Senin, 01 Juli 2019

Sidang Peradilan

“Homines libenter quod volunt credunt.”
Terentius

***


Awalnya ini hanyalah sebuah proses pengaduan biasa. Kamu pelapor dan aku saksi yang menemanimu dalam membuat Berita Acara Perkara. Apa yang kamu perkarakan ketika itu? Kepada pihak berwenang kamu melaporkan tentang hatimu yang hilang. Ya, petugas yang tengah menangani laporanmu itu tak salah dengar, ini memang perkara tentang hilangnya hati seorang gadis muda. Runyam betul sepertinya sampai-sampai membuat petugas itu seketika tersentak. Dari air mukanya ia seolah berkata, kasus ini berpotensi menjadi isu nasional dan bisa menggemparkan jagat media.

“Tragis, Seorang Gadis Kehilangan Hati Hingga Nyaris Mati.” Kira-kira begitu judul headline yang akan tertera di surat kabar pelosok negeri. Tak usah heran kalau judul itu terdengar bombastis dan tendensius, karena banyak media di republik ini memang lebih senang menggiring opini publik ketimbang mewartakan berita yang membebaskan khalayaknya untuk memiliki interpretasinya sendiri.

Petugas yang menangani BAP-mu bergetar, bulir-bulir keringat sebesar biji jagung mulai keluar dari kening dan tengkuknya. Ini bukan perkara sembarang. Ia harus menanganinya dengan serius dan bergegas. Seperti mendapat durian runtuh, kasus menggoda ini serupa santapan sedap yang mampu membuat pangkatnya melesat dalam waktu singkat. Maka bagaimana pun ia mesti segera “mengungkapnya”. Tak jadi soal jika harus menghalalkan segala cara.

Petugas itu lalu memintamu menceritakan runut kronologis dan sejak kapan mulai menyadari kalau ternyata hatimu telah hilang. Sebenarnya kamu sedikit bingung darimana memulai cerita, karena kamu sendiri pun tak bisa benar-benar mengingat dengan pasti, sejak kapan dan bagaimana persisnya sampai hatimu bisa hilang. Seingatmu beberapa bulan yang lalu hatimu masih ada dan baik-baik saja. Kamu baru tahu kalau hati itu sudah tak ada di tempatnya sore tadi saat tengah berada di taman kota tempat kita biasa bertemu.

Gusar karena tiba-tiba menyadari ada bagian dari dirimu yang hilang, kamu segera menghubungiku untuk bisa menemuimu. Tak ambil tempo aku pun bergegas menjemputmu. Sesampainya di taman itu dan setelah kamu memberi sedikit penjelasan, kita pun memutuskan untuk langsung saja melaporkan perkaramu pada pihak yang berwenang. Dan, ya, di sinilah kita akhirnya saat ini.

Mendengar ceritamu petugas itu belum bisa mendapatkan petunjuk. Namun hari merangkak larut. Dan sepertinya karena terlalu terguncang atas kehilangan itu membuatmu menjadi tak terang lagi berbicara. Demi melihat kondisimu akhirnya diputuskan bahwa penyelidikan akan dilanjutkan esok harinya. Kita pun beranjak pulang untuk sementara.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Suram betul suratan nasibmu. Karena setelah kehilangan hati ternyata membuat pikiranmu lumpuh dan susut. Bahkan hanya butuh satu malam akalmu sudah benar-benar beringsut. Sampai-sampai untuk mengenali diri sendiri pun kamu tak sanggup.

Esok paginya alih-alih ke kantor yang berwenang untuk melanjutkan penyelidikan, kamu ternyata harus dibelokan ke panti rehabilitas jiwa. Depresi stadium akut, begitu orang-orang pintar di sana memvonis keadaanmu.

Penyelidikan pun akhirnya dilanjutkan dengan mengandalkan keterangan saksi-saksi. Aku salah satu saksi itu. Tim penyidik melontarkan beberapa pertanyaan guna mengumpulkan informasi dariku. Mereka menanyakan apa hubunganku denganmu? Sudah berapa lama aku mengenalmu? Dengan siapa saja kamu berteman beberapa bulan terakhir? Dan adakah nama-nama yang barangkali bisa dicurigai dalam kasus ini?

Aku menjelaskan bahwa hubungan kita hanya sebatas teman dekat. Entah sejak kapan tepatnya, yang jelas kita sudah saling mengenal sejak bertahun-tahun lalu. Sepanjang pengetahuanku kamu berteman dengan banyak sekali orang. Tapi… ah, ya, aku ingat sekarang, beberapa bulan belakangan ini kamu sempat bercerita tentang sesosok lelaki yang diam-diam kerap datang mengunjungi pikiranmu. Baik di saat terjaga maupun di dalam mimpi. Meski begitu kehadiran lelaki itu tak bisa dibilang mengganggu karena kamu pun ternyata menyukai kedatangannya. Tapi sayangnya kamu tak pernah sekali pun menyebutkan namanya. mungkinkah lelaki itu berkaitan dengan kasus hilangnya hatimu? Kali ini justru aku yang balik bertanya pada tim penyidik.

Mungkin saja. Singkat kata penyidik itu menjawab.

Interogasi dicukupkan, aku dipersilakan untuk pulang. Esoknya tim penyidik memanggil teman-teman dekatmu yang lain untuk menggali informasi lebih lanjut. Aku mengenali mereka sebab memang pada kenyataannya kita semua berada dalam lingkaran pertemanan yang sama.

Lalu langit runtuh. Selang tiga hari kemudian pihak yang berwenang membawa surat penangkapan atas namaku. Dari keterangan saksi-saksi yang dikumpulkan, kesemuanya memiliki kesamaan cerita yang mengarah padaku. Aku terindikasi menjadi pelaku dalam pencurian hatimu sebab hanya akulah satu-satunya lelaki yang dekat denganmu. Tidak hanya beberapa bulan terakhir tapi bahkan sudah bertahun-tahun lamanya. Statusku kini berubah dari saksi menjadi tersangka.

Berminggu-minggu kemudian aku mendekam dalam tahanan sementara pihak berwenang. Setelah berkas delik perkara dilimpahkan ke kejaksaan, segera saja psoses persidangan pun digelar berkali-kali. Hampir semua agenda persidangan telah dilalui. Dari meminta keterangan saksi-saksi, yakni orang-orang terdekatmu hingga keterangan para saksi ahli. Tidak main-main karena dalam persidangan ini bukan hanya menghadirkan pakar kriminologi tapi juga para psikolog, fisiolog, dan grafolog. Tak adanya saksi mata yang benar-benar melihat aksi pencurian hatimu membuat kasus ini menjadi terlalu pelik.

Bukti-bukti seperti CCTV yang ada di taman dan transkip isi pesan singkat yang pernah kita lakukan, sebenarnya juga tidak cukup kuat untuk membuktikan bahwa akulah lelaki yang telah mencuri hatimu. Tapi perkara ini sudah kadung menyita perhatian publik. Jadi bagaimana pun harus ada seseorang yang bisa segera dipidanakan.

Maka persidangan pun terus berlanjut hingga kini memasuki babak pembacaan dakwaan. Setelah menimbang hal-hal yang dianggap memberatkan dan meringankan yang terkesan dipaksakan, tim jaksa penuntut umum akhirnya merubah statusku dari tersangka menjadi terdakwa, lalu menuntutku dengan ancaman hukuman seumur hidup.

Sidang ditutup untuk sementara dan akan dilanjutkan esok lusa dengan agenda pembacaan pledoi dari terdakwa.

Pledoiku…
“Aku benar-benar hanya menganggapnya sebagai teman dekat. Menurutku ia gadis yang hangat dan menyenangkan. Tipikal manusia yang mampu membuat siapa pun yang berada dalam radiusnya akan menemukan zona nyaman. Barangkali inilah alasan kenapa aku bisa berteman dengannya dalam kurun waktu yang sangat lama.

Sebegitu dekatnya kami hingga saling mengerti kebiasaan-kebiasaan kecil satu sama lain. Seperti aku yang tahu persis bagaimana ia akan menggigit bibir jika sedang berpikir, seperti apa raut muka ketidaksukaanya ketika mendapati sesuatu yang diletakkan tidak pada tempatnya, dan bahkan aku hafal di luar kepala pada tanggal berapa saja ia akan melingkari almanak saat tamu bulanannya datang mengunjunginya. Begitu pula sebaliknya, Ia tahu dengan rinci di kalimat mana saja aku jatuh hati pada baris kata-kata dalam sebuah buku yang kubaca, paham betul gelagatku saat tengah berkata benar atau sedang berdusta, sampai-sampai ia hapal perilaku mana saja yang termasuk alter ego tersembunyiku dan mana-mana yang merupakan tabiat asliku.

Jika dalam sebuah jurnal Psikologi dinyatakan bahwa; kedekatan hubungan yang teramat kuat akan mampu membuat manusia-manusia yang terlibat di dalamnya bisa saling mengerti satu sama lain tanpa harus berucap dan saling bertukar kata, maka sudah sampai di titik itulah kedekatan kami.

Jadi bagaimana mungkin aku akan tega mencuri hatinya?

Ya, tak bisa kupungkiri belakangan ini ada sebentuk perasaan baru yang sebenarnya mulai bertumbuh dalam diriku. Awalnya aku sendiri tak menyadari dan tak pernah benar-benar bisa mengindentifikasi perasaan apa itu. Yang jelas aku menjadi kerap dihinggapi perasaan rindu, sebegitu rindu hingga membuat hatiku biru jika sehari saja tak bertemu dengannya. Karenanya aku selalu mencari cara untuk bisa sesering mungkin menjumpainya.

Meski begitu sekali lagi ku tekankan, aku tak pernah sekali pun berniat mencuri hatinya. Aku hanya kerap tergoda untuk bisa menyentuh inti hatinya dengan perlahan. Apakah itu kejahatan?

Sempat aku bertanya-tanya pada diri sendiri mungkinkah ia juga merasakan hal yang sama? Pernahkah ia merasa jatuh rindu bila tak bertemu dengan ku dalam kurun waktu yang lama? Tapi setiap hendak mengkonfirmasikan perihal itu padanya, tiba-tiba saja nyaliku menciut. Keberanianku beringsut pergi mengkhianati tuannya tanpa sedikit pun memberi aba-aba. Aku mati kutu.

Hingga pada satu ketika dia bercerita tentang seorang lelaki misterius yang mulai kerap muncul di pikiran dan mimpi-mimpinya. Lelaki asing yang sepertinya sudah lama ia kenali tapi tak kunjung jelas paras dan garis-garis warnanya. Semakin keras dia mencoba untuk mengingatnya, maka semakin gelap yang ia dapat. Dia sebenarnya senang atas kunjungan-kunjungan surealis itu, tapi bagaimana pun selalu ada ambang batas pada semua perkara. Begitu pula dengan rasa penasarannya.

Tak tahan menyimpan tanda tanya itu sendirian, ia pun menceritakan “pertemuannya” itu padaku. Kontan aku terkejut kali pertama mendengar ceritanya. Tapi kuat-kuat ku coba berdamai dengan gusar yang tiba-tiba saja menjalar di setiap impuls syaraf kesadaranku. Siapa lelaki beruntung namun tak tahu diri itu? mungkinkah aku mengenalinya? Kenapa ia dengan tidak santunnya merebut perhatian gadisku? “merebut gadisku”? ah, tidak, tidak, aku tak berhak menggunakan frasa itu. Kurang ajar! Aku tak tahu harus berbuat apa. Lalu kedap melingkupiku setelah itu.

Berhari-hari kemudian aku mencoba menghindar dan sebisa mungkin menjaga jarak dari radius hidupnya. Bersandiwara baik-baik saja di depan seseorang yang telah membuat kita terguncang sungguh perkara rumit dan sulit untuk dijelaskan. Sampai akhirnya di satu senja yang berjelaga kudapati panggilan darinya. Mengabari perihal tentang hatinya yang tiba-tiba hilang begitu saja.

Dan kini, setelah sidang-sidang panjang yang melelahkan ini aku merasa ada letupan neuron di kepala yang seketika pecah. Seperti pematik api yang mencipta sepercik cahaya di ruang gulita, pendarnya mulai memperjelas tanda yang sebelumnya sempat tak terbaca. Mungkinkah lelaki itu ternyata bukanlah siapa-siapa? Sebab ternyata dia ada disini. Terduduk di atas kursi pesakitan dan terancam menjadi terpidana, karena terlambat membaca tanda implisit dari gadis yang mentalnya kini terlanjur tak genap lagi.

Jika memang demikian tentu ini bukan lagi perkara salah atau tidak. Ini perihal ketololan yang berlapis-lapis karatnya. Maka sebelum hakim menjatuhi hukum dan mengetuk palu, sebenar-benarnya aku layak untuk dikutuk penyelasan seumur hidup.”

Usai pembacaan pledoi sidang ditutup. Putusan hakim akan ditunda hingga pekan depan.




27102016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar