Senin, 08 Juli 2019

Arku

“Aturannya sederhana: Tidak ada aturan. Terbangkan saja layang-layangmu.”
The Kite Runner – Khaled Hosseini


***

Senja jingga. Kamu duduk bersila di tanah lapang dalam balutan kasual lengan panjang hijau tatami. Setelah memeram janji yang kita buat jauh-jauh hari untuk sama-sama menerbangkan layang-layang ikan yang kubuat seminggu terakhir, arku dilapisi kertas minyak itu pun kini meliuk-liuk lembut di langit mengikuti gerak angin. Tidak singit seperti layang-layang sebelumnya karena benar katamu tempo lalu; angin hanyalah faktor lain kenapa layang-layang pertamaku tak bisa terbang dengan tenang. Kunci utama yang perlu diperhatikan adalah arku. Proporsi dan rangka yang seimbang adalah penentu bagaimana nantinya layang-layang itu akan bisa dengan anggun mengangkasa. Sebegitu tenang ia terbang kini hingga kenurnya tak perlu kita kendalikan, cukup kaitkan pada sebatang dahan dan biarkan angin senja yang melakukan sisanya. Petuahmu adalah keniscayaan betapa fisika telah menunjukan jati dirinya.

Angin bertiup lembut membawa aroma khas senja dan perdu-perdu yang mengering. Halus mengibas-ngibas ujung kerudung sederhanamu. ‘sebentar lagi’ batinku, ‘biarkan sebentar lagi kunikmati ujung kerudung itu bederai-derai dimainkan angin. Sebelum senja ini benar-benar khatam. Sebelum layang-layang kita turunkan.’

“Kamu tahu asal-usul layang-layang dan hal-hal menarik mengenainya?” ujarmu tiba-tiba sambil menoleh. Menangkap basah mata tak santunku yang lamat-lamat mengamatimu.

“Eh, oh? Serius nanya? Salah orang lu. Gue ditanya asal-usul agama yang gue yakinin aja belum tentu bisa jawab. Apalagi ditanya soal remeh temeh asal-usul layang-layang.” Seperti pencuri yang tertangkap basah, jawabanku melantur kemana-mana.”Memang gimana sejarahnya?”

Sambil menggeleng anggun kamu mengulum senyum, “Konon, layang-layang berasal dari Cina dan sudah ada sejak 3000 tahun yang lalu.”

“Hebat yah, Cina, banyak kebudayaan manusia berasal dari sana. Pantesan dulu nabi nyuruh kita nuntut ilmu jauh-jauh sampai ke negeri tirai bambu itu.” celetukku asal menjumput hadits nabi. Bukan karena aku benar-benar tahu, hal itu hanya semata agar membuatmu terkesan. Maklum saja, semakin sedikit yang ku tahu justru semakin tergoda aku memamerkan yang sedikit itu. “Lalu apa menariknya layang-layang?”

“Jadi pada masa Dinasti Han sekitar 200 SM-200 M, layang-layang digunakan sebagai salah satu alat dalam menghalau musuh. Dengan menempelkan potongan bambu, layang-layang yang diterbangkan akan menghasilakan siulan yang cukup nyaring saat angin menerobos rongga bambu itu. karena banyaknya layang-layang yang diterbangkan menjadikan siulan itu terdengar seperti gemuruh, sehingga membuat musuh yang melintas akan panik lalu melarikan diri. Perang dapat dihindari hanya dengan cara yang sederhana. ”

“Astaga, cupu banget panik cuma gara-gara suara siulan bambu.” Dan dari sok tahu, kini aku menjadi sok pemberani. Kupikir dengan tampak gagah aku bisa mengecoh simpatimu.

Lagi, sambil menggeleng anggun kamu mengulum senyum “Tak berhenti sampai di situ. Sejak tahun 1749 Pemanfaatan layang-layang mulai dipakai untuk penelitian ilmiah. Kala itu Alexander Wilson dan Thomas Melvill dari Skotlandia mencoba mengukur temperatur permukaan bumi dengan cara memasang thermometer pada layang-layang. Lalu menyusul di tahun 1752, ilmuan Benjamin Franklin melalui layang-layang berhasil membuktikan teorinya yang mendunia bahwa petir memiliki muatan listrik. Sementara di tahun 1800 hingga awal 1900an layang-layang dimanfaatkan di bidang meterologi dalam pengukuran cuaca.


“Sudahkah manfaat layang-layang sampai di situ? Nyatanya tidak. Pada era perang dunia II, sekoci-sekoci penyelamat ketika itu dilengkapi layang-layang yang berantena radio guna bisa mengirimkan pesan SOS. Dari sana pada akhirnya membuat jatuhnya korban jiwa semakin bisa diminimalisir karena mendapat pertolongan sesegera mungkin.”

“Ternyata di zaman dulu banyak juga ya, fungsi layang-layang.”

“Ya, memang. Meski tampak sederhana tapi layang-layang pernah menjadi begitu bermanfaat bagi umat manusia. karenanya aku senang saat tempo lalu kamu bilang ingin membuat layang-layang. Aku berharap dari situ nantinya kamu bisa mengadopsi nilai filosofis dari layang-layang. Sederhana, apa adanya, dan tidak rumit, yang penting bagaimana sebisa mungkin kamu mampu menjadi manfaat. Aku suka kamu yang seperti itu”

Sambil menelan ludah aku mencoba mencerna apa yang barusan kamu katakan. Hening singgah beberapa jenak hingga menyadarkan betapa konyolnya aku beberapa menit yang lalu, karena ingin tampak pintar dan pemberani dihadapanmu. Jelas-jelas bukan perkara-perkara itu yang membuat tipikal wanita sepertimu menjadi terkesan.
Mencoba mengalihkan rasa malu yang tiba-tiba bertandang, kuraih kenur layang-layang lalu menarik ulurkan guna membuatnya berputar-putar naik turun. Kemudian sambil lalu aku berujar, “Suka sama yang sederhana dan ngga rumit, tapi kelakuan lu sendiri sering banget rumit buat ‘dibaca’.”

Dan lagi-lagi, sambil menggeleng anggun kamu mengulum senyum. Kali ini aku melihat jelas ada lesung yang terjebak di sana.-



08122016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar