Kamis, 10 Juni 2021

Kopi Dogiyai, Primadona Papua yang Terlupa


Turut meramaikan pameran Jakarta Coffe Week yang diinisiasi oleh Sco-pi, "Kopi Dogiyai" asal Desa Pautadi, Kamuu Utara, Dogiyai, Papua, merupakan salah satu primadona minuman berkafein yang dinanti-nanti para pencinta kopi di Nusantara.

Hanok Krison salah seorang petani kopi menuturkan, kopi Papua khususnya kopi dari daerah Dogiyai memiliki keunikan sebab ditanam di atas ketinggian 2.000 meter dari permukaan laut sehingga sulit ditemukan di daerah lain.

"Kopi ini kita dapat dari petani kopi yang menanam di atas ketinggian 1.800 meter sampai lebih dari 2.000 meter di atas permukaan laut, sehingga kopi ini ya pasti berbeda ya, kalau di Indonesia ini, cari kopi di atas 2000an sulit dapat. Tapi di Papua bisa," katanya saat ditemui di Jakarta, akhir pekan lalu.

Hanok menambahkan, kelebihan lain dari kopi Dogiyai yakni karena usia pohonnya yang tak bisa lagi terbilang muda, mengingat sudah ditanam sejak masa kolonial Belanda melalui para misionaris yang berhuni di tanah Papua kala itu.

"Kita tahu ya, kopi ini, semakin berumur kan semakin menghasilkan kopi yang berkualitas," tambahnya.

Tak cukup sampai disitu, sedikitnya jumlah produksi yang dihasilkan, membuat kopi Dogiyai semakin banyak dicari oleh orang-orang terlebih bagi para pencinta kopi.

Hanok mengungkapkan, meski saat ini tidak sepopuler kopi Wamena, namun kopi Dogiyai pernah mengalami masa kejayaannya pada era 90an, dimana kala itu para misionaris mampu melakukan produksi secara besar-besaran hingga bisa melakukan ekspor ke Eropa.

"Karena waktu itu ada pasarnya, kemudian sejak ada kebijakan nasional bahwa para misionaris harus keluar dari Papua, sejak saat itu pasarnya sudah tidak ada, nah, sejak 98 sampai 2000an sudah tak ada itu pasarnya," terangnya.

Kehilangan pangsa pasar membuat para petani pun akhirnya terpaksa memutuskan menebang pohon-pohon kopi mereka dan beralih menanam umbi-umbian guna bisa memenuhi urusan perut yang menuntut untuk diisi.

Oleh karenanya, lanjut Hanok, tak mengherankan bila alih fungsi lahan tadi berimbas pada produksi kopi Dogiyai mengalami penurunan tajam dan kini menjadi hal sangat memprihatikan.

Saat ini rata-rata produksi kopi Dogiyai dalam pertahun dengan dua kali musim panen, hanya bisa menghasilkan sekitar 50 ton biji kopi.

Terkait peran pemerintah melihat hal itu, menurut Hanok, ditingkat gubernur sudah cukup baik, hal itu ditandai dari gerakan pembedayaan petani kopi yang diinisiasi oleh gubernur, namun demikian secara pelaksanaan tidak mendapat sokongan dari pemerintah kabupaten sehingga dirasa kurang masif dalam mendongkrak produksi kopi Dogiyai.

"Program pemberdayaan petani kopi sudah ada tiga tahunan ini, hanya saja gerakan ini tidak bisa jadi besar karena tidak dijemput oleh pemerintah kabupaten, kepala-kepala dinas di kabupatennya," terangnya.

Hanok berharap di masa mendatang Program Pemberdayaan Petani Kopi bisa di dukung oleh pemkab selaku ujung tombak dan pembuat kebijakan, salah satunya dengan meregulasi program itu di daerah melalui perda-perda yang mengarah pada upaya menggenjot produksi kopi Dogiyai.

Selanjutnya ia berpendapat, Program Dana Desa dari Pemerintahan Jokowi sebenarnya bisa menjadi angin segar yang membawa harapan untuk dapat mengembalikan masa kejayaannya kopi Dogiyai, andai sebagian dana tersebut dianggarkan untuk sektor komoditi kopi.

"Program Jokowi ini baik, dana desa, hampir satu miliar untuk satu desa, kalau misalnya disisihkan 30 persen aja itu untuk kopi saya rasa bisa (mendorong produksi kopi)," tuturnya.

Namun begitu, penyaluran anggaran tersebut nanti juga perlu regulasi dan kebijakan yang betul-betul mampu mengarahkan para petani agar bisa produktif menghasilkan kopi.

"Kalau tidak ada kebijakan dana hanya untuk bisa beli-beli yang lain, beli-beli ternak dan sebagainya, padahal kalau kopi ini bisa kita katakan bisa jadi emas hijau, karena sifatnya bisa disimpan," jelas Hanok.

Ia menambahkan, "Kopi Papua ini kan sangat diinginkan oleh pasar, pasar global, tapi kalau produsi kuantitasnya saja tidak bisa dipenuhi mana bisa pasar global masuk, di pasar nasional aja ngga bisa dipenuhi, apalagi pasar global," tukas Hanok.

Ia optimis jika produksi kopi bisa digenjot maka akan meningkatkan pendapatan perkapita daerah. Sebab di Papua sendiri masih banyak hutan dan lahan kosong yang bisa dimanfaatkan apabila ditanami tanaman produktif seperti kopi.

"Pendapatan perkapita Masyarakat bisa naik, kita bisa mengatakan 20 juta, asumsikan 1 pohon bisa mengahasilkan 50 ribu kali 200 pohon, satu musim saja bisa menghasilkan 10 juta, kali 2, nah 20 juta, jadi tidak ada yang miskin di Papua, itu baru hanya dengan kopi saja, belum uranium, emas, itu sudah cukup dengan kopi saja kalau mau serius," tandas Manok kemudian. []



Telah tayang: 

https://akurat.co/kopi-dogiyai-primadona-papua-yang-terlupa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar