Minggu, 30 Juni 2019

Dongeng Kancil

“…dongeng memiliki pesan psikologis untuk pengembangan jiwa anak-anak, merangsang kecerdasan, bahasan, perkembangan emosi, moral, dan juga pembangun komunikasi yang kuat antara anak dan orang tua.”
Kak Seto dalam wawancara dengan Republika.


“Ga semua orang itung untung rugi dalam menjalani hidup. Beberapa cuma ingin menjalani dengan riang gembira dengan penuh cinta.”
Arman Dhani

***


Semua penghuni rimba belantara tentulah tahu, bahwa kambing putih merupakan saudara kambing hitam. Dan bukan rahasia bila sejak kecil kambing putih bersahabat karib dengan kancil, maka tak heran saat dalam kesulitan keduanya kerap saling membantu satu sama lain.

Pada suatu hari kambing putih dengan napas tersengal-sengal datang menemui kancil. Apa pasal? Ternyata kambing hitam selaku saudara kambing putih terancam hukuman gantung dan akan dieksekusi esok hari. Kambing putih berharap kancil dapat membantu saudaranya itu. Karena ia yakin kambing hitam sebenarnya tidak bersalah.

Mengetahui hal ini kancil pun pergi menemui kerbau selaku hakim di rimba belantara. Secara pribadi ia meminta hakim kerbau untuk menjelaskan duduk perkara dari kasus kambing hitam ini. Meski dengan setengah hati karena sudah lelah pada persidangan, hakim kerbau pun akhirnya tetap bercerita,
“Dua hari yang lalu serigala mengadukan kakinya yang patah kepadaku.”

“Kenapa bisa patah?” tanya kancil.

“Karena serigala terjatuh dari atap rumah kijang saat hendak mencuri barang milik kijang.”

“Lalu?”

“Serigala menuntut agar si pembuat atap rumah kijang dijatuhi hukuman, karena dianggapnya telah lalai dengan membuat genting yang rapuh dan mudah jatuh saat dipijak.”

“Lalu?”

“Rubah selaku pembuat genting akhirnya kupanggil. Tapi dia berkilah kelalaiannya disebabkan adanya burung merak yang tiba-tiba lewat. Kecantikan burung merak membuat konsentasinya hilang dalam sekejab.”

“Lalu?”

“Burung merak kupanggil. Saat akan kuketuk palu dan menjatuhkan hukuman merak mengatakan bahwa kecantikannya disebabkan oleh perhiasan yang ia kenakan.”

“Lalu?”

“Jerapah kupanggil karena dia yang membuat perhiasan bagi burung merak. Tapi saat hendak digantung ternyata jerapah lebih tinggi dari tiang gantung. Tak mungkin aku membuat tiang gantungan yang baru hanya demi bisa menggantung jerapah.”

“Lalu?”

“Aku memerintahkan prajurit untuk mencari pembuat perhiasan lain di rimba belantara ini, yang tidak terlalu tinggi sehingga bisa digantung di tiang gantung yang sudah ada. dan akhirnya para prajurit menemukan pembuat perhiasan yang lain yakni kambing hitam.”

“Wahai hakim kerbau,” ujar kancil kali ini, “Tahukan tuan bahwa kambing hitam menjadi pembuat perhiasan bukan atas kemauannya sendiri. dia hanya mematuhi perintah.”

“Perintah siapa?” tanya hakim kerbau.

“Perintah Tuhan!” seru kancil sedikit kesal pada hakim kerbau yang tak mau mencoba mengerti keadaan kambing hitam. Ia binatang lugu dan tak pandai membuat alasan. meski keinginan kambing hitam sebenarnya tak ingin menjadi pembuat perhiasan. Tapi mau tak mau ia mesti menjalani peran yang sudah ditentukan Tuhan.

Hakim kerbau akhirnya menyadari kekeliruannya, karena bila tidak, itu sama saja ia menyalahi dan akan berhadapan langsung dengan Tuhan. Akhirnya ia mencabut hukuman gantung dan tidak akan mencari kambing hitam lagi karena kenyataannya kambing hitam sebenarnya tidak terbukti bersalah.

***

Mengetahui hukuman gantung bagi kambing hitam telah dicabut oleh hakim kerbau, membuat serigala akhirnya menaruh dendam pada binatang ternak. Sambil bersembunyi di lubang persembunyian ia memangsa setiap binatang ternak yang ditemuinya. Kini keadaan rimba belantara menjadi mencekam. Banyak binatang yang merasa terancam saat harus mencari makan. Perihal ini membuat hakim kerbau gusar dan akhirnya mengeluarkan sayembara; barangsiapa yang bisa menangkap serigala hidup atau mati, dia akan dijadikan pejabat hutan.

Mendengar hadiah yang ditawarkan, membuat banyak binatang tertarik untuk bisa mengikuti sayembara. Mereka mencari segala cara untuk bisa memerangkap serigala. Tapi alih-alih berhasil menangkapnya, banyak binatang yang justru kehilangan nyawa karena kalah cerdik dan akhirnya hanya menjadi santapan serigala. Rimba belantara semakin mencekam karena kini serigala semakin nekat. Sudah berkali-kali ia menculik dan memangsa anak-anak binatang ternak.

Hakim kerbau nyaris hilang akal. Sebenarnya ia berharap kancil bisa mengikuti sayembara mengingat kecerdikannya sudah kerap menolong banyak binatang di seantero rimba. Tapi sepertinya kali ini kancil tak berminat untuk mengikuti sayembara. Sudah benar-benar gusar dan tak tahan menyimpan penasaran, hakim kerbau pun memanggil kancil guna bertanya.
“Mengapa kau tidak mengikuti sayembara ini?” tanya hakim kerbau begitu kancil datang.

“karena aku tak tertarik?” Singkat kancil menjawab.

“kenapa? Tidak kah hadiah yang di tawarkan menarik?”

“Terus terang aku tak tertarik menjadi pejabat. Biarlah jabatan itu dipegang keledai, bunglon, dan tuan hakim sediri.”

“Kalau begitu bagaimana kalau aku meminta tolong saja padamu?”

“Umm… Baiklah. Beri saya waktu beberapa hari.” Kata kancil seraya mohon diri.

Minggu pertama tak ada kabar dari kancil membuat hakim kerbau mulai khawatir. Minggu kedua juga tak ada berita yang mengabarkan keadaan kancil menjadikan hakim kerbau semakin ketar-ketir. Hingga minggu ketiga tak ada satu pun binatang di hutan yang mengetahui keberadaan kancil, membuat hakim kerbau mulai putus asa dan dilingkupi praduga bahwa kancil barangkali juga sudah menjadi korban kebuasan serigala. Batinnya nyilu memikirkan hal tersebut, mengingat bila kancil saja tak sanggup mengatasi licin dan liciknya serigala, maka binatang mana lagi yang bisa ia andalkan.

Namun di minggu keempat kekhawatiran hakim kerbau terjawab. Kancil muncul dengan sehat dan wajah yang berseri-seri. Disampingnya berdiri orang utan yang sedang menggotong mayat serigala yang mati tanpa ada sedikit pun bekas luka di tubuhnya.

Dihinggapi rasa senang sekaligus penasaran, hakim kerbau pun bertanya, “bagaimana kau bisa menangkap serigala tanpa ada sedikitpun tanda penganiayaan?”

Ringan kancil menjawab, “Pertama aku menghidari pertemuan langsung dengan serigala.”

“Bagaimana caranya?”

“Dengan mengetahui arah angin. Sebab serigala sangat mengandalkan indra penciumannya saat hendak mencari mangsa.”

“Lalu setelah itu?”

“Mencari tahu kelemahannya.”

“Apa kelemahan serigala?”

“kebiasaan serigala yang tidak pernah berubah-ubah bisa menjadi kelemahannya.”

“Lalu apa langkah selanjutnya?”

“Mempelajari kesukaan serigala.”

“Apa itu?”

“Darah.”

“lalu?”

“Aku mencari bambu lalu membuat sembilu. Kemudian sembilu itu kutancapkan berdiri di atas tanah dan melumurinya dengan darahku. Angin membawa bau darah itu hingga tercium oleh serigala yang akhirnya mendekat dan langsung menjilati darah yang ada di sembilu itu. Tentu saja ketajaman sembilu membuat lidah serigala berdarah. Tapi karena keserakahan dan kebiasaannya yang berulang-ulang, dia tidak menyadari bahwa darah yang ia jilati kini sebenarnya adalah darahnya sendiri. dan akhirnya ia pun mati karena kehabisan darah.” Kancil menutup percakapan dan undur diri untuk pulang.

***

(Disarikan dari buku Taktik Kancil jilid 2, Ach. Muchlis.)




08092016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar