Minggu, 30 Juni 2019

Kepada Makanan yang Pernah Saya Sia-siakan

“Selamat makan…”
Ichiko

***


Banyak perkara sederhana yang tidak sesederhana kelihatannya. Kira-kira begitu pesan moral yang saya tangkap saat menyaksikan Little Forest, film dua babak besutan sineas asal negeri matahari terbit, Jepang. Dikemas dalam plot lambat namun memikat, dan melalui penokohan seorang gadis sederhana yang notabene merupakan representasi dari masyarakat pedesaan jepang yang menggantungkan hidup dengan bertani, film ini seperti mengajak saya untuk bisa melihat lebih dekat bagaimana keseharian mereka yang nampak remeh dan kerap terlewat begitu saja, namun nyatanya memiliki makna filosofis teramat dalam untuk direnungi.

Menggunakan gaya komunikasi fatik, Junichi Mori sang sutradara seolah tengah menggoda saya untuk ikut bergabung dalam satu percakapan yang sekilas tak penting namun menyenangkan sembari menyesap hangatnya kuzuyu diantara gigitan musim dingin. Yang pada akhirnya mampu menerbitkan kesadaran betapa pun bersahajanya dalam menjalani hidup, setiap orang yang menetap di desa itu harus berusaha keras untuk mau menanam bila ingin merasakan manisnya menuai buah. Bahwa untuk bisa menikmati sebutir nasi mereka perlu terlebih dulu menjalani proses menanam padi.

Berseting di sebuah desa terpencil Komori, dengan lanskap pegunungan berselimut salju yang menawan di wilayah timur laut Jepang, film ini bahkan telah membuat hati saya tertawan sejak di shot-shot awal pembuka.

Berkisah tentang Ichiko –diperankan dengan sangat apik oleh Ai Hashimoto, adalah seorang gadis yang tinggal sendiri di rumahnya karena sang ibu sudah sejak lima tahun lamanya pergi tak diketahui entah kemana. Meski Ibunya sesekali berkirim surat namun tak sekalipun dalam surat itu ia memberi tahu di mana keberadaannya.

Tak ayal Ichiko pun melakukan semua hal sendirian. Tinggal di pedesaan terpencil dimana tidak ada toko penjual makanan, membuat setiap penduduk tak bisa mengandalkan uang jika mereka sedang kelaparan. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari setiap orang harus menanam dan mengolah makanannya sendiri. Tak terkecuali Ichiko.

Bertahun-tahun lalu saat ibunya selalu menyiapkan makanan untuknya, Ichiko kecil kerap tak menghargai jerih payah sang ibu yang sudah berusaha memenuhi segala kebutuhannya, pertengkaran antara ibu dan anak pun seringkali tak dapat terelakan hanya karena perkara makanan. Kini saat Ichiko tinggal sendiri ia pun akhirnya menyadari betapa sulitnya hidup dan perlu kerja keras bahkan hanya untuk menyiapkan semangkuk nasi.

Tapi tak keliru pepatah mengatakan, bahwa guru terbaik adalah pengalaman. Seiring waktu berlalu Ichiko pun mulai terbiasa menjalani kehidupan barunya. Ia membuat makanan dari bahan-bahan yang ditanamnya sendiri atau dari hasil mencari di hutan. Dari sini ia pun banyak belajar bahwasanya manusia sangat bergantung pada alam. Pada dasarnya alam dengan tangan terbukanya sudah berbaik hati menyediakan segala apa yang ia butuhkan. Sebisa mungkin menghindari pengrusakan yang berimbas pada keseimbangan ekosistem dan hanya mengambil secukupnya sesuai kebutuhan adalah kebijaksanaan yang perlu dimiliki oleh setiap orang.

Pengalaman jugalah yang mengajarkan Ichiko untuk mampu membaca siklus alam dan menanam tanaman sesuai musim. Seperti tomat yang hanya ditanamnya di musim panas, sebab tomat tak mungkin tumbuh di musim dingin. Atau seperti bawang yang memerlukan masa tanam nyaris setahun, maka ia harus menyiapkan lahan bawang sesegera mungkin selekas berakhirnya musim dingin. Ia juga sudah hapal di luar kepala pada banyak tabiat dari masing-masing bahan makanan yang ditanamnya. Seperti kubis yang akan rusak bila tersiram hujan. Atau seperti kentang yang akan mengecil bila terlalu banyak memiliki tunas saat di masa tanam. Tak berhenti sampai di situ ia bahkan tahu bagaimana sebaiknya menyimpan bahan makanan hasil panennya sehingga bisa bertahan dalam waktu yang lama.

Dalam pengolahan bahan makanan untuk nantinya bisa dinikmati, Ichiko kerap bereksperimen dari satu masakan ke masakan yang lainnya dengan berbekal ingatan saat dulu masih merasakan masakan ibunya. Layaknya filosofi makan orang Jepang yang sangat terpengaruh pada “the power of five” sebagai panduan dalam memasak, Ichiko sangat memperhatikan rasa, penyajian dan sikap dalam memakan masakannya.

Soal rasa ia mencoba bagaimana menghasilkan makanan yang nikmat dengan menakar rasa asin, manis, asam, pahit dan umami menjadi cita rasa yang menyenangkan. Dalam proses ia mempertimbangkan bagaimana sebaiknya bahan makanannya diolah; disajikan mentah-mentah, direbus, dikukus, digoreng atau dipanggang dengan oven. Dalam peyajian ia mengandalkan imajinasi, apakah nantinya masakan itu akan memiliki warna hitam, putih, merah, hijau, atau kuning. Serta berupaya agar masakannya bisa indah saat dilihat, beraroma sedap, memiliki rasa yang lezat, menyenangkan apabila disentuh hingga akhirnya bisa menimbulkan suasana khidmat yang mendamaikan pendengaran saat dinikmati.

Akhirnya, menyaksikan film berdurasi seratus dua puluh menit ini membuat saya bener-benar serasa dipukul sekaligus dirangkul dalam waktu yang bersamaan. Menyadarkan betapa saya pernah berkali-kali menyia-nyiakan setiap rizki makanan karena tidak mengerti bagaimana panjang dan sulitnya proses yang mesti mereka lalui untuk akhirnya bisa saya nikmati. Maka, kepada setiap butir nasi, remah-remah roti dan segala macam pangan yang pernah saya sia-siakan, di sini saya sampaikan permohonan maaf secara terbuka yang sedalam-dalamnya kepada kalian.




21092016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar