Minggu, 13 Juni 2021

Tenun Ikat Artshop Cendana Buah Tangan Nyonya NTT

Puluhan perajin dari berbagai daerah di seluruh nusantara, meramaikan Pameran Kriyanusa 2017 yang digelar oleh Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas) di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta Selatan. 

Salah satu perajin tenun ikat Nusa Tenggara Timur, Umar Langgar, menyambut antusias ajang tahunan tersebut dengan menyertakan produk tenun ikat khas daerahnya.

Pemilik dari rumah produksi Artshop Cendana ini menuturkan, kerajinan tenun ikat dan anyaman Nusa Tenggara Timur miliknya berbeda secara motif atau corak lantaran didominasi warna merah kecokelatan alami.

"Agak berbeda dengan tenun ikat dari daerah lain dari motif, karena setiap motif daerah (meski sama-sama di NTT) itu berbeda-beda. Produksi kita juga manual, home industri, dengan mempekerjakan ibu-ibu rumah tangga," ujarnya di lokasi pameran, Minggu petang (1/10/2017). 

Ia menuturkan, hampir di seluruh kecamatan yang ada di NTT merupakan ibu rumah tangga yang menyambi sebagai perajin tenun ikat. Untuk itu kerajinan tenun merupakan salah satu roda penggerak perekonomian di daerah tersebut.

"Di tiap-tiap kecamatan, ibu-ibu itu adalah perajin nusa tenun, karena itu memang sudah jadi bagian dari keseharian," imbuhnya.

Lebih lanjut ia mengatakan, dalam pembuatan selembar kain tenun dengan panjang 4 meter dan lebar 80 sentimeter, seorang penenun biasa memerlukan waktu hingga satu bulan penuh. Namun untuk selendang yang ukurannya lebih kecil hanya diperlukan waktu yang relatif lebih singkat, yakni sekitar 2 minggu.

Pria berusia 50 tahun itu menjelaskan, produksi satu kain tenun bisa memakan waktu berminggu-minggu lantaran seluruh proses pengerjaan dilakukan sendiri oleh masing-masing perajin dan tanpa menggunakan mesin. Dengan kata lain, masih menggunakan alat-alat dan cara-cara tradisional.

"Dalam menenun, satu orang itu benar-benar bikin dari awal sampai akhir. Dari bikin benang, pewarnaan, sampai proses tenun. Tidak seperti di Jawa dimana sudah ada yang bikin benang, ada yang benangnya sudah warna, ada yang bikin tenun, dan apalagi yang mengerjakan ini ibu rumah tangga, jadi sebelum mengerjakan tenun mereka, kan, biasanya harus urus anak sekolah dulu, urus suami, urus rumah, sudah kosong baru mereka buat," terang Umar.

Terkait pemasaran, kain tenun ikat produknya sudah menyebar di seluruh wilayah Indonesia. Khususnya di kota-kota besar dari Sabang sampai Merauke.

Sementara untuk pasar global, tenun ikat Artshop Cendana sudah sempat dikirim ke Jepang dan Prancis melalui tangan para desainer yang melakukan pemesanan secara khusus.

"Dikirim ke Jepang dan Prancis, melalui pesanan desainer. Tapi kami belum bisa kirim sendiri," tutur Umar.

Untuk banyaknya produksi dan rata-rata omzet dalam sebulan, Umar tak bisa merinci sebab jumlahnya sering tidak menentu. Hal ini lantaran dalam proses produksi pihaknya kerap terkendala masalah cuaca. Namun demikian dalam pameran Kriyanusa kali ini ia menyebutkan setidaknya sudah mengantongi pendapatan tak kurang dari Rp50 juta.

"Karena hujan biasanya, jadi proses menjemurnya harus tertunda. Karena pewarnaan kita kan alami ya, dijemur dengan sinar matahari, selain itu kerap ada acara-acara adat yang mengharuskan masyarakat berhenti melakukan semua kegiatan, jadi kami ngga bisa menenun. Kita harus hormati adat budaya itu," jelasnya.

Disinggung soal masalah lain yang dihadapi para perajin tenun ikat di NTT, ia mengungkapkan kekurangan modal biasanya menjadi sandungan paling besar untuk bisa mengembangkan usaha para perajin tenun. Seain itu, mereka juga belum cukup mampu mengelola keuangan secara baik dan akuntabel.

Pada kesempatan itu, umar juga menyampaikan kegelisahan terkait surutnya minat anak-anak muda dewasa ini untuk belajar menenun kain. Ia berharap di masa mendatang akan lebih banyak lagi generasi muda yang dapat terus melestarikan budaya tenun NTT sebagai salah satu kekayaan khazanah nusantara.

"Mudah-mudahan setiap sekolah-sekolah di sana (NTT) ada pelajaran tenun ikat. Memang sejauh ini sudah ada pelajaran tenun ikat, tapi yang saya lihat belum serius, hanya sekadar ada, ini harus jadi perhatian," kata Umar.

Selain dari itu, ia juga berharap apabila ada pameran-pameran terkait seni kriya, harusnya yang lebih banyak diikuti sertakan adalah para perajin tenun agar mereka punya kesempatan untuk bisa belajar dan menambah wawasan, bukan justru pihak perwakilan pemerintah yang diprioritaskan.

"Kalau ada acara pameran-pameran, sebaiknya perajinnya yang kirim. Selama ini kalau ada pameran keluar misalnya, 10 yang ikut, 1 orang perajin sisanya orang-orang pemerintah yang ikut. Pemerintah 2orang sajalah... lewat pameran perajin-perajin tenun kan bisa jadi belajar, bisa tambah wawasan (soal pemasaran) mereka," tukas Umar kemudian.[]



Telah tayang: 

Untaian Permata Manado Berbahan Limbah Sisik Ikan

Kreatif dan cerdik melihat peluang. Hal itulah yang bisa merepresentasikan seorang Cahyannie. Pasalnya, Ibu rumah tangga asal Manado, Sulawesi Utara itu mampu menyulap limbah sisik ikan menjadi sebuah produk perhiasan pernak pernik yang memiliki nilai ekonomis.

"Ini saya bawa kerajinan sisik ikan kakap. Soalnya sisik ikan ini adanya di daerah perairan Sulawesi Utara, ikannya besar-besar jadi sisiknya pun besar-besar. Sisik yang dibuang ini bisa jadi perhiasan yang punya nilai tambah yang... Yah, lumayanlah," tuturnya saat mengikuti Pameran Kriyanusa di JCC, Jakarta.

Wanita yang akrab disapa Yannie ini menceritakan, awal produk perhiasan sisik ikan buatannya itu bermula saat dirinya menyadari betapa banyak limbah sisik ikan yang bertebaran di pasar-pasar ikan di daerahnya, sehingga sayang apabila dibuang begitu saja.

Mencoba memutar otak, terlintaslah di kepala untuk membuat limbah sisik ikan tersebut menjadi perhiasan yang memiliki nilai tambah ekonomis. Hingga akhirnya bersalinlah produk kerajinan pernak pernik berbahan limbah sisik ikan dengan merek dagang yang kini resmi terdaftar di HAKI yakni, Yannie Handicraft, Fish Scale Handicraft.

Beragam kerajinan perhiasan sisik ikan telah dibidani oleh Yannie, tak kurang dari 20 jenis jumlah pernak pernik terlahir melalui tangannya, antara lain yakni kalung, giwang, gelang dan Bros.

"Kisaran harga dari Rp 20.000 ya, Sampai Rp 50.000, tapi bisa lebih disesuaikan kalau ada pesanan," imbuhnya.

Dalam proses produksi kerajinan sisik ikan, Yannie biasa dibantu dengan empat orang yang sengaja dipekerjakannya.

Sementara untuk pemasaran, selain menjualnya di pasar lokal melalui toko-toko souvernir dan via online, dirinya juga kerap mengikut sertakan produknya pada ajang pameran.

"Pernah dikirim keluar negerinya itu... ke Amerika dan Eropa," katanya.

Terkait kendala yang masih dihadapi, ia mengatakan masih sering terganjal soal pemasaran. Untuk alasan itulah mengapa dirinya gemar mengikuti pameran-pameran di seluruh Indonesia khususnya yang diadakan Dinas Perindustrian Kerajinan Daerah Manado.

"Omzet rata-rata perbulan bisa Rp.10 juta. Kalau untuk pameran ini ngga terlalu besar ya dapetnya. Mmm... kita ke sini tujuannya, fokus tujuannya ngga ke penjualan ya, lebih biar orang tahu aja kalau ada produk dari sisik ikan," jelas Yannie.

Disinggung mengenai peran pemerintah terhadap usahanya tersebut, ia menuturkan Dinas Perindustrian Kerajinan Manado sudah dirasa cukup membantu dalam hal memfasilitasi segala yang diperlukan seperti, penyediaan ajang pameran dan menanggung seluruh biaya akomodasi yang diperlukan.

"Peran pemerintah cukup bagus. Ini saya ke sini juga dibawa sama Dinas Perindustrian Kota, mereka yang memfasilitasi kami para UKM. Dan biaya semuanya untuk ikut pameran ini gratis, semuanya," ujar Yannie Semringah.[]



Telah tayang: https://akurat.co/untaian-permata-manado-berbahan-limbah-sisik-ikan


Anyaman Rotan Kutai Barat, Warisan Nenek Moyang yang Kini Lindap

Pameran Kriyanusa Tahun 2017 ternyata mampu membuat perajin-perajin kriya dari pelosok tanah air tergugah untuk bisa turut serta memperkenalkan produk-produk khas etnik daerahnya, tak terkecuali beberapa perajin rotan dari kampung Eheng, kecamatan Damai, Kutai Barat, Kalimatan timur.

Salah seorang perajin rotan Rosalina Supina mengatakan, dirinya sengaja datang ke ajang tahunan yang digelar oleh Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas) tersebut untuk memperkenalkan produk daerahnya kepada masyarakat luas, karena selama ini produk rotan Kutai Barat kurang bahkan nyaris tak terdengar gaungnya.

"Produk kami anyaman rotan, asli Kutai Barat, pengerjaannya dilakukan manual, ngga pakai mesin, pakai tangan semua kerjanya, mulai dari ngerautnya sampai nganyamnya, bikin-bikin bahannya semua manual," ujarnya saat ditemui di JCC, Jakarta.

Produk yang dibawa Rosalina, begitu ia biasa disapa, adalah produk berbahan dasar rotan khas etnik Dayak Benuaq, yang dibentuk menjadi tas, anjat, tikar, dan keranjang, serta merupakan seni anyaman yang sudah ada dan diajarkan secara turun temurun sejak zaman nenek moyang suku Dayak di wilayah Kubar.

Dalam proses pembuatan satu produk seperti tas ukuran besar, Rosalina menerangkan bahwa dibutuhkan waktu sekitar seminggu bahkan bisa lebih lama lagi, hal itu lantaran pengerjaan masih manual tadi.

"Kita buat satu tas besar tadi, seperti yang saya anyam tadi, kalau dari awal kita cari rotan, dari dalam hutan sampai pengerjaannya, satu tasnya itu bisa satu minggu, sampai benar-benar bisa jadi," imbuhnya.

Kendati mulai cukup banyak diminati para pelancong yang mengunjungi daerah Kalimantan, namun produk anyaman rotan Kutai Barat itu belum memiliki merek lokal yang terdaftar di HAKI.

Hal itulah yang menggelisahkan Rosalina, pasalnya, produk anyaman kampungnya tersebut sudah mulai diakui dan sempat di kirim ke pasar internasional seperti Singapura dan Malaysia, namun ironis mengunakan nama salah satu perusahaan ekspor.

"Kita belum ada merek. Taunya orang-orang cuma 'Anyaman Rotan Kutai', ya, gitu aja... Dijual keluar tapi lewat perusahaan, tidak langsung ke perajin. Kita dapat seratus dua ratus (ribu) saja dari situ," tukasnya.

Pada kesempatan itu ia menuturkan, peran pemerintah sejauh ini masih dirasa kurang, dan berharap kedepannya pemerintah dapat lebih memperhatikan para perajin lokal dari daerah pelosok seperti dirinya.

"Harapannya, pemerintah bisa bantu kami lah, biar bisa produksi banyak," tandasnya.

Ia menambahkan, "Kami ini sering dapat kendalanya itu kalau orang minta banyak, kami ngga bisa penuhi, karena kami ngga punya mesinnya untuk produksi, jadi ngga bisa cepat, kaya mesin ngeraut rotan. Nah, pemerintah bisalah bantu kami di situ," harap Rosalina. []




Telah tayang: https://akurat.co/anyaman-rotan-kutai-barat-warisan-nenek-moyang-yang-kini-lindap

Kerajinan Logam Boyolali tetap Luxury Walau Punya Segudang Keterbatasan

Tak ingin bernasib sama seperti nekara yang kini hanya teronggok sebagai benda purbakala, membuat seorang Gunanto terdorong untuk terus berupaya melestarikan kerajinan logam khas daerahnya, Boyolali, Jawa Tengah.

Turut serta meramaikan ajang tahunan bertajuk Pameran Kriyanusa 2017, adalah salah satu langka nyata dari pemuda itu untuk bisa memperkenalkan produk kerajinannya di jagat kriya Nusantara.

"Kerajinan tembaga, kuningan sama alumunium ini handmade, manual, jadi kita mengerjakannya itu ngga pakai alat, maksudnya, kalau ditempat lain itu kan pakai... Sejenis cetakan atau alat pabrikan, tapi kalau kita bener-bener pakai tangan manusia semua," ujarnya saat ditemui di JCC, Jakarta.

Pemuda berusia di awal 30 tahun itu menuturkan, dalam proses produksi satu kerajinan, ia membutuhkan waktu yang relatif bervariasi. Bergantung pada seberapa besar ukuran dan rumitnya motif suatu produk yang bakal dibuat.

Misalkan untuk pemanas ini, ucapnya sambil menunjuk sebuah produk pemanas makanan, ia buat dalam tiga hari, sendiri. Untuk lampu-lampu ruang tamu yang digantung di langit-langit biasanya bisa dibuat dalam tempo seminggu, karena pengerjaannya memerlukan pahatan bermotif.

Dari sekian banyak kriya yang mampu ia hasilkan, rata-rata membutuhkan pengerjaan selama 3 hari.

"Tapi kalau proyek besar bisa sampai 3-4 bulan untuk patung-patung dan lampu hiasan besar bermotif rumit. Dikerjakannya pun sama sekitar sepuluh orang sekaligus. Untuk satu patung," tuturnya.

Selama menjalani bisnis kriya, Gunanto mengibarkan bendera berlabel NuansaArt dan dibantu oleh 30 orang perajin yang tak lain adalah para tetangganya sendiri, dimana sebagian besar pekerja sudah memasuki usia senja.

Dalam pemasaran, produk kerajinan Nuansa Art sudah merambah sebagian besar pasar lokal serta mampu menembus beberapa pasar global. Meskipun, dalam pengiriman ke luar negeri pihaknya perlu menggandeng eksportir.

"Belum semua daerah di Indonesia tapi sudah tersebar dimana-mana, khususnya kota-kota besar. Kalau untuk ekspor kita melalui buyer tidak langsung... Ekspornya ke Itali, Jerman, Belanda, Korea," rinci dia.

Gunanto belum bisa mengekspor produknya secara mandiri lantaran belum begitu paham soal perizinan. Selain itu, ia juga merasa proses birokrasi perizinan di Republik ini masih terbilang cukup rumit.

Untuk alasan itulah kenapa dia akhirnya lebih memilih bekerja sama dengan buyer meski dalam pembagian keuntungan, nantinya 5 sampai 10 persen laba bakal masuk kantong eksportir.

Tak sekadar lebih memudahkan pihaknya dalam proses pemasaran ke pasar global, keuntungan lain yang diterima Gunanto adalah bendera NuansaArt tetap tertera meski proses ekspor melalui tangan eksportir.

Disinggung mengenai omset, ia mengungkapkan nilainya tidak menentu, namun rata-rata pendapatan dari hasil ekspor berkisar Rp200 - Rp300 juta. Sementara penjualan di dalam negeri sebesar Rp50 juta per bulan.

"Biasanya kalau kirim satu truk itu bisa sekitar Rp200 sampai Rp300 juta. Itu jangkanya 3 bulan. Dan itu baru yang dikirim keluar belum yang dipasarkan di lokal. Kalau di dalam (pasar lokal) pemasukan sebulan sekitar Rp50 jutaan," terangnya.

Peran pemerintah dalam mendukung usaha kerajinan kriya, menurut hemat Gunanto sudah dirasa cukup membantu. Hal itu terasa karena tak jarang, dirinya menerima segala fasilitas apabila mengikuti berbagai pameran yang kerap digelar. Tak hanya itu, bantuan-bantuan yang dicanangkan pemerintah juga benar-benar sampai ke masyarakat, dalam hal ini para pelaku usaha kriya di daerahnya, Boyolali.

Sementara terkait kendala, Gunanto menuturkan sering terganjal soal bahan baku. Sejauh ini dirinya masih mengandalkan impor dari Itali guna memenuhi kebutuhan produksi.

"Kendala kita itu soal bahan, soalnya bahannya itu kita impor dari Itali.
Jadi kita itu ambil dari Surabaya, nah, Surabaya itu impor dari Itali... Tapi gini, bahan mentah itu malah dari Freeport (Papua) sana, diekspor ke Itali, balik lagi ke Indonesia dalam bentuk sudah lempengan," kata Gunanto menjelaskan.

"Kenapa kita impor bahan?" lanjutnya kemudian.

Ia melihat bahwa saat ini Indonesia memang memiliki bahan baku kriya pada umumnya, plat lurus, bentuknya lembaran. Sayangnya, bahan baku di dalam negeri kurang bagus.

"Kalau dibentuk suka pecah," seloroh Gun sambil mengerutkan kening.

Selain kendala bahan baku, Gunanto juga kesulitan dalam mencari pekerja baru guna melanggengkan dan membesarkan usaha kerajinannya tersebut, sebab, saat ini jarang sekali generasi muda yang berminat menjadi perajin tembaga, kuningan dan aluminium.

"Angel (susah) mas cari perajin, jadi gini, penerusnya itu... gimana yo, ora begitu greget, yang anak muda sudah males-malesan ngerjain ini, yang kerja ini orang yang sudah lawas-lawas," keluhnya dalam dialek Jawa Timur.

Ia berharap, di masa mendatang Indonesia mampu memproduksi sendiri bahan baku yang berkualitas, sehingga tak perlu mengandalkan impor dalam pemenuhan produksi kerajinan logam dalam negeri.

"Yo harapanku sih, Indonesia bisa buat (bahan baku) sendiri, soalnya kalau beli dari luar yo larang (mahal), karena tiap dolar naik kan harga bahan ikut naik, nek begitu dolar mudun (turun) bahan hargane tetap ora melu (ikut) turun e mas... Kadang juga bahan itu dadi (jadi) langka, pokoknya itu harga dolar pengaruh sekali untuk bahan," tandas Gunanto.[]

Telah tayang: https://akurat.co/kerajinan-logam-boyolali-tetap-luxury-walau-punya-segudang-keterbatasan

Sentuhan Tangan Mufidah Jusuf Kalla, Songket Pandai Sikek Berevolusi

"Bukan yang paling kuat yang bisa bertahan hidup, bukan juga yang paling pintar. Yang paling bisa bertahan hidup adalah mereka yang mampu beradaptasi dengan perubahan." Begitu kata pencetus teori evolusi, Charles Darwin. Dan tampaknya, hal senada juga dipercaya oleh seorang Mufidah Jusuf Kalla.

Demi melihat kain tenun songket asal Pandai Sikek, Sepuluh Koto, Tanah Datar, Sumatera Barat bisa terus dilestarikan, sang ibu Wakil Presiden RI ini menyarankan agar para perajin di daerah tersebut mampu melakukan sedikit modifikasi pada produk tenun songketnya sehingga sesuai dengan perkembangan zaman.

Ia mengarahkan para perajin untuk bisa mengganti bahan dasar songket yang awalnya ditenun dari emas menjadi berbahan sutra dan kain. Hal itu agar Songket Pandai Sikek lebih nyaman dan dapat menarik minat generasi muda untuk senang mengenakannya.

"Kalau dulu songket Pandai Sikek awalnya itu benangnya dari emas, benangnya tebal... Tahun 2004-2009, ibu Mufidah Jusuf Kalla yang waktu itu jadi Ketua Umum Deskranas... Menyarankan kami untuk mengembangkan songket ini supaya tidak kaku, jadi diubah, bahan yang tadinya emas jadi sutra dan kain, sebelum diganti, biasanya kan kalau dipakai suka bikin kaki sakit tuh, di ujung kena benang emasnya, sekarang sudah ngga," kata Erlina Wati, salah seorang perajin songket saat ditemui dalam Pameran Kriyanusa 2017 di Jakarta. 

Wanita berusia 48 tahun itu menuturkan, tak hanya memberi saran, dalam upayanya mendukung kelestarian tenun songket, ibu Mufidah Jusuf Kalla juga memberi bantuan modal dari kantong pribadinya kepada para perajin Songket Pandai Sikek.

Tak percuma, pemberian modal ternyata mampu menggenjot jumlah produksi songket yang kini telah mengalami sedikit modifikasi. Kendati demikian kendala sepertinya tak berhenti sampai di situ, sebab persoalan baru yang kemudian menyembul yakni soal pemasaran produk.

"Setelah dikasih modal, pakai uang pribadi ibu (Mufidah Jusuf Kalla), ternyata para perajin bertemu kendala lain, soal pemasaran, nah, untuk itulah Rumah Songket ini dibentuk, sebagai upaya memasarkan songketnya," imbuh Erlina.

Dan akhirnya kini, Songket Pandai Sikek sudah mampu menembus pasar Malaysia. Tak cuma itu, kerajinan tenun songket asal Sumbar itu juga pernah beberapa kali ditampilkan pada pameran dunia, salah satunya yakni yang digelar di Bangkok beberapa waktu lalu.

Ia melanjutkan, total perajin yang saat ini tergabung dalam Rumah Songket berjumlah 10 orang. Dimana dalam sebulan bisa menghasilkan 2 sampai 4 lembar kain tenun Songket Pandai Sikek.

"Dalam sebulan hanya menghasilkan 2 sampai 4 songket. Karena satu songket itu memang panjang prosesnya, 1 songket saja bisa makan waktu satu setengah sampai dua bulan," jelasnya.

Oleh sebab itu, lanjut Erlina, tak mengherankan bila harga selembar kain Songket Pandai Sikek bisa mencapai Rp5,6 juta hingga Rp8,3 juta.

Pada kesempatan itu Erlina juga menyampaikan harapannya agar tenun Songket Pandai Sikek bisa terus lestari, serta dapat membuat kesejahteraan para perajinnya semakin meningkat.

"Harapan kedepan produk songket tak cuma dikenal, tapi juga dipakai, khususnya oleh masyarakat Indonesia sendiri, umumnya dipakai di luar juga... Selain itu pemasaran songket bisa meningkat, soalnya kalau pemasarannya bagus, ya kan pemasukan bagi perajin juga jadi sejahtera," kata Erlina penuh harap. []



Telah tayang: https://akurat.co/sentuhan-tangan-mufidah-jusuf-kalla-songket-pandai-sikek-berevolusi

Inovatif, Resep Jitu Anyaman Rotan Palangka Raya Biar Tetap Laku

Temukan hal baru adalah cara ampuh agar pelanggan tak jemu bertamu. Kira-kira begitulah prinsip yang dipegang teguh oleh Niang, salah seorang perajin anyaman rotan khas Palangka Raya, Kalimatan Tengah, dalam menjalani bisnis kriyanya.

Perajin sekaligus pemilik usaha Jawet Niang tersebut menuturkan, kerajinan rotan akan bisa berumur panjang jika dalam proses produksinya terus melakukan pembaruan produk, baik di model barang maupun pada motif anyaman.

"Produk kami beragam, ada tas, ada topi, lawung, tikar, rambat, sumping, macam-macam, dompet, sendal, pernak-pernik, banyak," ujarnya saat ditemui dalam ajang Pameran Kriyanusa 2017 di Jakarta, akhir pekan lalu.

Wanita berusia 36 tahun itu menceritakan secara singkat, bahwa produk anyaman rotan miliknya merupakan kerajinan khas Palangkaraya, dimana bahan bakunya didapat langsung dari hutan setempat.

"Bahan dari rotan bulat, dibersihkan terus dibelah, diserut sampai halus seperti daun hingga mudah dianyam," imbuhnya.

Kendati belum memiliki HAKI serta tak terdaftar secara resmi di Kementerian yang berwenang soal perizinan, namun merek dagang Jawit Niang mulai mendapatkan tempat di hati para konsumen dari berbagai daerah di dalam negeri. Bahkan ada beberapa kenalan yang membeli untuk dibawa lagi keluar negeri.

Karena belum memiliki izin usaha, pihak Jawit Niang kini belum bisa melakukan ekspor secara mandiri, dan masih mengandalkan beberapa kenalan dan eksportir.

"Penjualan keluar, biasanya tuh yang suka Jepang... terus China, kan mereka suka produk-produk rotan... Ekspor kita gak langsung, tapi melalui teman. Dia pesan, nah, dia yang kemudian ekspor," papar bu Niang.

Ia menambahkan, dirinya ingin melakukan ekspor sendiri, akan tetapi sampai saat ini belum memiliki solusi jitu untuk merealisasikan hal tersebut.

Ditanya soal modal, ia berujar biaya yang dikeluarkan untuk beragam barang relatif bervariasi. Namun ia menyebutkan untuk rata-rata satu produk tas original tanpa pernak pernik dan aksesoris, biasanya ia mesti menyiapkan anggaran sebesar Rp150.000 per buah.

Sementara untuk harga jual, baik pasar lokal maupun pasar luar negeri ia banderol pada kisaran Rp80.000 hingga Rp500.000 untuk tas. Sedangkan untuk tikar sebesar Rp1,5 juta mengingat biaya produksinya yang memang jauh lebih tinggi.

"Tapi kalau perintilan aksesoris seperti gelang Rp20.000, jadi terjangkau lah yah, gantungan kunci malah cuma Rp15.000 per butirnya," tambah Niang.

Terkait pendapatan, dalam sebulan rata-rata kerajinan rotan anyaman Jawit Niang bisa mengantongi omset Rp10 juta.

Pada kesempatan itu, Niang juga menyampaikan, kendati saat ini peran pemerintah dalam membantu promosi produk kriya Nusantara sudah cukup baik, namun perlu lebih fokus lagi terutama yang berkaitan dengan peningkatan kreativitas perajin.

"Ya, kalau bisa pemerintah bisa memperhatikan lebih mendetail lagi, terutama di masalah kreativitas, desainnya kan harus mampu bersaing, dek... Jangan sampai monoton. Perajin harusnya kan dikasih pelatihan lah keluar, biar bisa bikin desain yang lebih bagus, jadinya biar lebih bisa diminati produknya," kata Niang menutup obrolan sore itu. []

Telah tayang: https://akurat.co/inovatif-resep-jitu-anyaman-rotan-palangka-raya-biar-tetap-laku

Ada Nilai Filosofi di Songket Tanah Rencong

Sarat nilai filosofi. Begitulah produk tenun songket asal Desa Dayah Daboh, Kecamatan Montasik, Aceh Besar, Sumatera Utara, yang turut serta menyemarakkan ajang tahunan bertajuk Pameran Kriyanusa 2017 yang digelar akhir pekan lalu di Jakarta Convention Center.

Tak sekadar sedap dipandang mata, setiap benang yang terpilin di kain songket motif pucuk rebung Aceh, tersemat representatif kearifan lokal dari masyarakat tanah rencong.

"Ini kita bawa kain pucuk rebung, bordiran Aceh, dari Montasik, motif pucuk rebung tuh artinya tunas bambu. Melambangkan masyarakat Aceh yang terus tumbuh dan berkembang, sama seperti tunas," tutur Angga, salah seorang pengurus Dewan Kerajinan Nasional Daerah Aceh Besar.

Tak hanya menawarkan tenun songket pucuk rebung, pada kesempatan kali ini pihaknya juga membawa serta kain songket motif awan berarak yang tak kalah bestari akan pesan bijak. Perlambang persatuan umat dalam majemuknya masyarakat.

"Terus ada juga motif awan berarak, awan berarak itu, awan yang saling menyatu, ini diharapkan masyarakat Aceh saling bekerja sama, saling terkait, berarak bersama," tambahnya.

Pemuda berusia 27 tahun itu menuturkan, dalam memproduksi kedua kain khas Aceh tersebut para perajin saling bahu membahu dalam satu kelompok besar yang dibagi menjadi dua puluh grup lebih kecil.

"Dimana dalam satu grup tersebut terdiri dari 6 sampai 8 orang perajin tenun yang bekerja secara bersama-sama. Persis seperti motif songket awan berarak yang mereka buat," tandas Angga.

Belum merasa berpuas diri dengan kain songket, warga dari desa Dayah Daboh rupanya juga produktif dalam memproduksi tas kulit yang terbagi dalam 12 kelompok kecil.

"Selain kain songket, Desa Dayah Daboh juga memproduksi tas... Pemasaran kain songketnya memang masih di sekitar daerah Aceh. Tapi kalau untuk tas sudah dijual sampai Malaysia," jelasnya.

Terkait kendala, Angga mengatakan, para perajin dari daerahnya masih terganjal dalam promosi. Karena alasan itulah, pihaknya gencar mengikuti setiap ajang pameran, baik yang diinisiasi oleh pemerintah maupun swasta.

"Belum banyak yang tahu produk songket kami. Sudah bagus sebenarnya, tapi belum ada sentra yang terkenal agar masyarakat tahu bila ingin beli. Tak seperti Cibaduyut, misalnya. Orang kalau ditanya, 'beli sepatu dimana?' kemungkinan besar akan dijawab 'Cibaduyut', karena tempat itu sudah jadi sentra perdagangan terkenal. Nah, kalau di tempat kami belum ada itu," kata Angga menerangkan.

Tak berhenti sampai disitu, para perajin di Desa Dayah Daboh juga terbentur masalah alat produksi, sehingga tidak bisa optimal jika harus mengekspor produk kerajinannya, sebab, belum bisa dilakukan produksi massal.

Dalam perbulannya, rata-rata produksi tenun songket yang mereka hasilkan hanya sekitar seratusan kain. Untuk itu berat rasanya jika harus mengekspor, karena permintaan bisa mencapai di atas angka 1.000 helai kain.

Disinggung mengenai pendapatan, Angga tak bisa menyebutkan angkanya secara pasti karena jumlahnya setiap bulan fluktuatif, selain itu dirinya juga belum memiliki pencatatan keuangan yang akuntabel. Namun demikian ia mengatakan, pendapatan yang ia peroleh selama mengikuti Pameran Kriyanusa 2017 sekitar diangka Rp8 juta - Rp 9 juta.

"Ikut pameran ini tujuan utamanya bukan untuk produknya laku, tapi yang penting bisa untuk promosi. Pengunjung yang datang walaupun nggak beli ya nggak apa-apa, tapi yang penting tahu dulu... Semoga orang itu akan bisa kasih tahu yang lain di luar sana," tandas Angga kemudian.[]


Telah tayang: https://akurat.co/ada-nilai-filosofi-di-songket-tanah-rencong

Kerajinan Kuningan Pati, Kalem Tapi Pasti

Memiliki sejarah panjang terkait industri kerajinan kuningan karena sudah ada sejak zaman Deandels, Juwana merupakan sebuah kota kecil di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, yang berhasil mencetak cukup banyak perajin logam aloy mencereng.

Tercatat, setidaknya terdapat 220 buah industri kerajinan kuningan setara UKM berijin dengan jumlah perajin mencapai lebih dari 5.000 orang pekerja.

Dari ratusan industri kuningan yang ada, tampak berbinar malu-malu Krisna Brass Handicraft mengisi salah satu stand dalam Pameran Kriyanusa 2017 yang digelar selama tiga hari di Jakarta Convention Center, akhir pekan lalu.

Meski tampak malu-malu, tapi siapa dinyana produk kerajinan kuningan Krisna Brass Handicraft telah melanglang buana hingga jauh ke pasar Eropa.

"Iya... Produk kita ini kuningan asli Pati... sudah dijual... ke Jepang... Belanda... Belgia juga..." tutur Anna Maria, selaku perajin sekaligus pemilik Krisna Brass Handicraft dengan tempo dan intonasi suara yang teramat perlahan hingga nyaris tak tertangkap telinga.

Produk-produk kerajinan kuningan Krisna Brass Handicraft umumnya yakni aksesoris furnitur seperti pajangan dinding dan meja, dekorasi lampu, patung-patung, figura dan sebagainya.

Dalam menjalankan usaha kerajinan kuningannya, Anna telah membuka lapangan pekerjaan bagi 150 perajin.

"Perajinnya... kurang lebih 150 orang..." imbuhnya masih dengan tempo dan nada yang rendah.

Terkait pendapatan penjualan dari produk kuningan Krisna Brass Handicraft, wanita paruh baya itu mengatakan tak bisa mengungkapkannya untuk saat ini. Yang jelas usaha kerajinan kuningan memiliki prospek cukup bagus.

Disinggung mengenai peran pemerintah dalam mendorong produksi kerajinan Kuningan di Pati, Anna merasa sejauh ini kepedulian pemerintah sudah cukup baik. Hal itu terlihat dalam bentuk bantuan promosi-promosi melalui pameran yang sering digelar di berbagai daerah di Indonesia.

Kendati demikian, masih ada beberapa pekerjaan rumah bagi pemerintah pusat yang harus dibenahi sesegera mungkin, yakni terkait penyediaan bahan baku.

"Sebagian sudah ada yang dibantu pemerintah... Semoga kedepannya lebih baik, soalnya anu... Suka sulit dapet bahan bakunya... Sudah mahal, nek' kadang barangnya itu juga ndak ada, karena kemungkinan banyak yang diekspor jadi yang di sini jadi habis," kata Anna penuh harap.[]

Telah tayang: https://akurat.co/kerajinan-kuningan-pati-kalem-tapi-pasti

Lamops, Kemilau Kulit Kerang Mutiara dari Lombok

Bermimpilah, lalu bangun dan wujudkan mimpi itu. Karena Tuhan akan menjawab setiap mimpi yang kau genggam kuat-kuat, dengan doa dan usaha. Seorang pria asal Lombok, Efdalius Ruswandi sudah membuktikannya.

Bagaimana kekuatan mimpi mampu mengantarkannya menuju puncak piramida teratas, dan akhirnya kini lelaki paruh baya itu bisa menikmati semua jerih yang pernah ia lalui.

Bermula dari mimpinya untuk menyetarakan kerajinan kulit kerang mutiara agar mampu setara dengan kerajinan lain seperti kain tenun yang mendunia, jatuh bangun pun ia tak peduli. Bersama Anita sang istri, Efdalius selalu kembali berdiri meski harus jatuh berkali-kali.

Dan waktulah yang menjawab, kini satu produk kerajinan kulit kerang mutiara yang dibuatnya bisa memiliki harga jual hingga mencapai jutaan rupiah.

Melalui kerajinan kulit kerang mutiara itu juga dirinya sempat melanglang buana ke berbagai negara dan bebebera benua di belahan bumi seberang, Timur Tengah, Amerika serta Eropa.

"Kalau lewat pameran kita sudah ke Belanda, terakhir di Guangzhou. Di Timur Tengah juga sudah, di Dubai, kalau sama Pemda sudah sering dibawa keluar negeri, kemana-mana ya, ke Korea, ke Malaysia, dan lainnya," ujar Efdalius saat ditemui Akurat.co dalam perhelatan Pameran Kriyanusa 2017 di JCC Jakarta.

Efdalius menerangkan secara singkat, bahwa produknya merupakan kerajinan khas asal Lombok, Nusa Tenggara Barat, dimana dalam proses produksi, semua bahan baku utamanya didapatkan langsung dari pantai-pantai di sana, yang memang berlimpah limbah kulit kerang.

Kulit kerang beserta mutiara tersebut dipadupadankan dengan perak, lalu dibentuk menjadi berbagai aksesoris perhiasan, pajangan, juga cinderamata yang memiliki citra seni ekslusif nan mewah.

"Produk yang kita kerjakan ini memang fokus pada kulit kerang mutiara. Mutiaranya itu cuma pelengkap, terus kita ikat pakai perak. Jenis perak 925, perak asli dari Lombok juga," jelasnya.

Dalam menjalani usaha kerajinan kulit kerang mutiara tersebut, Efdalius sudah mengibarkan bendera sendiri dan secara resmi terdaftar di Kementerian dengan nama Lamops.

Untuk melanggengkan usaha yang mulai dirintisnya sejak tahun 2001 itu, Efdalius dibantu oleh 18 pekerja dimana sebelum benar-benar bekerja, para calon perajin ia latih dan dibina secara personal dalam rentang waktu selama 6 bulan.

"Kita punya 18 pegawai, jadi untuk buat kulit kerang yang ada sekitar 6 orang, sisanya pengrajin peraknya," imbuhnya.

Untuk pemasaran, meski sempat merambah pasar global seperti Amerika dan Jepang, namun kini produk kerajinan kulit kerang mutiara Lamops hanya mengkhususkan diri untuk bermain di pasar lokal.

Efdalius merasa kewalahan jika harus memenuhi permintaan pasar global, mengingat produk kerajinannya tersebut memang merupakan kerajinan handmade yang tak bisa diproduksi secara massal menggunakan alat pabrikan.

"Ini kan barang-barang ekslusif ya, artinya, dalam produksi benar-benar harus memperhatikan mutu ukiran, yang buat juga harus perajin yang telaten dan peduli detail. Jadi harus benar-benar berkualitas," terang Efdalius.

Terkait segmen pasar, ia menuturkan awalnya memang hanya ingin menyasar masyarakat menengah atas, namun belakangan ini Efdalius mulai mencoba-coba bagaimana agar produknya juga bisa menyentuh masyarakat yang lebih luas.

"Untuk tahap pertama, kita memang masih main di segmen menengah ke atas. Tapi sekarang kita lagi coba jajaki pada line kedua, yang menyasar menengah ke bawah juga," katanya.

Adapun untuk harga, kerajinan kulit kerang mutiara Lamops terbagi menjadi dua kategori besar. Produk yang menyasar kelas menengah atas berada diharga kisaran Rp1 juta-Rp7 juta ke atas. Sementara produk yang ditujukan untuk masyarakat luas dibandrol dengan harga Rp500.000 kebawah.

Harga yang terbilang cukup pantas, mengingat produk kerajinan kulit kerang mutiara Lamops sudah menorehkan beragam prestasi di berbagai kompetisi kriya, baik di dalam maupun luar negeri.

"Tahun 2014 kita dapat penghargaan Dekranas Award, sebagai 10 desain terbaik, terus di festival-festival di Indonesia dan di luar kita juga beberapa kali menang, di Smesco Mutu Manikam juga dapat. Ummm... Sudah ada 12 penghargaan nasional kita dapat sampai saat ini," tutup Efdalius sembari sumringah. []


Telah tayang: https://akurat.co/lamops-kemilau-kulit-kerang-mutiara-dari-lombok

Kain Ulos Tapanuli Ingin Jadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri

Bukan tanpa alasan kenapa seorang wanita muda dari pelosok daerah rela terbang menyebrangi lautan menuju ibu kota. Maria Sinaga melakukannya dengan menggenggam misi mulia, ingin memperkenalkan salah satu produk kearifan lokal daerahnya pada masyarakat yang lebih luas, kain ulos Tapanuli Utara.

"Kita bawa produk utama kami tenun ulos. Jenisnya kain dan selendang, ada juga yang untuk bahan baku, terus sekarang kita bikin yang sudah langsung jadi pakaian," ujarnya saat ditemui pada Pameran Kriyanusa 2017 di Jakarta.

Guna bisa lebih diterima orang banyak, dirinya sengaja membawa serta beberapa contoh produk pakaian jadi yang bisa segera dikenakan tanpa harus melalui proses menjahit lagi. Benar-benar bisa langsung dipakai setelah dibeli.

"Orang sekarang kan sudah nggak mau ribet, jadi kita sudah bikin bentuk baju. Kelebihan lain, sekarang kita sudah bisa bikin kain yang nggak luntur, bahannya juga sudah lembut, sudah beda dari yang dulu bahannya kasar. Sekarang kita juga sudah pakai benang katun yang halus, bahannya pun jadi lembut, otomatis pas dipakai lebih nyaman," terang Maria.

Perajin ulos asal Tapanuli, Sumatera Utara itu menuturkan, tak hanya menjadi lebih terasa nyaman saat dikenakan, dalam proses penenunan ulos Tapanuli, para perajin di daerah juga menggunakan pewarna benang yang alami. Sehingga, semakin meningkatkan nilai eksklusif produk.

"Apalagi sekarang kita sudah punya produk unggulan, yakni menghasilkan benang yang memakai pewarna alami, dari tumbuh-tumbuhan, jadi nilainya lebih tinggi," dengan bungah dia berujar.

Pada proses pembuatan, Maria beserta perajin tenun ulos lainnya biasa mengerjakan paling cepat dua hari untuk sehelai kain yang ukurannya relatif kecil dan dengan motif sederhana. Sedangkan untuk motif-motif tertentu yang jauh lebih rumit biasanya memakan waktu sebulan hingga satu setengah bulan lamanya.

"Kenapa kok lama?" tanya Maria retoris.

Sebab pada proses pewarnaan benang yang alami tadi para perajin masih mengandalkan sinar matahari yang tidak bisa diatur-atur suhu panasnya, sehingga bisa memakan waktu nyaris sebulan hanya untuk pewarnaan.

Lebih lanjut Maria bertutur, saat ini produk ulosnya memang baru menjamah pasar lokal, namun bukan berarti tawaran untuk mengekspor tidak pernah bertandang. Sebab, sempat beberapa kali ada perusahaan eksportir yang menawarkan kerja sama untuk bisa mengirim kain ulosnya ke luar negeri, namun belum bisa dipenuhi lantaran terbentur masalah jumlah produksi.

Disinggung mengenai peran pemerintah dalam mendukung kerajinan kain ulos di Tapanuli, Maria berpendapat program-program Pemda dirasa sudah cukup berpihak dan peduli pada nasib para perajin di daerahnya.

"Peran pemerintah daerah sangat kita rasakan. Pemerintah Tapanuli Utara memang sangat mendukung, kami, penenun yang selama ini menjual hasil tenunan ke tengkulak, kan itu hanya nguntungin tengkulak, nah, sekarang itu ditampung hasil kerajinan perajin, jadi mereka jadi lebih makmur. Meningkat kesejahteraannya," katanya.

Ia melanjutkan, Dekranas daerah Tapanuli Utara amat membantu para perajin, tak hanya perajin tenun tapi juga perajin anyaman, camilan dan yang lainnya, karena mampu menjadi satu wadah dimana semua perajin itu dirangkul dan dikumpulkan menjadi keluarga besar yang bisa saling bersinergi antara satu dengan yang lain.

"Event ini salah satunya, kita semua sama-sama membawa hasil-hasil dari semua perajin Tapanuli Utara," pungkasnya.

Ditanya soal omzet penjualan kain ulos Tapanuli, Maria mengungkapkan, dalam sebulan rata-rata rupiah yang diraupnya bisa mencapai angka Rp15 juta.

Sementara, untuk pendapatan yang diperolehnya khusus pada saat mengikuti Pameran Kriyanusa 2017, setidaknya ia bisa mengantongi uang Rp500.000 setiap harinya selama pameran. Ia menekankan, tak memasang target angka. Dirinya lebih berharap produk ulosnya bisa lebih dikenal masyarakat Indonesia dengan mengikuti ajang pameran tahunan tersebut.

"Tapi bukan itu tujuan utamanya. Kita kesini untuk memperkenalkan kearifan lokal dari daerah Tapanuli Utara. Kalau barangnya laku, ya syukur," ujarnya seraya tersenyum simpul.[]




Telah tayang: https://akurat.co/kain-ulos-tapanuli-ingin-jadi-tuan-rumah-di-negeri-sendiri


Kamis, 10 Juni 2021

Kopi Cimbang Sinabung, Berkah di Balik Bencana Erupsi Gunung









Hitam dan pahit. Begitulah warna dan rasa alami yang selalu menyertai pada hampir semua biji kopi yang dimiliki oleh tanah Nusantara ini. Tak terkecuali Kopi Cimbang Sinabung yang merupakan kopi hasil produksi dari desa Cimbang, Ujung Payung, Karo, Sumatera Utara.

Meski hitam dan pahit, siapa nyana kopi mampu menghadirkan kenikmatan tersendiri bagi mereka yang tahu bagaimana cara mengolahnya. Pun begitu juga dengan Kopi Cimbang Sinabung yang notebene merupakan salah satu produk kopi dari sebuah dusun yang sempat terkena dampak dari bencana erupsi gunung Sinabung pada 2013.

Sehitam dan sepahit kopi, warga Cimbang sempat harus diungsikan demi menghindari bencana letusan gunung api tersebut. Dan, sekembalinya dari tanah pengungsian ke kampung halaman, tak pelak mereka kehilangan tanah hunian dan pertanian.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, bagaimana pun hidup harus terus dijalani. Di atas sisa-sisa abu vulkanik yang masih mengendap, warga Cimbang dengan didampingi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Food and Agriculture Organization (FAOakhirnya berupaya mengelola pohon-pohon kopi, sebab hanya tanaman tersebutlah satu-satunya flora yang mampu tegak berdiri dan bertahan dari gempuran letusan gunung api yang sudah ada sejak zaman prasejarah itu.

Salah seorang petani, Imam Syukri Syah menuturkan, setelah bencana yang dialami, warga Cimbang kini mulai bangkit dengan menjual hasil olahan kopi. Melalui program pemulihan pasca bencana, BNPB dan FAO melakukan pendampingan kepada para petani untuk bisa mengolah biji kopi dari proses pemetikan hingga mencapai bentuk kemasan. Hal tersebut dilakukan agar kopi Cimbang memiliki nilai jual yang tinggi dan mampu memberi keuntungan yang lebih bagi petani.

"Produk kopi kami, kalau diproses, ada natural, ada honey, semi wash, dan full wash," ujarnya saat ditemui dalam pagelaran Pasar Kopi yang diselenggarakan oleh Sco-pi di PIK, Jakarta, akhir pekan lalu.

Untuk varietas, kata Imam melanjutkan, kopi Cimbang Sinabung merupakan jenis kopi dari turunan varietas arabica seperti Bourbon P88, Natural, Typica, Gesha serta yang lainnya.

Petani kopi yang berdomisili di Radius 8 kilometer dari puncak Sinabung itu menjelaskan, keunikan kopi Cimbang Sinabung dibanding dengan produk kopi lainnya tak terlepas dari abu vulkanik yang kerap datang ke lahan-lahan kebun kopi petani sehingga membuat biji-biji kopi Cimbang memiliki cita rasa yang khas.

"Kami punya keunikan tersendiri, yaitu di volcano coffe, karena kami kan, masih bisa dikategorikan hampir ke gunung api, nah, pada saat masa proses, pembudidayaan (masa tanam), sering kedatangan tamu abu vulkanik, dari situ keasaman kopi jadi punya cita rasa tersendiri, dimana rasa fruit si kopi jadi lebih menonjol sekali, jadi abu vulkanik itu justru yang bikin kopi ini unik secara alami," terang Imam.

Selanjutnya ia menerangkan, untuk rata-rata produksi perhektar kebun kopi bisa menghasilkan biji kopi sebanyak 4,2 ton dalam setahun. Dan saat ini kelompok tani yang tergabung dalam program tersebut memiliki perkebunan seluas 15,5 hektar.

Terkait pemasaran, Imam menuturkan pihaknya dibantu juga oleh BNPB melalui beberapa upaya, salah satunya dengan pameran-pameran terkait kopi yang di selenggarakan di seluruh Indonesia.

"Dalam BNPB ada namanya pasca pemasaran, jadi kelompok pemasarannya sudah ada, mereka nanti juga membantu bagaimana pemasarannya, contohnya seperti acara ini (Pasar Kopi Sco-pi), besok ada pameran di Bali, di Lampung, besok lagi di Jogja," tuturnya.

Pada kesempatan itu Imam berharap, kedepannya Pemerintah bisa lebih serius pada tanaman kopi, sebab tak bisa dipungkiri kopi merupakan salah satu komoditi yang dimiliki bangsa ini dan punya potensi besar.

Menurutnya, saat ini kopi belum digarap secara maksimal padahala kekayaan varietas kopi di Indonesia bisa mendatangkan devisa bagi negara.

"Sejauh ini pemerintah masih memandang sebelah mata pada kopi, jadi harapan saya secara pribadi, Pemerintah itu harus lebih serius lagi kepada petani kopi," tandas Imam kemudian. []



Telah tayang: 

https://akurat.co/kopi-cimbang-sinabung-berkah-di-balik-bencana-erupsi-gunung

Kopi Dogiyai, Primadona Papua yang Terlupa


Turut meramaikan pameran Jakarta Coffe Week yang diinisiasi oleh Sco-pi, "Kopi Dogiyai" asal Desa Pautadi, Kamuu Utara, Dogiyai, Papua, merupakan salah satu primadona minuman berkafein yang dinanti-nanti para pencinta kopi di Nusantara.

Hanok Krison salah seorang petani kopi menuturkan, kopi Papua khususnya kopi dari daerah Dogiyai memiliki keunikan sebab ditanam di atas ketinggian 2.000 meter dari permukaan laut sehingga sulit ditemukan di daerah lain.

"Kopi ini kita dapat dari petani kopi yang menanam di atas ketinggian 1.800 meter sampai lebih dari 2.000 meter di atas permukaan laut, sehingga kopi ini ya pasti berbeda ya, kalau di Indonesia ini, cari kopi di atas 2000an sulit dapat. Tapi di Papua bisa," katanya saat ditemui di Jakarta, akhir pekan lalu.

Hanok menambahkan, kelebihan lain dari kopi Dogiyai yakni karena usia pohonnya yang tak bisa lagi terbilang muda, mengingat sudah ditanam sejak masa kolonial Belanda melalui para misionaris yang berhuni di tanah Papua kala itu.

"Kita tahu ya, kopi ini, semakin berumur kan semakin menghasilkan kopi yang berkualitas," tambahnya.

Tak cukup sampai disitu, sedikitnya jumlah produksi yang dihasilkan, membuat kopi Dogiyai semakin banyak dicari oleh orang-orang terlebih bagi para pencinta kopi.

Hanok mengungkapkan, meski saat ini tidak sepopuler kopi Wamena, namun kopi Dogiyai pernah mengalami masa kejayaannya pada era 90an, dimana kala itu para misionaris mampu melakukan produksi secara besar-besaran hingga bisa melakukan ekspor ke Eropa.

"Karena waktu itu ada pasarnya, kemudian sejak ada kebijakan nasional bahwa para misionaris harus keluar dari Papua, sejak saat itu pasarnya sudah tidak ada, nah, sejak 98 sampai 2000an sudah tak ada itu pasarnya," terangnya.

Kehilangan pangsa pasar membuat para petani pun akhirnya terpaksa memutuskan menebang pohon-pohon kopi mereka dan beralih menanam umbi-umbian guna bisa memenuhi urusan perut yang menuntut untuk diisi.

Oleh karenanya, lanjut Hanok, tak mengherankan bila alih fungsi lahan tadi berimbas pada produksi kopi Dogiyai mengalami penurunan tajam dan kini menjadi hal sangat memprihatikan.

Saat ini rata-rata produksi kopi Dogiyai dalam pertahun dengan dua kali musim panen, hanya bisa menghasilkan sekitar 50 ton biji kopi.

Terkait peran pemerintah melihat hal itu, menurut Hanok, ditingkat gubernur sudah cukup baik, hal itu ditandai dari gerakan pembedayaan petani kopi yang diinisiasi oleh gubernur, namun demikian secara pelaksanaan tidak mendapat sokongan dari pemerintah kabupaten sehingga dirasa kurang masif dalam mendongkrak produksi kopi Dogiyai.

"Program pemberdayaan petani kopi sudah ada tiga tahunan ini, hanya saja gerakan ini tidak bisa jadi besar karena tidak dijemput oleh pemerintah kabupaten, kepala-kepala dinas di kabupatennya," terangnya.

Hanok berharap di masa mendatang Program Pemberdayaan Petani Kopi bisa di dukung oleh pemkab selaku ujung tombak dan pembuat kebijakan, salah satunya dengan meregulasi program itu di daerah melalui perda-perda yang mengarah pada upaya menggenjot produksi kopi Dogiyai.

Selanjutnya ia berpendapat, Program Dana Desa dari Pemerintahan Jokowi sebenarnya bisa menjadi angin segar yang membawa harapan untuk dapat mengembalikan masa kejayaannya kopi Dogiyai, andai sebagian dana tersebut dianggarkan untuk sektor komoditi kopi.

"Program Jokowi ini baik, dana desa, hampir satu miliar untuk satu desa, kalau misalnya disisihkan 30 persen aja itu untuk kopi saya rasa bisa (mendorong produksi kopi)," tuturnya.

Namun begitu, penyaluran anggaran tersebut nanti juga perlu regulasi dan kebijakan yang betul-betul mampu mengarahkan para petani agar bisa produktif menghasilkan kopi.

"Kalau tidak ada kebijakan dana hanya untuk bisa beli-beli yang lain, beli-beli ternak dan sebagainya, padahal kalau kopi ini bisa kita katakan bisa jadi emas hijau, karena sifatnya bisa disimpan," jelas Hanok.

Ia menambahkan, "Kopi Papua ini kan sangat diinginkan oleh pasar, pasar global, tapi kalau produsi kuantitasnya saja tidak bisa dipenuhi mana bisa pasar global masuk, di pasar nasional aja ngga bisa dipenuhi, apalagi pasar global," tukas Hanok.

Ia optimis jika produksi kopi bisa digenjot maka akan meningkatkan pendapatan perkapita daerah. Sebab di Papua sendiri masih banyak hutan dan lahan kosong yang bisa dimanfaatkan apabila ditanami tanaman produktif seperti kopi.

"Pendapatan perkapita Masyarakat bisa naik, kita bisa mengatakan 20 juta, asumsikan 1 pohon bisa mengahasilkan 50 ribu kali 200 pohon, satu musim saja bisa menghasilkan 10 juta, kali 2, nah 20 juta, jadi tidak ada yang miskin di Papua, itu baru hanya dengan kopi saja, belum uranium, emas, itu sudah cukup dengan kopi saja kalau mau serius," tandas Manok kemudian. []



Telah tayang: 

https://akurat.co/kopi-dogiyai-primadona-papua-yang-terlupa

Diekspor Hingga Eropa, Kopi Magelang Samar Terdengar di Tanah Air



Java Volcano Coffe, mendengar namanya barangkali membuat orang akan langsung bisa menerka bahwa kopi tersebut merupakan produk kopi yang memiliki keterkaitan dengan gunung api.

Ya, bukan tanpa alasan kenapa Java Volcano coffe dinamakan demikian, sebab produk kopi yang berasal dari Magelang, Jawa Tengah, itu memiliki keunikan karena ditanam di wilayah yang dikelilingi jajaran gunung api yakni Merapi, Merbabu, Sindoro dan Sumbing.

"Karena tumbuh di wilayah gunung api, rasa kopinya tentu jadi berbeda dengan kopi lain, kalau yang robusta dia rasanya jadi lebih nutty... Kalau yang arabicanya juga rasanya jadi lebih fruit. Ada juga sebagian kopi di daerah Magelang yang rasanya lebih ke cokelat," ujar Fauzan Hasnan, salah seorang petani kopi saat mengikuti pameran Jakarta Coffe Week akhir pekan lalu.

Pemuda asli Magelang itu menuturkan, dalam penjualan Java volcano coffe, para petani kopi di Magelang belum bisa mandiri sehingga harus melakukan kerja sama dengan perusahaan eksportir.

Menurutnya, kerja sama tersebut seperti alegori mata uang yang memiliki dua sisi berbeda dan saling bertolak belakang, di satu sisi bisa menguntungkan para petani dalam menjual hasil kopinya, tapi di sisi lain juga merugikan karena kopi asal Magelang menjadi tidak dikenal oleh banyak orang, sebab biasanya dalam proses pengemasan brand yang digunakan memakai merek dari daerah lain.

"Kopi Magelang ini kan namanya belum terkenal, kebanyakan kopi dari sini diambil oleh daerah-daerah yang terkenal kopinya yang membutuhkan kuota kopi lebih banyak. Jadi kopi-kopi Magelang diangkut ke daerah-daerah lain, diakui oleh daerah itu untuk memenuhi kuota. Kasihan petani aslinya," ungkap Fauzan.

Pemuda dua puluh tahunan itu merasa prihatin dengan realita tersebut, karena sebenarnya kualitas kopi Magelang tak bisa dipandang sebelah mata. Hal itu terbukti saat kopi Magelang sudah diekspor hingga ke China, Korea dan Eropa namun ironisnya menggunakan merek dari daerah lain.

Kendati demikian ia mengakui, peran Pemerintah sejauh ini sudah dirasa cukup. Diantara langkah-langkah pemerintah daerah yang sudah dapat dirasakan petani lokal yakni adalah dengan penyediaan sarana dan prasarana untuk mengolah kopi.
Selain itu juga ada perusahaan kopi yang kerap kali memberi penyuluhan kepada para petani.

"Kalau peran pemerintah cukuplah yah, diantaranya yakni dengan memberi bantuan seperti penyediaan mesin proses untuk percontohan, terus juga ada perusahan besar datang ke tempat kami mengedukasi. Jadi kami sebagai petani jadi ada tambahan wawasan gitu," tuturnya.

Fauzan mengungkapkan, dalam menyuplai kopi ke Perusahaan Ekspor tersebut pihaknya melakukan dengan dua cara, pertama rutin dilakukan sebulan sekali yakni rata-rata berkisar di angka 2 ton, sementara untuk pengiriman persemester bisa mencapai 5 ton. Salah satu perusahaan yang menampung hasil produksi kopi petani Magelang saat ini yakni PT Cita Kopi.

Pada kesempatan itu dirinya berharap kopi Magelang dengan merek dagang Java Volcano bisa mandiri di masa mendatang dan dapat dikenal oleh banyak orang, baik di pasar lokal maupun global.

"Ya, misi kita tentunya pertama bagaimana bisa di akui di lokal, selanjutnya bisa di akui di internasional," tutup Fauzan penuh harap. []



Telah tayang: 

https://akurat.co/diekspor-hingga-eropa-kopi-magelang-samar-terdengar-di-tanah-air

Kopi Arabica dari Kaki Gunung Kerinci



Tak mau melewatkan kesempatan untuk bisa memperkenalkan kopi yang berasal dari daerahnya, membuat Azis rela terbang jauh-jauh dari Jambi menuju Jakarta agar bisa mengikuti parhelatan Jakarta Coffe Week, yang diselenggarakan selama tanggal 8 hingga 10 September 2017 di Pantai Indah Kapuk, Jakarta.

Azis mengatakan, dalam pameran yang diinisiasi oleh Sco-pi itu, dirinya sengaja membawa Arabica Kerinci yang berasal kaki gunung Kerinci tepatnya di desa Jernih Jaya, kecamatan Gunung Tujuh, Kerinci, Jambi sebagai produk unggulannya.

Ditanya mengenai kelebihan Kopi Kerinci Jambi, pemuda sawo matang itu diplomatis menjawab, bahwa setiap kopi dari daerah mana pun pada dasarnya memiliki ciri khasnya sendiri-sendiri sehingga tidak bisa dibanding-bandingkan.

"Setiap daerah kan punya ciri khas masing-masing, jadi kopi itu tidak punya saingan dari daerah lain, kopi Kerinci ya kopi Kerinci, tergantung selera orangnya masing-masing," ujarnya dengan simpul senyum yang menyembul.

Ia menuturkan, karena produk kopinya tersebut masih tergolong baru, sehingga pangsa pasarnya pun masih di lingkup lokal dan menyasar daerah-daerah sekitar.

"Kopi kami baru menyasar kafe-kafe di daerah ya... umm... di Jakarta, Surabaya, Jogja," imbuhnya.

Untuk bentuk usaha, Azis mengatakan Arabica Kerinci merupakan bagian dari Koperasi Serba Usaha (KSU) Koerintji Barokah Bersama, Propinsi Jambi.

Adapun terkait jumlah produksi, dalam perbulan pihaknya bisa menghasilkan produk kopi sekitar satu ton.

Fauzan mengungkapkan, tantangan terbesar yang dihadapinya saat ini adalah persoalan nama kopi Arabica Jambi yang belum cukup populer sehingga perlu menggencarkan promosii. Oleh sebab itu, pihaknya selalu berupaya agar selalu bisa terlibat bila ada acara atau pameran seperti yang diadakan oleh Sco-pi.

Sementara disinggung mengenai peran pemerintah, ia mengakui bahwa Pemerintah Daerah sudah dirasa cukup berperan dalam upaya mendongkrak produk kopi di Jambi.

"Pemerintah cukup mendorong, karena bisa dibilang 80 persen sampai 90 alat itu dari pemerintah, dan itu dihibahkan," ujarnya.

Pada kesempatan itu ia juga berharap bahwa pemerintah daerah dapat terus berkomitmen membantu menyokong petani, khususnya petani kopi secara berkelanjutan sebab potensi kopi di Nusantara sangat prospektif dan dapat mengangkat perekonomian Masyarakat di daerahnya. []



Telah tayang: 

https://akurat.co/kopi-arabica-dari-kaki-gunung-kerinci

Ada Aroma Lemon di Kopi Arabica Bajawa Flores



Pagelaran Jakarta Coffee Week yang diselenggarakan oleh Sco-pi akhir pekan lalu nyatanya memiliki magnet tersendiri dan mampu menarik respon positif dari masyarakat.

Hal tersebut ditandai dari turut sertanya berbagai perwakilan koperasi, petani, pengusaha hingga para pencinta kopi dari banyak daerah di seluruh Indonesia. Salah satu perwakilan kopi dari daerah yang turut meramaikan ajang tahunan itu yakni kopi asal Flores, Arabica Flores Bajawa.

Ketua Koperasi Primer Kagho Masa, dari Desa Radabata, Golewa, Ngada, Flores NTT Marselina Walu mengatakan, pihaknya sengaja membawa dua produk unggulan mereka yakni, Kopi Arabica Flores Bajawa dan Arabica Flores Manggarai sebagai upaya dalam mempromosikan kedua komiditi khas Flores tersebut.

"Keunikan dari kopi Flores ini punya aroma dan rasa herbal yang tinggi, lebih ke aroma flora. Kalau Flores Manggarai lebih ke bumbu-bumbuan dan madu, kalau Bajawa ada ke lemon, (rasa) madunya juga dapat," kata Marselina. 

Tak hanya itu, Marselina juga menuturkan, selama masa tanam, kopi Flores juga tidak menggunakan pupuk-pupuk kimia. Sementara pada proses dari kebun sampai pengolahan pihaknya nyaris tidak menggunakan mesin karena dilakukan secara alami dan manual.

"Artinya minim, kalau yang pakai mesin cuma proses grinder biji, tapi yang kita bawa kesini manual, kita tumbuk pakai lesung itu kopi," jelasnya.

Terkait pemasaran, selama ini dalam menjual kopi Flores pihaknya menggandeng PT Indokom Persada. Dimana kopi yang masih berupa HS basa, yaitu ceri kopi yang memiliki kadar air sekitar 25 hingga 30 persen akan di serahkan pada perusahaan yang sudah berkolaborasi dengan para petani kopi Flores sejak tahun 2015 itu.

"Kalau untuk green been kami sudah sampai ke Australia. Bekerja sama dengan Mountain Top Coffee," imbuhnya.

Tak hanya Australia, pada tahun lalu Arabica Flores Bajawa juga sempat di kirim untuk dijual sekaligus guna mengikuti ajang kompetisi kopi dunia di Amerika, dan terpilih menjadi kopi terbaik ke 13 dari 80 kopi yang berasal dari Indonesia.

Sementara untuk pasar lokal, Marselina mengatakan, produk kopi Flores sudah tersebar di hampir seluruh kafe-kafe di Indonesia, yakni dari Medan sampai Bali.

Iya menjelaskan kendati menjual melalui PT Indokom Persada, namun merek kopi Green Bean Coffee Arabica Flores Bajawa tidak hilang.

"Kita sudah terdaftar di kementerian Hukum dan HAM, jadi walaupun eksportirnya dari PT Indokom, tetap bawa nama Green Bean Coffee Bajawa." Terang Marselina.

Ia menjelaskan bahwa Arabica Flores Bajawa terhimpun dalam koperasi sekunder, dimana koperasi sekunder adalah bagian dari koperasi premier yang terdiri dari 5 kelompok koperasi. Tersebar di tiga kecamatan, total anggota dari 5 koperasi itu mencapai sekitar 1800an petani.

Terkait omzet, total pemasukan dari koperasi kopi di Flores itu pada tahun 2016 mencapai Rp 9 miliar, namun sayang, disebabkan faktor alam pada 2017 penjualan mengalami penurunan menjadi Rp 7 miliar.

Disinggung mengenai peran pemerintah sejauh ini, Marselina mengakui sudah cukup baik dalam menggandeng petani-petani lokal.

"Peran pemerintah sudah oke, kerjasama dan kolaborasinya dengan masyarakat, dengan perusahaan-perusahaan sudah oke. Tapi ada hal yang mungkin perlu dievaluasi yakni terkait subsidi pupuk dan bibit yang diberikan ke petani," tuturnya.

Ia menyarankan kepada pemerintah, sebelum membagikan pupuk dan bibit kepada masyarakat, ada baiknya melakukan verifikasi terlebih dulu terkait cocok tidaknya bibit tersebut dengan kondisi lahan di daerahnya.

"Bibit ini harus dilihat dulu apa cocok dengan kondisi tanah, ketinggian dan sebagainya. Jangan sampai asal subsidi sebab nanti dalam jangka panjang justru akan merusak, satu dua tahun kemudian mati itu dia tanaman karena kering. Mungkin tanah itu memang tidak cocok sama bibit (pemberian Pemerintah), Contohnya, sebenarnya tanah kami cocoknya untuk kopi, jadi tak perlu lah itu program holtikultura di sana, jika tanah sudah cocok dengan kopi ya sudah tidak perlu tanaman holtikultura, masyarakat jadi bingung," tandas Marselina.

Ia menambahkan, "Lalu soal pupuk, kalau tanah asal kita kan sebenarnya cukup pakai pupuk alami, nah, kalau pupuk subsidi itu ada unsur kimia, bisa rusak itu nanti tanah lama-lama,"

Tak cukup sampai disitu, Marselina juga merekomendasikan, jika memang mau terus mensubsidi pupuk, pemerintah harus memastikan masyarakat tahu cara mengaplikasikannya dengan benar.

"Itu, saat pupuk subsidi itu datang, PPL-PPL yang didatangkan pemerintah harusnya memberi penyuluhan atau briefing kepada petani bagaimana cara mengaplikasikan pupuk itu dengan benar," tegasnya.

Lebih lanjut Marselina juga menuturkan ketidaksepakatannya dengan program bantuan tunai yang diberikan pemerintah. sebab, menurutnya program tersebut dirasa tidak efektif dan justru membuat masyarakat menjadi tidak produktif.

"Itu uang hibah, artinya kan perasaan memiliki tidak ada, habis itu uang untuk konsumtif, tidak untuk pengembangan," pungkasnya kemudian. []



Telah tayang: 

https://akurat.co/ada-aroma-lemon-di-kopi-arabica-bajawa-flores



Kopi Bali Kintamani Ingin Berdiri di Atas kaki Sendiri



Tak ingin melewatkan undangan dari Sco-pi yang memintanya agar bisa ikut meramaikan pagelaran Jakarta Coffee Week, pengusaha kopi asal Bali, I Wayan Warta pun tanpa berpikir dua kali langsung menyertakan produk kopi andalannya di pameran pasar kopi tahunan tersebut.

Kopi Bali Kintamani atau biasa juga dikenal oleh kalangan pencinta kopi dengan nama "Kopi Balikin", adalah kopi jenis arabica yang ditanam di dataran tinggi kintamani dengan ketinggian di atas 900 meter dari permukaan laut, membuatnya punya citarasa khas yaitu memiliki aroma citrus dengan keasaman rendah seperti lemon tea.

"Kelebihan kopi kami memiliki rasa lemon tea, selain itu ukuran biji kopinya lebih besar, untuk jenis kopi termasuk arabica. Kopi asli Bali Kintamani," ujar Wayan. 

Wayan menyebutkan, adapun kopi-kopi yang dibawa ke pameran itu ada 5 jenis cara prosesnya. Salah satu dari lima proses produksi pascapanen Kopi Balikin yakni, dimulai dari pemetikan ceri kopi yang dilakukan secara manual dan hanya dipilih ceri yang benar-benar sudah berwarna merah. Selanjutnya diolah secara basah, dengan fermentasi selama 12 sampai 36 jam. Biji kopi lalu dikeringkan secara alami dengan cara dijemur. Teknik olah itu mampu menghasilkan kopi kintamani dengan aroma khas dan tak dimiliki oleh kopi lain.

"Lima proses kopi kita bawa kesini, dari semi wash, full wash, natural, honey proces dan Pulped," singkat saja Wayan menyebutkan proses produksi kopi yang lain.

Kendati Kopi Kintamani sudah memiliki penggemarnya sendiri, namun Wayan mengungkapkan produknya itu belum punya brand yang dipatenkan.

"Belum ada merek, sejauh ini bentuk green beannya ini kami setor ke kafe-kafe, seperti Starbuck," imbuhnya.

Ia menuturkan pemberian merek pada produknya belum bisa dilakukan mengingat proses pengurusannya yang dianggap rumit dan butuh waktu lama.

Dalam sekali pengiriman kopi Bali Kintamani ke kafe-kafe, rata-rata wayan bisa mengirimkan sebanyak 100 kilogram sampai 150 kilogram dalam bentuk green bean.

"Biasanya kopi-kopi yang d kirim ke kafe-kafe dalam bentuk green bean, sebab masing-masing kafe kan, punya roaster sendiri," jelasnya.

Dalam menjalani bisnis kopi Bali Kintamaninya itu, Wayan biasa dibantu oleh 5 sampai 6 orang pekerja yang mengurusi proses grinder.

Disinggung mengenai respon pengunjung terhadap kopi Bali Kintamani yang datang ke pameran Jakarta Coffee Week, ia menuturkan masyarakat sangat positif dan antusias, hal itu terbukti dari produk kopinya tersebut yang langsung ludes terjual bahkan sejak di hari pertama. Padahal dijadwalkan pameran itu akan berlangsung selama tiga hari dari tanggal 8 hingga 10 September 2017.

"Kami baru buka stand satu hari sudah langsung habis, kami dapat jatah 30 kilo(gram), tiga hari 90 kilo(gram) berarti, dan itu langsung habis semua," kata Wayan semringah.

Pada kesempatan tersebut, bapak paruh baya itu juga menyampaikan harapannya agar di masa mendatang produk Kopi Balikin memiliki bendera sendiri, dan dapat melakukan ekspor secara mandiri tanpa harus melalui perusahaan milik orang lain.

"Untuk penjualan tidak hanya di pasar lokal, pada 2015 melalui bendera perusahaan lain kita ekspor... Tantangan kenapa ekspor tak dilakukan sendiri, karena kita belum punya bendera sendiri, prosesnya lama, Untuk menuju kesana sudah ada gambaran tapi kami belum bisa memastikan jadwal pastinya itu kapan, ya semoga bisa segera," harap Wayan kemudian. []



Telah tayang: 

https://akurat.co/kopi-bali-kintamani-ingin-berdiri-di-atas-kaki-sendiri


Beragam Kopi Toraja Mendunia, Sapan Talimbangan Hanya Salah Satunya



Seakan tak mau kalah unjuk gigi melalui kopi, Ketua Asosiasi Kopi Toraja Utara, Yedikin Kusuma dari Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan akhirnya turut bertandang meramaikan perhelatan Jakarta Coffee Week yang di gelar pada 8-10 September 2017, di Pantai Indah Kapuk, Jakarta.

"Dalam rangka mengikuti Pasar Kopi yang diadakan Sco-pi ini kami mempromosikan beberapa kopi Arabika Toraja. Yang kami bawa ini Kopi Sapan Talimbangan, ini kami proses dengan honey proces," kata lelaki paruh baya itu. 

Ia menuturkan, kendati kopi Toraja bisa ditemui diberbagai daerah di seluruh wilayah Indonesia, namun pada dasarnya setiap kopi asli Toraja tetap memiliki cita rasa sendiri-sendiri.

Menurutnya, hal tersebut tidak terlepas dari karateristik unsur hara tanah di daerah beribukota Rantepao itu yang berbeda-beda meski masih bisa dibilang bertetangga.

"Kopi Toraja itu punya khasnya masing-masing. Tentunya ini terpengaruh karakteristik unsur hara itu sendiri. Nah, di Toraja ini meski sama-sama dari Toraja, tapi antara satu desa dengan desa yang lain berbeda kopinya. Kita ada 23 gunung, ada Sopai, ada dari Rantai Karua, ada dari Maruku, ada Guntau, Manggala, ya... Banyak gunung beda-beda itu semua tanahnya," jelasnya.

Yedikin mengungkapkan, berkali-kali mengikuti ajang kompetisi kopi di tingkat nasional, Kopi Arabica Sapan Talimbangan sempat beberapa kali didapuk sebagai jawara kopi. Diantaranya yakni juara di kompetisi Surabaya dan Jakarta.

"Tak cuma itu, pada 2012 kopi ini juga pernah cetak rekor (lelang) dapat penjualan 45  dolar AS (perkilo)" kata Yedikin penuh bangga.

Terkait pemasaran, kopi Toraja Sapan Talimbangan sudah merambah berbagai pasar kopi lokal yang tersebar di Makasar, Jakarta, Surabaya, Bandung, Jakarta hingga Medan.

Sementara untuk pasar global, kopi yang sudah memiliki brand sendiri ini telah merambah pasar Singapura dan Malaysia. Dimana dalam penjualannya, Arabica Toraja Sapan Talimbangan sudah menggunakan kemasan bermerek, baik dalam bentuk green bean, roasting, maupun bubuk.

Dirinya mengakui, pencapaian yang didapat Arabica Toraja Sapan Talimbangan tentunya tak terlepas dari peran pemerintah yang gencar melakukan pembinaan kepada pihaknya dan juga sering mempromosikan kopi asli asal Toraja tersebut.

Dalam menjalani usaha kopinya, Yedikin dibantu oleh 8 orang karyawan serta dari kelompok tani di daerah Toraja Utara.

"Karyawan khusus sangrai saya, itu ada 8 orang. Sementara dalam kelompok tani ada 1563 orang yang tergabung." Jelasnya kemudian. []


Telah  tayang: https://akurat.co/beragam-kopi-toraja-mendunia-sapan-talimbangan-hanya-salah-satunya


Java Temanggung Coffee: Biarkan Kopi yang Bicara



Biarkan kopi yang bicara. Begitu jargon dari Java Temanggung Coffee dalam memasarkan produk-produk kopi andalannya, tak terkecuali saat mengikuti ajang Jakarta Coffee Week di Pantai Indah Kapuk, Jakarta.

Berpusat di desa Gesing, Kandangan, Temanggung, Jawa tengah, Java Temanggung Coffee yang tergabung dalam payung Unit Pengolahan Hasil (UPH) Rumah Kopi Gesing Kandangan, berfokus untuk mengangkat martabat para petani kopi di daerah tersebut dengan cara menghasilkan biji-biji kopi yang berkualitas.

Pengusaha sekaligus Ketua Asosiasi Petani Temanggung (APT) Rio Ricardo menuturkan, ketimbang menghasilkan kopi dalam jumlah besar namun minus mutu, pihaknya lebih tertarik untuk berupaya memproduksi kopi dengan kualitas premium meski tak seberapa besar jumlahnya.

"Produk kopi kami ada robusta dan arabica. Keunggulan kopi kami ada di-quality control-nya yang benar-benar terjaga, mulai dari budidaya kita melakukan pemilihan (biji-biji kopi yang sempurna) jadi tidak semua (hasil) petani masuk ke kita," kata Rio memulai percakapan. 

Ia menuturkan, jumlahnya petani yang tergabung dalam Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) yang dikelolanya berjumlah lebih dari 200 jiwa. Dimana pihaknya bertanggung jawab dalam menampung hasil kopi dari petani agar mereka bisa terus konsisten menghasilkan biji-biji kopi dengan mengutamakan kualitas prima dan tidak asal panen.

Tak hanya itu, langkah yang diambil dirinya juga sebagai upaya agar petani-petani di daerah Kandangan tidak merugi, akibat ulah pengepul culas yang hanya mau mencari keuntungan.

"Jadi ini koperasi untuk petani. ceri (kopi) mereka kita masukan ketempat kita, supaya konsisten dalam pengolahan pasca panennya tadi. Nah, kalau hasil panennya di olah sendiri-sendiri sama petaninya, ujung-ujungnya tidak konsisten, yang diuntungkan nanti cuma pengepul-pengepul kopi yang ada di sana, karena (dengan menjual biji kopi kualitas rendah) kesejahteraan petani tidak akan naik disitu," terang Rio kemudian.

Menurutnya, tak menjadi soal bila dalam sekali panen, kopi yang dihasilkan para petani tak terlalu berlimpah, selama mutu dari biji-biji kopi tersebut tetap terjaga, hal itu sudah cukup menggembirakan sebab layak untuk dijual.

"Jadi istilahnya, walaupun kita satu bulan cuma panenan dapat sekilo, asal pasca panennya yang berkualitas tadi kita syukurin, kita tidak memaksakan, karena kita menjaga nama baik petaninya," imbuh Rio dengan mantap.

Sebab berorientasi pada kualitas dan bukan kuantitatas membuat Java Temanggung Coffee saat ini tidak bisa melakukan ekspor ke pasar global. Karena biasanya produk kopi yang dihasilkan pihaknya hanya cukup untuk memenuhi permintaan pasar lokal.

Kendati demikian bukan berarti citra kopi asli Temanggung tersebut menjadi meredup, justru sebaliknya produk kopi premium miliknya diakui hingga ke mancanegara.

"Beberapa kali kopi temanggung mengikuti ajang kompetisi internasional. Kita sempat mengikuti kompetisi di Irlandia dan jadi juara dua. Kita juga sudah masuk ke pameran di Amerika, dibawa langsung sama gubernurnya, ini bulan depan kita bakal pameran di China juga... Selain itu juga pernah ke Itali dan Belanda," terangnya.

Pada kesempatan itu Rio juga mengungkapkan, dengan menggunakan bendera Java Temanggung Coffee, dirinya sudah mengelilingi Eropa untuk memperkenalkan kopi Indonesia, khususnya kopi asli dari Temanggung tersebut.

Disinggung mengenai proyek apa yang akan dilakukan kedepan, pria berusia 40 tahunan yang juga seorang trainer untuk Kelompok Tani di Jawa tengah itu menuturkan, dirinya sedang berupaya untuk bisa mengedukasi masyarakat tentang betapa Republik ini memiliki kopi dengan kualitas tinggi namun kurang disadari oleh "pemiliknya sendiri".

"Jadi kita mau fokus jaga produk di pascapanen yang baik, kita berikan ke masyarakat Indonesia, ya, kita tahu sendiri saat ini masyarakat Indonesia kalau minum kopi yang biasa, kopi asalan gitu, nah, kita mau edukasi ke orang Indonesia, 'ini lho... kopi Indonesia yang baik'," tutur Rio kemudian.[]



Telah tayang: https://akurat.co/java-temanggung-coffee-biarkan-kopi-yang-bicara

Varietas Kopi Nusantara di Tanah Pangalengan



Berbeda dengan produk kopi lain yang mengunggulkan varietas asli dari daerahnya masing-masing, Comanditaire Venotschap (CV) kopi asal Desa Margamulya, Pangalengan, Bandung, Jawa Barat ini justru melakukan hal sebaliknya.

Java Frinsa State (JFS) nama merek kopi "anomali" tersebut. Alih-alih menonjolkan produk asli dari daerahnya, JFS justru berfokus untuk memproduksi produk kopi dimana varietasnya berasal dari luar wilayahnya namun ditanam di tanah Pangalengan.

"Jadi varietas-varietas kopi yang ada di seluruh Indonesia ditanam di Jawa Barat. Seperti misalnya dari Sumatera; ada Sigararutang, P88, Borbor, Andungsari kan itu dari Aceh, ditanam di daerah Jawa barat, Pangalengan," jelas Desti penjaga stand kopi sekaligus salah seorang pekerja di JFS.

Dia menuturkan, karena varietas kopi itu berasal luar Jawa Barat namun saat ditanam di tanah Pangalengan, membuat biji kopi yang dihasilkan memiliki cita rasa yang unik dan tak biasa.

Boleh dibilang, kata Desti melanjutkan, justru gagasan itu yang manjadi kekuatan produk kopi Java Frinsa State tersebut.

"Jadi ketika varietasnya sama tapi kalau ditanam di tanah yang beda, rasanya akan beda. Nah, disitu itu uniknya kopi ini," imbuhnya.

Terkait pangsa pasar, Desti menjelaskan pemasaran produk kopi JFS sejauh ini masih berada dilingkup lokal. Dimana dalam memasarkan kopi, JFS juga memanfaatkannya internet seperti Website dan jejaring sosial.

Saat ini, Java Frinsa State setidaknya menyerap 20 tenaga kerja baik pekerja harian maupun borongan. Disamping itu keberadaan CV yang baru berdiri pada tahun 2011 tersebut juga telah memberdayakan sekitar 60 orang petani kopi di Pangalengan. []



Telah tayang: https://akurat.co/varietas-kopi-nusantara-di-tanah-pangalengan


Ingin Mandiri, Kopi Papandayan Cipaganti Terganjal Modal



Pegelaran Jakarta Coffee Week yang diinisiasi oleh Sco-pi benar-benar telah menjadi semacam area titik temu bagi mereka para pencinta, petani, pengusaha, asosiasi, koperasi atau sebut apapun itu karena memiliki irisan yang sama terkait kopi.

Sebagai salah satu tetangga terdekat --mengingat pameran tersebut digelar di Jakarta, membuat Desa Cipaganti, Jawa Barat seakan tak rela melewatkan ajang tahunan itu begitu saja, hingga akhirnya mengirimkan salah satu "delegasi" kopinya untuk bertandang ke perhelatan tersebut, yakni Kopi Papandayan.

Pengusaha Kopi Janjan Nugraha menuturkan, Desa Cipaganti yang tak lain adalah kampung halamannya merupakan salah satu dari dua desa yang letaknya paling dekat dengan Gunung Papandayan. Maka tak mengherankan bila biji kopi arabica yang dihasilkan dari daerah tersebut memiliki cita rasa yang khas dan tentunya berbeda dengan kopi-kopi daerah lain.

"Selain itu, kelebihan kita selama ini menggunakan pupuk organik, bisa dibilang jarang pakai pupuk kimia atau pakai pektisida," ujar Janjan.

Lelaki berusia awal 30 tahun itu mengatakan, pada pasca produksi Kopi Papandayan, pihaknya memakai tiga cara proses yakni natural, wash dan honey proces.

"Proses kita pakai natural, wash dan honey, yang honey juga terbagi jadi tiga lagi, ada yang black, red dan yelow... Untuk produk unggulan yang selama ini paling dicari adalah yang honey," imbuhnya.

Adapun soal penjualan di pasar lokal, kata Janjan melanjutkan, Kopi Papandayan sejauh ini sudah merambah pasar Bali, Jogjakarta, Jakarta, serta daerah-daerah lain seluruh Indonesia.

"Kita juga bekerjasama dengan Javanero untuk melakukan ekspor ke Singapura, Itali, sama Slandia baru," tambahnya.

Kendati dalam mengekspor produknya bekerja sama dengan perusahaan Javanero, namun merek lokal Kopi Papandayan tidak hilang karena tetap disematkan.

Disinggung mengenai jumlah produksi yang dihasilkan, ia menuturkan untuk rata-rata pengiriman produk kopi ke Javanero dalam seminggu berada dikisaran 100 kilogram sampai 200 kilogram.

Selanjutnya ia menerangkan, para petani kopi Papandayan terhimpun dalam Kelompok Tani Mukti Cipaganti, dimana pada tahap pertama sebanyak 31 petani, tahap kedua 31 petani, dan tahap ketiga yakni tahun ini bertambah lagi menjadi 8 petani, dengan demikian total petani yang tergabung dalam Kelompok taninya berjumlah 70 petani. Sementara untuk besar lahan yang digarap yakni seluas 30 hektar.

Pada kesempatan itu Janjan juga menyampaikan harapannya, bahwa kedepan ia ingin mencoba mandiri dengan membentuk perseroan sendiri sehingga bisa melakukan ekspor tanpa harus melalui perusahaan lain.

Untuk saat ini hal itu belum bisa diwujudkan karena terkendala masalah modal. Hal yang sebenarnya juga dialami oleh petani-petani lain di Cipaganti.

"Tantangan yang kerap dihadapi petani lokal, terkait permodalan. Sebenarnya bantuan dari Dinas Provinsi dan Kabupaten sudah ada untuk bisa dapat mengakses bantuan finansial dari perbankan. Tapi kerap terbentur persyaratan," imbuhnya.

Janjan melanjutkan, "Rata-rata kan minta persyaratannya anggunan, ya namanya petani agunannya kecil, selain itu juga tidak punya sertifikat. Paling-paling akte tanah. Kadang malah cuma punya kwitansi jual-beli, namanya di kampung, nah itu kendalanya," tutur dia kemudian. []


Telah tayang: https://akurat.co/ingin-mandiri-kopi-papandayan-cipaganti-terganjal-modal

Naturalnya Aroma Pisang di Kopi Argopuro



Kopi adalah tiang besar konstruksi sosial. Begitu bunyi kalimat yang tertoreh di salah satu stand dalam pagelaran Jakarta Coffee Week pada akhir pekan lalu. Sepertinya tak keliru, sebab ajang tahunan tersebut nyatanya mampu mempertemukan banyak golongan dari berbagai daerah yang meski berbeda-beda, namun memiliki satu cinta dan cita yang sama yakni berupaya mengangkat salah satu komoditi prospektif di republik ini, kopi.

Pagelaran yang tak hanya diperuntukan sebagai ajang berkompetisi unjuk kebolehan, Pameran Pasar Kopi juga sebagai media untuk bisa saling mengenal lebih dekat kopi-kopi dari segala penjuru Nusantara.

Diantara para pegiat kopi yang terlibat dalam ajang tersebut, turut hadir Ahmad Muhisin, pengusaha kopi yang tergabung dalam Kelompok Masyarakat Wali Murid Sabda Ria Nada (Pokmas Walidah) asal Desa Tlogosari, Sumbermalang, Situbondo, Jawa Timur, yang sengaja datang untuk dapat memperkenalkan produk kopi daerahnya. Argopuro Coffee.

Ahmad menuturkan, kelebihan produknya terletak pada rasa kopi yang memiliki aroma pisang, terutama dari proses natural.

"Yang proses natural kita punya karakter pisang, rasa pisang, aroma pisang, dari beberapa roaster yang pernah pakai, mereka bilang yang keluar itu aroma pisang," ujarnya.

Ia mengatakan, di Argopuro kopi sudah ditanam sejak tahun 2012, namun proses pascapanen baru dimulai sekitar dua tahun lalu. Dalam proses tanam, petani kopi Argopuro masih mengunakan pupuk organik.

"Dengan menggunakan pupuk organik masih tercukupi pemenuhan nutrisi untuk tanamannya, bahkan tanpa dipupuk sudah bisa tumbuh sebenarnya," imbuhnya.

Terkait pemasaran, Ahmad mengatakan kopi Argopuro sudah tersebar di seluruh kota-kota besar yang ada di Indonesia. Sementara untuk pasar luar negeri, kopi Argopuro belum bisa melakukan ekspor.

Dia menerangkan, hal tersebut belum bisa dilakukan sebab saat ini pihaknya masih ingin memfokuskan diri untuk bisa memenuhi pangsa pasar di dalam negeri terlebih dulu.

"Kita sih, mending di dalam negeri dulu, sebab pasar dalam negeri masih punya potensi, yang penting orang Indonesia dulu mesti tahu bahwa kopinya itu enak," katanya seraya tersenyum.

Terkait jumlah produksi, dalam setahun Argopuro Coffee rata-rata bisa menghasilkan biji kopi berkisar di angka 10 ton. Sementara omzet perbulan bisa mencapai Rp10 juta.

Dalam proses pascapanen, Ahmad lebih banyak memberdayakan para ibu-ibu di daerahnya. Hal itu dilakukan agar mereka lebih produktif sehingga bisa membantu keluarga dalam mendorong tingkat kesejahteraan rumah tangga.

"Pekerja di proses sertasi ada 20 orang, di penggilingan ada 10 orang, kemudian melibatkan 20 orang petani," tuturnya.

Disinggung soal kendala, Ahmad mengungkapkan tantangan terbesar yang sering ditemui pihaknya yakni terkait menjaga konsistensi kualitas produksi, sebab rata-rata petani di daerahnya masih belum benar-benar teredukasi dengan baik, terutama pada proses petik yang sebenarnya amat menentukan mutu biji kopi.

"Menjaga kualitas kopi itu tantangannya, sebab kalau kita sudah dikenal sama orang enak, harus terus dijaga kualitasnya. Selain itu kami terus berupaya meningkatkan jumlah produksi, mengingat skala usaha kami saat ini masih kecil," terang Ahmad.

Untuk meningkatkan jumlah produksi, kedepan ia bakal memperluas lokasi tanaman kopi sehingga kapasitasnya bisa naik.

Pada kesempatan itu ia juga menyampaikan harapannya pada pemerintah, agar mau melihat dan lebih tergerak untuk mendorong peningkatan industri kopi.

"Harapan saya Pemerintah bisa lebih melihat potensi kopi kita, bukan hanya di Argopuro tapi juga di daerah-daerah lain seluruhnya, kopi kita punya potensi yang bagus dan punya karakter yang khas ditiap-tiap daerah. Kalau Pemerintah mau serius ikut terlibat, sebenarnya akan lebih cepat pertumbuhan industri kopi itu sendiri," tuturnya.

Ahmad melanjutkan, "Dan untuk pemain baru tidak usah terburu-buru untuk mengekspor kopinya. Karena harga dalam negeri pun jauh lebih bagus sebenarnya meskipun belinya dalam kuantitas kecil, tapi harga yang ditawarkan cafeshop itu lebih bagus." []



Telah tayang: https://akurat.co/naturalnya-aroma-pisang-di-kopi-argopuro