Rabu, 13 Maret 2019

Petrichor (masih orisinal minus edit)

“Hidup ini jangan dibiasakan menikmati yang instan-instan, Le, jangan mau gampangnya saja. Hal-hal terbaik dalam hidup justru seringnya harus melalui usaha yang lama dan menguji kesabaran dulu.”
Critical Eleven – Ika Natassa

***


Siang itu hujan. Dan seperti yang sudah-sudah, bagi sebagian orang setiap butir rintiknya tak lain adalah kantung-kantung kecil pembawa pesan yang menyimpan kenangan. Tak terkecuali aku yang langsung mengingatmu saat aroma petrichor seketika merebak sejak tetesan pertama hujan memeluk tanah kerontang. Dulu aku menyukai hujan karena kehadirannya serupa hilal menjelang hari raya. Menjadi pertanda bahwa lebaran tak bisa lagi ditunda-tunda. Sebab setelah hujan ini reda, sangat mungkin sekali sore nanti, atau barangkali esok harinya aku bisa menikmati tahu gejrot lebih banyak dari porsi biasanya.

Bagimana bisa?

Ya, sebagai salah seorang dari beberapa bocah yang tak memiliki banyak uang jajan, selain mesti pandai-pandai menakar pengeluaran, sudah barang tentu mencari uang saku tambahan adalah opsi paling masuk akal bagi kami yang ingin merasakan “lebaran” sesering mungkin. Menjadi loper koran, membantu menjajakan penganan kecil yang dijual bulik belakang rumah, mengikuti lomba-lomba tujuh belas Agustus-an demi hadiah satu-dua lusin buku tulis yang nantinya bisa dijual kembali, atau menawarkan jasa ojek payung saat hujan datang, adalah beberapa dari sekian banyak cara menyiasati bagaimana mendapatkan uang jajan lebih.

Dari beragam cara mendulang rezeki, menjadi bocah penjaja jasa ojek payung bisa dibilang merupakan perihal yang paling aku suka. Sederhana saja alasannya, uang yang didapat relatif lebih banyak dan aku bisa melakukan “pekerjaan” itu sambil bermesraan dengan hujan. Sebab seperti yang sama-sama telah kita ketahui, bahwa bermain hujan adalah kebahagiaan tak terbantahkan, bagi seorang bocah yang kala itu belum berteman karib dengan gadget dan segala rupa akun maya. Matursuwun sanget, Gusti.

Jadi begitulah. Saat sebagian orang dewasa merutuki hujan karena merasa kedatangannya kerap -seperti tahu bulat digorengnya mendadak, dan membuat aktivitas mereka akhirnya terhambat, kornea di mataku justru melihat bayangan rintik-rintik hujan tak lain adalah koin-koin rupiah yang sengaja Tuhan jatuhkan dari langit. Dan aku bisa menangkapnya seperti tengah bermain coin catch di android. Ini perkara asyik seasyik-asyiknya kegiatan sepulang --atau sebelum berangkat sekolah bila kebetulan aku tengah mendapatkan jadwal sekolah siang.

Tapi itu dulu sekali jauh sebelum aku bertemu kamu. Karena semenjak mengenalmu aku memiliki perspektif baru dalam menangkap hikmah tentang hujan. Tak lagi hanya melihat dari sisi “ekonomis” bahwa; hujan adalah cara Tuhan menjatuhkan koin-koin uang bagi bocah-bocah ojek payung pada masyarakat urban. Perkara hujan juga bisa dilihat dari perspektif akademis dan filosofis.

Waktu itu sepulang sekolah, kita sama-sama tengah berteduh di beranda pos jaga di gerbang pintu masuk sebuah perumahan kelas A. Jelas aku mengingat ini lekat-lekat sebab hari itu kali pertama aku bisa benar-benar dekat denganmu. Bayangkan, jarak kita berdiri hanya disekat seragam putih abu-abu yang baru kita kenakan satu pekan. Dan duh, Gusti. Bahkan bahumu yang sesekali menyentuh bahuku, nyaris membuatku semaput kunang-kunang ingin pingsan. Kikuk musti berbuat apa sambil menunggu hujan reda, untung saja tiba-tiba kamu membuka suara,

“Hujan itu menarik, yah?”

Ya. kamu memang sangat menarik. “eh, oh, kok? Oh, yah? Kenapa?” heh, tolol! Tak usah jadi tergagap.

“Dilihat dari perspektif akademis –dalam hal ini ilmu bumi, kamu tahu bagaimana siklus hujan terjadi?”

Ah, ya kalau dilihat dari posisi ini, kamu tak hanya sekedar menarik tapi juga pintar dan cantik. Aku haiqul yakin Tuhan sangat peduli pada estetika waktu menciptakanmu. “Umm… Ngga. Memangnya gimana?” Heh, tolol! Jawaban apa itu?

“Jadi, siklus hujan dimulai karena efek dari terik matahari, membuat air yang terdapat di bumi menguap ke angkasa. Uap air yang terangkat itu membentuk awan padat. Lalu bersama butir-butir debu, angin datang bersatu dengan awan menimbulkan perbedaan tekanan udara. Awan-gemawan terus mengembang saling berdesak hingga pada saatnya nanti menemukan titik jenuh, dan akhirnya jatuh menjadi hujan seperti sekarang ini. Eh, Penjelasanku rumit, yah?”

Menarik, pintar, cantik, rumit. Hayo apalagi keunggulan kualitasmu? “Iyah. Rumit.” Astaga! Ketololan macam apalagi ini? Tidakkah aku seharusnya mencari padanan kata yang lebih santun dan tak menyinggung?

“Ah, ngga apa-apa. Dulu aku pun ngga langsung paham dengan teori siklus hujan ini. Nanti kupinjami buku yang ada ilustrasinya.”

Oke. Tambah satu lagi keunggulanmu: Baik.

“Kamu bisa menangkap inti pembelajaran terjadinya hujan ini dari perspektif filosofis?”

“Ummm….” Tak menjawab aku hanya menggeleng singkat. Fix sudah. Ketololanku takkan tertolong lagi kali ini.

“Intinya adalah proses. Melalui hujan, semesta seperti sedang mengajarkan, bahwa semua perkara memang ngga terjadi begitu saja. Bahwa air hujan ngga terjadi dengan serta merta. Ada proses panjang di sana. Dijerang panas matahari, terombang ambing angin, hingga berdesak sesak karena mendapat tekanan udara, membuat air pada akhirnya bisa menjadi hujan. Dan ini yang ngga kalah penting untuk dijadikan bahan kontemplasi, meskipun nantinya ada saja orang yang merutuki kehadirannya, ia akan tetap terus menerus melakukan siklus itu. karena hujan tahu, tanpa kehadirannya bumi ngga akan lagi menjadi tempat yang nyaman dan layak untuk ditinggali.”

Ah, aku pun rela dijerang panas matahari, diombang-ambing angin, dan sesak nafas sampai nyaris meledak karena tertekan, kalau memang dengan begitu aku bisa selalu dekat denganmu. Ampun, Gusti… aku ini lagi kenapa, sih?

“eh, hujannya reda. Pulang, yuk.” Ujarmu menutup percakapan kita sambil bergegas mengambil langkah.

Tak kurang dari dua ratus meter lagi kita akan sampai di depan pintu rumahmu. Hujan menyisakan rintik-rintik halus serupa jemari remaja kasmaran, yang mencoba menenangkan si jantung hati dengan membelai damai ubun-ubun kepala setelah resah dilanda badai. Di persimpangan yang juga menjadi batas akhir jalan beraspal hitam, sejenak langkah kita terhenti. Sedikit mendongakan kepala, kini di langit utara terlihat selengkung pelangi dengan beragam spektrum warna yang memikat penuh impresi. Sekejap terpelesat sebuah tanya, untuk alasan inikah hujan lebat tadi?



fb11082016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar