Selasa, 25 Februari 2020

Benua Hilang Atlantis

“…Tatkala maso dahulu, batigo rajo naiek nobat, nan surang Maharajo Alif, nan pai ka banda Ruhum, nan surang Maharajo Dipang nan pai ka Nagari Cino, nan surang Maharajo Dirajo manapek ka pulau ameh nan ko…”
-Sepenggal Tambo Minangkabau

***


Ahli filsafat terkenal Yunani, Plato (427-347 SM), dalam dua bukunya yang berbentuk percakapan dialogis; “Critias” dan “Timaeus”, menyebutkan tentang adanya sebuah benua dengan peradaban purba yang sudah sedemikian maju dan unggul, serta memiliki sumber daya alam subur dan kaya raya yang dinamai Benua Atlantis. Sedemikian pesat kemajuan bangsa Altantis hingga dipercaya merupakan cikal bakal dari peradaban manusia yang berkembang pada saat ini. Naas, akibat adanya serangkaian bencana alam yang terjadi, membuat benua itu secara perlahan-lahan hilang dan diduga kuat kini tenggelam di dasar lautan.

Selama lebih dari 2.000 tahun peradaban Atlantis yang hilang seolah hanyalah mitos Plato dan merupakan dongeng pengantar tidur untuk menemani dedek-dedek gemes sebelum berangkat ke alam mimpi. Namun, sejak abad pertengahan kisah Atlantis menjadi populer di dunia barat dan mengusik ketenangan para ilmuwan hingga menggoda mereka untuk mencari keberadaan benua yang hilang tersebut.

Awalnya banyak yang menganggap bahwa keberadaan Atlantis terletak di Samudera Atlantis, bahkan ada yang menganggapnya terletak di benua Amerika sampai Timur Tengah. Tak ayal penelitian pun dilakukan di wilayah-wilayah tersebut. Akan tetapi, kebanyakan penelitian itu tidak bisa memberikan cukup bukti, hal ini disebabkan karena memang hanya beberapa tempat yang benar-benar memenuhi kriteria perihal ciri-ciri atlantis seperti yang dilukiskan oleh Plato 20 abad lalu. Dan seperti hubungan sepasang pemuda pemudi yang sedari awal beda agama dan keyakinan, pencarian Altantis seperti menemukan jalan buntu.

“Sakit kepala massal” sempat menyerang para ilmuan atlantologis, sebab keberadaan Atlantis masihlah misterius, semisterius gebetan yang tiba-tiba hilang pas lagi sayang-sayangnya gitu. Akan tetapi, pada akhir dasawarsa 1990, kontrovesi tentang letak Atlantis yang hilang mulai muncul berkaitan dengan pendapat dua orang peneliti, yaitu Stephen Oppenheimer seorang profesor dari Oxford University, dan Arsyio Nunes des Santos seorang profesor asal Brazil.

Kontoversi Oppenheimer

Dalam bukunya “Eden in the East, the Drowned Continent of Southeast Asia” yang terbit di tahun 1999, Stephen Oppenheimer mencoba merekonstruksi tentang sumber awal peradaban dunia berlandaskan kajian etnografi, arkeologi, osenografi, mitologi, analisis DNA, dan linguistik. Menurut argumentasi Oppenheimer, Atlantis yang hilang itu tak lain adalah Sundaland yakni sebuah wilayah yang kini meliputi Sumatera, Kalimantan, Jawa, hingga ke semenanjung Malaysia dan Thailand.

Rekonstruksi Oppenheimer diawali dari saat berakhirnya puncak Zaman Es sekitar 20.000 tahun lalu. Ketika itu muka air laut masih sekitar 150 m di bawah muka air laut dari saat sekarang. Kepulauan Indonesia bagian barat masih tergabung dengan benua Asia dan dikenal sebagai Sundaland, sementara Irian Jaya masih bergabung dengan benua Australia. Namun saat bumi memanas, timbunan es yang berada di bagian kutub bumi yang kala itu ketebalan lapisan es bisa mencapai satu kilometer, meleleh mengakibatkan banjir besar yang melanda daratan rendah di berbagai penjuru dunia. Wilayah yang paling mendapat dampak paling parah akibat melelehnya es kutub tersebut adalah Paparan Sunda dan pantai Cina Selatan. Sejak saat itu wilayah Sundaland menjadi pulau-pulau yang terpisah-pisah antara lain Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Bali. Kasihan mereka dek… Awalnya sudah menyatu tapi dipisahkan gegara mencairnya es di kutub bumi yang tak teguh lagi bersatu.

Manusia prasejarah yang mendiami wilayah Sundaland yang kala itu sudah memiliki peradaban maju, hal ini ditandai dari cara berpenghidupan yang sudah bertani dan berternak serta menjadi leluhur peradaban Timur Tengah sejak 6.000 tahun silam harus bermigrasi ke barat yaitu ke Asia, Jepang, serta Pasifik. Merekalah kemudian yang menjadi leluhur Austronesia.

Kekuatan argumen Oppenheimer terletak pada hasil penelitian DNA yang menentang teori konvensional saat ini bahwa penduduk Asia Tenggara sekarang (Filipina, Indonesia dan Malaysia) datang dari Taiwan 4000 tahun lalu (Zaman Neolithikum).

Teori Oppenheimer tak begitu saja bisa diterima, salah satu sanggahan terhadap Oppenheimer datang dari para ahli bidang mitologi dalam sebuah konferensi internasional yang berlangsung di Edinburg 28-30 Agustus 2007 dengan tema “A new Paradise myth? An Assessment of Stephen Oppenheimer’s thesis of the South East Asian Origin of West Asian Core Myths, Including Most of the Mythological Contents of Genesis 1-11”. Binsbergen salah seorang pemakalah dalam konferensi itu menyanggah bahwa Oppenheimer hanya mendasarkan Sundaland yang ia hipotesiskan sebagai prototype mitologi Asia Tenggara atau Oseania hanya berdasarkan mitologi Asia Barat (Berkaitan dengan Taman Firdaus, Adam Hawa, kejatuhan manusia dalam dosa, Kabil dan Habil, Menara Babel, Banjir Besar dan Bahtera Nuh).

Namun, bantahan Binsbergen ini dipatahkan kembali oleh Richards et al., (2008) yang menulis makalah pada sebuah jurnal berjudul “New DNA Evidence Overtuns Populasi Migration Theory in Island Southeast Asia”. Richards menunjukan bahwa penduduk Taiwan justru berasal dari Sundaland yang bermigrasi akibat terjadinya Banjir Besar di Sundaland. Demikian pula ciri garis-garis DNA menunjukan migrasi ke Taiwan pada arah utara, ke Papua Nugini dan Pasifik pada arah timur, dan ke daratan utama Asia yang di mulai pada 10.000 SM. Menunjukan penyebaran populasi yang bersamaan dengan naiknya muka laut di wilayah Sundaland.

Seru ya, dek… kalau nyimak rangorang intelek adu argumen. Cara yang ditempuh berasa elegan banget dan “bergizi” sekalih) ^.^

Eksplorasi Temuan Santos

Kontroversi dari Oppenheimer seolah dikuatkan oleh Arysio Santos. Setelah melakukan penelitian selama 30 tahun, professor asal Brazil itu menghasilakan buku “Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitifve Location of Plato’s Lost Civilization” dan terbit pada tahun 2005. Santos dalam bukunya tersebut menampilkan 33 perbandingan, seperti luas wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, kependudukan, dan cara bertani, yang akhirnya menyimpulkan bahwa Atlantis adalah Sundaland (Indonesia bagian Barat).

Santos mengemukakan bahwa di masa lalu, Atlantis adalah benua yang membentang dari bagian selatan India, Sri Langka, dan Indonesia Bagian Barat meliputi; Sumatera, Kalimantan, Jawa dan terus ke arah timur. Wilayah Indonesia bagian Barat sekarang itulah sebagai pusatnya. Dimana di wilayah tersebut terdapat puluhan gunung berapi aktif dan dikelilingi oleh Samudra Hindia dan Samudra Pasifik.

Berdasarkan pada tulisan Plato dalam buku “Critias” dan “Timaeus”, bahwa Atlantis merupakan benua yang hilang akibat letusan gunung berapi yang secara bersamaan meletus dan mencairkan lapisan es, yang pada masa itu sebagian besar benua masih diliputi oleh lapisan-lapisan es. Maka, tenggelamlah sebagian besar benua tersebut.

Santos berpendapat bahwa meletusnya berpuluh-puluh gunung berapi secara bersamaan tergambarkan pada wilayah Indonesia zaman dulu. Hal ini ialah saat meletusnya gunung Meru di India Selatan, letusan gunung berapi di Sumatera yang mengakibatkan terbentuknya Danau Toba, letusan gunung Semeru di Jawa Timur, letusan gunung Tambora di Sumbawa yang memecah bagian-bagian pulau di Nusa Tenggara dan letusan gunung Krakatau yang memecah bagian Sumatra dan Jawa memmbentuk Selat Sunda.

Letusan berbagai gunung berapi itu menyebabkan lapisan es mencair dan mengalir ke samudra sehingga luasnya bertambah. Air dan lumpur yang berasal dari abu hasil letusan membebani samudra dan dasarnya sehingga mengakibatkan tekanan luar biasa kepada kulit bumi di dasar samudra, terutama pada pantai benua. Tekanan ini mengakibatkan gempa. Gempa ini di perkuat lagi oleh susulan gunung-gunung yang meletus, (gitu aja terus) kemudian secara beruntun menimbulkan gelombang tsunami yang dahsyat.

Pendapat Oppenheimer dan Santos serta ahli-ahli lain yang dianggap mendukung bahwa Sundaland merupakan peradaban awal manusia, yang menyebar ke penjuru dunia akibat tenggelamnya Sundaland karena runtutan bencana alam dan disebut-sebut Plato sebagai peradaban Atlantis yang hilang, diperkuat dengan penemuan berbagai artefak yang penuh misteri. Seperti penemuan keris di sebuah kuil purba di Okinawa, Jepang, penemuan keris purba di Rusia, kendi purba di Vietnam, Kemboja, dan Pahang; gendang Dong Son dan Kapak Tua Asia Tengah, dan penemuan kota purba yang dinamakan Jawi atau Jawa di Yordania. Hasil penelitian para arkeolog dengan metode karbon menunjukan bahwa kota tua tersebut berumur 4000 SM. Demikian pula pahatan gambar sepasang kerbau atau seorang pria dengan tanduk kerbau muncul juga dalam ikonografi dari Sumeria. Hasil penelitian menunjukan bahwa situs arkeologi kerbau sumeria yang berumur 3000 SM tersebut adalah jenis kerbau rawa-rawa Asia.

***

Replika Situs Atlantis

Meski di Era Klasik tulisan Plato mengenai peradaban Atlantis umumnya dipercaya masyarakat sebagai dongeng semata dan biasa dijadikan bahan lelucon, namun di beberapa tempat ditemukan adanya lokasi tiruan Atlantis atau yang mencoba untuk meniru deskripsi sesuai ibu kota Atlantis. Salah satunya ialah ibu kota Kerajaan Inca, yang terletak di sebuah pulau kecil di Danau Titicaca, di sekitar Tiahuanaco (Bolivia). Atau ibu kota suci Minoan Crete di Pulau Thera (Santorini). Ibu kota Aztecan di Meksiko, Tenochtitlan, juga diikuti sebuah adaptasi daratan dari model purba, dengan Gunung Suci pada pusatnya (Gunung Atlas) namun keberadaan gunung itu digantikan oleh sebuah piramida, dan persimpangan kanal yang mengelilingi juga digantikan oleh jalan dan gerbang yang megah.

Di Indonesia, Pebri Mahmud setelah melakukan penelitian selama tujuh bulan (September 2008 – April 2009) di sekitar perbatasan Propinsi Sumatra Barat, Jambi dan Riau, telah menemukan jejak-jejak situs yang diduga kemungkinan besar adalah replika situs Atlantis.

Berangkat dari teori awal peradaban manusia berada di Sundaland yang di kemukakan Oppenheimer dan Santos, ditambah cerita-cerita tambo, mitos, dan legenda (disini Tambo Minangkabau dan Tambo Lubuk Jambi) yang diwarisi dari para leluhur tentang terdapatnya istana Kerajaan Kandis yang sudah lama hilang. Berada di puncak bukit dikelilingi oleh sungai yang jernih. Pebri Mahmud mencoba melakukan penelusuran guna menemukan sisa-sisa kerajaan Kandis yang dipercaya sebagai peradaban awal Nusantara tersebut.

Tambo Alam Minangkabau

Dalam mitologi Minangkabau disebutkan bahwa Iskandar Zulkarnain memiliki tiga orang putra, yaitu Maharaja Alif, Maharaja Depang dan Maharaja Diraja. Ketika ketiganya dewasa, Iskandar Zulkarnain berwasiat kepada mereka sambil menunjuk-nunjuk, seakan memberitahukan ke arah itulah mereka nanti harus berangkat melanjutkan kekuasaanya. Maharaja Alif ditunjuk ke arah Ruhum (Eropa), Maharaja Depang ke negeri Cina, dan Maharaja Diraja ke Pulau Emas (Nusantara)

Setelah Raja Iskandar wafat, dengan menggunakan bahtera, berlayarlah ketiga putranya itu ke arah timur, menuju Pulau Langkapuri. Setibanya di dekat Pulau Sailan, ketiga saudara itu berpisah. Maharaja Depang terus ke negeri Cina, Maharaja Alif kembali ke negeri Ruhum, dan Maharaja Diraja melanjutkan pelayaran ke tenggara menuju sebuah pulau yang bernama Jawa Alkibri atau disebut juga Pulau Emas (saat ini Sumatra). Berpatokan pada puncak gunung berapi bahteranya pun berlabuh di dekat puncak gunung itu dan akhirnya berkembang di sana.

Tambo Lubuk Jambi

Nyaris serupa dengan mitologi Minangkabau, dalam mitologi Lubuk Jambi, nenek moyang Lubuk Jambi diyakini berasal dari keturunan Raja Iskandar Zulkarnain. Tiga orang putranya yakni Maharaja Alif, Maharaja Depang dan Maharaja Diraja berpencar mencari daerah baru. Sementara kedua saudaranya ke Cina dan Ruhum, Maharaja Diraja dan rombongannya akhirnya mendirikan sebuah kerajaan yang dinamakan dengan Kerajaan Kandis yang berlokasi di Bukit Bakar/Bukit Bakau. Daerah hijau dan subur yang dikelilingi oleh sungai yang bersih. di sanalah ia kemudian membangun istana yang megah dan dinamakan dengan Istana Dhamna

Maharaja Diraja memiliki putra bernama Darmaswara yang bergelar Mangkuto Maharaja Diraja (Putra Mahkota Maharaja Diaraja). Namun putranya itu lebih akrab dipanggil Datuk Rajo Tunggal. Setelah cukup usia, Datuk Rajo Tunggal kemudian menikah dengan putri cantik jelita bernama Bunda Pertiwi. Ketika Maharaja Diraja wafat, maka Datuk Rajo Tunggal pun naik tahta menjadi raja penerus di kerajaan Kandis.

Datuk Rajo Tunggal memerintah dengan adil dan bijaksana. Namun pada puncak kejayaannya, terjadilah perebutan kekuasaan oleh bawahan raja yang ingin berkuasa sehingga terjadi fitnah dan hasutan. Orang-orang yang merasa mampu dan berpengaruh berangsur-angsur pindah dari Bukit Bakau ke tempat lain, diantaranya ke Bukit Selasih yang kemudian menjadi cikal kerajaan Kancil Putih di bukit Selasih tersebut.

Sejak saat itu mulai bermunculanlah kerajaan-kerajaan baru seperti kerajaan Koto Alang di Botung (sekarang Desa Sangau), Kerajaan Puti Pinang Merah di daerah Pantai (sekarang Lubuk Ramo), Kerajaan Dang Tuanku Di Singingi dan Kerajaan Imbang Jayo di Koto Baru (sekarang Singingi Hilir)
Dengan berdirinya kerajaan-kerajaan baru tersebut, mulailah terjadi perebutan wilayah kekuasaan sehingga peperangan antar kerajaan pun tak dapat dielakkan.

Dek… saling serang antar satu kerajaan dengan kerajaan lain ini lumayan njelimet dan berdarah-darah kalau diuraikan. Ngga apa-apa ya kalau maz persingkat saja cerita ini. jadi endingnya, pembesar-pembesar Kerajaan Kandis mati terbunuh oleh Raja Sintong. Karena kecemasan akan serangan musuh, mereka yang tersisa di Kerajaan Kandis pun akhirnya memutuskan untuk sepakat menyembunyikan Istana Dhamna dan melakukan sumpah. Sejak saat itulah Istana Dhamna hilang dan mereka memindahkan pusat kerajaan kandis ke Dusun Tuo (sekarang Teluk Kuantan).

Dari kedua mitologi diatas, terlepas dari benar tidaknya sebuah mitologi, kesamaan cerita dalam mitos tersebut dapat ditarik benang merah, yaitu dalam tambo Minangkabau dan tambo Lubuk Jambi sama-sama menyebutkan bahwa nenek moyang mereka adalah Iskandar Zulkarnain.

Setelah melakukan wawancara dan mendapatkan cerita tambo tersebut dari para pemangku adat setempat, Pebri Mahmud melanjutkan penelitiannya dengan melakukan analisis topografi untuk mencari titik lokasi yang diduga kuat sebagai lokasi Kerajaan Kandis. Dengan menggunakan peta satelit yang diambil dari Google Earth, ditemukan lokasi yang dicirikan di dalam tambo (bukit yang dikelilingi oleh sungai). Daerah tersebut berada pada titik 0"42’58 LS dan 101"20’14 BT, atau berada hampir di titik tengah pulau Sumatra (perbatasan Sumatra Barat dan Riau). Lokasinya berada di tengah hutan adat Lubuk Jambi, oleh pemerintah dijadikan sebagai kawasan hutan lindung yang diberi nama Hutan LIndung Bukit Betabuh. Jarak lokasi dari jalan lintas Sumatra kurang lebih 10 km ke arah barat dengan topografi perbukitan.

Pada lokasi yang dituju, ditemukan hal-hal yang mencirikan bukit tersebut sebagai peninggalan peradaban manusia. kurang lebih 2 km sebelum Bukit Bakar/Bukit Bakau ditemukan batu Karst/ karang laut yang berjejer, diduga jejeran batu ini sebagai pagar lingkar luar kerajaan.

Pada lereng timur bukit sebelah atas kira-kira 1.200 m dari sungai, ditemukan mulut gua yang diduga adalah pintu masuk istana. Namun pintu ini pada bagian dalam sudah tertutup oleh reruntuhan batu. Pintu gua ini memiliki tinggi 5 m dengan ruangan di dalam sejauh 3 m, dan dalam gua tersebut terlihat ada ruangan besar namun sudah tertutup.

Pada lereng bukit bagian selatan sampai ke barat, ditemukan teras sebanyak tiga tingkat, diduga bekas cincir air. Sementara lereng utara sampai timur sangat curam dan terlihat seperti terjadi erosi yang parah. Teras ini lebarnya rata-rata 4 m, jarak antara sungai dengan teras pertama kira-kira 200 m, teras pertama dengan teras kedua kira-kira 400 m, teras kedua dengan teras ketiga kira-kira 500 m, dan panjang lereng diperkirakan 1.500 m.

