Minggu, 13 Juni 2021

Ada Nilai Filosofi di Songket Tanah Rencong

Sarat nilai filosofi. Begitulah produk tenun songket asal Desa Dayah Daboh, Kecamatan Montasik, Aceh Besar, Sumatera Utara, yang turut serta menyemarakkan ajang tahunan bertajuk Pameran Kriyanusa 2017 yang digelar akhir pekan lalu di Jakarta Convention Center.

Tak sekadar sedap dipandang mata, setiap benang yang terpilin di kain songket motif pucuk rebung Aceh, tersemat representatif kearifan lokal dari masyarakat tanah rencong.

"Ini kita bawa kain pucuk rebung, bordiran Aceh, dari Montasik, motif pucuk rebung tuh artinya tunas bambu. Melambangkan masyarakat Aceh yang terus tumbuh dan berkembang, sama seperti tunas," tutur Angga, salah seorang pengurus Dewan Kerajinan Nasional Daerah Aceh Besar.

Tak hanya menawarkan tenun songket pucuk rebung, pada kesempatan kali ini pihaknya juga membawa serta kain songket motif awan berarak yang tak kalah bestari akan pesan bijak. Perlambang persatuan umat dalam majemuknya masyarakat.

"Terus ada juga motif awan berarak, awan berarak itu, awan yang saling menyatu, ini diharapkan masyarakat Aceh saling bekerja sama, saling terkait, berarak bersama," tambahnya.

Pemuda berusia 27 tahun itu menuturkan, dalam memproduksi kedua kain khas Aceh tersebut para perajin saling bahu membahu dalam satu kelompok besar yang dibagi menjadi dua puluh grup lebih kecil.

"Dimana dalam satu grup tersebut terdiri dari 6 sampai 8 orang perajin tenun yang bekerja secara bersama-sama. Persis seperti motif songket awan berarak yang mereka buat," tandas Angga.

Belum merasa berpuas diri dengan kain songket, warga dari desa Dayah Daboh rupanya juga produktif dalam memproduksi tas kulit yang terbagi dalam 12 kelompok kecil.

"Selain kain songket, Desa Dayah Daboh juga memproduksi tas... Pemasaran kain songketnya memang masih di sekitar daerah Aceh. Tapi kalau untuk tas sudah dijual sampai Malaysia," jelasnya.

Terkait kendala, Angga mengatakan, para perajin dari daerahnya masih terganjal dalam promosi. Karena alasan itulah, pihaknya gencar mengikuti setiap ajang pameran, baik yang diinisiasi oleh pemerintah maupun swasta.

"Belum banyak yang tahu produk songket kami. Sudah bagus sebenarnya, tapi belum ada sentra yang terkenal agar masyarakat tahu bila ingin beli. Tak seperti Cibaduyut, misalnya. Orang kalau ditanya, 'beli sepatu dimana?' kemungkinan besar akan dijawab 'Cibaduyut', karena tempat itu sudah jadi sentra perdagangan terkenal. Nah, kalau di tempat kami belum ada itu," kata Angga menerangkan.

Tak berhenti sampai disitu, para perajin di Desa Dayah Daboh juga terbentur masalah alat produksi, sehingga tidak bisa optimal jika harus mengekspor produk kerajinannya, sebab, belum bisa dilakukan produksi massal.

Dalam perbulannya, rata-rata produksi tenun songket yang mereka hasilkan hanya sekitar seratusan kain. Untuk itu berat rasanya jika harus mengekspor, karena permintaan bisa mencapai di atas angka 1.000 helai kain.

Disinggung mengenai pendapatan, Angga tak bisa menyebutkan angkanya secara pasti karena jumlahnya setiap bulan fluktuatif, selain itu dirinya juga belum memiliki pencatatan keuangan yang akuntabel. Namun demikian ia mengatakan, pendapatan yang ia peroleh selama mengikuti Pameran Kriyanusa 2017 sekitar diangka Rp8 juta - Rp 9 juta.

"Ikut pameran ini tujuan utamanya bukan untuk produknya laku, tapi yang penting bisa untuk promosi. Pengunjung yang datang walaupun nggak beli ya nggak apa-apa, tapi yang penting tahu dulu... Semoga orang itu akan bisa kasih tahu yang lain di luar sana," tandas Angga kemudian.[]


Telah tayang: https://akurat.co/ada-nilai-filosofi-di-songket-tanah-rencong

Tidak ada komentar:

Posting Komentar