Rabu, 13 Maret 2019

Mencintai Badai

“…Kau harus mencintai badai.
Demi pelangi, berharaplah hujan menyakitimu.”
-Menunggu Pelangi (Dalam sekumpulan puisi: Jiwa Putih – Sarasdewi.)

***


Pertengahan semester kelas dua. Siang itu kita sama-sama duduk di salah satu sudut perpustakaan sekolah. Setelah pagi harinya aku didamprat seorang guru dan dikeluarkan dari kelas, lantaran pada pertemuan sebelumnya dengan sengaja mangkir tak mengikuti ulangan harian dengan alasan sangat konyol, yang mungkin baru kali pertama kamu dengar: “Sedang malas mikir.”

Asu! Alasan macam apa itu?

Aku berkilah –meski ini sama sekali tidak bisa dibenarkan- kabar mengenai kekalahan tim sekolah kita dalam kompetisi mading antar SMA, yang diprakarsai oleh salah satu intitusi perguruan tinggi ternama di Jakarta, membuatku tiba-tiba kehilangan percaya diri dan tak berselera pada apapun. Termasuk mengikuti ulangan harian yang sudah dijadwalkan. Dangkal memang.
Tapi mendengar alasanku yang kekanak-kanakan itu, alih-alih ikut naik pitam seperti guru kita tadi, kamu justru tertawa. Yah, Kekonyolanku kali ini memang sudah masuk kategori tolol tingkat jahiliyah milenia tiga. Tertawalah.

Beberapa jenak tawamu reda. Sambil menatap langit melalui kaca jendela, kamu lantas berseloroh, “Cuaca cerah itu menyenangkan, yah?”

“hmm?” Merasa heran pada air mukamu yang seketika berubah, membuatku hanya bisa bergumam begitu.

“Lahir di kota Bonn, Jerman. Pada tahun 1770.” Ujarmu setelah menunggu gumamanku yang tak juga menjadi kalimat sempurna. “dan hidup di tengah-tengah keluarga musisi, menjadikan Beethoven tak asing dan berteman karib dengan komposisi musik. Kamu tahu riwayat hidup Beethoven ini?”

Tak menjawab aku hanya menggeleng singkat.

Kamu melanjutkan, “Mendapat gemblengan sedari kecil oleh ayahnya berjam-jam lamanya setiap hari, membuat kepiawaian Beethoven bermain piano tak perlu disangsikan lagi. Meski tak seajaib Mozart yang di usia sangat belia telah lincah memainkan jemari di atas tuts-tuts piano tingkat maestro, namun sejarah mencatat, Beethoven merupakan salah satu tokoh di bidang musik dan okestra paling berpengaruh di dunia. Yang komposisi-komposisi musiknya telah menginspirasi komponis-komponis setelahnya, dan bahkan karya-karyanya itu tetap didengarkan oleh banyak orang hingga saat ini.

“Fur Elise, Moonlight sonata, dan Pastorale sonata adalah segelintir dari banyaknya karya yang sudah dihasilkan Beethoven muda. Pada masa ini ia dikenal sangat produktif dalam menggubah komposisi musik, tak mengherankan jika pada akhirnya ia mendapat dukungan dari pangerang Franz dan beberapa tokoh bangsawan pada zamannya.” Kau berhenti sebentar, mengalihkan pandangan dari jendela, lalu menumbuk mataku.

“Ya, tapi Tuhan memang tak pernah menjanjikan cuaca akan selalu cerah, Sesekali mendung hitam datang menjadi hujan yang suram. Membuatmu dihinggapi ketakutan-ketakutan yang mungkin tak terjelaskan. Tak mengapa jika kamu sedikit takut, karena seorang pemberani bukanlah orang yang tak pernah merasa takut. Dia adalah orang yang tak pernah membiarkan ketakutan-ketakutan menguasai hidupnya.

“Kurang lebih seperti itu yang dialami Beethoven. Pada pertengahan tahun 1801, akibat menderita otosklerosis, ia mulai kehilangan pendengarannya perlahan-lahan. Menjadi tuli bagi seorang komponis yang tengah menanjak di puncak karirnya, sudah barang tentu membuat ia sangat depresi, ditambah masalah krisis keuangan yang tengah dihadapi membuatnya semakin tertekan. Bahkan pada masa ini kisah asmara Beethoven dengan seorang gadis idamannya pun kandas begitu saja.

“Seperti jatuh tertimpa tangga lantas tersuruk di sebuah lubang dalam, sejak saat itu ia mulai menarik diri dari kehidupan sosial. Menjadi penyendiri karena kehilangan rasa percaya diri. Lantas menghabiskan hari-harinya dalam kemuraman hati. Komponis muda dengan talenta luar biasa tapi menjadi tuli seketika, terdengar ironis bukan? “

Masih dengan diam aku mengangguk ragu.

Kau kembali mengedarkan pandang keluar jendela, “Percayalah setelah mendung dan hujan ini berlalu, kamu akan tahu betapa indah komposisi spektrum warna pelangi.

“Dan beruntunglah Beethoven karena tak membawa kemuramannya itu hingga mati. sebab pada akhirnya ia menyadari bahwa kesedihannya selama ini hanyalah kesia-siaaan. Ia mulai berbenah kembali, meski pendengarannya semakin memburuk dan nantinya karya-karyanya itu tak bisa didengarkannya sendiri, ia tak peduli. Beethoven melanjutkan dan menggubah ulang komposisi musik yang sempat tertunda. Jauh berbeda dari komposisi musik sebelumnya, setelah melewati “masa muram”, Symphony No.5 Beethoven diakui banyak kalangan sebagai simfoni yang memulai gaya baru, karena pada simfoni kali ini memiliki tempo nada seperti mars. Hal yang tak pernah terjadi pada masa-masa sebelum Beethoven. Selain itu ia juga mulai menggubah piano sonata-nya yang paling revolusioner. Hal itu sungguh merupakan sebuah lompatan besar yang menjadikannya kelak ditasbihkan sebagai tokoh paling penting, dalam masa peralihan antara Zaman Klasik dan Zaman Romantik.

“Puncaknya pada 7 Mei 1824. Beethoven yang meski saat itu telah tuli total, sukses besar mementaskan Missa Solemnis beserta Simphony No.9 yang diadakan di Wina.
Jika pelangi adalah hadiah tersembunyi untuk manusia yang diberikan Tuhan setelah hujan. Maka sejatinya Simphony No.9 tak lain adalah pelangi bagi seorang komponis kenamaan: Ludwig van Beethoven.

“Kamu tidak usah dan memang tidak akan pernah bisa jadi seperti Beethoven, tapi aku rasa ada pelajaran penting yang bisa kamu petik dari riwayat hidupnya ini. Kamu punya badaimu sendiri. Jadi tentu saja kamu punya pelangimu sendiri. Temukan itu.”

Jujur saja, Ketika itu aku belum benar-benar mengerti maksudmu. Tapi kelak menjelang akhir studi kita aku baru menyadari maksud “pelangi” itu. Karena ternyata kompetisi mading ini tak datang sekali.




fb28072016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar