Minggu, 13 Juni 2021

Kerajinan Logam Boyolali tetap Luxury Walau Punya Segudang Keterbatasan

Tak ingin bernasib sama seperti nekara yang kini hanya teronggok sebagai benda purbakala, membuat seorang Gunanto terdorong untuk terus berupaya melestarikan kerajinan logam khas daerahnya, Boyolali, Jawa Tengah.

Turut serta meramaikan ajang tahunan bertajuk Pameran Kriyanusa 2017, adalah salah satu langka nyata dari pemuda itu untuk bisa memperkenalkan produk kerajinannya di jagat kriya Nusantara.

"Kerajinan tembaga, kuningan sama alumunium ini handmade, manual, jadi kita mengerjakannya itu ngga pakai alat, maksudnya, kalau ditempat lain itu kan pakai... Sejenis cetakan atau alat pabrikan, tapi kalau kita bener-bener pakai tangan manusia semua," ujarnya saat ditemui di JCC, Jakarta.

Pemuda berusia di awal 30 tahun itu menuturkan, dalam proses produksi satu kerajinan, ia membutuhkan waktu yang relatif bervariasi. Bergantung pada seberapa besar ukuran dan rumitnya motif suatu produk yang bakal dibuat.

Misalkan untuk pemanas ini, ucapnya sambil menunjuk sebuah produk pemanas makanan, ia buat dalam tiga hari, sendiri. Untuk lampu-lampu ruang tamu yang digantung di langit-langit biasanya bisa dibuat dalam tempo seminggu, karena pengerjaannya memerlukan pahatan bermotif.

Dari sekian banyak kriya yang mampu ia hasilkan, rata-rata membutuhkan pengerjaan selama 3 hari.

"Tapi kalau proyek besar bisa sampai 3-4 bulan untuk patung-patung dan lampu hiasan besar bermotif rumit. Dikerjakannya pun sama sekitar sepuluh orang sekaligus. Untuk satu patung," tuturnya.

Selama menjalani bisnis kriya, Gunanto mengibarkan bendera berlabel NuansaArt dan dibantu oleh 30 orang perajin yang tak lain adalah para tetangganya sendiri, dimana sebagian besar pekerja sudah memasuki usia senja.

Dalam pemasaran, produk kerajinan Nuansa Art sudah merambah sebagian besar pasar lokal serta mampu menembus beberapa pasar global. Meskipun, dalam pengiriman ke luar negeri pihaknya perlu menggandeng eksportir.

"Belum semua daerah di Indonesia tapi sudah tersebar dimana-mana, khususnya kota-kota besar. Kalau untuk ekspor kita melalui buyer tidak langsung... Ekspornya ke Itali, Jerman, Belanda, Korea," rinci dia.

Gunanto belum bisa mengekspor produknya secara mandiri lantaran belum begitu paham soal perizinan. Selain itu, ia juga merasa proses birokrasi perizinan di Republik ini masih terbilang cukup rumit.

Untuk alasan itulah kenapa dia akhirnya lebih memilih bekerja sama dengan buyer meski dalam pembagian keuntungan, nantinya 5 sampai 10 persen laba bakal masuk kantong eksportir.

Tak sekadar lebih memudahkan pihaknya dalam proses pemasaran ke pasar global, keuntungan lain yang diterima Gunanto adalah bendera NuansaArt tetap tertera meski proses ekspor melalui tangan eksportir.

Disinggung mengenai omset, ia mengungkapkan nilainya tidak menentu, namun rata-rata pendapatan dari hasil ekspor berkisar Rp200 - Rp300 juta. Sementara penjualan di dalam negeri sebesar Rp50 juta per bulan.

"Biasanya kalau kirim satu truk itu bisa sekitar Rp200 sampai Rp300 juta. Itu jangkanya 3 bulan. Dan itu baru yang dikirim keluar belum yang dipasarkan di lokal. Kalau di dalam (pasar lokal) pemasukan sebulan sekitar Rp50 jutaan," terangnya.

Peran pemerintah dalam mendukung usaha kerajinan kriya, menurut hemat Gunanto sudah dirasa cukup membantu. Hal itu terasa karena tak jarang, dirinya menerima segala fasilitas apabila mengikuti berbagai pameran yang kerap digelar. Tak hanya itu, bantuan-bantuan yang dicanangkan pemerintah juga benar-benar sampai ke masyarakat, dalam hal ini para pelaku usaha kriya di daerahnya, Boyolali.

Sementara terkait kendala, Gunanto menuturkan sering terganjal soal bahan baku. Sejauh ini dirinya masih mengandalkan impor dari Itali guna memenuhi kebutuhan produksi.

"Kendala kita itu soal bahan, soalnya bahannya itu kita impor dari Itali.
Jadi kita itu ambil dari Surabaya, nah, Surabaya itu impor dari Itali... Tapi gini, bahan mentah itu malah dari Freeport (Papua) sana, diekspor ke Itali, balik lagi ke Indonesia dalam bentuk sudah lempengan," kata Gunanto menjelaskan.

"Kenapa kita impor bahan?" lanjutnya kemudian.

Ia melihat bahwa saat ini Indonesia memang memiliki bahan baku kriya pada umumnya, plat lurus, bentuknya lembaran. Sayangnya, bahan baku di dalam negeri kurang bagus.

"Kalau dibentuk suka pecah," seloroh Gun sambil mengerutkan kening.

Selain kendala bahan baku, Gunanto juga kesulitan dalam mencari pekerja baru guna melanggengkan dan membesarkan usaha kerajinannya tersebut, sebab, saat ini jarang sekali generasi muda yang berminat menjadi perajin tembaga, kuningan dan aluminium.

"Angel (susah) mas cari perajin, jadi gini, penerusnya itu... gimana yo, ora begitu greget, yang anak muda sudah males-malesan ngerjain ini, yang kerja ini orang yang sudah lawas-lawas," keluhnya dalam dialek Jawa Timur.

Ia berharap, di masa mendatang Indonesia mampu memproduksi sendiri bahan baku yang berkualitas, sehingga tak perlu mengandalkan impor dalam pemenuhan produksi kerajinan logam dalam negeri.

"Yo harapanku sih, Indonesia bisa buat (bahan baku) sendiri, soalnya kalau beli dari luar yo larang (mahal), karena tiap dolar naik kan harga bahan ikut naik, nek begitu dolar mudun (turun) bahan hargane tetap ora melu (ikut) turun e mas... Kadang juga bahan itu dadi (jadi) langka, pokoknya itu harga dolar pengaruh sekali untuk bahan," tandas Gunanto.[]

Telah tayang: https://akurat.co/kerajinan-logam-boyolali-tetap-luxury-walau-punya-segudang-keterbatasan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar