Minggu, 30 Juni 2019

Hukum Newton Pertama

“Setiap benda akan mempertahankan keadaan diam atau bergerak konstan, kecuali ada gaya yang bekerja untuk mengubahnya.”
–Hukum Newton Pertama

***


“Tuh, sudah aku tulis rangkap materinya.” Ujarmu ujug-ujug sambil meletakan buku bersampul putih itu di atas mejaku, “Baca-baca lagi di rumah. Jangan sampai usahaku jadi kerjaan yang sia-sia.” Sedikit tersembul nada merajuk di sana.

Astaga, sebegitu pedulinya kamu pada nasib suram pencapaian akademikku, sampai-sampai mencatat materi pelajaran di dua buku sekaligus. Satu untukmu, satu lagi untukku. Kurang kerjaan.

Ya, tak bisa dipungkiri aku hanyalah seorang bocah SMA biasa, dengan kemampuan daya tangkap yang mengkhawatirkan dan kemauan untuk menyerap pelajaran yang sangat mengenaskan. Malas tak kepalang. Culas bukan buatan. Tak seperti Newton yang memandang ilmu pengetahuan serupa perawan ranum, yang bisa membuat jakun pria-pria pemuja keindahan eros naik turun, minatku pada pengetahuan sudah lindap. Kejahiliyahan pun berkarat-karat. Saat Newton rela hidup “selibat” sepanjang hayat hanya demi menjaga kecintaannya pada fisika, matematika, astronomi dan kimia agar tak terkorosi karena perihal remeh yang ditawarkan dunia, aku justru kerap mengelabuhi waktu dengan perkara-perkara nisbi tak kurang-kurang mudharatnya. Main, tidur. Main-main, tidur-tiduran. Hanya seputaran itulah siklus konstanku di masa-masa semester pertama saat SMA dulu. Suram.

“Aku harap kamu bisa sedikit respek pada diri sendiri. Kalau kamu malas menulis materi, cukup mulai dengan membiasakan diri untuk membaca. Mungkin tidak saat ini, tapi nanti apa yang kamu baca akan membantumu dikemudian hari.” Tegasmu sebelum kembali duduk. Memastikan aku mendengarkanmu untuk kali ini.

Dan sejak itu, demi bisa menyulut minat belajarku yang kian redup, beberapa kali kamu mencatat rangkap materi pelajaran. Aku tahu persis menjadi penulis memang salah satu mimpi adi luhung pencapaianmu, tapi aku rasa menggandakan materi pelajaran berulang-ulang, bukanlah salah satu bentuk latihan yang disarankan dalam buku-buku kiat menulis kreatif manapun. Jadi apa bagusnya kamu melakukan "kekurang kerjaan'' itu?

Pernah aku menduga, barangkali ada impuls sarafmu yang tidak bekerja dengan semestinya. Membuatmu bertindak di luar kesadaran macam doktor Octopus yang dikhianati lengan tentakel buatannya sendiri. Lantas dengan tak terkendali memporak-porandakan kota demi mewujudkan obsesi sintingnya. Ah, tapi itu hanya kisah rekaan Marvel saja.

Atau jangan-jangan kamu jatuh hati padaku? Halah, delusi! Wanita secantik, secerdas, seramah dan nyaris mendekati sempurna seperti kamu sudah barang tentu tak akan berselera pada bocah absurd penderita endapan micin yang sudah akud ini. Lagi pula bukankah kamu memang memiliki tabiat terpuji yang ringan menyingsingkan lengan baju pada semua orang? Tipikal manusia yang memang berkiblat pada khirunnas anfa’uhum linnas. Bahwa hidup manusia pada hakikatnya adalah perkara menjadi manfaat bagi sesama. Jadi Sudah ah, tak mau sakit kepala memikirkannya, kucoba saja menuruti apa maumu. mengabaikan saranmu kadang justru bisa mengakibatkan konsekuensi yang mengerikan; didiamkan berhari-hari!

Beberapa kali ku ikuti saranmu, membaca materi pelajaran di sela-sela waktu yang ada. Konsisten –meskipun berat- minimal satu halaman perhari di awal minggu pertama, begitu petunjukmu. Di minggu kedua meningkat menjadi dua halaman, lalu berlanjut seterusnya di minggu-minggu kemudian. Ajaib, karena metode yang kamu sarankan ternyata efektif. Mengingat pada akhirnya aku terbiasa membaca. Tak hanya melulu materi pelajaran, kini aku tertarik membaca banyak topik dari berbagai bahan bacaan lain. Seperti telah menjadi habit, saat ini bahkan aku akan merasa ada yang janggal bila sehari saja tak ada catatan yang bisa kubaca.

Aku sempat bertanya dari mana metode itu kamu dapat, alih-alih menjawab kamu malah balik bertanya, “Kamu tahu bagaimana anak elang belajar terbang?”

Seperti biasa aku hanya diam dan menggeleng singkat. Meski membaca sudah menjadi bagian dari keseharian, tapi bukankah sudah kuterangkan sejak di muka? Bahwa ketololanku sudah kadung larat berkarat-karat. Butuh waktu seumur hidup untuk merontokan karat-karat itu sampai ke piamater otak.

“Ketika elang hendak bertelur,” katamu setelah mendapatiku tak berkutik, “ia akan membuat sarang di pucuk pohon tertinggi di atas bukit yang curam dan terjal. Lalu mengerami telurnya di atas sana sampai bayi-bayi elang menetas. Induk elang akan menyuapi bayinya sekitar satu bulan. Membuat mereka senyaman mungkin di dalam sarang. Tapi selepas itu sang induk akan membiarkan elang muda mencari makanannya secara mandiri.

“Di masa-masa awal penetasan, induk elang akan mencabik-cabik daging binatang buruannya, dan meletakanya di sarang agar bayi-bayi elang bisa langsung memakannya. Seiring usia anak elang yang bertambah, induknya nggak akan lagi mencabik-cabik daging buruannya, tetapi langsung menaruhnya utuh-utuh guna melatih elang muda mencabik makanannya sendiri.

“Dan bila saatnya tiba bagi elang muda untuk belajar terbang, induk elang akan dengan ‘kejam’ mendorong anaknya jatuh dari sarang di pucuk pohon yang tingginya tak sembarang itu. berbekal insting yang sudah dikaruniai Tuhan, dalam situasi genting seperti itu elang muda akan dengan serta merta mengepak-epakan sayap guna bisa melayang. Tentu anak elang nggak bisa langsung terbang seketika itu juga. Saat tubuhnya hampir terbentur di bebatuan, induk elang akan segera melesat menangkap anaknya. Membawanya kembali ke ketinggian hanya untuk kemudian di hempaskannya lagi ke bawah, begitu seterusnya berulang-ulang, sampai sayap elang muda semakin kuat untuk mengepak dan pada akhirnya ia pun bisa terbang.” berhenti sebentar memberi jeda, “Kamu tahu kontemplasi apa yang bisa ditarik dari sana?”

Aha! Kali ini aku sangat mengerti maksudmu. Tak kusangka pemahamanku sudah mengalami lompatan yang luar biasa signifikan. Ternyata aku keliru karena sebelumnya telah mengira butuh waktu seumur hidup untuk bisa mengangkat karat-karat ketololanku. Sebab kenyataannya hanya dengan mendengar cerita satu babak darimu, ketololan itu bisa langsung minggat. Dengan sepenuh keyakinan aku berkesimpulan, “Elang itu predator yang kejam ngga berperasaan. Demi kesenangan ia tega menjatuhkan anaknya sendiri dari sarang. Dasar makhluk nggak beradab!”

*Sambil mendengus pasrah, kamu menepuk jidat.




fb18082016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar