Senin, 01 Juli 2019

Perspektif

“Perdebatan dua pihak yang berbeda pandangan dan sekaligus berbeda ‘bahasa’, hanya akan berakhir saling ejek. Itukah tujuannya?”
KH. Ahmad Mustofa Bisri (Gusmus)

***





Suatu hari tiga orang mas-mas (sebut saja mas-mas A, mas-mas B, dan mas-mas C), mengajak jalan seorang dedek-dedek gemes yang sedang berada di usia “lucu-lucunya”. Mereka berempat berencana ingin makan-makan di salah satu kafe di pinggiran kota tempat nakanak muda bisa kongkow menghabiskan malam mingguan.

Sesampainya di kafe yang dituju, mereka pun langsung menempati sebuah meja dengan empat kursi, lalu duduk saling silang berhadap-hadapan. Mas-mas A berhadapan dengan dedek-dedek gemes, mas-mas B berhadapan dengan mas-mas C. Mereka (para mas-mas itu) sengaja mengajak jalan si dedek-dedek gemes dalam rangka usaha ngemodusin doi sebab menurut kabar yang tersiar, dedek-dedek gemes ini tengah jomblo dan sedang mencari jodoh yang bisa diajak berumah tangga. Maka demi mendengar kabar ajaib itu tentu membuat mereka langsung bergerak cepat dan tak mau mengulur-ulur waktu. Satu hal yang mereka tak tahu, kalau sebenarnya si dedek-dedek gemes ini cuma menganggap mereka sebagai kakak-adek-an biasa. Ngga lebih. (Tega kamu, dek.)

Tak lama duduk mbak-mbak pramusaji kafe muncul menyodorkan menu. Para mas-mas mempersilakan si dedek-dedek gemes memesan terlebih dulu. “Ladies First” begitu kata mereka gegayaan gentleman macam Casanova.

Sekejab saja si dedek-dedek gemes memesan makanan dan minumannya, lalu diikuti para mas-mas yang menyamakan menu sesuai dengan apa yang dipesan si dedek-dedek gemes. Mereka mungkin berfikir dengan begitu bisa membuatnya terkesan.

Mas-mas A: “Ih, kok selera makan kita sama, ya? berarti kita cocok, dek…”
Mbak-mbak pramusaji sedikit kagok mencatat.

Mas-mas B: “Saya juga samain kaya pesanan gadis ini, ya, mbak. Apapun menunya, selama makannya sama dia, semua pasti nikmat.”
Mbak-mbak pramusaji mulai bergetar mencatat.

Mas-mas C: “Wah, dari rumah, saya emang lagi pingin makan makanan kaya pesananmu, dek. Kebetulan sekali. Mungkinkah ini pertanda semesta?”
Mbak-mbak pramusaji tampak sudah tak kuat, andai bukan karena demi kesopanan dan tuntutan profesional kerja, barangkali ia sudah muntah-muntah di depan para pengunjungnya yang absurd ini.

Setelah mbak-mbak pramusaji mencatat dan memastikan ulang pesanan, ia beranjak pergi menuju dapur tanpa lupa sebelumnya dengan ramah mohon diri dan meminta mereka untuk menunggu sejenak.

Sambil menunggu pesanan datang, mata mas-mas A menyusur sekeliling kafe guna mencari bahan obrolan. Sempat memutar-mutar kepala ke kiri dan ke kanan, tiba-tiba matanya menangkap sebuah simbol yang terukir di tengah-tengah meja yang sempat terlewat. Seperti simbol aksara “E”, batinnya.

Mas-mas A: “Lho, ini simbol huruf ‘E’ di tengah meja maksudnya apa, ya?” ia membuka percakapan.

Mas-mas B: “Apa? Huruf ‘E’ katamu? Itu huruf ‘W‘, bodoh!” serunya spontan dan langsung masuk ke gigi empat. Dia berfikir sikap konfrontasinya pasti akan membuat ia tampak hebat.

Mas-mas C: “Entah apa yang salah pada mata kalian. Itu bukan ‘E’ bukan juga ‘W‘. Jelas-jelas itu huruf ’m‘!“ Tak mau kalah demi bisa mencuri perhatian dedek-dedek gemes, ia pun turut unjuk gigi.

Mas-mas A: “Hei, perhatikan kalimat kalian berdua. Saya ini anak sastra. Saya hapal aksara seperti guru matematika hapal satu tambah satu sama dengan dua di luar kepala!”

Mas-mas B: “Halah, apalah guna sastra dan ilmu dunia tanpa pemahaman agama. Tak selamat kau nanti saat kena hisab di akhirat kelak. Jelas betul bentuk tanda itu macam tasydid di ilmu tajwid. Jadi sudah pasti itu ‘W‘.“

Mas-mas C: “Kalian berdua itu cuma pintar berteori dan taklid buta. Untuk bisa menakar sebuah bentuk absurd perlu imajinasi. Mana bisa otak kanan kalian meraba perkara ini. Ku beritahu pada kalian, tanda yang kita lihat ini macam gambar burung yang sering dibuat anak-anak TK. Jadi tentu ini huruf ’m‘. Paham?”

Mas-mas A: “Susah memang ngomong sama orang yang logika berpikirnya sudah kadung berkabut karena fanatik dan terlalu surealis.”

Mas-mas B: “Hei, tak usah melecehkan keyakinan saya. Kamu pikir logika dan ilmu pengetahuanmu bisa menjawab semua misteri dunia? Dan kau seniman abal-abal, menggambar makhluk hidup itu haram! Dasar manusia-manusia fasik munafik!”

Mas-mas C: “Apa sih, kalian ini? Semua hal harus empiris. Semua hal diartikan secara harfiah membabi buta. Dangkal dan kering.”

Mendengar debat kusir ketiga mas-mas yang makin meruncing tak keruan, si dedek-dedek gemes berdiri lantas pergi tanpa sepatah kata. Ia jengah. Meninggalkan ketiga mas-mas itu yang kini saling melongo kebingungan.

Bukan tanpa alasan kenapa tiba-tiba dia bersikap demikian, sebab, meski bukan seorang hamba yang bisa dibilang taat dalam beragama, namun dedek-dedek gemes ini pernah sempat membaca kitab Al-Wafi; Syarah Hadits Arba’in Imam An-Nawawi karya DR. Musthafa Dieb Al-Bugha & Syaikh Muhyidin Mistu. Di halaman 83-84 kitab itu tertulis, “Jika timbul perbedaan yang akan menyebabkan terjadi perselisihan, maka dia (Rasulullah) memerintahkan kita untuk berdiri dan meninggalkannya…”

Dalam sebuah riwayat di tulis, bahwa suatu ketika saat Rasulullah sedang sakit keras, beliau hendak menulis bagi mereka (para sahabat) satu kitab (wasiat) agar mereka tidak tersesat untuk selamanya. Namun mereka berselisih antara ditulis atau tidak, maka Rasulullah merobek kitab tersebut dan bersabda, “Pergilah dariku!” sebagai teguran dan peringatan bahwa perselisihan dan saling menghardik satu sama lain adalah sebab kerugian. Satu saat juga Rasulullah bersabda, “Bacalah Alqur’an selama ia mempersatukan hati-hati kalian. Dan Jika kalian berselisih, maka berdirilah dan menghindarlah darinya.”

Si dedek-dedek gemes menyayangkan sikap mas-mas B yang dengan arogan menghakimi orang lain sebagai fasik munafik, hanya karena tidak sependapat dengan interpretasinya dalam memaknai simbol yang terukir di meja itu. Tidakkah mas-mas B belajar dari Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hambali yang meski berbeda mazhab dan pendapat, namun tetap saling menghormati dan tidak mengklaim diri sebagai yang paling benar? Di atas itu semua, tidakkah menghakimi adalah hak prerogratif Sang Khalik?

Tak hanya menyayangkan sikap mas-mas B, si dedek-dedek gemes juga kecewa pada mas-mas A sebab, tidakkah ia menyadari bahwa ilmu pengetahuan yang diketahuinya belumlah final? Tidakkah mas-mas A menyadari bahkan di dalam Kamus Bahasa yang menjadi “kitab suci”nya terdapat kata ambigu, homonim, dan sinestesia? Sehingga sangat mungkin menimbulkan makna ganda antara satu orang dengan lainnya. Jadi bagaimana mungkin dengan yakin ia mengklaim diri sebagai orang yang paling mengerti dalam perkara ini?

Setali tiga uang dengan mas-mas A dan mas-mas B, mas-mas C yang berdiri di ranah seni bukannya meredam perdebatan, ia justru ikut menjadi salah satu bahan bakar perselisihan tersebut hingga terus berlanjut. Bukankah seni bersifat membebaskan, tak ajeg dan keluar dari pakem? Hal itu yang mendasari kenapa seni tidak mengenal konsep salah benar. Sebab dalam ranah seni semua perkara hanya soal pilihan selera. Tapi kenapa mas-mas C justru merasa bahwa interpretasinya yang paling tepat hingga menyalah-nyalahi yang lain?

Si dedek-dedek gemes menyayangkan sikap ketiga mas-mas itu karena terlalu berfokus pada simbol yang mereka lihat. Sebegitu sempit sampai mereka silap bahwa ini sebenarnya bukan semata tentang simbol itu sendiri, melainkan juga dari sisi mana melihatnya. Sebenarnya tak ada yang salah jika simbol itu melahirkan interpretasi yang tak sama di masing-masing kepala mereka, sebab memang mereka pun melihat simbol itu dari sudut yang berbeda-beda. perihal simbol ini menjadi masalah karena masing-masing dari mereka tak sudi meluangkan waktu untuk melihat dari sudut yang berbeda.

Si dedek-dedek gemes berharap, andai saja ketiga mas-mas itu mau menyempatkan diri untuk melihat simbol itu dari sudut tempat si dedek-dedek gemes duduk, barangkali mereka akan menyadari bahwa simbol itu tak akan lagi terlihat sebagai sebuah aksara, melainkan akan tampak seperti sebuah angka. Angka “3”.

Dari sana pada akhirnya nanti semoga mereka bisa benar-benar mengerti, bahwa simbol itu memang dapat dilihat dari beberapa sisi. Jadi masih perlukah mereka saling berselisih?

.

.
*Di meja pojok kafe yang kurang mendapat lampu pencahayaan, si pembuat simbol mengamati dalam remang sambil tertawa diam-diam.




16112016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar