, cukup mulai dengan membiasakan diri untuk membaca. Mungkin tidak saat ini, tapi nanti apa yang kamu baca akan membantumu dikemudian hari.” Tegasmu sebelum kembali duduk. Memastikan aku mendengarkanmu untuk kali ini.

Dan sejak itu, demi bisa menyulut minat belajarku yang kian redup, beberapa kali kamu mencatat rangkap materi pelajaran. Aku tahu persis menjadi penulis memang salah satu mimpi adi luhung pencapaianmu, tapi aku rasa menggandakan materi pelajaran berulang-ulang, bukanlah salah satu bentuk latihan yang disarankan dalam buku-buku kiat menulis kreatif manapun. Jadi apa bagusnya kamu melakukan "kekurang kerjaan'' itu?

Pernah aku menduga, barangkali ada impuls sarafmu yang tidak bekerja dengan semestinya. Membuatmu bertindak di luar kesadaran macam doktor Octopus yang dikhianati lengan tentakel buatannya sendiri. Lantas dengan tak terkendali memporak-porandakan kota demi mewujudkan obsesi sintingnya. Ah, tapi itu hanya kisah rekaan Marvel saja.

Atau jangan-jangan kamu jatuh hati padaku? Halah, delusi! Wanita secantik, secerdas, seramah dan nyaris mendekati sempurna seperti kamu sudah barang tentu tak akan berselera pada bocah absurd penderita endapan micin yang sudah akud ini. Lagi pula bukankah kamu memang memiliki tabiat terpuji yang ringan menyingsingkan lengan baju pada semua orang? Tipikal manusia yang memang berkiblat pada khirunnas anfa’uhum linnas. Bahwa hidup manusia pada hakikatnya adalah perkara menjadi manfaat bagi sesama. Jadi Sudah ah, tak mau sakit kepala memikirkannya, kucoba saja menuruti apa maumu. mengabaikan saranmu kadang justru bisa mengakibatkan konsekuensi yang mengerikan; didiamkan berhari-hari!

Beberapa kali ku ikuti saranmu, membaca materi pelajaran di sela-sela waktu yang ada. Konsisten –meskipun berat- minimal satu halaman perhari di awal minggu pertama, begitu petunjukmu. Di minggu kedua meningkat menjadi dua halaman, lalu berlanjut seterusnya di minggu-minggu kemudian. Ajaib, karena metode yang kamu sarankan ternyata efektif. Mengingat pada akhirnya aku terbiasa membaca. Tak hanya melulu materi pelajaran, kini aku tertarik membaca banyak topik dari berbagai bahan bacaan lain. Seperti telah menjadi habit, saat ini bahkan aku akan merasa ada yang janggal bila sehari saja tak ada catatan yang bisa kubaca.

Aku sempat bertanya dari mana metode itu kamu dapat, alih-alih menjawab kamu malah balik bertanya, “Kamu tahu bagaimana anak elang belajar terbang?”

Seperti biasa aku hanya diam dan menggeleng singkat. Meski membaca sudah menjadi bagian dari keseharian, tapi bukankah sudah kuterangkan sejak di muka? Bahwa ketololanku sudah kadung larat berkarat-karat. Butuh waktu seumur hidup untuk merontokan karat-karat itu sampai ke piamater otak.

“Ketika elang hendak bertelur,” katamu setelah mendapatiku tak berkutik, “ia akan membuat sarang di pucuk pohon tertinggi di atas bukit yang curam dan terjal. Lalu mengerami telurnya di atas sana sampai bayi-bayi elang menetas. Induk elang akan menyuapi bayinya sekitar satu bulan. Membuat mereka senyaman mungkin di dalam sarang. Tapi selepas itu sang induk akan membiarkan elang muda mencari makanannya secara mandiri.

“Di masa-masa awal penetasan, induk elang akan mencabik-cabik daging binatang buruannya, dan meletakanya di sarang agar bayi-bayi elang bisa langsung memakannya. Seiring usia anak elang yang bertambah, induknya nggak akan lagi mencabik-cabik daging buruannya, tetapi langsung menaruhnya utuh-utuh guna melatih elang muda mencabik makanannya sendiri.

“Dan bila saatnya tiba bagi elang muda untuk belajar terbang, induk elang akan dengan ‘kejam’ mendorong anaknya jatuh dari sarang di pucuk pohon yang tingginya tak sembarang itu. berbekal insting yang sudah dikaruniai Tuhan, dalam situasi genting seperti itu elang muda akan dengan serta merta mengepak-epakan sayap guna bisa melayang. Tentu anak elang nggak bisa langsung terbang seketika itu juga. Saat tubuhnya hampir terbentur di bebatuan, induk elang akan segera melesat menangkap anaknya. Membawanya kembali ke ketinggian hanya untuk kemudian di hempaskannya lagi ke bawah, begitu seterusnya berulang-ulang, sampai sayap elang muda semakin kuat untuk mengepak dan pada akhirnya ia pun bisa terbang.” berhenti sebentar memberi jeda, “Kamu tahu kontemplasi apa yang bisa ditarik dari sana?”

Aha! Kali ini aku sangat mengerti maksudmu. Tak kusangka pemahamanku sudah mengalami lompatan yang luar biasa signifikan. Ternyata aku keliru karena sebelumnya telah mengira butuh waktu seumur hidup untuk bisa mengangkat karat-karat ketololanku. Sebab kenyataannya hanya dengan mendengar cerita satu babak darimu, ketololan itu bisa langsung minggat. Dengan sepenuh keyakinan aku berkesimpulan, “Elang itu predator yang kejam ngga berperasaan. Demi kesenangan ia tega menjatuhkan anaknya sendiri dari sarang. Dasar makhluk nggak beradab!”

*Sambil mendengus pasrah, kamu menepuk jidat.




fb18082016