Minggu, 03 Oktober 2021

Produk Kaca Mata Lucu Berbahan Limbah Bambu

 


Konyol. Mungkin kata itu yang bisa merepresentasikan produk kaca mata berbahan baku limbah bambu yang satu ini.

Pasalnya, bukan saja terbuat dari bahan yang tak biasa, beberapa desain kaca mata buah karya Bagus Prabowo tersebut juga bisa membuat rupa orang yang memakainya bakal tampak jenaka.

Bukan tanpa sengaja, sebab Bege, begitu pemuda itu karib disapa, menuturkan, bahwa kerajinan kaca mata buatannya memang dirancang untuk menyasar kalangan muda yang gemar bercanda.

"Kita bikin produk memang yang ada rasa sisi anak muda, yang lucu, seneng guyon. Kita pingin bikin produk, yang pas orang lihat itu juga bisa seneng, kalau pakai bisa menimbulkan kelucuan," imbuhnya.

Turut meramaikan ajang pameran Trade Expo Indonesia 2017 di ICE BSD Tangerang, Pria berusia di awal 30 itu menjelaskan, kacamata limbah bambu merupakan produk dari Studio Dokdok yang tak lain adalah unit dari bagian komunitas seni FrogHouse, yang bermarkas di Yogyakarta.

Studio Dokdok memfokuskan diri mengelola ide-ide dari pengembangan limbah bambu untuk dijadikan produk berdaya guna, sehingga bisa meningkatkan nilai barang yang sebelumnya dianggap sampah.

Dikatakannya, sejauh ini Studio Dokdok memang baru menelurkan produk kaca mata. Namun demikian, sebenarnya ia tengah melakukan riset dan bakal mengembangkan beberapa produk teranyar, seperti jam bambu, kap lampu yang dikawinkan dengan keramik, serta satu produk unggulan yang diberi nama PitPack, yakni, sebuah produk sepeda berbahan bambu yang bisa dilipat dan dipacking sehingga mudah dibawa berpergian.


Dalam mengembangkan produk Studio Dokdok, Bege membentuk satu tim kerja yang terdiri dari 6 orang, yakni; 1 desainer, 3 di bagian produksi, 1 marketing sekaligus branding, dan 1 orang supervisor.

Kendati bisa dibilang usaha kaca mata Studio Dokdok masih seumur jagung, namun jangan salah, produk daur ulang limbah bambu itu sudah menemukan pangsa pasarnya di beberapa negara tetangga.

"Sejauh ini kaca mata kita sudah ada pesanan custom, kirim ke Meksiko, Australia, Malaysia, Polandia, Hungaria," tutur alumni Jurusan Kriya ISI Yogyakarta itu.

Disinggung soal omzet, Bege menuturkan belum bisa menyebutkan angka pastinya, mengingat dirinya baru benar-benar menggelar lapak di tahun ini. Namun, kata Bege melanjutkan, untuk kisaran satu buah produk kaca matanya dibanderol dari harga Rp300.000 sampai Rp400.000.

Tidak sembarang ia mematok harga tersebut, sebab Bege mengungkapkan, sebelum angka itu ditetapkan, pihaknya sudah cukup melakukan riset dan tes pasar di Bali beberapa waktu lalu.

Pada kesempatan itu Bege juga menyampaikan, dirinya berharap kedepannya bakal ada lebih banyak lagi produk anak bangsa yang mengedepankan sisi menghibur. Namun begitu tanpa melupakan nilai-nilai kualitas yang menjadi prioritas. Bukan semata besar, tapi juga bernilai.

"Ya harapanku akan banyak anak muda yang mengedepankan kerajinan kaya gini. Jadi kita nantinya punya banyak temen yang bikin craft yang lucu," imbuhnya.

Dia menambahkan, "Anak-anak muda lebih banyak lagi yang tumbuh, sehingga kita bisa menjadi market yang bagus. Bukan market yang besar, tapi tumbuh dengan penuh value," katanya menutup.[]

https://akurat.co/produk-kaca-mata-lucu-berbahan-limbah-bambu

Produk Ragam Sampah, Diekspor dengan Banderol Jutaan Rupiah



Seni adalah kunci. Sekali pun material dasar dalam membuat suatu kerajinan adalah sampah, tapi selama ada sentuhan seni di sana, maka jangan heran bila nantinya produk tersebut layak dibanderol hingga jutaan rupiah.

Kurang lebih begitu yang dikatakan Andre Suryaman kala membuka percakapan dengan Akurat.co, saat ditemui dalam ajang pameran Trade Expo Indonesia (TEI) 2017 di ICE BSD Tangerang akhir pekan lalu.

Pria lulusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung itu tak memungkiri, awal mula niatnya memproduksi kerajinan berbahan limbah dan sampah karena berangkat dari prinsip ekonomi; bagaimana dengan modal sekecil-kecilnya bisa meraup untung berlipat-lipat ganda.

"Kenapa pilihan kita berangkat dari bahan limbah, recycle, karena kita melihat dari nilai keuntungan. Bagaimana kita membuat sesuatu dari modal yang paling murah, kita olah sedemikian rupa dengan cita rasa seni, dan kita berupaya menjual secara maksimal," katanya.

Tapi tunggu dulu, pria yang biasa disapa Andre itu belum selesai, ia masih menyimpan alasan kedua yang dipersiapkannya sebagai tepukan kecil, dan diharapkan bisa sedikit menggugah kesadaran tiap orang yang berhuni di republik ini.

"Alasan kedua, dari sisi lainnya, kita punya kesadaran bahwa limbah... Pemanfaatan limbah itu masih sangat rendah. Konteks kedua inilah bagaimana kita menyadarkan masyarakat bahwa limbah itu masih bisa kita eksplorasi, kita bisa manfaatkan, kita olah sedemikian rupa, karena selama ini limbah itu hanya jadi sampah aja, " lanjutnya kemudian.

Turut menyemarakan ajang tahunan TEI yang disponsori oleh Kementerian Perdagangan, Andre memamerkan beberapa produk buah tangannya. Antara lain, kursi-kursi dari rongsokan sepeda tua dan beberapa produk meja kaca yang dipadupadankan dengan sampah-sampah kaleng minuman, lantas dilapis lem fiber glass.

"Saya punya konsep, bagaimana sampah ini bisa kelihatan mewah, makanya kita dukung dengan desain, terus ada finishing. Di sentuhan akhir gimana caranya kita bikin sampah itu jadi mewah, ekslusif," imbuhnya.

Tergabung dalam kibaran bendera Natural House, pria 47 tahun itu mengungkapkan, usahanya tersebut sudah berdiri sejak tahun 1997. Selain memiliki 30 pekerja, Natural House juga didukung oleh puluhan suplier, terutama suplier bahan baku, sebab usahanya itu memerlukan pasokan sampah dan limbah yang tak sedikit.

Disinggung mengenai pemilihan nama bendera, ia menuturkan bahwa sejak mula Natural House memang berangkat dari kecintaan pada produk-produk yang merepresentasikan unsur alam. Namun belakangan, bahan-bahan material produk memang sedikit beralih dengan memanfaatkan sampah dan limbah.

Jangan terburu-buru memandang sebelah mata, meski berbahan baku sampah dan limbah, produk Natural House sudah merambah pasar beberapa negara di tiga benua.

"Penjualan kita terbesar ke Amerika dan Eropa. New York, Las Vegas, Belanda, Itali Jerman, Turki," rincinya.

Dikatakannya, saat ini pasar luar memiliki porsi lebih besar dibanding pasar dalam negeri karena memang produk kriya Indonesia lebih mendapat apresiasi di sana.

"Ya memang kita sudah cukup rutin ekspor, 80 persen memang ekspor, 20 persen untuk pelayanan domestik di lokal, biasanya bentuknya proyek," lanjut Andre.

Untuk kisaran harga, rata-rata produk Natural House sudah bermain di angka Rp1 juta hingga Rp5 jutaan. Adapun jumlah ekspor perbulan bisa mencapai 2 sampai 3 kontainer dengan nilai berkisar Rp200 juta - Rp400 juta.

Dirinya melanjutkan, untuk pasar domestik, selain memanfaatkan pejualan daring melalui media sosial seperti facebook, instagram dan website, Natural House juga memiliki toko ritel di daerah Kasongan, Bantul.

"Pasar domestik yang 20 persen tadi itu proyek ya. Seperti restoran, kafe, hotel. Jadi 20 persen itu ritel dan pesanan-pesanan proyek," jelasnya.

Kendati sudah mampu mandiri melempar produknya ke pasar luar, bukan berarti usaha Andre dkk bisa terus melaju dengan bebas hambatan. Menurutnya, sejauh ini masih ada beberapa hal yang sebenarnya masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah, yakni soal berbelit-belitnya  regulasi dalam pengurusan ekspor.

"Regulasi ekspor masih cukup rumit. Kadang-kadang menyulitkan eksportir. Sering terjadi perubahan (kebijakan), itu membuat beban-beban kita semakin besar," tandasnya.

Ia mencontohkan, seperti kebijakan sertifikasi kayu, bahwa kayu sonokeling, misalnya, harus mengantongi izin khusus jika mau diekspor. Hal itu justru membuat beban biaya semakin tinggi. Menurutnya, kebijakan itu berdampak pada nilai produk Indonesia menjadi tidak punya harga yang berdaya saing dengan negara lain.

"Mungkin memang tujuannya pemerintah kita agar semua rapi, tapi kan malah menjadi beban biaya nambah, harus ngurus surat ini itu, mahal. Ya, karena kita eksportir mau tidak mau harus ngikutin. Intinya buat kita, aturan-aturan yang tidak perlu ya ngga usah," tegas dia.

Kedua, kata Andre melanjutkan, adalah terkait perlindungan hukum. Misalnya, ada beberapa kasus penipuan yang dilakukan buyer nakal, namun tindak perlindungan hukum dari pemerintah masih dirasa kurang cukup berperan.

Selanjutnya, saat dimintai pendapat terkait kiat-kiat sukses bagaimana agar UKM bisa mengekspor produk ke pasar global, dirinya berpendapat bahwa hal yang harus dilakukan oleh UKM baru adalah mencintai proses dan bagaimana bisa terus meningkatkan jam terbang.

"Buat UKM yang penting itu meningkatkan jam terbang. Setiap UKM kan ada levelnya ya mas, banyak UKM kita yang belum benar-benar paham masalah kualitas, jadi gimana ya... Ya pokoknya pelan-pelan mas," tutur dia.

Andre menambahkan, dapat dikatakan nyaris tak mungkin atau sulit bagi UKM baru untuk bisa langsung ekspor produk. Sekali pun ada, sifatnya kasuistik sehingga tidak bisa dipastikan selalu terjadi.

"Ya memang semua UKM pingin ekspor. Tapi kan kita harus tahu standar kualitas internasional itu seperti apa... Harus dimulai dari tingkat daerah, tingkat provinsi, tingkat nasional, tingkat Asean, baru masuk ke pasar internasional. Karena memang ada grade-grade nya, ada tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk bisa ekspor," tambahnya.

Pada kesempatan itu ia menutup dengan harapan, bahwa ke depan produk Indonesia bisa memiliki daya saing yang lebih baik dikancah internasional. Tak hanya pada perkara harga tetapi juga berdaya saing dalam kualitas barang.

"Bisa diupayakan dengan kolaborasi antara industri dan desainer. Bagaimana industri kita tidak hanya memiliki kemampuan memproduksi, tapi juga bisa menghasilkan desain yang variatif dan inovatif," ujarnya menutup. []

https://akurat.co/produk-ragam-sampah-diekspor-dengan-banderol-jutaan-rupiah

Produk Limbah Kayu Pantai, Rambah Pasar di Lima Benua


Banyak orang yang melihat apel jatuh dari pohonnya, tapi hanya Newton yang bertanya "Kenapa?".

Musabab kepekaan dan mau bertanya-tanya, mengantarkan ilmuwan Inggris itu akhirnya menemukan teori gravitasi dan didapuk sebagai salah satu orang paling berpengaruh di dunia.

Tak sama tapi bolehlah dikata nyaris serupa, banyak orang yang melihat dahan jatuh ke sungai terbawa arus hingga terdampar di pantai, tapi hanya sedikit orang yang bertanya, "Ini bisa jadi apa?".

Dan Kadek Iwang Mandela menjadi salah satu orang dari yang sedikit itu.

Berangkat dari pertanyaan yang sekilas tampak tak penting, justru meletupkan ide di kepala pemuda asal Bali itu untuk membuat produk kerajinan berbahan limbah pohon tepi pantai.

"Ini produk driftwood... bahannya itu terbuat dari kayu yang didapat dari ranting dan batang pohon yang jatuh ke sungai. Dan akhirnya terbawa arus sampai ke pantai, jadi sampah di pantai. Nah, itulah kayu-kayu yang kita jadikan bahan. Jadi ya ini kayu limbah ya," ujarnya kepada Akurat.co.

Turut mengisi salah satu stand dalam ajang Trade Expo Indonesia 2017 di ICE BSD Tangerang, ia memamerkan beberapa produk kerajinannya antara lain, meja, kursi malas, lampu-lampu dan pigura cermin.

Kadek menuturkan, dewasa ini kerajinan berbahan limbah bisa dibilang besar potensinya di pasar luar. Mengingat, orang-orang asing sudah mulai beralih memakai produk daur ulang.

Bukan isapan jempol, sebab produk yang dijajakan Kadek dengan mengibarkan bendera Kiosqi Galeri nyatanya memang benar-benar laku di lima benua.

"Produk kita 99 persen di ekspor. Kita ekspor kebanyakan di Eropa, Amerika, Australia juga, Asia juga ada ke Vietnam, ummm... Afrika juga ada. Kalau negara ya... Jerman, Itali, Sidney, USA, Spain," katanya.



Sementara untuk pasar lokal, pihaknya memanfaatkan penjualan sistem dalam jaringan. Selain itu Kiosqi Galeri juga memiliki showroom di Kute, dan produksinya di daerah Singaraja.

Pemuda 23 tahun itu melanjutkan, dalam kibaran bendera Kiosqi Galeri, jumlah perajin yang terlibat dalam proses produksi sekitar 40 orang.

"Itu belum termasuk stakeholder. Stakeholder untuk mencari bahan baku kita banyak, dari berbagai daerah, ada dari Jawa Timur, Bali, Lombok, Sumba, Sumbawa. Itu sekitar 300 orang lebih. Ya, banyak karena memang bahan baku kita ngga bisa beli di toko. Kan, kita harus ambil langsung dari pantai-pantai," jelas dia

Terkait harga, produk yang ditawarkan pihaknya cukup beragam. Namun bila disederhanakan, untuk barang termurah dibanderol dengan harga Rp15.000, sementara yang termahal bisa mencapai Rp 5 juta.

"Harga beragam ya mas, dari yang kecil, itu kaya tempat lilin, sekitar 1 euro, 15 ribu lah... Yang paling mahal meja dan bangku itu sekitar 5 juta" ujarnya.

Adapun soal omzet, Kadek tak bisa menyebutkan angka pastinya, sebab kondisi penjualan yang sering fluktuatif. Namun begitu bila berhitung kasar, ia menyebutkan setidaknya bisa mendapatkan pendapatan sekitar 100 jutaan.

Disinggung soal peran pemerintah dalam mendorong pelaku usaha untuk bisa melakukan ekspor, menurut Kadek sudah cukup bagus. Khususnya Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) yang kerap memfasilitasi para pelaku UKM untuk bisa melakukan pameran di berbagai negara.

"Bulan depan ini kita ada pameran di India. Stand-nya dibiayain sama pemerintah. Ke Jepang juga pernah dari Kementerian Perindustrian. Lalu Ke Dubai juga sudah. Pemerintah biasanya biayain untuk stand. Kalau biaya pengiriman barang sama akomodasi kita sendiri," terang Kadek.

Kendati dirasa sudah cukup baik, namun ada beberapa pekerjaan rumah yang bisa dijadikan catatan bagi pemerintah, yakni terkait birokrasi dalam mengurus HaKI yang menurutnya masih terbilang susah.

"Birokrasi susah dalam pengurusan HaKI. Itu menjadi kendala, sebab di Amerika kan diminta itu," sambungnya.

Selain itu dirinya juga berharap pemerintah bisa semakin mempermudah para pengusaha dalam pengurusan izin ekspor. Menurutnya, untuk aturan-aturan yang sifatnya tidak terlalu signifikan tak perlu diberlakukan apalagi sampai sering mengganti-ganti kebijakan.

"Pemerintah lebih mempermudah soal pengurusan ekspor, kita kan penyumbang... mendatangkan devisa ya. Apalagi ini produk limbah, bukan kita menebang pohon, kita malah bantu membersihkan pantai," pungkas Kadek menutup.[]

https://akurat.co/produk-limbah-kayu-pantai-rambah-pasar-di-lima-benua

Produk Pribumi Berbahan Karung Goni


Turut menyemarakan ajang tahunan Trade Expo Indonesia di ICE BSD Tangerang selama 11 hingga 15 Oktober 2017, produk berlabel Pribumi barangkali bakal mencuri perhatian para pengunjung yang bertandang.

Pasalnya, berbeda dari kebanyakan produk tas dan sepatu yang biasanya dibuat dengan bahan denim, polyester, atau kulit, beberapa produk yang ditawarkan Pribumi justru dibuat dari bahan baku yang cukup anti mainstream, Karung goni.

Desainer sekaligus pemilik usaha Pribumi, Brizaldi Arifin menuturkan, pihaknya memang baru-baru ini mencoba bereksplorasi sedikit nakal dengan menggunakan bahan yang biasanya dipakai untuk menyimpan padi dan gandum tersebut. Tapi tak dinyana, ternyata produk yang baru diluncurkannya itu mendapat respon yang cukup positif dari pasar.

"Kami menggunakan burlap dari India, itu dari karung goni. Waktu kita launching ternyata banyak peminatnya," ujarnya kepada Akurat.co akhir pekan lalu.

Adli, begitu ia biasa disapa, mengatakan, bahwa dirinya bersama sang istri sebenarnya sudah cukup lama berkecimpung di dunia usaha tas dan sepatu handmade, namun sebelumnya produk-produk mereka bertema khazanah nusantara dan hanya menyasar masyarakat kelas menengah atas.

Bermaksud untuk bisa mengembangkan sayap, ia akhirnya membuat produk berbahan karung goni dan dimasukan kedalam produk bertema Pribumi Lite, yakni produk yang khusus menyasar masyarakat umum sehingga bisa menyentuh pasar yang lebih luas.


Untuk kisaran harga rata-rata, produk bertema Pribumi Lite tersebut dipatok dengan harga berkisar Rp900.000 hingga Rp1.450.000.

"Harganya lebih terjangkau lah yah, Nado Large itu Rp1.450.000, Nado Medium Rp1.200.000, nah, sebelahnya ada sepatu, Kita bilangnya sepatu Asmat, itu harganya Rp900.000. Itu penjualan 3 produk itu lagi booming banget," katanya merinci.

Sebagai bentuk pelayanan lebih, Adli menuturkan, untuk setiap pembelian produk-produk Pribumi, pihaknya berani memberi garansi selama 2 tahun kepada pelanggan.

Dikatakannya, dalam mengibarkan bendera Pribumi hingga bisa berumur panjang, ia mempekerjakan sekitar 20 orang karyawan dan perajin. Dimana dalam sehari masing-masing pekerja bisa memproduksi 2 sampai 3 produk tas.

Namun demikian, katanya melanjutkan, untuk produk sepatu butuh waktu yang relatif lebih lama. Hal itu lantaran ada beberapa proses khusus yang mesti dilakukan saat memproduksi produk alas kaki tersebut.

Terkait pemasaran, pria berusia di awal 50 tahun itu mengatakan, produknya tidak hanya menyebar di tanah air, namun juga sempat dipasarkan ke luar negeri melalui Kedutaan Besar Indonesia dibeberapa negara.

"Produk kita selama ini biasanya dipesan orang Indonesia yang ada di luar negeri. Atau Ibu Dubes kita, yang sudah pernah itu misalnya Dubes Jepang, Jerman, sejauh ini," imbuhnya.

Ia menambahkan, tak hanya melalui penjualan daring seperti website dan e-commerce, Pribumi juga memiliki galeri dan workshop di bilangan Pondok Cabe, Tangerang.

Pada kesempatan itu juga ia berharap, di masa mendatang masyarakat Indonesia bisa lebih menghargai dan mencintai produk dari negerinya sendiri. Sebab, beberapa kali ia temui, terdapat turis mancanegara yang justru mencari produk asli Indonesia.

"Saat ini masyarakat memang sudah mulai mencari produk Indonesia, semoga semakin bertambah. Karena produk kita ngga kalah dengan luar negeri," kata dia.

Adli menambahkan, "Kalau orang Indonesia mencintai produknya sendiri tentu orang luar jadi gak ragu dan akan ikutan mencintai juga," tandasnya kemudian.[]


https://akurat.co/produk-pribumi-berbahan-karung-goni

Produk Akar Kaca Asal Bali Cerlang di Pasar Eropa

 


Tak ada rotan akar pun jadi. Begitu kata pepatah yang ternyata tak hanya ditafsirkan secara makna, namun juga diterapkan mentah-mentah secara harfiah oleh beberapa perajin Bali.

Ya, jika suku Dayak Kalimantan punya produk anyaman berbahan rotan, maka para perajin Bali ini punya akar yang bisa dijadikan produk kerajinan.

Bagaimana tidak, dalam memproduksi salah satu kerajinannya, glass roots atau biasa juga dikenal pot akar glasses, mereka benar-benar menjadikan akar kayu gamal sebagai bahan baku produk yang dikawinkan dengan kerajinan pot berbahan kaca.

"Ini dari akar di combine sama pot kaca... Jadi kaca yang masih lunak itu di oven dulu, setelah di oven kita ambil bahan akar itu kira-kira sesuai dengan yang kita ingin seberapa besarnya, disesuaikan, kita produksi pakai selang panjang, semacam pipa, untuk peniupan membentuk potnya," demikian kata Sukala saat ditemui Akurat.co.

Turut meramaikan ajang Trade Expo Indonesia (TEI) 2017 di ICE BSD Tangerang, lelaki berusia 37 tahun itu menjelaskan, pembuatan pot berbahan kaca yang nantinya diletakkan di atas akar tidak dicetak namun dibentuk, dan permukaan pot bakal mengikuti tekstur si akar sehingga bisa saling mengunci seperti lego atau puzzle.

"Jadi bentuk kaca mentahnya itu kaya tanah liat, kurang lebih kaya gitu, tapi ini kan bisa ditiup, kaya karet. Tapi itu juga ada ukuran, kalau udara yang masuk berlebih bisa pecah," terang Sakala.


Ia mengatakan, pada proses pembentukan satu produk pot akar glasses, para perajin biasanya hanya membutuhkan waktu 10 hingga 15 menit. Proses produksi bisa memakan waktu lama saat menunggu pot kaca itu benar-benar mengering.

Sakala melanjutkan, produk berlabel Alami Bali sudah resmi berstempel CV sejak tahun 2008 silam, dan para perajin yang terlibat dalam proses produksi bisa mencapai 50 orang jika pesanan sedang membeludak.

Untuk pangsa pasar, Alami Bali tak hanya jago kandang sebab sudah bisa menegakkan kepala di pasar Eropa.

"Ekspor ke Eropa. Jerman itu salah satu pasar utama kita," kata dia.

Kendati tak bisa menyebutkan berapa omzet yang diterima pihaknya selama menjalani usaha tersebut, namun Sakala menyebutkan, untuk kisaran harga produk pot akar glasses rata-rata dibanderol di angka Rp200.000 hingga Rp500.000 per unitnya.

"Harga rata-rata 250-500 ribu, tapi ada yang sampai di atas 1 juta, tergantung model desainnya, itu ada yang single ada double pot. Macem-macem ya," ujarnya.

Sebagai salah satu perusahaan yang sudah bisa mencetak nama di Kementerian Perdagangan sebagai Eksportir, Sakala bersedia sedikit berbagi pengalamannya.

Menurutnya, untuk suatu produk UKM bisa menembus pasar global, salah satu hal yang harus dipikirkan adalah bagaimana caranya agar produk tersebut memiliki standar kualitas sesuai dengan yang sudah ditetapkan oleh negara tujuan ekspor.

"Ketahui dulu syarat ekspor, dalam arti tahu persis standar permintaan buyer itu yang seperti apa, kualitasnya, nah, kemampuan produksi juga harus bisa memenuhi permintaan mereka," jelasnya.

Ia menambahkan, ikut terdaftar sebagai anggota dalam satu atau beberapa asosiasi juga penting untuk diperhatikan. Sebab dari sana jalan untuk bisa mengekspor tentunya bakal terbuka semakin lebar.

"Bagus kalau ikut asosiasi. Kita penuhi apa yang disarankan oleh asosiasi. Kita penuhi kriteria mereka. Mengikuti saran-saran mereka karena kan baik juga buat kita," tutup Sakala kemudian.[]


https://akurat.co/produk-akar-kaca-asal-bali-cerlang-di-pasar-eropa

Produk Cermin Mozaik Bandung Rambah Pasar Global

 


Bolehlah Walt Disney punya narasi tentang cermin ajaib dalam dongeng pengantar tidur Putri Salju dan Tujuh Kurcaci.

Tapi tentu tak ada larangan jika Heru Rojikin punya ceritanya sendiri. Memanfaatkan keping-keping cermin yang terbengkalai, bapak berusia 60 tahun itu menyulap limbah kaca menjadi ragam produk mozaik, yang meski tak ajaib namun bercita rasa seni tinggi.

"Mozaik cermin ini berbahan pecahan cermin ya, saya bikin-bikin lampu, tempat-tempat tisu, pigura, biasanya juga terima pesanan pelengkap interior hotel, apartemen, kafe-kafe," ujarnya pada Akurat.co saat mengikuti ajang Trade Expo Indonesia (TEI) 2017 yang di gelas di ICE BSD Tangerang.

Heru menceritakan, awalnya ia bekerja sebagai seorang mekanik di salah satu perusahaan swasta. Namun bertahun-tahun menjadi karyawan tampaknya tak membuat kecintaannya pada seni menjadi lindap dan berkabut.

Pasalnya, meski sibuk, pria asal Kota Kembang itu masih kerap menyempatkan diri untuk mendalami minat seninya membuat cermin mozaik yang dipelajari secara otodidak.

Tak ada yang terjadi terlalu cepat atau terlalu lambat, garis nasib kadang memang hanya memeram diri untuk ditunjukan di waktu yang tepat. Kini, memasuki usia senja, Heru senang bisa berjibaku pada pekerjaan baru yang sudah diidam-idamkannya sejak dulu.

"Saya senang ngerjain ini, karena saya suka seni," imbuhnya.

Mengibarkan bendera Denisa Mozaik, heru menuturkan, semua desain produk yang dilahirkan dari tangan keriputnya merupakan buah karyanya sendiri.

"Mozaik cermin sudah punya HaKI. Ini dibantu sama pemerintah, difasilitasi semua urusannya. Gratis. Sekitar setahun proses menunggunya," kata dia.

Ibarat berjudi, kartu truf yang dikeluarkan Heru di detik-detik terakhir permainan justru membuatnya seakan menang dengan gilang gemilang. Bukan saja menyebar di hotel-hotel ternama dalam negeri, kini produk Denisa Mozaik laris manis di pasar global.

"Selama ini banyak yang minta, itu mereka olshop. Dikirim keluar negeri Filipina, Amerika, Sidney, Dubai. Pangsa dalam lebih (proyek) ke hotel," rincinya.

Tak hanya itu, beberapakali karya cermin mozaiknya juga didapuk sebagai jawara pada kejuaraan kriya se-Indonesia. Salah satunya yakni Juara 1 Produk Terkreatif yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Bandung, Jawa Barat pada Desember lalu.

Dalam mengerek naik bendera Denisa Mozaik, Heru biasa dibantu oleh seluruh anggota keluarga. Istri dan anak-anaknya serta beberapa tetangga di sekitar lingkungan rumah.

Terkait jumlah produksi, dalam sehari setidaknya ia bisa menghasilkan tiga buah karya dengan model dan motif yang sederhana. Sementara untuk produk yang membutuhkan fokus khusus, Heru biasanya membutuhkan waktu hingga tiga minggu lamanya.

Untuk harga, agak canggung sebenarnya Heru menyebutkan. Pasalnya, menurut dia sebuah karya tak elok dipasangi angka-angka. Tapi bila melihat rata-rata rupiah yang diterima kala mengerjakan satu karya, ia biasa mendapat salam syarat berkisar Rp100.000 hingga Rp2 juta.

Pada kesempatan itu ia menyampaikan, akan sangat senang bila generasi muda bisa mencintai seni. Untuk alasan itulah kenapa setiap kali mengikuti ajang pameran, dirinya tak pernah lupa untuk membawa serta perlengkapan yang dibutuhkan untuk bisa memberikan workshop terbuka. Ia bakal merentangkan tangan bila ada yang tertarik ingin belajar membuat karya berbahan keping-keping kaca untuk dijadikan cermin mozaik seperti produknya.

"Saya terbuka untuk mengajarkan ya, mas mau belajar datang kerumah juga boleh. Bagi saya, senang kalau bisa bagi-bagi ilmu yang saya punya walau tak seberapa," kata Heru seraya tersenyum tulus.[]

https://akurat.co/produk-cermin-mozaik-bandung-rambah-pasar-global

Produk Botol Bekas Curi Perhatian Pasar Global



Semua yang bermula dari hati akan bermuara menyentuh hati. Demikian salah satu nilai hidup yang dipercaya Herman Purwanto kala menjalankan lakon sebagai perajin sekaligus pelaku Usaha Kecil Menengah berbendera Herco Craft.

Meski hanya bergelut sebagai perajin dari produk berbahan baku limbah botol, ia tak pernah berhenti meyakini, bahwa suatu saat nanti, apa yang sudah diproduksinya dari hati akan mampu berhuni di hati para pelanggannya.

"Saya punya standar kualitas untuk produk yang saya terapkan, karena apa? Ketika produk kita sudah dihargai customer, berarti orang itu sudah menghargai kita. Maka kita harus juga menghargai mereka dengan memberikan karya yang betul-betul 'ada kita' di situ, harus ada roh yang kita titipkan di karya itu. Kalau hanya membuat, saya tidak mau seperti itu," ujarnya saat ditemui Akurat.co akhir pekan lalu.

Tak meleset barang sedikit pun apa yang sudah diyakini oleh lelaki asal Ungaran, Semarang itu. Sebab sewindu berlalu, kini produknya benar-benar bercokol di hati para pelanggan setianya yang tak hanya dari dalam negeri tapi bahkan merambah di pasar luar.

"Produk upcycle botol kita sudah ekspor, ada ke Singapura, Kuala Lumpur. Dan kebetulan di acara ini kita dapet buyer dari Australia," imbuhnya.

Turut meramaikan ajang tahunan Trade Expo Indonesia (TEI) yang digelar sejak tanggal 11 hingga 15 Oktober 2017 di ICE BSD Tangerang, Herman memamerkan ragam produk hasil buah tangganya seperti rumah lampu, tempat lilin, toples, kalung, piring mangkok, dan celengan, yang kesemuanya merupakan daur ulang dari limbah botol bekas.

"Saya membuat kerajinan ini bisa dibilang clean produk ya, artinya produk kita bersih dari limbah, karena semua pecahan kita pakai. Seperti kalau yang kecil-kecil ini kita jadikan mata kalung, anting-anting. Pokoknya jangan sampai menghasilkan limbah lagi," katanya.

Tak melulu hanya soal menjajakan dagangan, menurut lelaki berusia 47 tahun itu, ajang pameran adalah satu momen yang bisa dimanfaatkan pelaku ekonomi kreatif untuk mengenalkan produk karyanya sehingga dapat lebih dekat kepada khalayak.

"Bagi saya, definisi pameran bukan kemudian kita berjualan ya, atau membuka pasar kaya pasar malam. Bukan itu. Tapi kita mendisplay... supaya orang tahu kualitas barang kita dan apa yang bisa kita berikan ke customer," kata dia.


Herman menjelaskan, dalam memproduksi limbah botol bekas, ia membagi produknya dalam dua kategori besar, reguler dan ireguler.

Produk reguler merupakan barang yang diproduksi secara massal, contohnya seperti produk-produk yang ia ikut sertakan dalam ajang pameran TEI.

Untuk barang-barang seperti itu, biasanya dibanderol dengan harga kisaran dari Rp100.000 hingga Rp400.000 per unitnya.

"Kalau yang irreguler lebih ke art. Contoh yang akan kita bikin itu ikan arwana dari botol. Itu rencananya akan kita tampilkan di acara Inacraft 2018, April, di JCC, Senayan. Tingginya 1,5 meter nanti. Itu rangkaian dari pecahan botol, yang kita potong sedemikian rupa. Disusun-susun kemudian di dalam kita kasih lampu juga. Dan nanti pakai sistem lelang, siapa yang mau beli, dengan harga tertinggi, silakan. Jadi produknya pun cuma satu," terang Herman.

Tak menitikberatkan penjualan melalui pameran, dalam memasarkan produk olahan botol bekasnya Herman mengandalkan sistem penjualan dalam jaringan (daring) dengan memanfaatkan media sosial instagram.

Sebagai salah satu upaya dalam memberikan pelayan, Herman berani memberi jaminan bahwa produk yang dipesan pelanggan akan diterima dalam kondisi baik. Bila nantinya terdapat kerusakan pada barang, maka pihaknya tak sungkan melakukan pergantian dan mengirim ulang item yang sama tanpa ada biaya tambahan, sekalipun barangkali kerusakan itu terjadi karena kesalahan dari pihak jasa pengiriman.

Selain itu, bila memang ada calon pelanggan yang berniat melihat langsung produk-produk Herco Craft, mereka bisa berkunjung ke galerinya di daerah Ungaran, Semarang, Jawa Tengah. Dan sebagai strategi ekspansi, dirinya juga berencana bakal membuka galeri Herco Craft di wilayah Jakarta.

Disinggung mengenai omzet rata-rata yang didapat selama menjalankan usahanya, Herman tak bisa menyebutkan besaran nilai yang diterima pihaknya secara gamblang.

"Untuk pasar domestik cukuplah yah... Kalau yang kita ekspor sejauh ini yang model gelas, itu model sederhana, itu satu bulan 500-600 unit, ya kalau dihitung-hitung kalau satu gelasnya Rp75.000 kalikan ajalah yah," ujarnya sambil tertawa.

Dikatakannya, guna memenuhi pasokan bahan baku dalam pembuatan produknya, ia tak hanya mengandalkan dari lapak-lapak atau pengepul botol bekas lokal, tetapi juga melakukan kerja sama dengan beberapa pihak luar untuk penyediaannya.

"Ini botol-botol bekas miras dari luar ya, selama ini kita memang sudah dapet link. Kadang kalau permintaan melonjak tinggi saya harus ke Jakarta untuk mendapatkan botol-botol bir yang diinginkan customer. Tapi kalau (pembeli) dari luar itu biasanya mereka malah suka botol lokal, karena warna hijau botol wine luar sama botol bir Indonesia itu beda, lebih cerah hijau botol Indonesia. Dan itu lebih menarik buat mereka," terang Herman.

Sebagai salah satu pelaku usaha yang sudah terbiasa bersinggungan dengan pasar global, jika diperkenankan memberi saran pada temen-temen UKM lainnya, Herman menuturkan, para pelaku usaha yang ingin tumbuh menjadi besar dan produknya mampu menembus pasar luar, maka mereka harus berani mengambil risiko gagal. Menurutnya, kerap kali ditemui para pelaku usaha takut untuk keluar dari zona nyaman dan enggan mengambil risiko.

Selain itu, untuk memperkenalkan produk yang mereka tawarkan kepada sebanyak mungkin orang, para pelaku usaha ada baiknya gemar mengikuti berbagai ajang pameran meski terkadang hal itu membutuhkan biaya modal yang tak sedikit.

"Ya buat saya itu, sebelum saya ikut pameran dengan biaya yang mahal, saya harus menetapkan hati untuk bisa menerima kemungkinan yang paling pahit, yaitu tidak laku, ketika saya sudah bisa menerima risiko itu, maka saya akan pameran, kenapa? Biar nanti beberapa kali gagal mendapatkan buyer, saya ngga masalah, saya akan bakal terus ikut pameran-pameran yang ada. Karena itu investasi saya," kata Herman.

Pada kesempatan itu dirinya juga berharap, pemerintah bisa lebih mempermudah perizinan bagi para pelaku UKM yang berniat mengekspor produk mereka. Menurutnya, Bila perlu ada prioritas keringanan biaya agar UKM bisa terus tumbuh sehingga nantinya bisa memberi kontribusi besar bagi pemasukan devisa negara.

"Mungkin saat ini UKM-UKM itu memang masih kecil, tapi saya rasa ketika pemerintah bisa beri keringanan, saya yakin nanti itu UKM bisa jadi besar. Mereka akan memberi kontribusi pajak yang lebih besar untuk Indonesia," tegasnya.

Selain itu, kata Herman melanjutkan, bila boleh memberi saran, pemerintah sebaiknya semakin gencar lagi melakukan sosialisasi atau penyuluhan terkait tata cara ekspor kepada para pelaku UKM, sebab kendala lain yang sering dihadapi yakni kurang pahamnya mereka tentang aturan main mengekspor produknya.

Terakhir, herman berharap masyarakat Indonesia bisa melakukan sesuatu untuk lingkungan, terutama lebih bijak saat memilih dan membeli produk. Dalam artian bila hendak membeli suatu barang, ada baiknya bila dipikir-pikir terlebih dulu, apakah mereka memang benar membutuhkan produk tersebut atau tidak. sebab, kalau hanya dibeli saja namun tidak pemanfaatannya dan dipakai, tentu akhirnya barang itu hanya akan menumpuk dan berakhir menjadi gunungan sampah.

"Melalui produk ini saya ingin memicu masyarakat juga, ayolah kita manfaatkan barang-barang yang sudah jadi sampah menjadi barang-barang atau produk yang punya nilai ekonomis tinggi, dan akan lebih baik produk yang kita bikin itu bisa sampai kita ekspor ke luar," pungkas Herman menutup.[]

https://akurat.co/produk-botol-bekas-curi-perhatian-pasar-global


Namu, Produk Kerajinan dari Serpihan Industri Kayu




Sekecil apapun, jangan ada yang terbuang sia-sia. Kurang lebih begitu yang ada dalam lingkar kepala seorang Eri Sepriza, kala menggagas produk kerajinan berbahan dasar limbah industri kayu yang bertebaran di sekitar tempat tinggalnya, Yogyakarta.

Berangkat dari keresahan melihat ekosistem lingkungan yang kian menyusut dari hari ke hari, membuat dia bersama 2 karibnya berpikir untuk mencari cara bagaimana mengolah limbah kayu bisa memiliki nilai ekonomi hingga tak lagi dipandang sebelah mata.

Mengibarkan bendera Namu, mereka lantas mengolah limbah kayu yang dipadupadankan dengan resin atau getah tanaman menjadi ragam produk kriya seperti aksesoris, perhiasan, dan pajangan dekorasi rumah.

"Brand kita ini namu, itu plesetan dari bertamu, jadi kita fokus ke proses pengolahan limbah dari industri lain, kita olah untuk jadi sebuah produk baru, cuma kita combine. Sejauh ini kita masih dominan bermain dengan resin. Jadi resin ini hanya sebagai nilai tambah, jadi sebenarnya yang kita jual ini adalah limbah," ujarnya membuka percakapan dengan Akurat.co akhir pekan lalu.

Ia mencontohkan, dalam proses produksi industri meja, biasanya menyisakan serpihan-serpihan kayu berukuran mini sekitar satu hingga satu setengah sentimeter. Sisa produksi itulah yang ia sasar untuk bisa disulap menjadi produk bernilai seni dan menjual daripada dibuang begitu saja.

Menurutnya dengan sedikit memberi sentuhan daya kreasi, serpihan kayu itu bisa dipoles menjadi mata kalung atau disusun membentuk wadah sabun.

Lelaki berusia 34 tahun itu menuturkan, keunikan lain dari hasil produksi kerajinan Namu yang dijajakannya itu adalah, hampir pada semua produknya tidak mengalami proses finishing seperti dilapisi pernis. Jika itu dilakukan, dirinya khawatir hal tersebut justru bisa menghilangkan karakter dari si kayu itu sendiri.

"Tapi kita fleksibel, kalau memang buyer minta seperti itu (dipernis) ya kita turutin," imbuhnya seraya tertawa.

Sejauh ini Eri dan kawan-kawannya masih fokus pada limbah kayu, mengingat di lingkungan tempat ia tinggal menjamur berbagai industri furnitur. Kendati demikian, tak menutup kemungkinan kedepannya ia bakal melebarkan sayap menyasar limbah dari industri lain.

"Kita homebasenya di Jogja, industri kayu itu pesat banget, jadi sementara kita fokus kesana dulu, tapi tentu kita ingin mengolah semua limbah dari limbah industri apapun, kecuali limbah udara ya mas, itu ngga bisa dibekuin soalnya, kita nyerah," katanya sambil kembali tertawa.

Ia mengisahkan, awal mula usaha berbendera Namu itu dimulai dari sekadar kegiatan iseng mengisi waktu yang dijalani sedari dua tahun lalu. Tapi lantas coba untuk diseriusi satu tahun kemudian. Dan kini, usai berjalan tiga bulan, ia telah menggenapkan hati untuk benar-benar bisa fokus di usaha produk berbahan dasar limbah tersebut.

Tak hanya merangkul dua sahabat lawasnya, dalam berjibaku mengibarkan bendera Namu, Eri juga menjabat tangan beberapa vendor tempat ia biasa memperoleh bahan dasar produk kerajinannya.

"Sejauh ini kita cuma bertiga. Founder (dirinya sendiri), co founder dan desainer. Dan saya lebih ke teknis produksi. Untuk produksi masal kita ada kerja sama dengan vendor tempat kami ngambil limbah-limbah kayu itu," kata dia.

Kendati Eri tak bisa menyebutkan soal pendapatan yang diterima dalam menjalani usaha Namu, namun disinggung soal harga, ia menuturkan, untuk kalung dipatok dengan sistem pukul rata yakni Rrp40.000 per unit, tempat lilin sekitar Rp85.000, wadah sabun Rp100.000. sementara tropi dan patung-patung kecil dibanderol mulai dari kisaran Rp150.000 sampai Rp250.000,

Adapun terkait pemasaran, Namu tidak terfokus pada penjualan daring melainkan lebih mengandalkan penjualan melalui bazar dan pameran-pameran.

"Kita ada Instagram, tapi disitu kita biasanya melayani hanya untuk ngobrol-ngobrol, atau buat janjian kalau ada yang mau jadi reseller. Cuma kalau untuk jual satuan kita ngga," imbuhnya.

Ia menambahkan, jika memang ada yang berminat membeli produk Namu, biasanya ia akan mengarahkan ke reseller yang sudah bekerja sama dengannya. Sementara ini reseller mereka terdapat di Jogjakarta dan di Pendopo Art Space, Living Room Tangerang.

Eri mengatakan, sejauh ini produk Namu belum mendapat kesempatan menembus pasar global, untuk alasan itulah kenapa ia mengaku bersemangat mengikutsertakan produknya di perhelatan Trade Expo Indonesia 2017. Ia berharap di ajang tahunan tersebut ia bisa menjaring sebanyak mungkin pembeli, khususnya pembeli dari luar negeri.

Pada kesempatan itu Eri menuturkan, selain produknya bisa semakin dikenal luas, ia berharap Namu bisa menjadi bagian ekosistem industri tanpa limbah, serta menjadi konsultan bagi industri-industri yang ingin mengolah limbah mereka menjadi berdaya guna.

"Salah satu misi kami juga sebagai konsultan industri limbah produksi mereka, jadi kalau mereka mau, kita siap aja bikin limbah mereka jadi produk apapun yang penting punya nilai," pungkas Eri menutup.[]

https://akurat.co/namu-produk-kerajinan-dari-serpihan-industri-kayu


Berbahan Drum Bekas, Kerajinan dari Bali Laku di Tiga Benua

 



Tong kosong nyaring bunyinya. Begitu kata peribahasa yang kurang lebih memiliki arti; orang banyak bicara biasanya papa wawasan dan enggan bekerja.

Namun tidak demikian menurut kaca mata seorang Putu Alan. Dari perspektif pria asal Pulau Dewata yang satu ini, Tong kosong adalah... Rupiah!

Apa pasal? Alih-alih enggan bekerja, melihat tong atau drum-drum kosong terbengkalai, justru meletupkan ide kreatif dan semangat kerjanya untuk bisa produktif menghasilkan beragam barang kerajinan yang tak hanya bernilai seni namun juga berdaya guna.

Di tangan pria berusia 43 tahun itu, tong atau drum-drum bekas mampu disulapnya menjadi beragam perkakas, pajangan serta perabot rumah tangga.

"Ini produk recycle dari drum bekas. Itu saya olah gimana jadi sesuatu yang kreatif gitu... Ada jadi bangku, pigura, pajangan meja, mainan, banyaklah ya," ujarnya kepada Akurat.co akhir pekan lalu, saat mengikuti ajang Trade Expo Indonesia (TEI) 2017 di ICE BSD, Tangerang.

Pada perhelatan tahunan yang bertujuan untuk mempertemukan antara perajin-perajin dengan para pembeli baik lokal maupun global tersebut, Alan, begitu ia karib disapa, menuturkan, bisnis produk kerajinan berbahan dasar drum-drum bekas mulai digelutinya sejak delapan tahun lalu.

Dengan mengibarkan bendera Alandinah Art, produk kerajinannya tersebut tak hanya tersebar di pasar domestik namun juga sudah merambah di tiga benua; Eropa, Amerika dan Asia.

"Kita ekspor ke Eropa; Prancis, Inggris. Amerika, Asia, juga ada dikit-dikit, tapi yang paling besar pasar Eropa," tuturnya.

Ia menambahkan, kalau di dalam negeri, umumnya teman-temannya yang berasal dari Jawa datang ke Bali, kemudian membeli, terus untuk dijual lagi di daerah Jawa. Biasanya relasi Putu Alan langsung datang membeli ke workshop tempat dirinya berproduksi.



Dalam memanjangkan umur usahanya, Alan mempekerjakan sekitar 20 orang perajin yang tak lain adalah anak-anak muda di daerah tempat ia tinggal. Dimana dengan inisiatifnya, Alan mendidik secara mandiri pemuda-pemuda agar bisa mengolah limbah drum bekas sehingga mereka mampu berkarya.

Dan untuk menghindari pelangganya monoton, Alan secara berkala selalu melakukan pembaruan atau penambahan desain dan model produk.

"Minimnya sebulan sekali saya harus ada desain baru. Sambil saya lihat produk itu laku nggak? Kalau lalu saya produksi terus, kalau ngga ya kita stop, bikin desain lain," kata dia.

Terkait harga produk, Alan mengatakan nilainya bervariasi. Bergantung dari ukuran dan tingkat kerumitan produk. Namun begitu, bila disinggung mengenai minimal harga, maka sejauh ini barang yang termurah dibanderol di angka Rp150.000, sementara yang paling mahal bisa mencapai Rp4 juta per item.

Adapun soal pendapatan, ia mengungkapkan saat ini kondisi pasar boleh dikata sedang lesu, maka tak heran bila hal itu berimbas pada penurunan nilai omzet yang cukup signifikan

"Omzet sekarang ini ada penurunan ya, ngga seperti 7-8 bulan lalu, fluktuasi. Ya... kalau sebelumnya kadang sebulan bisa 60-70 juta, sekarang 40 jutaan," kata Alan.

Disinggung soal bagaimana dirinya bisa sukses, sebagai salah seorang pelaku UKM hingga mampu memiliki jam terbang cukup tinggi dalam mengekspor produk kerajinannya, Alan secara garis besar mengatakan, bahwa kunci pertama yang dulu ia lakukan adalah bagaimana membuka jaringan.

Menurutnya, ada beberapa cara yang bisa menjadi opsi agar pelaku UKM menemukan jejaring usaha, salah satunya yakni bisa dengan menggunakan sistem ketok tular.

"Harus ngebangun jaringan. Misalnya saya punya temen bisnis. Dia punya temen, awalnya dia beli dari saya, atau saya kasih, kemudian ia tawarkan ke temennya itu, nah dari situ nularnya kemana-mana," katanya

Selain itu, menurut Alan mengikuti berbagai pameran juga berdampak positif sebab mampu dijadikan ajang mempromosikan produk kerajinannya kepada khalayak luas. Meski terkadang hasil yang didapat tidak bisa dirasakan langsung, namun bertambah relasi saat ikut pameran bisa dijadikan sebagai investasi.

"Seperti kemarin di acara PRJ, hari ini di sini, terus bulan depan saya juga mau ke India, Bombay, kalau di India sana untuk stand di biayai KJRI sana, untuk pengiriman dari Bali ke Surabaya saya yang tanggung, terus dari India ke Surabaya Pemerintah yang tanggung," imbuhnya

Pada kesempatan itu Alan juga menuturkan, meski pemerintah saat ini bisa dibilang sudah cukup menaruh perhatian terhadap para pelaku usaha, namun ia berharap pemerintah melalui Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) bisa semakin mendorong pelaku UKM melalui pameran-pameran di berbagai negara.

"Saya bersyukur sekali, zaman Jokowi gencar sekali, walau pun ada pengurangan penjualan. Itu wajarlah. Harapannya, KJRI-KJRI di sana lebih gencar menggelar pameran-pameran untuk UKM," tutur Alan.

Selanjutnya, ia mengharapkan pemerintah bisa mendatangkan buyer atau pembeli dari luar negeri lebih banyak lagi saat mengelar pameran-pameran berskala internasional.

"Kalau bisa pameran seperti ini (TEI -RED), harga standnya bisa ditekan, luas stand diperbesar dan bagaimana caranya pemerintah bisa mendatangkan buyer sebanyak mungkin, jadi peluang menjual akan lebih besar," ujarnya.

Ia menambahkan, "Saya tidak minta digratiskan, kasihan jugalah pemerintah sudah menyediakan dan memfasilitasi, tapi kalau bisa ditekan (harga sewa stand -RED) biar sama-sama lah diuntungkan," pungkasnya menutup.[]

https://akurat.co/berbahan-drum-bekas-kerajinan-dari-bali-laku-di-tiga-benua

Minggu, 29 Agustus 2021

Perhiasan Berbahan Tanduk Sapi Indonesia Tembus Pasar Global

 



Menempati salah satu stand dalam perhelatan Trade Expo Indonesia yang digelar selama lima hari di ICE BSD Tangerang, produk Carmel tampak cerlang diantara puluhan stand yang lainnya.

Tak mengherankan, sebab produk yang ditawarkan merek dagang berwarna merah hitam tersebut, memang menjajakan perhiasan wanita yang mengkhususkan diri menyasar pada produk kalung.

Namun demikian hati-hati terkecoh, meski termasuk kedalam produk perhiasan, siapa sangka bahan dasar pembuatan mata kalung dari produk-produk Carmel, murni terbuat dari limbah tanduk hewan ternak yang didesain secara apik dan mengangkat nilai-nilai Khazanah Nusantara.

"Kita produknya kalung dari tanduk. Itu bahannya ada tanduk kerbau dan sapi, tapi basis desainnya semua kita dari batik," tutur pemilik sekaligus desainer Carmel, Cita Murfi saat ditemui Akurat.co akhir pekan lalu.

Wanita paruh baya itu menjelaskan, bahwa 100 persen produknya merupakan hasil dari desainnya sendiri. Hal itu dapat dibuktikan dengan Surat Penyataan Lisensi yang sudah berhasil ia kantongi. Produk Carmel resmi berstempel HaKI.

"Produk ini kita desain sendiri, dulu bermotif kebaya, sekarang kita bermotif sanggul, dan ya, kita memang selalu temanya berubah-ubah," jelasnya.

Ia menuturkan, dalam melanggeng kibarkan bendera Carmel hingga bisa bertahan lima tahun lamanya, Cita setidaknya dibantu oleh sekitar 11 orang perajin dan desainer, dimana dengan jumlah pekerja segitu, pihaknya mampu menghasilkan 100 unit produk kalung dalam seminggu.

Kendati tak bisa menyebutkan angka pendapatan yang diterimanya dalam menggeluti usahanya, namun Cita mengatakan rata-rata produk Carmel dibanderol dengan harga kisaran Rp350.000 hingga Rp1,2 juta perunitnya.



Terkait pemasaran, tak hanya mengandalkan penjualan online, Carmel juga memiliki sebuah toko offline di kawasan selatan Jakarta. Selain itu, Cita juga menjajakan produknya di beberapa outlet yang tersebar di wilayah ibu kota.

"Toko kita di Kemang, terus kita taruh juga di Kemang village, di alun-alun, dan di beberapa tempat lainnya, ya. Kalau yang kita titipkan di tempat-tempat lain, bukan toko sendiri, kita pakai sistem konsinyasi," terangnya.

Tak hanya beredar di pasar lokal, produk perhiasan Carmel juga sudah menyeberangi lautan hingga sempat mendarat di tanah peradaban Minoa, Eropa.

"Kita pernah ekspor ke Jerman, terus kita sempat pameran ke Hongkong juga beberapa waktu lalu," kata dia.

Sebagai salah satu pelaku usaha yang sudah dapat dikatakan sukses mengirimkan produknya ke pasar global, menurut hematnya, regulasi terkait ekspor di republik ini relatif sudah cukup dipermudah. Tinggal bagaimana para pelaku usaha mau benar-benar serius atau tidak melakukan ekspor.

Ia melanjutkan, jika boleh memberi saran, bagi pelaku Usaha Kecil Mikro (UKM) yang hendak berniat mengikuti jejaknya untuk bisa melempar produknya ke pasar mancanegara, maka salah satu hal utama yang perlu diperhatikan yakni soal mengetahui dengan rinci peraturan suatu negara yang bakal menjadi tujuan ekspor produknya. Sebab, sedikit menjumput pribahasa lama, lain padang tentu saja lain ilang, lain lubuk lain pula ikannya.

"Setiap negara punya standar peraturan. Misal bisa diambil dari kesehatannya, karena ini termasuk barang natural ya, itu kita mesti melengkapi surat-suratnya. Yang penting sebelum kita ekspor kita harus tahu dengan jelas kita mesti apa, kita lengkapi dulu itu semua," kata dia.

Pada kesempatan itu pula ia mewanti-wanti teman-teman para pelaku usaha lain, khususnya yang bergerak di bidang kerajinan untuk bisa menciptakan produk-produk yang variatif dan inovatif, serta tetap bangga menggunakan identitasnya sendiri.

"Kita jangan nyontek dari luar negeri, tapi kita create, kita banyak kok yang bisa dikreasikan, dan selama ini saya merasa pemerintah dukung kita kok kalau mau berkreasi," pungkas Cita kemudian.[]

https://akurat.co/perhiasan-berbahan-tanduk-sapi-indonesia-tembus-pasar-global

Patung Limbah Akar Jati, Dicari Pasar Eropa



Seperti Midas dalam mitologi Yunani yang mampu mengubah apapun menjadi emas hanya dengan menyentuhnya, pun kira-kira begitu yang dilakukan oleh seorang Agus K, lelaki asal Jepara, Jawa Tengah.

Melalui sentuhan tangan dinginnya, seonggok akar pohon jati yang sebelumnya merupakan limbah tak terpakai, mampu ia sulap menjadi produk kriya bernilai seni tinggi hingga bisa dihargai jutaan rupiah di pasar mancanegara.

Menyemarakan perhelatan Trade Expo Indonesia yang digelar pada tanggal 11 hingga 15 Oktober 2017 di ICE BSD Tangerang, pria berusia 43 tahun itu memamerkan beragam hasil buah tangannya yang didominasi dengan karakter binatang, seperti; badak, merak, kijang, ikan-ikan, anjing, kucing, gajah, rusa serta banyak lagi yang lainnya.




Singkat Agus mengisahkan, mula usahanya dirintis sejak tahun 1999. Kala itu ia mengawali kancah wirausaha dengan berjibaku pada bisnis produk kayu. Namun, musabab ketersediaan pohon jati yang kian hari kian sulit untuk dicari, akhirnya enam tahun lalu ia memutuskan mensubtitusi bahan baku kayu dan beralih memanfaatkan material akar yang sempat dipandang sebagai limbah.

"Ini produk dari bahan-bahan akar jati, yang kalau orang bilang dulu ngga kepake. Jadi kalau di furnitur itu kan yang kepake kayunya, terus lambat laun cari kayunya makin kesulitan. Nah, di Perhutani atau di hutan rakyat itu masih banyak bahan-bahan sisa dari tebangan, kaya akar atau ranting yang ngga kepake. Jadi kita manfaatkan bagaimana caranya bisa jadi barang yang ada nilai jualnya," ujarnya saat ditemui Akurat.co akhir pekan lalu.

Dalam melanggengkan usahanya, perajin sekaligus pemilik bendera Veda Sabrina tersebut biasa dibantu oleh sekitar 20 pekerja. Selain itu ia juga memiliki 10 perajin binaan guna bisa membantu dalam memenuhi tingginya jumlah permintaan yang selama ini berdatangan.

"Di tempat kita sendiri itu ada sekitar 20 orang karyawan, tapi kita punya binaan perajin, ada sampai 10 binaan. Masing-masing binaan kita punya karyawan yang jumlahnya sekitar 20 orang, jadi ya ada dua ratusan perajinlah jumlah kasarnya," jelasnya.

Agus menuturkan, pembinaan yang langsung ditangani oleh dirinya tersebut meliputi arahan dalam membuat patung, pemberian bahan baku, serta terkait dengan permodalan.

"Jadi apa yang nanti diproduksi mereka (para perajin binaan Agus-RED) itu dikirim ke kita. Tapi kalau mereka sudah siap mandiri, tidak masalah bila mau mandiri sendiri. Bisa aja kalau memang mereka misalnya dapat pembeli lain," imbuhnya.

Agus menjelaskan, dalam pemberian upah kepada perajin ia memegang sistem borongan. Dimana rata-rata perajin yang sudah memiliki jam terbang tinggi mampu menghasilkan sepuluh model patung dalam seminggu.

"Tapi kalau masih belajar paling 2-3 aja. malah belum tentu jadi. Karena kerajinan ini kan perlu kreasi imajinasi sendiri," ujarnya.

Ia menambahkan, untuk para perajin baru yang masih menjadi binaannya tentu pakai sistem lain dan ada kompensasinya.

Terkait harga produk hasil kerajinannya berkisar dari harga Rp50.000 sampai Rp13 juta. Ia menambahkan, sekali waktu pernah membuat produk limited editional yang dijual dengan sistem lelang dan berhasil ketuk palu di harga Rp15 juta.

"Kita pernah bikin dinosaurus dulu, panjang 8 meter tinggi 3 meter. Laku Rp15 juta, yang beli orang Eropa," imbuhnya.

Adapun pemasaran, dia biasa melakukan sistem penjualan daring dan tak memiliki toko. Namun begitu, bila ada calon pelanggan yang berniat melihat-lihat koleksi produk Veda Sabrina, bisa langsung mengunjungi bengkel sekaligus galeri miliknya yang terletak di Desa Langon 10/5, Tahunan 59425, Jepara.

Dikatakannya, kendati bendera usahanya kurang begitu santer terdengar di pasar lokal, namun produk olahan akar jatinya memiliki pasar utama nun jauh dibelahan bumi seberang, Eropa.

"Kita yang utama di Belanda dan di Inggris. Selain itu ada yang kecil-kecil ngga full satu kontainer, itu ke India, Korea, China... Ke dua negara itu (Belanda dan Inggris) dalam sebulan bisa kirim 2 sampai 3 kontainer. Nilainya kalau dirupiahkan mungkin bisa sampai Rp700 sampai Rp800 juta lah. Itu belum yang termasuk yang kecil-kecil tadi," terangnya.

Pada kesempatan itu pula ia menuturkan, jika boleh sedikit memberi masukan bagi para pelaku UKM yang saat ini barangkali baru merintis usaha, dan berniat untuk mengekspor produknya, ada baiknya, terlebih dulu bisa belajar atau menumpang nama dari perusahaan eksportir yang sudah mapan.

"Kalau sertifikat belum bisa ekspor langsung, sebenarnya ada cara lain, itu ada perusahaan lain, yang sebenarnya bisa kita mintai tolong untuk pinjam namanya untuk ekspor. Tapi sistem sama aja, nanti kita bayar pajak ke mereka, nah, mereka nanti yang bayar pajak ke pemerintah, itu yang pertama," jelasnya.

Kemudiam, kata Agus melanjutkan, cara kedua yang bisa dipakai bagi UKM pendatang baru yakni dengan membuka jaringan atau mengenal pihak keagenan kapal.

"Mereka kadang awam soal ekspor itu sendiri. Ngga tau apa yang harus dilakukan. Biasanya kalau pengen tau ya kenal aja dulu sama orang shipping agent atau keagenan kapal, nanti akan dibantu soal pengurusan dokumennya," imbuhnya.

Ia mengingatkan, sebelum langkah-langkah itu dilakukan, tentunya para pelaku UKM terlebih dulu harus memiliki kontak seseorang atau perusaahan di negara tujuan ekspornya.

"Tentunya harus punya kontak orang disana, kita kirim dulu satu atau dua barang kita buat pasar disana, kalau oke kan mereka mungkin akan beli lagi dalam jumlah yang lebih banyak," kata dia

Bukan hanya itu, langkah yang bisa diambil adalah dengan sering mengikuti ajang pameran yang digelar baik oleh pemerintah ataupun swasta.

"Yang mau memulai sebaiknya harus sering ikutan pameran kaya gini, soalnya bagus sebenarnya, banyak orang asing dateng... Atau pameran apapun. Ikut aja kalau bisa. Contohnya, saya pernah di Singapura pernah ikut pameran, biar dari dana sendiri, saya biasanya ikut itu untuk biar punya kontak dulu dengan orang sana," jelasnya.

Disinggung mengenai tantangan, Agus mengatakan kerap menemui kendala saat memasuki musim penghujan. Hal itu lantaran bahan baku limbah akar yang dicarinya menjadi sulit untuk dijumpai.

Selain itu, masalah sulitnya mendapatkan suntikan modal juga merupakan batu sandungan yang memuat usahanya lambat untuk bisa berkembang.

"Buat UKM seperti saya, mengajuan permodalan tidak segampang yang kita bayangkan. Walau omzet tinggi tapi kalau pinjam dana di bank kan yang pertama dilihat aset. Kalau pun kita punya aset, terus pinjam di bank, nilainya juga ngga sebanding dengan aset yang kita miliki. Jadi selama ini saya jalan dengan apa yang saya punya ngga pinjam bank," tandasnya.

Selanjutnya, menurut Agus, pemerintah diharapkan bisa lebih sering mempromosikan produk UKM keluar negeri. Salah satu jalannya yang bisa ditempuh dengan memberi fasilitas pameran.

"Dalam arti bila adakan pameran bisa dengan biaya yang terjangkau oleh kita.
Banyak teman-teman UKM kita di daerah itu mereka takut. Maksudnya, mereka udah bayar mahal, belum tentu sesuai dengan hasil yang didapat nantinya," tandas Agus.

Ia menambahkan, pemerintah juga mesti lebih memperhatikan UKM-UKM di pelosok daerah yang selama ini belum tersentuh padahal punya potensi untuk mendapat pembinaan.

"UKM yang dibawah itu masih banyak yang punya potensi tapi belum tersentuh mungkin karena keterbatasan Pemerintah untuk bisa mencapai wilayah tertentu. Binaan saya misalnya, itu ada yang sampai di Ngawi. Di dalam hutan. Ituu mereka belum tersentuh," pungkas Agus kemudian.[]



https://akurat.co/patung-limbah-akar-jati-dicari-pasar-eropa

Produk Berbahan Ban Bekas Indonesia Diekspor Hingga Eropa



Sambil menyelam minum air. Begitu pesan nenek moyang yang meski terdengar usang, namun betul-betul dicamkan oleh Sindhu Prasastyo kala berjibaku dengan dunia Wirausaha.

Bagaimana tidak, ditengah kesibukannya sebagai anggota dalam komunitas lingkungan hidup, ia mampu meraup rupiah dari limbah yang disulapnya menjadi ragam produk berdaya guna dan sarat akan ajakan merawat alam.

"Ini pengelolaan limbah ban dalam truk. Dijadiin macam-macam barang, ada tas, dompet, perhiasan, kalung, gelang, macam-macam mas," ujarnya saat memamerkan produknya di ajang Trade Expo Indonesia yang digelar pada tanggal 11-15 Oktober di ICE BSD, Tangerang.

Pria yang biasa disapa Sindhu itu menuturkan, bisnis produk berbahan limbah ban dalam truk tersebut mulai dilakoninya sejak tujuh tahun lalu.

Mengandeng beberapa sejawat sesama pegiat lingkungan hidup yang mahir bermain-main dengan desain, mereka membidani berupa-rupa barang hingga mampu memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi.

"Tahun 2010 mulai usaha ini, tapi riset-risetnya sudah dari 2006. Mulainya dari komunitas lingkungan hidup. Jadi dulu itu beberapa anggotanya anak-anak kreatif sama seniman. Terus ada program yang sebenarnya sih fokusnya ke konservasi air, tapi diluar itu ada swadaya untuk bikin sesuatu yang bisa menghasilkan duit, tapi harus masih ada kaitannya dengan lingkungan. Akhirnya ngolah limbah ini, karena anak-anak kreatif bisa desain," terangnya.

Tak sia-sia, sebab ternyata produk ban dalam bekas yang mereka telurkan tersebut mendapat respon positif dari pasar, khususnya pasar mancanegara.

"60 persen produk kita dikirim ke Eropa; Prancis, Inggris, Jerman, terus ada Slovenia, ada Australia, terus juga ada Amerika sedikit," rinci Sindhu.

Dalam menjual produknya, Sindhu mematok harga yang bisa dibilang memakai sistem pukul rata. Untuk pernak pernik seperti kalung dan gantungan kunci dibanderol dengan harga Rp35.000. Sementara untuk beragam tas berada dikisaran angka Rp750.000 perunitnya.

Adapun rata-rata pendapatan yang bisa dikantongi pria berusia 37 tahun itu, bisa mencapai Rp100 juta hingga Rp150 juta setiap bulannya.

Dalam upayanya untuk terus membesarkan usaha tas berbahan limbah ban bekas, yang kini dipasangi bendera Sapuupcycle itu, ia biasa dibantu oleh sekitar 15 orang pekerja. Dimana dalam sebulan bisa memproduksi sekitar 1.000 sampai 1.500 unit tas.

Kendati merupakan sebuah usaha yang masih terbilang produksi berskala rumah tangga, namun Sindhu optimis apa yang sudah dirintisnya tersebut bakal mampu terus berkembang karena memiliki prospek yang amat besar.

"Indonesia ini kan termasuk lima besar pengguna kendaraan bermotor di dunia ya, jadi kebutuhan akan stok ban dalam ini banyak sekali pastinya," imbuhnya.

Dikatakannya, dalam pengiriman ekspor ke pasar internasional, sejauh ini ia masih mengandalkan jasa pengiriman yang membantunya dalam persoalan mengurus segala keperluan administrasi dan perizinan.

"Karena kita masih tergolong kecil ya untuk industri ini, jadi sejauh ini kita pakai jasa pengiriman. Dalam arti kita masih diurus sama jasa seperti Fed Ex untuk surat perizinan jadi belum bisa kirim pakai kargo atau sewa kontainer sendiri," kata dia.

Ia menambahkan, adapun jumlah pembeli luar negeri yang sudah melakukan kerjasama dengan pihaknya, kini jumlahnya tak kurang dari 10 perusahaan.

Meski saat ini merek dagang Sapuupcycle masih dalam proses pendaftaran HaKI, namun ia menegaskan, bagi pihak-pihak yang ingin bekerjasama dengannya maka harus menyertakan merek dagangnya tersebut.

"Jumlah buyer sekarang sekitar 10. Dalam penjualan kita mempertahankan Sapuupcycle, kalau co branding masih bisa, mereka boleh pakai nama mereka tapi nama pembuatnya masih harus disertakan di informasi produknya," ujar dia.

Terkait tantangan yang dihadapi, Sindhu mengatakan pihaknya masih kerap terkendala dalam memenuhi kebutuhan peralatan produksi yang menurunya masih belum lengkap. Sehingga agak terganjal saat harus memproduksi barang secara massal.

"Kita kan berangkatnya dari komunitas kecil, terus modalnya itu ngga seperti perusahan besar yang disupport dari dana yang memadai, jadi kita ketinggalannya itu di teknologi, Misalnya, satu mesin itu harusnya satu fungsi aja tapi kita jadikan fungsi-fungsi lain, kita bisa-bisain" ungkapnya

Ia menambahkan, "Tapi kita mulai mengarah kesana. Tapi itu proses, sementara ini kita masih pelan-pelan."

Tak hanya bisa meraup keuntungan, ia berharap produk tas berbahan limbah ban bekas bisa benar-benar bisa menjadi sarana baginya untuk mengkampanyekan kepada masyarakat luas tentang pentingnya peduli pada lingkungan.

"Harapan kita produk ini bisa menyebarkan kepada masyarakat soal produk ramah dan baik pada lingkungan. Pengolahan limbah, mengurangi limbah dari pada dibakar dan mencemari tanah dan kali. Gimana caranya bisa kita kelola dan bagus jika dapat menghasilkan uang," tutur dia.

Pada kesempatan itu ia juga menyampaikan, sebagai penegasan sikap peduli lingkungan, ia juga memiliki workshop di daerah Salatiga, Jawa Tengah. Dirinya lebar merentangkan tangan bila ada pihak-pihak yang ingin mengenal dan mau bergandengan tangan bersamanya dalam mengatasi persoalan limbah di republik ini.

"Kita juga sering diundang ke sekolah-sekolah, seminar dan pameran pameran. Mengenalkan konsep ini ke anak-anak sekolah," pungkasnya kemudian.[]



https://akurat.co/produk-berbahan-ban-bekas-indonesia-diekspor-hingga-eropa

Minggu, 11 Juli 2021

Motif Kain Tradisional di Sepatu Ethnic Collaboration

Kalau enggan ada seribu alasan, kalau ingin ada seribu jalan. Kurang lebih begitu pepatah tanah Andalas yang menjadi landas kaki seorang Zulfa Nurhani, saat membabat alas laju usahanya.

Berangkat dari keinginan melestarikan kain tradisional namun tak melulu menjadi baju, dara berdarah Jambi itu bersama karibnya, Astari Putri Utami, ligas menggagas motif kain lokal agar tercetak pada produk sepatu.

"Kita fokus bikin sepatu handmade, sepatu yang dikombinasiin dengan bahan-bahan kain batik dan tenun dari Indonesia. Kita coba kombinasiinnya itu sama kulit atau bahan-bahan lain," ujarnya saat ditemui tim Akurat.co.

Turut menyemarakan Bazaar Ideafest X Tokopedia 2017 akhir pekan lalu, Zulfa menuturkan, bendera Ethnic Collaboration yang dikibarkannya merupakan produk fashion yang menyasar kalangan muda. Khususnya mahasiswa.

Oleh sebab itu, lanjut dia, agar mampu dijangkau oleh anak-anak muda dan tak membuat kantung mereka kebobolan, maka kain batik yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan produknya tersebut memakai kain batik cap, bukan batik tulis asli.

"Kalau sekarang kami masih pakai batik yang cap, karena marketnya sendiri masih ke anak muda, atau levelnya masih medium, kantong-kantong mahasiswa masih bisa menjangkau lah," imbuhnya

Gadis berusia 25 tahun ini menambahkan, kedepan, pihaknya juga bakal ekspansi dengan membuat produk premium sehingga bisa menyasar pangsa yang lebih lebar.

"Kita bakal bikin yang premium tapi itu masih coming soon," lanjut dia.

Lebih jauh ia menerangkan, bahwa produknya juga menekankan konsep limited edition. Dalam artian, jika satu kain batik atau tenun dengan motif tertentu sudah diproduksi sekali. Maka saat produk sepatu itu sudah tandas dipasaran, pihaknya takkan membuat kembali motif produk yang sama seperti sebelumnya.

"Misalnya, kita ada bahan satu lembar tenun, itu misalnya cuma jadi tiga sepatu, nah, kalau itu habis, kita ngga akan restock lagi. Ngga produksi lagi dengan motif tenun yang sama, karena menurut kita bakal lebih baik untuk mengeksplor tenun lain, dari daerah yang lain, daripada menggunakan motif yang sama lagi," jelas dia.

Dikatakannya, untuk mendapatkan kain-kain lokal sebagai bahan baku produksi, ia biasa melakukannya dengan dua cara, dikirim langsung dari perajin-perajin kain batik dan tenun, atau didapatkannya saat dia tengah plesiran ke daerah-daerah di Indonesia.

Terkait harga, produk Ethnic Collaboration rata-rata dibanderol berkisar antara Rp150.000 hingga Rp240.000 per unit.

"Untuk yang dua ratus ribuan itu yang model wedges atau ada haknya. Kalau yang flet-flet itu seratus lima puluh ribu," kata Zulfa.

Ia menuturkan, usahanya tersebut masih merupakan usaha rintisan yang baru dimulai pada tahun 2015 lalu. Dan sejauh ini pemasarannya dilakukan melalui sistem penjualan daring serta dengan mengikuti berbagai ajang pameran.

"Selain online paling ikut bazar, karena kita (dia dan rekannya) sendiri masih sama-sama kerja, dan ini sejauh ini juga cuma masih hobi," katanya.

Pada kesempatan itu juga ia berujar, Kedepan dirinya ingin benar-benar mandiri, dan berharap usaha rintisannnya bisa terus tumbuh hingga mampu menyerap sebanyak mungkin tenaga kerja.

"Perajin kita masih lepasan sifatnya, 3 sampai 4 orang kalau lagi ada orderan... Tentu ya, kita berharap kedepannya bisa punya banyak pegawai. Kita pengen banget bisa ngebuka lapangan kerja buat orang lain, buat masyarakat," tandasnya kemudian. []

Telah tayang:
https://akurat.co/motif-kain-tradisional-di-sepatu-ethnic-collaboration

Macrame, Kerajinan Purba yang Sempat Hilang


Berupaya membangkitkan kembali relik peradaban purba yang sempat terpendam, hal itulah yang dilakukan seorang Dewi Kartini saat ini.

Melalui kibaran bendera D'KagaLupe', wanita paruh baya itu seakan ingin memberi tahu, nun jauh di masa lalu jazirah Arab pernah memiliki seni kriya adiluhung tinggi mutu. Macrame.

"Jadi kalau baca literasi, ini (macrame) asalnya dari tanah Arab, sudah ada ribuan tahun lalu, tapi kemudian tehnik macrame itu berkembang di Eropa; di Spanyol, di Inggris. Terus dia sempat lama hilang, kemudian berkembang pesat di Jepang" ujarnya saat ditemui tim Akurat.co dalam perhelatan Bazaar Ideafest X Tokopedia 2017.

Dirinya menjelaskan, seni macrame adalah teknik kriya yang memanfaatkan tali dan benang sebagai bahan dasar kerajinan, untuk menciptakan aneka ragam aksesoris dan produk dengan memilin simpul-simpul.

"Tapi ini bukan dirajut, ini disimpul. Kita ikat-ikat tanpa alat bantu apapun," tambahnya.

Dewi, begitu ia karib disapa, menceritakan, kali pertama dirinya mengenal tehnik kerajinan macrame terjadi pada tahun 2008 silam.

Kala itu, Dewi yang masih bekerja sebagai kuli tinta pada salah satu media masa nasional, diminta untuk membuat sebuah artikel mengenai seni kerajinan yang melibatkan tali temali tersebut.

Demi menjawab permintaan itu, ia pun kemudian mencari tahu segala seluk beluk tentang kerajinan macrame melalui buku-buku sebagai bahan referensi artikelnya.

Tak dinyana dan entah bagaimana persisnya, menekuri tehnik macrame di lipatan buku yang ia baca, membuat wanita berkacamata itu seakan menemukan cinta yang selama ini dicarinya. Ia langsung terpeleset jatuh hati pada seni kriya yang satu itu.

"Saya tertarik pada macrame, karena saya ngerasa kalau ternyata sebenarnya passion saya ada di benang dan tali. Tapi biar suka benang dan tali, saya ngga suka yang pakai alat kaya jarum saat nyulam, saya suka yang tehniknya iket-iket aja. Jadi saya ngga tergantung alat. Selama tangan saya sehat, saya bisa tetap kerja," tuturnya.

Dari situlah ia kemudian mulai keranjingan membuat macrame. Ditambah kerajinan itu memiliki tehnik basic yang bervariasi, membuat Dewi tak pernah bertemu jemu dalam memproduksi setiap macrame.

Kian hari kian bertambah koleksinya, Dewi akhirnya menjadikan macrame sebagai buah tangan untuk diberikan kepada sejawat-sejawatnya sebagai hadiah dan cinderamata.

Sama sekali ia tak menduga, bahwa kelak, dari situlah awal jarum kompas nasibnya berubah arah hingga mengantarkan Dewi menjadi seorang wirausahawan.

"Awalnya tuh bikin cuma buat dikasih ke teman-teman aja, buat hadiah, banyak yang suka, akhirnya ada yang mulai beli, sadar ada peminatnya, akhirnya mulai ditekunin. Dan mutusin 2014 akhir, buat berhenti kerja," ungkapnya.

Ia menambahkan, "Mulai serius dibisnisin tahun 2015, jadi masih baru memang,"

Dikatakannya, dalam menjalani usaha macrame artisan itu, ia mengandalkan sistem pemasaran daring yakni melalui Instragram. Selain itu dirinya juga bekerja sama dengan Tokopedia dan qlapa.com.

"Penjualan dilakukan dengan sistem pre order. Jadi barang itu belum jadi, mereka pesen dulu, mereka bayar, lalu saya buat, terus dikirim beberapa hari kemudian," jelasnya.

Lebih lanjut ia mengatakan, ada beberapa produk yang pemasarannya hanya bisa dilakukan di seputaran Jakarta, Tangerang dan Bekasi. Hal itu lantaran dirinya khawatir jika saat pengiriman dengan jarak yang jauh, dapat membuat produknya menjadi rusak.

"Dia (macrame) ngga bisa dilipat mas, maksudnya sayang kalau dilipat, jadi kalau cuma di seputaran Jakarta, pengirimannya bisa dilakukan melalui Go Send atau Grab Express, atau bisa juga meraka ambil langsung dari rumah saya. Saya belum terlalu yakin kirim lewat jasa pengiriman, pengepakannya takut ngga bagus, takut barang terlipat, " katanya menerangkan.

Dewi menuturkan, rata-rata produk kerajinannya itu dibanderol dengan harga berkisar Rp700.000 hingga Rp1.000.000. Namun demikian, pada beberapa kerajinan memiliki harga tertentu.

Terkait durasi pembuatan, satu produk macrame biasanya dibuat dalam tempo sekitar seminggu untuk model yang relatif sederhana, sementara yang rumit bisa sampai sebulan lebih lamanya.

"Dalam arti gini, saya menargetkan mengerjakan satu produk maksimal tiga jam sehari, nanti setelah tiga jam saya kerjain yang lain, tiga jam lain lagi, karena supaya saya ngga bosan," terang dia.

Ia mengatakan, kendala yang kerap dihadapi adalah sulitnya mencari bahkan baku tali. Sebab, khusus produksi macrame harus menggunakan jenis tali yang tepat dan sedikit agak berbeda dari tali biasanya, serta memiliki varian ukuran diameter yang amat beragam.

"Tali rami itu punya ketebalan diameternya banyak. Kadang dalam satu produk butuhnya tali rami yang diameternya 0,5 cm, ada yang 10 mili, ada yang 2 mili, mencari kebutuhan-kebutuhan kaya gitu yang agak susah, karena di Indonesia belum ada pabrik yang memproduksi tali khusus untuk macrame," jelas Dewi.

Selanjutnya ia mengatakan, untuk sekarang belum bisa mengekspor produknya ke pasar global, mengingat di luar negeri sendiri kerajinan macrame saat ini lebih berkembang.

"Malahan di Australia, Inggris sama Amerika, mereka udah nyediain tali khusus macrame," imbuhnya.

Disinggung mengenai kenapa memakai nama brand D'KagaLupe', Dewi mengungkapkan huruf "D" pada awal merek dagang tersebut merupakan inisial namanya, sementara sisanya merupakan asal kata yang dicomot dari bahasa Betawi.

"D'KagaLupe', itu dari kata "kaga lupe" , itu bahasa Betawi kan... Ya maksudnya Kaga Lupa, 'D' itu inisial nama saya, saya berharapnya produk yang saya buat ini, produk yang ngga banyak bisa ditemuin, karena itu tidak akan terlupakan," katanya seraya mengulum tersenyum.

Dalam melanggengkan usahanya, ia dibantu oleh seorang pekerja yang biasa diberdayakan untuk mengurus pesanan yang sifatnya sederhana dan tak terlalu rumit.

Dirinya mengatakan, untuk bisa mengenalkan kerajinan macrame secara luas kepada masyarakat, ia membuka kelas bagi siapa saja yang barangkali berminat untuk belajar secara privat.

Pada kesempatan itu juga ia menilai, eksistensi UMKM dewasa ini berkembang sangat pesat. Hal ini tentunya sangat dipengaruhi oleh semakin majunya teknologi sehingga memberi kemudahan bagi pelaku usaha dalam memasarkan barang dagangnya.

"Buat seorang seniman, UMKM saat ini bisa sangat mampu berkembang. Tinggal gimana kreativitas aja untuk menyelaraskan antara pekerjaan kita ini dengan kepekaan mengambil gambar, kepekaan untuk mempublikasikan apa yang kita kerjakan, merekam momen-momen menarik dari pekerjaan kita, untuk akhirnya kita publikasikan melalui media sosial. Tapi itu butuh usaha dan ngga gampang, benar-benar butuh kepekaan," tutur dia.

Ia menambahkan, buat dia, instagram bukan hanya untuk menceritakan tentang produk apa saja yang ia  jual. Tapi bagaimana proses dirinya  bekerja, serta seperti apa ia mengajar murid-muridnya.

"Sehingga ada proses kreatif di sana, ada pencarian," tandasnya.

Selanjutnya Dewi berharap, kedepan perkara kendala bahan baku tali bisa dapat teratasi. Menurutnya, dengan semakin banyaknya orang yang mengenal macrame, maka tentunya para produsen tali bakal menyadari adanya peluang bisnis baru bagi mereka, sehingga tergerak untuk memproduksi tali khusus macrame.

"Terus yang kedua, makin banyak orang yang mau belajar macrame, saya sih maunya macrame bisa kaya nyulam, dimana-mana orang sudah banyak yang tahu, tidak mengerutkan kening ketika melihat kerajinan ini," lanjut dia.

Kemudian, dengan lebih banyaknya masyarakat yang mengenal kerajinan macrame, ia berharap orang akan bisa menghargai keberadaan seni kerajinan tersebut.

"Sayangnya sih, orang suka terkagum-kagum sama suatu handycraft tapi begitu tahu harganya mereka mengerutkan kening, padahal kan handycraft itu memerlukan proses yang panjang, mulai dari dari desain, persiapan, kemudian pengerjaannya," pungkas Dewi. []

Telah tayang:
https://akurat.co/macrame-kerajinan-purba-yang-sempat-hilang

Minkymumu Artdeco, Tas dengan Seni Decoupage Berbahan Tisu

Ramaikan perhelatan Bazaar Ideafest X Tokopedia 2017, produk yang dijajakan Minkymumu Artdeco di muka stand akan sangat mungkin menculik perhatian para pengunjung yang bertandang.

Bagaimana tidak, jejeran tas dan kerajaang anyaman yang tergantung, tampak terlihat berbeda dari tas atau keranjang pada umumnya karena memiliki motif warna-warni berkilau seakan dilapisi kaca.

Anni Halimah, salah seorang perajin yang ditemui tim Akurat.co mengatakan, motif warna warni mentereng yang tercetak di tas-tas tersebut tak lain dan tak bukan karena sudah mendapat sentuhan dari seni decoupage.

Wanita berusia 36 tahun itu menjelaskan secara singkat, decoupage, diambil dari bahasa Prancis découper, adalah seni menempel potongan-potongan kertas pada sebuah objek barang yang menjadi media lalu di pernis atau dipelitur. Pada produknya kertas yang dipilih adalah tisu dengan beragam corak warna.

"Ini produk decoupage, dari tisu, ini medianya ada rotan, pandan, macem-macem. Hiasannya semua ini dari tisu. Ditempel ke media misalnya keranjang dari rotan, tisu itu kita lem, pakai dasar air, terus dipernis," terangnya.

"Pernisnya itu yang jenis water based, jadi lentur, ngga kaku, nanti pas sudah jadi, hasilnya ngga pecah," katanya menambahkan.

Seni decoupage ini menjadikan potongan-potongan kertas tisu yang rata menjadi tampak dalam dan bertekstur, serta membuat motif pola dan gambar pada produk-produknya yang kini dijajakannya itu terlihat seolah-olah dilukis.

Halimah mengatakan, sudah tiga tahun terlibat dalam bisnis kerajinan seni decoupage. Bukan sebagai pemilik, dirinya adalah salah satu perajin yang kebetulan mendapat giliran menjaga stand Minkymumu Artdeco pada saat dimana tim Akurat.co bertandang.

Untuk objek atau keranjang tas rotan yang nantinya akan dipoles dengan sentuhan decoupace, Minkymumu Artdeco biasa mendapatkannya langsung dari para perajin rotan di daerah Tasikmalaya, Jawa Barat.

Dikatakannya, dalam sistem pemasaran produk decoupage Minkymumu Artdeco, dirinya baru berfokus pada penjualan daring serta melalui pameran-pemeran, karena belum memiliki toko sendiri.

"Kita kebetulan juga buka kelas di daerah Cinere. Tapi kalau buka kelas, kita biasanya yang datang ke tempat orang-orang yang pingin belajar. Misalnya, ada beberapa orang yang maunya di kantor, nah, kita yang ke sana," tutur Halimah.

Ia melanjutkan, bagi siapa pun yang tertarik dan ingin tahu lebih lanjut atau berminat untuk belajar mengenai seni decoupage, bisa mengikuti kelas dengan membayar biaya pelatihan sebesar Rp300.000 sampai Rp700.000 per orang, untuk satu kali pertemuan.

"Kalau ikut kelas bayar dari Rp350.000-Rp700.000, untuk satu kali pelatihan. Dapet medianya, tisu, lem, kuas, pernisnya, nanti hasil karya juga dibawa pulang, dapet makan juga," Terangnya.

Halimah melanjutkan, decoupage bisa dibilang bukan kerajinan baru di Indonesia, hanya saja, memang belum cukup familiar bagi sebagian kalangan masyarakat.

"Ada Komunitasnya, di Cinere juga, biasanya yang ikut itu ibu-ibu pensiun. Dan kalau kita buka kelas tuh yang ikut memang ibu ibu pensiunan kebanyakan," imbuhnya.

Pada kesempatan yang sama, Akbar, perajin decoupage yang juga tengah mendapat giliran menjaga stand mengatakan, terkait harga, rata-rata produk Minkymumu Artdeco dibanderol dari Rp50.000 hingga Rp550.000. Nilai tersebut merupakan harga normal yang belum mendapat potongan.

"Kisaran harga, yang keranjang rotan ini harganya Rp400.000 dari harga normalnya Rp550.000. Kalau yang tas jinjing pandan itu dijual Rp200.000 dari harga Rp350.000 di luar pameran. Ada juga sih yang Rp50.000, itu yang kaya kontak-kotak pensil itu," kali ini Akbar yang berbincang.

Disinggung mengenai lama proses pembuatan, pria berusia 37 tahun itu mengatakan, dalam sehari biasanya seorang perajin hanya bisa membuat satu produk decoupage.

"Karena ini seni jadi ngga banyak, dan juga memang ini perlu dijemur disinar matahari. Ngga bisa melalui pengeringan oven, jadi harus pakai panas matahari biar kilaunya keluar, mas..." jelasnya.

Dirinya berharap pameran yang diinisisasi Ideafest dan Tokopedia bisa menular ke e-commerce lainnya, sehingga jadi semakin sering digelar. Menurutnya, melalui pameran bisa menjadi ajang memperkenalkan seni decoupage kepada masyarakat yang lebih luas.

"Dengan ikut pameran semacem ini bisa mengedukasi masyarakat lah ya, soalnya banyak orang belum tahu soal kerajinan ini," kata Akbar.[]

Telah tayang:
https://akurat.co/minkymumu-artdeco-tas-dengan-seni-decoupage-berbahan-tisu