Berdasarkan analisis di peta bukit ini dari timur ke barat berdiameter 3.000 m. Beda elevasi antara sungai dengan puncak bukit 245 m. Pada lereng barat daya, kira-kira pada ketinggian lereng 800 m, ditemukan mata air yang mengalir deras. Ukuran ini berdasarkan perkiraan di lapangan dan pengukuran di peta satelit. Untuk mendapatkan ukuran yang sebenarnya, perlu pengukuran di lapangan.

Melihat ciri-ciri atau karakter lokasi, hal ini memiliki kemiripan dengan sketsa Atlantis yang ditulis oleh Plato yang menyebutkan, “Poseidon mengukir gunung tempat kekasihnya tinggal menjadi istana dan menumpuknya dengan tiga parit bundar yang lebarnya meningkat, bervariasi dari satu sampai tiga stadia dan terpisah oleh cincin tanah yang besarnya sebanding. Bangsa Atlantis lalu membangun jembatan ke arah utara dari pegunungan, membuat rute menuju sisa pulau. Mereka menggali kanal besar ke laut, dan di samping jembatan, dibuat gua menuju cincin batu sehingga kapal dapat lewat dan masuk ke kota di sekitar pegunungan; mereka membuat dermaga dari tembok batu parit. Setiap jalan masuk ke kota dijaga oleh gerbang dan Menara, dan tembok mengelilingi setiap cincin kota. Tembok didirikan dari bebatuan mera, putih, dan hitam yang berasal dari parit, dan dilapisi oleh kuningan, timah, dan orichalcum (perunggu atau kuningan). “

Ada kemiripan dalam tulisan Plato itu dengan yang ada di Lubuk Jambi. Meski belum cukup membuktikan bahwa penemuan itu adalah sisa Kerajaan Kandis dan merupakan replika Atlantis, namun sudah bisa di pastikan bahwa daerah tersebut pernah dihuni atau disinggahi manusia pada zaman dahulu.

Lalu bagaimana keterkaitan antara Iskandar Zulkarnain dalam hal ini?
Iskandar Zulkarnain adalah anak dari Raja Macedonia, Fillipus II. Ketika berumur 13 tahun Raja Fillipus mempekerjakan filsuf Aristoteles sebagai guru bagi Iskandar. Dalam tiga tahun, ia mengajarkan berbagai hal serta mendorong Iskandar untuk mencintai ilmu pengetahuan. Dan seperti yang sudah diketahui umum, bahwa Aristoteles tak lain adalah murid dari Plato.

Dari hubungan ini, dapat diduga bahwa keturunan Iskandar Zulkarnai yang sampai ke Lubuk Jambi (dalam hal ini Maharaja Diraja) terinspirasi untuk membangun sebuah peradaban/negara yang ideal seperti Atlantis. Maka ia pun membangun sebuah Istana Dhamna sebagai “sebuah replika Atlantis”. Namun meski begitu Pebri mengakui bahwa semua ini masih perlu dikaji kembali sebab masih bersifat hipotesis. Dan sedikit disayangkan, karena keterbatasan sumber daya membuat penelitian lanjutan belum bisa dilaksanakan.


Ps. Dek… Tulisan kali ini rada panjang dari postingan-postingan sebelumnya, ya? Tapi percayalah, dek, sayangnya maz ke adek jauh lebih panjang dari tulisan ini kalau diuraikan dalam simbol aksara. #euhhh


***

Lihat:
Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitifve Location of Plato’s Lost Civilization - Arsyio Nunes des Santos.

Eden in the East, the Drowned Continent of Southeast Asia - Stephen Oppenheimer.

Peradaban Atlantis Nusantara – Ahmad Y. Samantho, Oman Abdurahman et all.



22122016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar