Minggu, 30 Juni 2019

Hikayat Pohon Cokelat

“Manusia dilahirkan lunak dan lembut, tetapi setelah tua mereka menjadi tua dan kaku. Tanaman muda ringan dan lentur, tapi tanaman yang sudah tua keras dan kaku hingga batangnya perlu ditebang.

“Dengan melunak, kita bisa lebih menyerap. Dengan melembut, kita bisa lebih mendapat. Ibarat spons, dengan kekosongan dapat menghisap air sebanyak-banyaknya.”

Tujuh Musim Setahun – Clara Ng

***


Sebatang pohon coklat tumbuh subur di sisi kiri depan rumah saya. Dulu sekali bapak sengaja menanamnya di sana selain demi memberi sedikit penghijauan, beliau berharap buahnya nanti bisa sesekali kami nikmati. Sebenarnya bapak sendiri tidak terlalu ambil peduli apakah kelak ia bisa benar-benar menikmati buah coklat tersebut atau tidak. Bapak hanya senang menanam. Dan memang pohon coklat itu bukanlah satu-satunya tanaman yang ada di sana. Bagi bapak, bisa mengisi hari-hari senggangnya dengan merawat dan mengamati hijau dedaunan tetumbuhan sudahlah sebuah kesenangan tak terkira-kira. Fokus orientasi bapak tidak pada hasil buah, tapi pada proses bertumbuhnya tanaman.

(Mengetahui kebiasaan ini membuat saya sering berfikir, jangan-jangan tabiat saya yang kerab nyepik-nyepikin cewe-cewe kinyis-kinyis tapi tak berminat “dijadiin” bisa jadi lantaran genetika dari bapak. Tapi sialnya, gen yang turun ke saya itu telah mengalami mutasi dan akhirnya menjadi sebuah anomali kepribadian.) #NdasmuJal *ditempeleng

Bertahun-tahun kemudian pohon coklat itu terus bertumbuh hingga akhirnya berbuah. Tak tanggung-tanggung, saat dipanen pohon itu bisa menghasilkan buah coklat berkantung-kantung dalam setahun. Berkali-kali kami sekeluarga juga beberapa tetangga sekitar merasakan apa yang sudah bapak tanam dulu. Namun celaka, keberadaan dahan-dahan pohon coklat itu mulai menjalar semau-maunya hingga memakan teritorial jalan umum yang ada di depan rumah.

Tak terlalu jadi soal bila jalanan tersebut hanya dilalui manusia, tapi akan menjadi perkara jika yang lewat adalah mobil box atau kendaraan apapun yang memiliki tinggi kisaran dua meter. Karena sudah bisa diduga, mobil itu akan sedikit mengalami kesulitan saat harus melewati pohon coklat yang tidak terlalu tinggi tersebut.

Pohon coklat itu memang punya hak untuk terus bertumbuh dan berbuah. Tapi barangkali ia lupa bahwa haknya dibatasi oleh hak makhluk lain yang hidup berdampingan bersamanya.

Sekali waktu bapak pernah mencoba untuk mengakali dahan-dahan itu dengan membelok-belokan dan mengarahkannya agar tak memakan jalan. Tapi percuma, dahan-dahan itu sudah terlalu liat dan kuat. Semakin tua usianya semakin tak sudi ia diatur-atur arah tumbuhnya. Macam penguasa sebuah negara yang lantaran sudah kadung nyaman berkuasa selama 32 tahun, membuatnya tak bergeming dan tak rela digeser-geser meski sudah “dirayu-rayu” dan “diiming-iming.”

Habis akal menghadapi tabiat pohon coklat yang kini egois dan kian keras kepala, akhirnya dengan perasaan terpaksa dan rela tak rela diputusan bahwa beberapa dahan yang menggangu jalan pun harus dipangkas.

Lantas apa yang terjadi selanjutnya?

(Seandainya saja yang dipangkas itu adalah rambut kita. Manusia. Atau lebih spesifik lagi manusia berjenis kelamin laki-laki, hidup mapan, berstatus lajang, dan ternyata keturunan Prabu Siliwangi, barangkali efek pemangkasan –dengan menyewa jasa ArRasyid Barbershop— bisa membuat kita terlihat semakin klimis dan akhirnya semakin dikerumuni wanita-wanita sosialita perkotaan dewasa ini.)

Tapi sayangnya tidak demikian dengan pohon coklat tersebut, sebab setelah ia kehilangan banyak dahan dan kehilangan lebih dari setengah kerindangan yang dimilikinya, pohon coklat itu kini menjadi tak bisa menghasilkan buah yang lebat seperti sebelumnya. *kibarin bendera setengah tiang

Melihat nasib pohon coklat ini, membuat saya tiba-tiba teringat pada kisah hidup seorang panglima perang asal Mongolia yang sangat termasyur, Jenghis khan. Dalam buku “Bangkit Dan Runtuhnya Bangsa Mongol”, Prof. DR. Ali Muhammad Ash-Shallabi mengisahkan bagaimana masa muda Jenghis Khan yang memiliki nama asli Temujin ialah seorang pemuda yang penuh wibawa, adil, dan mau belajar dari peristiwa sejarah guna dijadikan hikmah. Meski Jenghis Khan terkenal bengis dan sadis pada musuh-musuhnya, namun ia seorang yang sangat setia kawan dan murah hati terhadap para perwiranya bahkan kepada setiap para hamba sahaya. Ia juga merupakan tipikal manusia yang selalu berusaha untuk bisa melipatgandakan kebaikan yang sudah diterimanya dari orang lain. Suatu kombinasi sikap kenapa Jenghis Khan menjadi mudah mendapat simpati dari orang-orang disekitarnya dan mampu menyatukan berbagai suku pada masa itu. Hingga akhirnya memiliki kekuasaan meliputi sebagian besar benua Asia dan sebagian Eropa.

Perihal kemurahan hati Jenghis Khan, Al-Juwani sampai pernah melantunkan sebuah syair,
“Banyak orang yang datang mengetuk pintunya
Seperti banyaknya butiran biji pada buah delima.”

Seiring waktu usia Jenghis Khan pun semakin menua, pada tahun 1226 M setelah menang perang dari pasukan Khawarizmia, ia berencana ingin melakukan penyerangan terhadap sekutunya sendiri yakni kekaisaran Tagut. Hal ini disebabkan karena saat Jenghis Khan bersama tentaranya sedang melakukan peperangan dengan pasukan Khawarizmia, sekutunya itu justru berkhianat dan tak bersedia membantunya.

Setelah matang menyususn rencana, peperangan melawan kekisaran Tagut pun tak dapat terelakan. Namun sial, dalam pertempuran kali ini Jenghis Khan terjatuh dari kuda dan membuat ia akhirnya menderita sakit yang sangat parah. Melihat kondisi ini membuat anak-anak Jenghis Khan beserta para jendralnya bermusyawarah lalu memutuskan untuk sebaiknya pulang terlebih dulu ke negara mereka. Kelak bila kondisi Jenghis Khan telah membaik dan sudah kembali pulih mereka bisa kembali lagi menghadapi pasukan Tagut.

Tapi saran dari anak-anaknya dan juga para jendralnya itu ia tolak mentah-mentah. Jenghis Khan tak mau menunda-nunda penaklukan atas kekaisaran Togut. Tak sudi ia pulang ke negaranya jika belum bisa menundukan sekutu yang sudah mengkhianatinya itu.

Dan benar saja keinginan itu pun akhirnya terpenuhi. Pasukan Mongol dapat menekuk kekaisaran Togut dan menang dengan gilang gemilang. Namun naas, dalam proses penaklukan itu Jenghis Khan tewas dan menutup usia di tahun 1227. Jasadnya dibawa ke Mongolia dan di makamkan di wilayah dekat sungai Onon dan sungai Kerulen.

Sejak saat itu kepemimpinan beralih kepada Ogodel, salah seorang putra Jenghis Khan. Bangsa Mongol melanjutkan invasi ke negara-negara lain sampai pada akhirnya kelak kehilangan masa kejayaannya.





06102016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar