Jumat, 28 Juli 2023

Singkap Tabir Gelap Bupati Langkat

 



“Pasca-terjerat KPK lantaran kasus suap, satu persatu tabir gelap kejahatan Bupati Langkat nonaktif, Terbit Rencana Perangin Angin mulai tersingkap. Tak hanya tamak dalam perkara menilap uang rakyat, nyatanya Terbit bertabiat gemar mengembat kemerdekaan orang-orang lemah di sekitarnya untuk diperbudak. Kerangkeng manusia di rumah politisi Golkar ini pun menjadi indikasi kuat.”

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Bupati Langkat, Sumatera Utara, Terbit Rencana Perangin-angin, pada Selasa 18 Januari 2022 malam. Tak sepenuhnya berjalan mulus, dalam operasi senyap tersebut Terbit sempat melarikan diri meski telah diintai berhari-hari.

Di tengah upaya mencari jejak orang nomor satu di Langkat itu, KPK kemudian mendapat informasi bahwa Terbit telah menyerahkan diri ke Kepolisian Resort (Polres) Binjai. Tak ambil tempo, tim penyidik KPK lantas bergegas menjemput Sang Bupati untuk dimintai keterangan lebih lanjut.

Lembaga antirasuah sudah sejak lama membidik Terbit lantaran diduga terlibat dalam kasus suap pengadaan barang dan jasa di daerah kewenangannya. Ia disinyalir meminta fee alias uang pelicin untuk paket pekerjaan proyek di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan Dinas Pendidikan Kabupaten Langkat, Sumatera Utara tahun anggaran 2020-2022.

Bukan cuma Terbit seorang, dalam kasus sogok menyogok ini KPK juga mencokok lima tersangka lainnya, yakni Iskandar PA selaku Kepala Desa Balai Kasih yang juga merupakan saudara kandung Terbit, Muara Perangin Angin sebagai pihak swasta atau kontraktor serta Marcos Surya Abdi, Shuhanda Citra, dan Isfi Syahfitra.

KPK mengendus Terbit menerima suap Rp786 juta dari Muara Perangin Angin sebagai 'upeti' atas dua proyek di Dinas PUPR dan Dinas Pendidikan dengan nilai mencapai Rp4,3 miliar. Uang panas itu diberikan Muara melalui perantara Marcos, Shuhanda, dan Isfi kepada Iskandar yang kemudian diteruskan kepada Terbit.

Tak hanya itu, Terbit juga terindikasi mengerjakan sejumlah proyek legit melalui perusahaan milik Iskandar. Dalam menerima dan mengelola uang pelicin dari berbagai proyek di Kabupaten Langkat, Terbit disinyalir memberdayakan orang-orang kepercayaannya seperti Iskandar, Marcos, Shuhanda, dan Isfi.

"KPK melakukan penyelidikan dan ditemukan adanya bukti permulaan yang cukup, maka KPK meningkatkan status perkara ini ke tahap penyidikan dengan mengumumkan tersangka," ujar Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam konferensi pers di Gedung KPK, Kamis dinihari (20/1/2022).

Atas perbuatan lancung tersebut, Terbit, Iskandar, Marcos, Shuhanda, dan Isfi yang ditetapkan sebagai tersangka penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Adapun Muara selaku tersangka pemberi suap dijerat dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.


Kerangkeng Manusia


Euforia keberhasilan KPK dalam menjerat Terbit atas kasus suap seketika lindap bersamaan adanya temuan kerangkeng manusia di belakang kediaman Bupati Langkat non aktif tersebut.

Sebanyak dua kerangkeng serupa sel penjara yang dipenuhi sejumlah manusia ditemukan KPK saat melakukan penggeledahan di rumah Terbit. Berdasar pengakuan para penghuni sel, tim penyidik lembaga antirasuah kemudian mengetahui bahwa mereka adalah para buruh sawit di perkebunan milik bupati.

"Orang-orang yang di dalam itu kemudian menerangkan bahwa mereka itu adalah pekerja di kebun sawit milik Bupati Kabupaten Langkat," kata Nurul Ghufron dalam siaran pers di Jakarta, Rabu (26/1/2022).

Lantaran diserahi kewenangan untuk berfokus pada kasus korupsi yang dilakukan Terbit, KPK lantas melakukan koordinasi atas temuan kerangkeng manusia itu kepada penegak hukum dan atau pihak berwenang.

Tak berselang lama, keberadaan kerangkeng manusia tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh sejumlah pihak terkait, salah satunya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Migrant Care.

Berdasarkan laporan Migrant Care, sedikitnya terdapat 40 pekerja yang dikurung dalam dua kerangkeng. LSM pemerhati buruh migran itu pun mengendus adanya praktik perbudakan modern yang dilakukan oleh eks Bupati Langkat.

Ketua Migrant Care, Anis Hidayat menyebut praktik menawan para buruh sawit sudah berlangsung sejak lama. Selain ada dugaan praktik perbudakan, terindikasi pula terjadinya tindak penyiksaan terhadap para pekerja.

Para buruh ini dipaksa bekerja selama 12 jam setiap harinya, sejak pukul 8 pagi hingga pukul 8 petang. Selain itu, para pekerja juga dikabarkan tidak pernah menerima gaji. Mereka juga hanya diberi makan dua kali sehari secara tidak layak oleh eks Bupati Langkat. Atas dugaan itu, Migrant Care melaporkan Terbit kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

"Para pekerja yang dipekerjakan di kebun sawitnya, sering menerima peyiksaan, dipukuli sampai lebam-lebam dan sebagian mengalami luka-luka," beber Anis.


Temuan Satwa Langka


Satu persatu tabir gelap kejahatan Terbit terus terkuak. Tak berhenti pada kasus suap dan indikasi perbudakan modern dengan adanya kerangkeng manusia, saat menggeledah rumah ketua Majelis Pimpinan Cabang (MPC) Pemuda Pancasila tersebut, KPK juga mendapati sejumlah satwa langka yang dilindungi.

Mendapati informasi KPK, petugas Balai Besar Konservasi dan Sumber Daya Alam Sumatera Utara (BBKSDA Sumut) segera bertindak dengan menyita satwa-satwa langka dari rumah Terbit. Satwa tersebut diantaranya, seekor Orang Utan Sumatera jantan, Monyet Hitam Sulawesi, Burung Jalak Bali, Burung Rangkong, Elang Brontok, dan Burung Beo.

Pelaksana harian Kepala BBKSDA Sumut Irzal Azhar mengatakan, lantaran memiliki hewan langka yang dilindungi, maka Terbit telah melanggar Pasal 21 Ayat 2a Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. Tertuang pada pasal 40 UU tersebut dijelaskan bagi pihak yang melanggar bakal terancam hukuman kurungan penjara paling lama 5 tahun.

"Selanjutnya untuk proses hukumnya diserahkan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Wilayah Sumatera," kata Irzal, Rabu(26/1/2022).


Dalih Membina Pecandu Narkoba


Jauh sebelum keberadaan kerangkeng di rumahnya menjadi sorotan publik, Terbit ternyata sempat menyebut bahwa jeruji besi tersebut digunakan sebagai tempat untuk membina para pecandu narkoba. Ia bahkan sesumbar, selama lebih dari 10 tahun terakhir sudah melakukan pembinaan terhadap ribuan orang.

"Ini adalah tempat pembinaan yang selama ini saya buat untuk membina masyarakat yang menyalahgunakan narkoba," ujar Terbit dalam rekaman video yang diunggah di kanal YouTube istrinya, Tiorita Rencana, Sabtu (27/3/2021).

Keterangan Terbit diamini Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Kapolda Sumut) Irjen Pol Panca Putra Simanjuntak. Ia mengatakan, dari pendalaman yang dilakukan, pihaknya mendapati informasi jika orang-orang yang ada di dalam kerangkeng tersebut tengah menjalani rehabilitasi kecanduan narkoba. Selain menjalani rehabilitasi mereka juga dipekerjakan di kebun sawit milik Terbit.

"Tempat rehabilitasi dibuat yang bersangkutan secara pribadi untuk merehabilitasi korban narkoba," kata Kapolda, Senin (24/1/2022). Dikutip dari Liputan6.com.

Sementara itu, Komnas HAM yang ikut turun tangan mendalami keberadaan kerangkeng manusia di rumah eks Bupati Langkat mengungkapkan, bahwa sel yang diklaim sebagai tempat rehabilitasi pecandu narkoba itu sudah beroperasi sejak tahun 2010 namun tanpa izin resmi alias berstatus ilegal.

Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara memaparkan, sebenarnya pihak Badan Narkotika Nasional (BNN) Kabupaten Langkat sempat melakukan sidak. Mereka pun memberikan rekomendasi agar Terbit mengurus izin tempat itu sebagai wadah rehabilitasi pengguna narkoba. Namun hingga kini pengurusan izin tak kunjung dilakukan.

“Padahal Bupati Langkat tak punya kewenangan apalagi ini rumah pribadinya. Ia juga tak punya mandat dan kewenangan membuat tempat rehabilitasi korban narkotika,” kata Beka, Rabu (2/3/2022) dikutip dari Kompas.com.

Terkait dugaan adanya penyiksaan hingga menimbulkan hilangnya nyawa, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam menyebut sejauh ini diketahui terdapat enam orang meninggal dunia di kerangkeng rumah tersebut. Kendati demikian, pihaknya belum bisa mengungkapkan lebih lanjut penyebab kematian para korban, apakah lantaran mendapat siksaan atau penyebab lain.

"Di awal kami (investigasi) ada tiga korban meninggal, habis itu kami berproses sendiri sampai dua minggu lalu dan kami mendapat informasi jumlah korban bertambah tiga lagi. Jadi total ada 6 orang meninggal,” kata Anam.

Komnas HAM mencatat, sedikitnya ada 26 bentuk kekerasan dan penyiksaan yang menimpa para penghuni kerangkeng. Penyiksaan tersebut diantaranya, pencambukan anggota tubuh menggunakan selang, pemukulan kaki menggunakan palu hingga kuku terlepas, dan atau diceburkan ke dalam kolam.

Beragam penyiksaan dilakukan kepada penghuni kerangkeng yang tidak mematuhi Terbit, pengurus kerangkeng, dan pelaku pelonco senior penghuni kerangkeng.

Lebih lanjut Komnas HAM juga mengungkap soal indikasi keterlibatan 19 pelaku yang berperan sebagai pengurus dalam tindakan kekerasan dan penyiksaan di kerangkeng manusia milik Terbit. Mereka terdiri dari anggota TNI-Polri, organisasi massa, serta anggota keluarga eks Bupati Langkat.

“Mulai dari pembina, kalapas, pengawas, palkam, besker atau penghuni lama yang juga dilibatkan untuk melakukan tindakan yang sama sebagai alat kontrol,” kata Anam.


Putra Terbit Terlibat Kasus Penyiksaan


Pepatah 'buah jatuh tak jauh dari pohonnya' barangkali bisa mendeskripsikan kasus eks Bupati Langkat. Pasalnya, belum lama ini Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengungkapkan bahwa putra Terbit yakni Dewa Perangin-angin (DP) terindikasi ikut terlibat dalam kasus penyiksaan kerangkeng manusia.

Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi menjelaskan, dalam struktur pengurusan kerangkeng manusia di rumah eks Bupati Langkat, Dewa menjabat sebagai wakil ketua. Adapun ketuanya tak lain adalah Terbit sendiri.

Ia menyebut, sejauh ini diketahui terdapat empat penghuni kerangkeng yang menjadi korban hingga mengalami jari tangan putus usai mendapat siksaan dari Dewa.

“Iya, DW atau DP (Inisial anak Terbit),” kata Edwin Partogi, Senin (15/3/2022) dikutip dari kompas.com.

Keterangan Edwin ini dibenarkan oleh salah seorang mantan penghuni kerangkeng manusia. Sebut saja Sigit, bukan nama sebenarnya, mengaku melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Dewa terlibat dalam aksi kekerasan dan penyiksaan.

Ia mengungkapkan, saat melakukan penyiksaan, Dewa dibantu oleh para anggotanya yang berjumlah sekitar 20 orang. Anak eks Bupati Langkat itu memukuli tangan penghuni kerangkeng hingga kukunya terlepas. Bahkan, diantaranya ada yang sampai kehilangan jari.

"Itu ada anak baru yang agak payah sama dia (Dewa) kena, tangannya dipukuli sampai lepas-lepas kukunya, ada yang tangan jarinya kehilangan," ungkap Sigit di kanal tayangan Youtube tvOne, Senin (21/3/2022)

Tak hanya mengungkap indikasi keterlibatan Dewa dalam kasus penyiksaan, LPSK juga menilai bahwa kasus kerangkeng manusia eks Bupati Langkat sudah memenuhi unsur untuk masuk ke dalam kategori tindak pidana perdagangan orang (TPPO).

Edwin beralasan para penghuni kerangkeng yang dikurung itu dipaksa untuk bekerja di perkebunan sawit dan peternakan milik Terbit. Hal ini menurutnya sudah menjurus pada praktik eksploitasi.

Unsur lainnya, terlihat dari dalih Terbit menggunakan kerangkeng manusia sebagai tempat rehabilitasi gratis bagi pecandu narkoba, yang mana hal itu untuk menarik minat keluarga yang memiliki sanak keluarga pecandu. Padahal di sana, mereka diduga mengalami penyiksaan jika tidak menaati peraturan.

“Apa yang diduga dilakukan TRP (Terbit Rencana Perangin Angin) dibantu anggota keluarga (Dewa), oknum anggota ormas dan beberapa oknum TNI dan Polri itu sudah cukup memenuhi unsur tindak pidana perdagangan orang (TPPO),” kata Edwin.

Gayung bersambut, selang beberapa hari setelah LPSK mengungkap indikasi keterlibatan Dewa dalam kasus penganiayaan penghuni kerangkeng manusia dan memasukan kasus ini ke dalam kategori TPPO, Kepolisian Daerah (Polda) Sumatera Utara akhirnya menetapkan 8 orang sebagai tersangka kasus dugaan TPPO penghuni kerangkeng manusia milik eks Bupati Langkat. Dalam penetapan tersebut, Dewa menjadi salah satunya.

“Polda Sumatera Utara masih terus mendalami dan mengembangkannya bahkan penetapan tersangka dari penyidikan ini sudah ada,” kata Kepala Bidang Humas Polda Sumatera Utara, Komisaris Besar Hadi Wahyudi, Selasa, 22 Maret 2022, dikutip dari Majalah Tempo.





Telah tayang: https://kuatbaca.com/telik/detail/kriminal/singkap-tabir-gelap-bupati-langkat-99

Jumat, 02 Juni 2023

Simalakama Pekik Toa Rumah Ibadah

9 March 2022 16:49



“Polemik pekik toa dari rumah ibadah serupa api dalam sekam. Simalakama acap hinggap kepada mereka yang terusik atas bunyi-bunyi berlebih dari congor toa masjid dan musala. Seolah, mereka pun hanya disuguhi dua opsi; Mengeluh berarti siap untuk dicap sebagai penista agama atau diam tutup mulut sembari memeram geram dan terus menerus makan hati.”

Dilansir dari artikel humor Nu Online yang terbit pada Selasa, 17 Maret 2015, dalam sebuah pertemuan sejumlah tokoh lintas agama, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur terlibat percakapan dengan seorang biksu dan pendeta.

Di awal cakap, sang biksu mengklaim bahwa Budha merupakan agama yang paling dekat dengan Tuhan. Kedekatan tersebut tercermin kala umat Budhis memanggil Tuhan dengan sebutan 'OM' dalam menjalani ritual keagamaannya.

"Nah, kalian tahu sendiri, kan, seberapa dekat antara paman dengan keponakannya?” ujar biksu.

Tak mau kalah, pendeta menyangkal klaim biksu. Ia bilang, kedekatan itu masih tak seberapa ketimbang dekatnya umat kristen dengan Tuhan. Jika para Budhis hanya sebatas pertalian paman-kemenakan, maka kedekatan bagi kristiani dengan Tuhan tak bedanya hubungan ayah dan anak.

“Kalau di agama saya memanggil tuhan itu ‘Bapa’. Nah, kalian tahu sendiri, kan, lebih dekat mana anak sama bapaknya daripada keponakan dengan pamannya?” retoris pendeta.

Alih-alih ikut unjuk gigi, secara mengejutkan Gus Dur justru berpendapat bahwa Islam sepertinya agama yang paling jauh dengan Tuhan. Tak ayal, pernyataan Cendekiawan Muslim ini menerbitkan rasa penasaran dari dua pemuka agama lain yang tengah beradu argumen itu, "Lho, kok begitu?"

Menjawab tanya dua koleganya, Gus Dur dengan santai berseloroh, “Gimana tidak? Lah, wong kalau di agama saya itu kalau memanggil Tuhan saja harus memakai Toa (pengeras suara)," ujarnya sembari terpingkal.

Satire Gus Dur tersebut menyimpan ceruk pesan yang dalam. Dari jauh hari, Presiden ke-enam RI dan Guru Bangsa kontroversial ini memang sudah kerap memberi sinyal lampu kuning atas fenomena bising toa masjid dan musala.

Apa pasal? Tradisi ribut saling sahut antara pengeras suara satu masjid dengan masjid lain dinilai berpotensi memicu konflik horizontal di lapisan akar rumput. Jangankan terhadap umat lintas agama, tensi tinggi antar sesama muslim bisa saja bergejolak lantaran perkara pekik toa yang tak mengidahkan hak dan kepentingan umum.

Sebut salah satunya kisruh teranyar antar warga yang dipicu dari bising pelantang Musala Nurul Yakin Rabu malam, 16 Maret 2022 di Jalan Pemuda, Kelurahan Tampan, Kecamatan Payung Sekaki, Pekanbaru, Riau.

Adu urat antar warga sempat menjadi sorotan saat seorang pria berinisial R mengajukan protes atas berisiknya pengeras suara musala. Kepada pengurus, dia pun meminta arah corong toa musala yang selama ini tepat menghadap ke rumahnya agar digeser ke arah lain.

Bukan tanpa alasan R meminta arah corong toa diubah. Hal itu lantaran siang dan malam kebisingan toa telah mengganggu istirahat jabang bayinya yang sedang tidak sehat.

"Saudara R ini merasa bahwa pengeras suara yang ada di musala di sekitar rumahnya, hal itu mengakibatkan anaknya yang berusia tiga tahun sedang mengalami suatu penyakit (jadi) terganggu," jelas Kapolsek Payung Sekaki, Iptu Bayu Ramadhan Effendi dalam rekaman video yang dikutip dari Kompas.com.

Alih-alih mendapat respon positif, R justru berselisih paham dengan warga lain yang tak terima dengan usulan tersebut hingga ketegangan pun sempat tersulut. Beruntung, konflik bisa segera diredam dan kata damai akhirnya disepakati usai dilakukan mediasi.

Bukan kali pertama, konflik antar warga dipicu bising pengeras suara rumah ibadah sebelumnya juga pernah terjadi di Tanjung Balai, Medan, Sumatera Utara pada 29 Juli 2016. Seorang warga keturunan Tionghoa non-muslim bernama Meiliana berdebat keras dengan jamaah Masjid Al Maksun karena protes atas berisiknya azan yang menggema.

Tak seberuntung R yang berakhir damai di atas materai, protes Meiliana justru berbuntut panjang hingga membuat ia terpaksa harus berurusan dengan Pengadilan Negeri Medan dan divonis 1,5 tahun penjara lantaran dijerat pasal penodaan agama.

Tak hanya berujung pada jeruji besi, imbas protes Meiliana bahkan sempat melebar ke sejumlah peristiwa kerusuhan. Warga muslim yang tersulut emosinya melakukan perusakan di rumah Meiliana. Selain itu, massa juga menyerang Vihara Tri Ratna dan Kelenteng Dewi Samudera di tepi Sungai Asahan hingga kisruh terus meluas. Sedikitnya 3 vihara, 8 kelenteng, dan 2 yayasan Tionghoa, serta satu tempat pengobatan rusak akibat rentetan peristiwa yang terjadi.

Kembali menarik mundur, pada 12 Desember 2012 perkara bising toa masjid juga telah mendorong Haji Sayed Hasan bin Sayed Abbas untuk menggugat Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama dan tujuh pihak lainnya ke Pengadilan Negeri Banda Aceh. Gugatan itu terdaftar dengan Nomor 28/pdt.G/2012/PN-BNA.

Alasan warga Gampong Jawa, Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh ini melayangkan gugatan lantaran merasa terganggu dengan riuhnya suara pengajian dari 10 pelantang di Masjid Al-Muchsinin yang terletak tak jauh dari rumahnya.

Menurut kakek yang saat itu berusia 75 tahun tersebut, 2 dari 10 pengeras suara yang ada mengarah tepat ke rumahnya, sehingga apabila bulan Ramadan, selepas shalat tarawih, suara tadarus, zikir dan tasbih dari masjid menggangu dirinya saat beribadah dan beristirahat di rumah.

Dalam surat gugatannya, Sayed Hasan juga mengatakan bahwa ceramah agama dan lantunan bacaan ayat Al-Quran dari cassete tape recorder, selama 30 menit sebelum shalat subuh dan sekitar sejam sebelum shalat magrib juga tak kalah menggangu.

Meski sudah sempat disidangkan pada 11 Februari 2013, namun Sayed Hasan akhirnya mencabut gugatan tersebut lantaran mendapat tekanan dari gerombolan warga yang marah dan mengancam bakal menggelar aksi massa.

Tiga kasus di muka hanyalah puncak gunung es dari berjibun kasus serupa. Pecah konflik antar warga imbas pekik toa masjid dan musala sebenarnya memiliki sederet daftar yang lebih panjang. Sampai di sini barangkali akan terbit pertanyaan, sebenarnya sejak kapan orang Indonesia mulai menggunakan toa dalam rumah ibadah.

Berdasarkan artikel dari Historia.id, toa sebenarnya merupakan merek dagang pengeras suara dari perusahaan alat elektronik asal Jepang, Toa Electric Manufaktur. Berdiri pada 1 September 1934, toa masuk ke Indonesia sekitar tahun 1960-an. Merek alat pengeras suara itu kemudian menjadi yang paling kesohor di desa dan kota, mengalahkan merek lainnya yang lebih dulu muncul.

Kees Van Dijk dalam tulisannya berjudul 'Perubahan Kontur Masjid' yang mengutip 'Studien over de geschiedenis van de Islam' karya G.F. Pijper mengungkapkan, bahwa sebenarnya pengeras suara --selain merek Toa-- sudah mulai digunakan di masjid tanah air jauh sebelum tahun 1960-an.

"Pengeras suara dikenal luas untuk menyuarakan azan di Indonesia sejak tahun 1930-an. Masjid Agung Surakarta adalah masjid pertama yang dilengkapi pengeras suara," tulis Van Dijk.

Memasuki era kemerdekaan atau tepatnya sekitar tahun 1968 pengeras suara yang kala itu didominasi merek toa kemudian terpasang di sejumlah masjid di Jakarta. Dua diantaranya yakni Masjid Al-Muhajirin dan Al-Anshar yang berada di Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Namun demikian, tidak semua masjid di Jakarta pada kisaran tahun itu sudah menggunakan pengeras suara. Sekelas masjid besar Al-Azhar saja, baru menggunakan pengeras suara pada 1970an.

Bersamaan dengan kepopuleran toa, terdapat sejumlah warga yang mulai berdebat tentang penggunaan pelantang di masjid dan musala ini. Permasalahan suara yang terlalu keras menjadi salah satu perdebatan yang muncul.

"Bagaimana kalau ada orang yang sakit di sekitar masjid dan meninggal karena suara azan yang terlalu keras, misalnya," protes seorang warga Jakarta yang tidak ingin disebutkan namanya, ditulis Espress, (22/08/1970).

Bahkan, menurut Kordinator Dakwah Islam Jakarta, A.M. Fatwa, pada tahun 1970-an terdapat salah satu masjid di daerah Kebon Jeruk, Jakarta yang mengharamkan penggunaan pengeras suara dengan dalih tak sesuai dengan tuntunan di zaman nabi.


Aturan Main Penggunaan Toa Rumah Ibadah

Menindaklanjuti potensi marak terjadinya tensi tinggi antar warga akibat pekik toa di rumah ibadah, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas kemudian berinisiatif menerbitkan edaran berisi aturan main penggunaan pengeras suara di masjid dan musala.

Aturan ini tertuang dalam Surat Edaran Menteri Agama (SE Menag) Nomor 5 tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala.

Menurut Menag, SE yang resmi diterbitkan pada tanggal 18 Februari 2022 ini tak lain merupakan upaya dalam merawat persaudaraan dan harmonisasi sosial di tengah majemuknya masyarakat Indonesia.

Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini tak menampik, pengeras suara di masjid dan musala merupakan kebutuhan bagi kaum Muslim sebagai salah satu media syiar umat. Namun demikian, perlu menjadi catatan, bahwa sejatinya Indonesia merupakan negara bhineka, baik dari sisi agama, keyakinan, latar belakang, dan lainnya.

“Pedoman diterbitkan sebagai upaya meningkatkan ketenteraman, ketertiban, dan keharmonisan antarwarga masyarakat,” ujar Menag Yaqut dikutip dari kemenag.go.id. 

SE Menag ditujukan kepada Kepala Kanwil Kemenag Provinsi, Kepala Kantor Kemenag kabupaten/kota, Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan, Ketua Majelis Ulama Indonesia, Ketua Dewan Masjid Indonesia, Pimpinan Organisasi Kemasyarakatan Islam, dan Takmir/Pengurus Masjid dan Musala di seluruh Indonesia. Sebagai tembusan, edaran ini juga ditujukan kepada seluruh Gubernur dan Bupati/Walikota di seluruh Indonesia.

Berikut rincian ketentuan dalam SE Menag Nomor 5 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala:


Pedoman Umum

1. Pengeras suara terdiri atas pengeras suara dalam dan luar.

a) Pengeras suara dalam merupakan perangkat pengeras suara yang difungsikan atau diarahkan ke dalam ruangan masjid atau musala. 

b) Pengeras suara luar difungsikan diarahkan ke luar ruangan masjid atau musala.

 2. Penggunaan pengeras suara pada masjid dan musala mempunyai tujuan:

a) Mengingatkan kepada masyarakat melalui pengajian Al-Quran, selawat atas Nabi, dan suara azan sebagai tanda masuknya waktu salat fardu;

b) Menyampaikan suara muazin kepada jemaah ketika azan, suara imam kepada makmum ketika salat berjemaah, atau suara khatib dan penceramah kepada jemaah;

c) Menyampaikan dakwah kepada masyarakat secara luas baik di dalam maupun di luar masjid dan musala.


Pemasangan dan Penggunaan Pengeras Suara


1. Pemasangan pengeras suara dipisahkan antara pengeras suara yang difungsikan ke luar dengan pengeras suara yang difungsikan ke dalam masjid dan musala;


2. Untuk mendapatkan hasil suara yang optimal, hendaknya dilakukan pengaturan akustik yang baik;


3. Volume pengeras suara diatur sesuai dengan kebutuhan, dan paling besar 100 dB (seratus desibel);


4. Dalam hal penggunaan pengeras suara dengan pemutaran rekaman, hendaknya memperhatikan kualitas rekaman, waktu, dan bacaan akhir ayat, selawat atau tarhim.


Tata Cara Penggunaan Pengeras Suara

1. Ketentuan penggunaan pada waktu salat:

Subuh:

a) Sebelum azan pada waktunya, pembacaan Al-Quran atau selawat atau tarhim dapat menggunakan Pengeras Suara Luar dalam jangka waktu paling lama 10 menit;

b) Pelaksanaan salat Subuh, zikir, doa, dan kuliah Subuh menggunakan Pengeras Suara Dalam.

 Zuhur, Asar, Magrib, dan Isya:

a) Sebelum azan pada waktunya, pembacaan Al-Quran atau selawat atau tarhim dapat menggunakan Pengeras Suara Luar dalam jangka waktu paling lama 5 menit;

b) Sesudah azan dikumandangkan, yang digunakan Pengeras Suara Dalam.

 Khusus di hari Jumat:

a) Sebelum azan pada waktunya, pembacaan Al-Quran atau selawat atau tarhim dapat menggunakan Pengeras Suara Luar dalam jangka waktu paling lama 10 menit;

b) Penyampaian pengumuman mengenai petugas Jumat, hasil infak sedekah, pelaksanaan Khutbah Jumat, salat, zikir, dan doa, menggunakan Pengeras Suara Dalam.

2. Pengumandangan azan menggunakan Pengeras Suara Luar.

3. Kegiatan Syiar Ramadan, gema takbir Idulfitri, Iduladha, dan Upacara Hari Besar Islam:

a) Penggunaan pengeras suara di bulan Ramadan baik dalam pelaksanaan Salat Tarawih, ceramah atau kajian Ramadan, dan tadarrus Al-Quran menggunakan Pengeras Suara Dalam;

b) Takbir pada tanggal 1 Syawal atau 10 Zulhijjah di masjid dan musala dapat dilakukan dengan menggunakan Pengeras Suara Luar sampai dengan pukul 22.00 waktu setempat dan dapat dilanjutkan dengan Pengeras Suara Dalam;

c) Pelaksanaan Salat Idulfitri dan Iduladha dapat dilakukan dengan menggunakan Pengeras Suara Luar;

d) Takbir Iduladha di hari Tasyrik pada tanggal 11 sampai dengan 13 Zulhijjah dapat dikumandangkan setelah pelaksanaan Salat Rawatib secara berturut-turut dengan menggunakan Pengeras Suara Dalam;

e) Upacara Peringatan Hari Besar Islam atau pengajian menggunakan Pengeras Suara Dalam, kecuali apabila pengunjung tablig melimpah ke luar arena masjid dan musala dapat menggunakan Pengeras Suara Luar.

Suara yang dipancarkan melalui Pengeras Suara

Harus diperhatikan kualitas dan kelayakannya, suara yang disiarkan memenuhi persyaratan:

1. Bagus atau tidak sumbang;


2. Pelafazan secara baik dan benar.


Pembinaan dan Pengawasan


1. Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Surat Edaran ini menjadi tanggung jawab Kementerian Agama secara berjenjang.


2. Kementerian Agama dapat bekerja sama dengan Pemerintah Daerah dan Organisasi Kemasyarakatan Islam dalam pembinaan dan pengawasan.

Bukan tanpa pro-kontra, SE Menag Nomor 5 Tahun 2022 terkait aturan penggunaan pengeras suara di Masjid dan Musala mendapat respon dari berbagai pihak. Ada yang mendukung, namun tak sedikit yang mengkritisi.

Nada minor kritik salah satunya datang dari Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Bukhori Yusuf. Ia menilai, pengaturan penggunaan toa di masjid dan musala secara substansi seolah mengabaikan dinamika kondisi sosiologis dan kultural masyarakat, utamanya yang tinggal di pedesaan.

Menurutnya, bagi masyarakat tradisional komunal, pelantang sudah menjadi bagian dari tradisi umat islam di Indonesia dalam mensiarkan ajaran agama. Mereka juga relatif memiliki penerimaan yang lebih positif terhadap riuhnya suara azan, lantunan zikir dan atau pengajian yang keluar dari toa masjid atau musala.

Selain itu, di lingkungan yang homogen seperti pedesaan, riuh pengeras suara sudah menjelma sebagai soundscape atau bunyi lingkungan, sehingga apabila frekuensi ataupun kapasitas dari bunyi tersebut berkurang, melemah, bahkan menghilang, maka dapat berpengaruh terhadap suasana kebatinan penduduk.

Kendati demikian, Anggota Komisi VIII ini tak menepis bahwa penerimaan atas eksistensi pengeras suara dari masjid dan musala oleh masyarakat desa tidak bisa dipukul rata di setiap wilayah. Ia bahkan mengakui, tingginya intensitas riuh dari pengeras suara rumah ibadah memang tak cocok diterapkan di perkotaan, di mana notabene penduduknya sudah terbiasa hidup dalam suasana heterogen, individualistik, serta bising, sehingga ketenangan menjadi semacam oase yang justru dicari.

Dalam kondisi tersebut, menurut Bukhori, pengaturan pengeras suara pada tingkat yang proporsional menjadi hal yang perlu dilakukan. Namun begitu, untuk mewujudkan hal itu negara seharusnya tidak perlu mengintervensi atau mencampuri hingga urusan teknis soal peribadatan. 

"Menurut saya, Kemenag tidak perlu mengatur hal-hal yang sangat teknis tentang masalah ibadah, utamanya penggunaan speaker untuk azan, pengajian, maupun lainnya di masyarakat. Iya, karena hal itu di setiap kampung yang satu dengan lainnya tidak sama," kata Bukhori, Senin, (21/2/2022) dikutip dari detik.com.

Bertolak dengan Bukhori, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) akur satu suara mendukung adanya kebijakan pembatasan intensitas dan frekuensi pengeras suara dari masjid dan musala yang diterbitkan Kemenag.

Ketua PP Muhammadiyah Dadang Kahmad menilai, pembatasan penggunaan toa di rumah ibadah memang diperlukan. Pengaturan dilakukan agar para pengurus masjid atau siapa pun yang diserahi tanggung jawab atas aktivitas penggunaan pelantang tidak serampangan.

"Bagus ada pengaturan. Supaya penggunaan pengeras suara masjid ataupun yang lain tidak sembarangan. Tidak sembarang waktu," kata Dadang, Selasa, 22 Februari 2022, dikutip dari Antara.

Dadang pun mendorong agar pedoman penggunaan pengeras suara di masjid dan musala yang tertuang dalam SE Menag Nomor 5 Tahun 2022 seyogianya dapat ditaati semua pihak. Hal tersebut, katanya, agar terwujud kesyahduan dan suara dari pelantang antara satu masjid dengan masjid lain yang dikeluarkan tidak berbenturan.


Sementara itu, Cholil Nafis selaku Rais Syuriyah PBNU merekomendasikan agar SE Menag soal detail pengaturan penggunaan toa perlu disosialisasikan secara masif. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman di tengah masyarakat. Cholil menilai, sejatinya penggunaan pengeras suara pada masjid dan musala merupakan bagian dari upaya syiar Islam, selama dipergunakan secara proporsional dan sesuai waktunya.

"Memang ada relevansinya berkenaan dengan pengeras suara, azan sama sekali tidak diatur (asalkan pada waktunya dan sesuai syariah), yang diatur adalah penggunaan pengeras suara untuk kegiatan, misalnya bacaan sebelum adzan atau tarhim," kata dia.


Pengaturan Penggunaan Pengeras Suara di Sejumlah Negara


Tak hanya di Indonesia, aturan main penggunaan pengeras suara di rumah ibadah seperti masjid dan musala sejatinya juga sudah diberlakukan di sejumlah negara, utamanya di negara-negara yang mayoritas penduduknya umat muslim.

Dilansir dari Tempo.id, salah satu negara yang sudah sejak lama membatasi penggunaan pengeras suara pada masjid yakni Arab Saudi. Negara dengan mayoritas hampir 90 persen total penduduknya beragama Islam ini memberlakukan aturan pembatasan penggunaan pengeras suara di masjid pada 2015 silam. Negara Timur Tengah tersebut melakukan pembatasan penggunaan pengeras suara hanya diperuntukan untuk azan dan iqamat saja. Adapun volume pengeras suara diturunkan ke tingkat sepertiga.

Tak hanya Arab Saudi, Turki yang mayoritas penduduknya kaum muslimin juga sudah terbiasa dengan adanya pembatasan penggunaan toa masjid. Pengeras suara pada masjid-masjid di negara pecahan Kesultanan Utsmaniyah ini hanya diizinkan dipergunakan saat azan dan khutbah salat Jumat. Selain itu, volume azan dan khutbah masjid juga harus dengan frekuensi normal dan tidak terlalu keras.

Bergeser ke Suriah. Negara yang kerap dilanda perang saudara ini menetapkan aturan bahwa penggunaan pengeras suara luar masjid hanya diperbolehkan untuk dipakai saat mengumandangkan azan. Sementara saat khutbah Jumat atau pengajian, wajib memakai pengeras suara dalam. Kendati demikian, tidak ada pembatasan volume azan.

Selain tiga negara di atas, Mesir juga menjadi Negara Timur Tengah yang mengeluarkan aturan main terkait pembatasan penggunaan pengeras suara di rumah ibadah. Pemerintah Negeri Piramida itu memberlakukan aturan khusus untuk pengeras suara masjid sejak Ramadan tahun 2018. Kebijakan itu terkait pelarangan menggunakan speaker luar masjid saat ibadah salat tengah dilakukan.

Di Asia Tenggara, Negeri Jiran Malaysia juga sudah menelurkan aturan soal pengeras suara. Namun demikian, kebijakan di setiap masjid berbeda-beda tergantung wilayahnya. Larangan penggunaan pengeras suara luar masjid untuk menyampaikan ceramah dan khotbah berlaku di Selangor. Di wilayah itu penggunaan pelantang masjid hanya sebatas untuk mengumandangkan azan dan pembacaan ayat-ayat Alquran.


Peluru Hampa

Aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat Pusat Studi Agama dan Perdamaian atau International Commission on Radiological Protection (ICRP), Ahmad Nurcholish, mewanti-wanti pemerintah, dalam hal ini Kemenag, agar terbitnya SE Menag Nomor 5 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala harus disertai pelaksanaan yang benar. Ia berharap, nasib SE Menag ini tak hanya sekadar jadi peluru hampa seperti edaran sejenis yang sebelumnya sudah diterbitkan melalui Instruksi Dirjen Bina Masyarakat Islam Kemenag tahun 1978.

"Bisa menjadi peluru hampa kalau implementasi tidak dikawal dengan benar. Kemenag perlu melakukan edukasi dan penyadaran agar takmir masjid menggunakan pengeras suara sesuai aturan," kata Nurcholish, Selasa (22/02/2022), dikutip dari BBC News Indonesia.

Tak hanya terimplementasi dengan benar, Nurcholish juga mendorong adanya sanksi tegas terhadap tempat ibadah yang melanggar aturan. Sanksi tersebut bisa berupa pelarangan menggunakan pengeras suara luar sama sekali selama seminggu terhadap tempat ibadah yang melanggar aturan. Sanksi juga bisa berupa teguran keras. “Tanpa (sanksi) itu rasanya surat edaran ini, tidak akan ditaati," ujarnya.

Nurcholish mengungkapkan, berdasarkan fakta di lapangan ia menemukan sedikitnya terdapat 4.000 masjid di Jakarta yang diketahui menjadi penyumbang kebisingan hingga dikeluhkan warga. Ia mencontohkan, keluhan dari artis Zaskia Adya Mecca yang mempertanyakan keetisan menggunakan pengeras suara masjid untuk membangunkan sahur saat Ramadan 2021 lalu.

Lebih lanjut, Nurcholis berharap, SE Menag Nomor 5 Tahun 2022 dapat melindungi hak warga dalam menyampaikan aspirasi apabila merasa terganggu dengan bisingnya pengeras suara rumah ibadah. Sehingga warga yang mengadukan keluhan mereka tidak ujug-ujug langsung dipidanakan seperti kasus penistaan agama di Tanjung Balai, Sumatera Utara, dengan terdakwa Meiliana yang divonis 18 bulan penjara.

"Surat Edaran ini dapat menjadi pijakan bahwa orang tidak serta merta bisa dipidana karena protes suara keras di rumah ibadah," pungkas pria kelahiran 1974 tersebut.




Jurnalis : Rizal Mahmuddhin

Editor : Virga Agesta

Illustrator : Priyana Nur Hasanah

Infografis : Zakki Fauzi









 https://kuatbaca.com/telik/detail/sosial-budaya/simalakama-pekik-toa-rumah-ibadah-97

Kamis, 11 Mei 2023

Talak Kemenag untuk MUI

March 2022 15:39



Eksistensi Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam melabelisasi halalnya produk di ujung tanduk. Apa pasal? Logo halal yang anyar diterbitkan Kementerian Agama (Kemenag), tak dapat disangkal sebagai sinyal kuat dari kementerian yang diimami Yaqut Cholil Qoumas untuk menalak MUI.


Berdiri sejak 7 Rajab 1395 Hijriah atau 26 Juli 1975 Masehi, MUI menjadi organisasi dalam mewadahi para ulama, zu'ama dan cendekiawan muslim Indonesia. Tak sembarang, sejak mula MUI sudah diserahi tanggung jawab untuk membantu pemerintah dalam mengetuk palu sejumlah putusan yang berkaitan dengan maslahat umat. Mulai dari mengeluarkan fatwa soal halalnya produk pangan, penentuan kebenaran sebuah aliran islam, juga berbagai perkara terkait relasi muslim dengan lingkungannya.


Mengutip laman resmi mui.or.id, disebutkan bahwa, awalnya para ulama, zu'ama dan cendekiawan muslim dari seluruh wilayah di tanah air sepakat menghelat pertemuan. Mereka diantaranya, 26 ulama dari masing-masing provinsi, 10 tokoh ulama dari ormas Islam tingkat pusat, meliputi NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan Polri, serta 13 tokoh atau cendekiawan perorangan.


Dari pertemuan tersebut seluruh peserta akhirnya mufakat satu suara untuk membidani MUI sebagai wadah musyawarah para ulama, zu'ama dan cendekiawan muslim se-Indonesia. Momentum tersebut resmi tertuang dalam “Piagam Berdirinya MUI,” yang diteken oleh seluruh peserta musyawarah.


Sertifikasi Halal Indonesia


Perjalanan sertifikasi halal di Indonesia memiliki histori berusia nyaris setengah abad. Mengutip buku “Ekosistem Industri Halal” yang diterbitkan Bank Indonesia pada Desember 2019, dipaparkan pada awalnya labelisasi dilakukan pemerintah hanya terhadap produk non-halal.


Kebijakan tersebut mengacu pada Surat Keputusan Menteri Kesehatan (SK Menkes) Nomor 280 tanggal 10 November 1976 tentang Ketentuan Peredaran dan Penandaan Pada Makanan Yang Mengandung Bahan Berasal Dari Babi.


Dalam SK yang diteken Menkes GA Siwabessy itu, tertuang aturan main yang mewajibkan seluruh makanan dan minuman dengan unsur babi harus dibubuhi label bertuliskan “mengandung babi”. Selain itu, label harus dilengkapi gambar seekor babi berwarna merah di atas dasar putih.


Namun berselang sewindu, menyeruak desakan dari masyarakat agar labelisasi seharusnya juga menyasar pada produk halal. Tuntutan tersebut muncul lantaran pada tahun 1988 banyak ditemukan makanan yang sebenarnya mengandung material tidak halal namun tetap beredar di pasaran.


Untuk meredam keresahan masyarakat, MUI kemudian berinisiatif mendirikan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika atau lebih dikenal dengan LPPOM MUI. Lembaga ini resmi berdiri pada tanggal 6 Januari 1989 sebagai bagian dari upaya untuk memberikan ketenteraman umat, utamanya dalam memperoleh ketayiban sebuah produk.


Pada awal-awal tahun kelahirannya, LPPOM MUI berulang kali menggelar seminar, diskusi dengan para pakar, dan melakukan sejumlah kunjungan kerja bersifat studi banding serta muzakarah. Hal ini untuk mempersiapkan diri dalam menentukan standar kehalalan dan prosedur pemeriksaan, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kaidah agama.


Memasuki awal tahun 1994, barulah LPPOM MUI mengeluarkan sertifikat halal pertamanya untuk konsumen maupun produsen, sehingga manfaat kehadirannya dapat dirasakan masyarakat.


Terkait pelaksanaan sertifikat halal ini, LPPOM MUI pun menggandeng Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Departemen Agama (Depag), Institut Pertanian Bogor (IPB), Kementerian Pertanian (Kementan), dan Kementerian Koperasi (Kemenkop). Khusus dengan BPOM dan Kementerian Agama, sertifikat halal MUI merupakan persyaratan dalam penentuan label pada kemasan.


Selama rentang 30 tahun sertifikasi produk halal berada di bawah kewenangan LPPOM MUI, hingga akhirnya pada 17 Oktober 2019, ditetapkan bahwa penyelenggaraan labelisasi halal di Indonesia beralih menjadi tanggung jawab Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kemenag.


Penetapan tersebut tertuang dalam Pasal 72 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.


Mengacu pada aturan baru itu, maka terhitung di tanggal yang sama, perusahaan dari dalam maupun luar negeri yang akan mengajukan pendaftaran perdana atau perpanjangan sertifikasi halal ke Indonesia harus melalui BPJPH Kemenag.


Adapun untuk perusahaan, baik di dalam dan luar negeri, yang mengajukan sertifikasi halal ke MUI sebelum tanggal 17 Oktober 2019, masih dibenarkan sesuai regulasi. Namun demikian, jika masa berlaku sertifikat halal itu bakal berakhir atau sudah kedaluarsa, maka proses perpanjangannya diwajibkan lewat BPJPH Kemenag.


“Sebelum Oktober 2019, audit produknya dilakukan oleh LPPOM-MUI dan sertifikat halalnya dikeluarkan MUI. Namun setelah 17 Oktober 2019, penerbitan sertifikat halalnya dikeluarkan oleh BPJPH,” kata Plt Kepala BPJPH Kemenag, Mastuki dikutip dari laman kemenag.go.id.


Pengalihan wewenang sertifikasi halal dari LPPOM MUI menjadi tanggung jawab BPJPH Kemenag sempat menuai pro-kontra dari sejumlah pihak. Aktris senior Marissa Haque merupakan salah satu figur yang keras mengkritisi kebijakan tersebut.


Dalam sebuah rekaman video yang diunggah dikanal YouTube Dr Cool981, istri penyanyi Ikang Fauzi ini menyayangkan hilangnya pasal 14 dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, berimplikasi pada eksistensi MUI sebagai pemberi fatwa halal suatu produk diganti dengan keputusan BPJPH.

Ia menilai peralihan tersebut mengkhawatirkan. Pasalnya, auditor dalam menentukan kehalalan suatu produk tidak menutup kemungkinan nantinya bakal melibatkan non-muslim. Sehingga, jaminan halal yang ditetapkannya pun patut untuk dipertanyakan.

"Di dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, kan, ada pasal 13, pasal 14 yaitu ketentuan di pasal 14 dihapus, hilang, dan konsekuensinya non muslim bisa jadi auditor, kan kacau, ini kan urusan halal kok," tandasnya.

Berbeda dengan Marissa, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta A Tholabi Kharlie menilai transisi kewenangan sertifikasi halal dari LPPOM MUI ke BPJPH menjadi titik baru dalam menciptakan ekosistem halal di Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia. Menurutnya, secara teori dan praksis, kebijakan peralihan sertifikasi ini bakal membuat industri halal akan semakin terkonsolidasi dengan baik.

Anggota Komisi Fatwa MUI Pusat ini pun menampik persepsi bahwa transisi kewenangan sertifikasi halal bakal menganulir peran MUI. Pasalnya MUI tetap dipertahankan dalam perkara penetapan kehalalan sebuah produk. Bedanya kali ini, MUI bukan sebagai penyelenggara, melainkan pendukung dalam penetapan dosa atau tidak dosanya sebuah produk dikonsumsi umat muslim.

"Salah besar jika membuat narasi bahwa MUI tidak lagi berperan dalam sertifikasi halal. Dalam Pasal 10 UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja disebutkan BPJPH dan MUI melakukan kerjasama dalam penetapan kehalalan produk," cetus Tholabi.


Logo Baru Halal Indonesia


Kharisma MUI dalam penetapan kehalalan sebuah produk kini semakin redup. Warisan logo yang sudah ada sejak 1989 pun digeser dengan logo besutan BPJPH yang menuai pro-kontra.

Kendati memicu pro-kontra, keputusan Kemenag untuk melimpahkan kewenangan sertifikasi halal dari LPPOM MUI kepada BPJPH tetap berlanjut. Sinyal kuat transisi peralihan kian kentara kala logo halal baru versi BPJPH resmi ditetapkan dan mulai berlaku efektif secara nasional sejak 1 Maret 2022.

Penetapan logo halal tersebut bahkan sudah dituangkan dalam Surat Keputusan BPJPH Nomor 40 Tahun 2022 tentang Penetapan Label Halal. SK diteken oleh Kepala BPJPH Muhammad Aqil Irham dan ditetapkan di Jakarta pada 10 Februari 2022.

Penetapan logo halal terbaru dilakukan sebagai tindak lanjut dari ketentuan Pasal 37 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014. Penetapan ini juga bagian dari pelaksanaan amanat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal.

Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas mengatakan, logo halal terdahulu yang dikeluarkan oleh MUI nantinya secara bertahap tak akan lagi berlaku. Ia menyebut logo halal MUI masih bisa beredar hingga tahun 2026 sepanjang stok produk yang lama masih ada.

"Di waktu-waktu yang akan datang, secara bertahap label halal yang diterbitkan oleh MUI dinyatakan tidak berlaku lagi. Sertifikasi halal, sebagaimana ketentuan undang-undang, diselenggarakan oleh pemerintah, bukan lagi ormas (organisasi masyarakat)," tulis Yaqut seperti di akun instagram resminya @gusyaqut, Sabtu (12/3/2022).

Terbitnya logo halal baru versi BPJPH tak ayal kembali menjadi kontroversial. Salah satu kritikan disampaikan oleh Wakil Ketua Umum MUI Anwar Abbas. Ia kecewa lantaran pada logo halal yang baru itu tidak tersemat kata "MUI".

"Ada kata BPJPH, MUI dan kata halal di mana kata MUI dan kata halal ditulis dalam bahasa Arab. Tetapi setelah logo tersebut jadi, kata ‘BPJPH dan ‘MUI’-nya hilang," katanya.

Selain menyayangkan kata "MUI" yang tak tertera, Anwar menilai logo halal anyar tersebut juga dinilai lebih mengedepankan seni ketimbang kata halal berbahasa Arab. Ia berpendapat, alih-alih terlihat sebagai kata halal, logo baru itu justru lebih tampak seperti gambar gunungan.

Menanggapi polemik terkait logo halal besutan BPJPH ini, Tholabi Kharlie menilai perubahan logo halal menggunakan kaligrafi (dalam hal ini jenis khat Kufi) sejatinya memang tidak ditujukan untuk kepentingan baca tulis, tetapi lebih pada kepentingan estetika.

"Oleh karena itu aspek keterbacaan atau kejelasan tulisan menjadi tidak dominan. Terlebih ini digunakan untuk logo yang juga mempertimbangkan aspek kepantasan, keserasian, dan keindahan. Sedangkan logo halal yang lama menggunakan jenis khat Naskhi. Khat yang fungsional tulis-baca," urai Tholabi dalam keterangannya.

Lebih lanjut mantan Pimpinan Tim Penulis Alquran Mushaf Banten ini menjelaskan, dari sisi kaidah khat maupun kaidah imla'i, tidak ada yang keliru dalam penulisan logo tersebut. Sebab, semua unsur huruf dalam kata halal, yakni ha'-lam-alif-lam tertulis dengan lengkap.

Menurut Tholabi, respons publik terhadap logo halal yang baru, ada baiknya menjadi tantangan sekaligus kesempatan bagi BPJPH untuk semakin masif dalam sosialisasi.

Diketahui, logo halal terbitan BPJPH Kemenag memang dituangkan dalam kaligrafi berwarna ungu berbentuk menyerupai gunungan dengan latar putih. Di bawah kaligrafi tertera tulisan kapital latin "HALAL INDONESIA".

Logo halal Indonesia terdiri atas dua objek, yakni gunungan dan motif surjan atau lurik gunungan pada wayang kulit yang berbentuk limas, lancip ke atas. Bentuk gunungan ini memiliki makna bahwa semakin tinggi ilmu dan semakin tua usia, maka manusia harus semakin mengerucut atau semakin dekat dengan Sang Pencipta.

Sementara untuk motif surjan mengandung filosofi yang mendalam. Surjan atau yang disebut juga sebagai pakaian takwa memiliki tiga pasang kancing atau 6 biji kancing secara keseluruhan pada bagian leher, di mana hal tersebut menggambarkan jumlah rukun iman.

Selain itu, motif surjan atau lurik yang sejajar satu sama lain juga mengandung makna sebagai pembeda atau pemberi batas yang jelas. Hal ini sejalan dengan tujuan penyelenggaraan Jaminan Produk Halal di Indonesia untuk menghadirkan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan produk.

Adapun untuk pemilihan warna ungu sebagai warna utama logo merepresentasikan makna keimanan, kesatuan lahir batin, dan daya imajinasi. Kemudian untuk warna sekundernya yakni hijau toska, merupakan representasi dari kebijaksanaan, stabilitas, dan ketenangan. (*)




https://kuatbaca.com/telik/detail/politik/talak-kemenag-untuk-mui-92


Patgulipat Vonis Korupsi Edhy Disunat

23 March 2022 16:49



"Ketuk palu Mahkamah Agung (MA) untuk menyunat vonis Edhy Prabowo mendapat sorotan banyak pihak. Apa pasal? Putusan MA dalam perkara suap izin ekspor benur ini dinilai mencederai rasa keadilan bagi masyarakat. Tak pelak bila kemudian putusan tersebut menerbitkan dugaan adanya praktik patgulipat."


Lobster menjadi salah satu komoditas bahari nusantara bernilai ekonomi tinggi. Tak sekadar isapan jempol, harga animalia crustacea ini bisa dibanderol hingga jutaan rupiah. Sebut salah satunya seperti Panulirus Ornatus atau secara umum dikenal sebagai Lobster Mutiara. Di pasaran, lobster jenis ini bisa dilego mencapai Rp 1,5 juta per kilogramnya.

Ironis, adanya segelintir oknum culas yang mencoba mengambil keuntungan secara instan, membuat Indonesia merugi lantaran keuntungan yang diperoleh negara atas penjualan komoditas lobster terpangkas signifikan. Caranya, pihak-pihak yang berlaku lancung ini menyelundupkan lobster sejak masih berusia benih atau benur ke pasar internasional.

Menindaklanjuti realitas ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) era kepemimpinan Susi Pudjiastuti menelurkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 56 Tahun 2016 tentang larangan penangkapan dan/atau pengeluaran lobster, kepiting dan rajungan dari wilayah negara Republik Indonesia.

Mengutip laman resmi KKP, setidaknya ada dua alasan utama kenapa Susi menerbitkan larangan tersebut. Pertama, Srikandi Jokowi dalam Kabinet Indonesia Maju ini ingin mendongkrak nilai tambah dari lobster sebelum diperjualbelikan di pasar global. Kedua, wanita yang lahir dan besar di pesisir Pantai Pangandaran ini ingin populasi lobster dapat tumbuh berkelanjutan di laut Indonesia sebelum terjadi kelangkaan.

Tak hanya melarang ekspor benur, Sebelumnya Susi juga sudah menerbitkan larangan penangkapan benih lobster melalui Permen KP No 1 Tahun 2015. Pasalnya, penangkapan benur acapkali justru lebih menguntungkan negara tetangga seperti Vietnam.

Benur yang ditangkap masyarakat Indonesia dan diperjualbelikan ke negara tetangga bakal dilego dengan harga yang relatif jauh lebih rendah. Setelahnya, benur diekspor kembali oleh negara tersebut dengan nilai lebih tinggi dari yang dijual oleh Indonesia.

Vietnam kerap diuntungkan jika mendapat pasokan benur dari Indonesia. Tercatat, angka ekspor Vietnam sempat mencapai 1.000 ton per tahun, sementara Indonesia hanya dapat ekspor 300 ton per tahun.

"Tujuan pemerintah menerbitkan permen tersebut bukanlah melarang penangkapan benih lobster untuk dibudidaya. Hanya saja, jika diizinkan mengambil benih lobster, masyarakat akan kembali mengekspor benih lobster ke negara lain," kata Susi Pudjiastuti dalam rilis pada Kamis, 13 Juli 2017, dikutip dari Suara.com.

Selepas Susi hengkang dari kursi menteri, KKP kemudian dinahkodai oleh Edhy Prabowo yang ditunjuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan dalam Kabinet Indonesia Maju Jilid II. Pada era kepemimpinannya, Edhy lantas menganulir Permen KP Nomor 56 Tahun 2016 dan menggantinya dengan Permen KP Nomor 12 Tahun 2020.

Mengacu pada Permen yang diteken pada 4 Mei 2020 tersebut, Edhy membuka kran ekspor benur ke sejumlah negara tetangga. Politikus Partai Gerindra ini berdalih, izin ekspor benur digadang dapat mensejahterakan masyarakat akar rumput utamanya para nelayan.

Perihal lobster yang bakal terancam punah jika terus diekspor, Edhy berkelit bahwa hal tersebut tak perlu dikhawatirkan lantaran satu lobster bisa bertelur sampai 1 juta ekor sekaligus pada musim panas.

"Saya ingin buka kembali ekspor ini karena ada masyarakat kita yang lapar gara-gara dilarang, gara-gara ada peraturan ini (larangan penangkapan benih lobster)," ujar Edhy di Jakarta, Rabu, 25 Desember 2019, dikutip dari Detik.com.

Alih-alih menggeliatkan perekonomian wong cilik, Permen KP Nomor 12 Tahun 2020 yang terbit justru cenderung lebih menjadi kabar baik bagi sejumlah perseroan kelas kakap untuk berkompetisi mengeruk keuntungan berkat dibukanya kran ekspor benur.

Tersiar, kala itu Edhy telah memberikan izin terhadap 26 perusahaan untuk melakukan ekspor benur. Namun demikian, siapa nyana beredar data bahwa perusahaan yang mendapatkan izin ekspor sebenarnya sebanyak 61 perusahaan.

Hal tersebut berdasarkan dari beredarnya surat undangan kepada 61 Direktur perusahaan bernomor B.20733/DJPT/TU.330.D1/XI/2020 tanggal 2 November 2020. Surat itu ditandatangani langsung oleh Direktur Pengelolaan Sumber Daya Ikan KKP, Trian Yunanda. Adapun daftar 61 perusahaan tersebut meliputi:









Edhy Dicokok KPK


Berselang enam bulan pasca-terbitnya Permen KP Nomor 12 Tahun 2020, pada Rabu dini hari, 25 November 2020 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencokok Edhy di Bandara Soekarno-Hatta. Ia ditangkap usai bertolak dari kunjungan kerja ke Amerika Serikat.

Lembaga antirasuah menetapkan Edhy sebagai tersangka kasus suap terkait perizinan ekspor benih lobster. Tak hanya Edhy, KPK juga menetapkan enam orang lainnya sebagai tersangka.

Keenamnya yakni staf khusus Menteri KKP, Safri dan Andreu Pribadi Misata; Pengurus PT Aero Citra Kargo (PT ACK), Siswadhi Pranoto Loe; staf isteri Menteri KKP, Ainul Faqih dan Amiril Mukminin; serta Direktur PT Duta Putera Perkasa Pratama (PT DPPP), Suharjito. Dalam kasus ini Suharjito sebagai pemberi suap sementara lainnya sebagai penerima.

Edhy disinyalir menerima suap mencapai Rp25,7 miliar dari para eksportir. Suap itu tak lain sebagai upaya patgulipat memuluskan proses persetujuan pemberian izin budidaya lobster dan izin ekspor benur.

Secara rinci, Edhy diduga menerima suap sebesar USD 77.000 atau setara Rp1,1 miliar dari pemilik PT DPPP, Suharjito. Uang sogokan itu diterima Edhy melalui sekretaris pribadinya, Amiril Mukminin dan staf khususnya, Safri. 

Kemudian, Edhy juga menerima uang pelicin sebesar Rp24,6 miliar dari Suharjito dan eksportir lainnya. Suap itu diterima melalui sejumlah perantara selain Amiril dan Safri, yakni lewat staf pribadi Iis Rosita Dewi, Ainul Faqih; staf khusus Edhy, Andreau Misanta Pribadi; serta pihak PT ACK, Siswadhi.

Atas perbuatan lancung tersebut, keenam tersangka penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Adapun pihak pemberi suap disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.


Tarik Ulur Vonis Edhy


Usai menjalani persidangan Edhy terbukti secara sah dan menyakinkan dinyatakan bersalah pada perkara penerimaan suap terkait ekspor benur. Tak pelak, pada 15 Juli 2021 Majelis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta akhirnya menjatuhkan vonis 5 tahun penjara ditambah denda Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan.

Selain itu, Edhy juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 9,68 miliar dan USD 77 ribu, serta pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 2 tahun sejak selesai menjalani hukuman.

Tak terima dengan putusan Majelis Pengadilan Tipikor Jakarta, melalui kuasa hukumnya Edhy kemudian mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 24 Juli 2021.

Apa lacur, alih-alih mendapat keringanan, Majelis Hakim Banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta justru menambah hukuman Edhy. Vonis pidana bagi maling uang rakyat itu menjadi 9 tahun penjara ditambah denda Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan. Edhy juga dibebankan kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp9.68 miliar dan USD 77 ribu serta pencabutan untuk dipilih dalam jabatan publik selama 3 tahun.

Ketuk palu di tingkat banding itu diputuskan pada 21 Oktober 2021 oleh hakim ketua Haryono dan hakim anggota yang terdiri dari Mohammad Lutfi, Singgih Budi Prakoso, Reny Halida Ilham Malik serta Anton Saragih.

Menurut Hakim, pemberatan hukuman layak diterima Edhy lantaran vonis pada pengadilan tingkat pertama belum mencerminkan rasa keadilan bagi masyarakat. Selaku pejabat publik, Edhy dinilai telah merusak tatanan kerja yang selama ini telah berlaku dan terpelihara di KKP.

"Terlebih lagi terdakwa adalah seorang menteri yang membawahi Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, telah dengan mudahnya memerintahkan anak buahnya berbuat hal yang menyimpang dan tidak jujur," kata hakim dalam putusan tersebut dikutip dari Tempo.co.

Mendapati putusan tersebut, sudah barang tentu Edhy semakin tak puas atas vonis yang diterima, ia pun lantas melanjutkan upaya dengan mengajukan kasasi pada 18 Januari 2022.

Dan, kali ini Dewi Fortuna sedikit memihak Edhy. Sebab, Mahkamah Agung (MA) akhirnya memutuskan menyunat hukuman pidana penjara bagi Edhy sehingga kembali turun menjadi 5 tahun penjara dengan kewajiban-kewajiban lain yang serupa dengan vonis pada Pengadilan Tipikor Jakarta.

Putusan kasasi MA yang ditetapkan pada 7 Maret 2022 itu dipimpin oleh Sofyan Sitompul selaku hakim ketua majelis, dan Gazalba Saleh, serta Sinintha Yuliansih sebagai hakim anggota.

Majelis kasasi beralasan, diskon hukuman tersebut lantaran selama menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy dinilai sudah bekerja dengan baik.

"Bahwa putusan Pengadilan Tinggi yang mengubah putusan Pengadilan Negeri kurang mempertimbangkan keadaan yang meringankan terdakwa, sehingga perlu diperbaiki dengan alasan bahwa pada faktanya terdakwa sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan RI sudah bekerja dengan baik dan telah memberi harapan yang besar kepada masyarakat khususnya nelayan," demikian disebutkan hakim dikutip dari Idxchannel.com.

Menurut hakim, kebijakan Edhy dalam menganulir Permen KP Nomor 56 Tahun 2016 dan menggantinya dengan Permen KP Nomor 12 Tahun 2020 bertujuan mensejahterakan masyarakat utamanya para nelayan.

"Dengan tujuan adanya semangat untuk memanfaatkan benih lobster guna kesejahteraan masyarakat, yaitu ingin memberdayakan nelayan karena lobster di Indonesia sangat besar," kata hakim.

Putusan kasasi MA yang telah menyunat vonis Edhy tak pelak menyulut pro kontra. Pengamat Hukum Pidana Universitas Parahyangan Asep Iwan Iriawan menilai, alasan hakim yang memberi diskon hukuman bagi Edhy tidak masuk akal dan tak sejalan dengan hukum yang logis.

Menurutnya, hakim tidak memiliki kewenangan dalam menakar baik buruknya kebijakan yang telah ditelurkan Edhy selama menjabat menteri. Sejatinya, kewenangan hakim sebatas mengadili tidak pidana korupsi yang dilakukan oleh terdakwa.

"Yang menilai menteri baik itu bukan kompetensi hakim, yang menilai menteri itu presiden. Hakim hanya menilai perbuatan salah benarnya atau memenuhi unsur atau tidak," kata Asep dikutip dari Kompas TV.

Asep juga berpendapat majelis hakim kasasi MA tidak mempertimbangkan Pasal 52 KUHP. Di mana pada pasal tersebut tertera bahwa pejabat yang melakukan perbuatan pidana dalam jabatannya, maka hukuman pidananya dapat ditambah sepertiga.

Dengan kata lain, majelis hakim kasasi MA seyogianya menambah hukuman terhadap Edhy dari putusan sebelumnya di tingkat banding yang telah menjatuhkan 9 tahun penjara. Bukan justru menyunat vonis hukuman.

Dengan kata lain, majelis hakim kasasi MA seyogianya menambah hukuman terhadap Edhy dari putusan sebelumnya di tingkat banding yang telah menjatuhkan 9 tahun penjara. Bukan justru menyunat vonis hukuman.


Sementara itu, Ketua KPK Firli Bahuri menyatakan menghargai putusan majelis hakim kasasi MA atas diskon hukuman yang diberikan terhadap Edhy Prabowo. Menurutnya, majelis hakim tentu lebih memahami dan mengetahui setiap perkara yang diputuskan.

Firli menilai lembaga peradilan memiliki kekuasaan yang merdeka dan tidak bisa diintervensi dari pihak mana pun. Sebab itu ia pun menghormati seluruh putusan dari majelis hakim kasasi MA.

“Menghormati putusan peradilan adalah inti negara hukum. Kekuasaan peradilan adalah kekuasaan yang merdeka dan bebas dari seluruh intervensi. Sama dengan KPK, dalam melakukan tugas dan kewenangannya, tidak tunduk dan terpengaruh dengan kekuasaan apa pun,” ujarnya dikutip dari Jawapos.com.


Hakim Ketua Kasasi MA Jadi Sorotan


Hakim ketua majelis kasasi MA, Sofyan Sitompul menjadi sorotan usai memutuskan untuk menyunat hukuman bagi terdakwa Edhy dari yang semula 9 tahun penjara menjadi 5 tahun penjara.

Bukan kali pertama, berdasar rekam jejaknya, Sofyan memang sempat beberapa kali memberi keringanan vonis bagi terdakwa kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara.

Meringankan vonis sempat Sofyan putuskan dalam kasus Mikael Kambuaya. Ia menyunat hukuman mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum (Kadis PU) Papua itu dari 6 tahun penjara menjadi 3 tahun penjara. Kambuaya sendiri telah terbukti korupsi atas proyek jalan Kemiri-Depapre senilai Rp 90 miliar.

Selain itu, Sofyan juga sempat mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) Irjen Pol Djoko Susilo sebatas aset yang dirampas. Meski tetap memutus vonis selama 18 tahun penjara bagi Djoko dan kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp 32 miliar, namun, kekayaan yang didapat sebelum terjadinya kasus korupsi simulasi SIM dikembalikan kepada terpidana. Dalam PK, Sofyan juga merevisi pencabutan hak politik Djoko Susilo menjadi lima tahun sejak keluar dari penjara.

Selanjutnya, Sofyan juga pernah mengabulkan upaya hukum PK Lucas. Pengacara ini sempat terjerat kasus merintangi penyidikan KPK dengan tersangka mantan petinggi Lippo Group Eddy Sindoro. Sofyan beralasan, yang memberi kesaksian bahwa terdakwa Lucas yang menyarankan agar Eddy Sindoro tidak pulang terlebih dulu ke Indonesia adalah saksi Novel Baswedan. Atas dikabulkannya PK Lucas oleh MA, membuat ia akhirnya bisa bebas.

Menurut keterangan Novel Baswedan di persidangan bahwa sekitar Desember 2016, Novel mendapatkan bukti adanya rekaman Eddy Sindoro dengan Lucas di mana dalam pembicaraan tersebut terdengar Eddy Sindoro tidak mau pulang karena Lucas memberikan saran dan masukan agar tidak pulang dulu.

Sepak terjang Sofyan Sitompul, bengkong hukuman Edhy, tercatat lunak kepada para koruptor. Edhy bisa jadi pengantin sunat terakhir sebelum lulusan terbaik Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) pada 1983 itu pensiun bulan depan karena usianya sudah menginjak 70 tahun. 

"Saya yang terbaik, the best one, ranking pertama," klaim Sofyan dalam channel YouTube Mahkamah Agung (MA) yang dikutip detikcom, Kamis (10/3/2022).



https://kuatbaca.com/telik/detail/politik/patgulipat-vonis-korupsi-edhy-disunat-91