Selasa, 25 Februari 2020

Visioner

“Sejak dulu, dunia ini seperti buku. Dan seumur hidup, kita hanya membaca satu halaman.”
-Maria Ozawa a.k.a Miyabi

***

Terlahir pada tanggal 14 Februari 1473, dan hidup pada masa dimana manusia percaya bahwa bumi adalah pusat dari tata surya, Nicolaus Copernicus ialah pencetus teori heliosentris yang mematahkan pandangan umum mengenai teori geosentris. Kala itu ia berpendapat bahwa bumi bukanlah pusat dari tata surya melainkan matahari. Karena bumi, bulan beserta benda-benda angkasa lainnyalah yang sebenarnya berputar mengelilingi bintang berpijar itu.

Ironis, sebab kecerdasan Copernicus ternyata melampaui zamannya. Pendapatnya ditentang habis-habisan dan tak bisa diterima oleh para agamawan yang berkuasa. Mereka merasa pengetahuan itu dapat mengancam keyakinan umat. Maka tak pelak Copernicus pun akhirnya dengan terpaksa harus menunda menerbitkan naskah teorinya tersebut.

Nyaris saja pandangan Copernicus tentang pergerakan benda-benda langit terkubur bersamanya, namun beruntung, di detik-detik menjelang ajalnya di tahun 1543, George Joachim Rheticus yang tak lain adalah asisten Copernicus semasa hidup, diam-diam menerbitkan “On the Revolutions of the Heavenly Sphere” yang merupakan buah pemikiran dari sang astronom sekaligus matematikawan brilian itu.

Dari sana kemudian karya Copernicus akhirnya mulai dikenal secara meluas. Meski karyanya belumlah sempurna dan masih terdapat beberapa kekeliruan, namun buku Coperninus merupakan dasar dari astronomi modern yang mempengaruhi Galileo, Keppler serta banyak ilmuwan lain setelahnya dan dipergunakan hingga saat ini.



“A Vindication of the Rights of Woman (1792)”. Inilah buku paling awal yang mengejawantahkan persoalan isu persamaan derajat antara kaum wanita dan kaum lelaki. Ditulis oleh Mary Wollstonecraft, seorang feminist sekaligus filsuf yang mendedikasikan hidupnya guna tercapainya emansipasi wanita.

Memiliki latar belakang kehidupan yang suram sedari kecil, bersama seorang ayah pemabuk yang kerap berlaku kasar, tak membuat wanita kelahiran 27 April 1759 ini menjadi pandir dan bebal. Sebaliknya, seperti intan yang terus menerus mendapat gesekan demi gesekan, Mary justru terbentuk menjadi berlian.

Matanya cerlang pikirannya cemerlang, mengamati bagaimana para wanita di zamannya begitu terkungkung dan tak memiliki kemerdekaan yang nyata. Seakan mendapat legalitas dari dogma keyakinan yang menggariskan bahwa wanita memang hanya bertugas untuk menyenangkan para pria, membuat setiap wanita pada masa itu harus sepenuhnya tunduk dan bergantung pada suaminya. Perkara inilah yang menerbitkan kegusaran Mary. Baginya laku kebudayaan seperti itu mestilah ditilik ulang eksistensinya.

Apa yang Mary inginkan sebenarnya sederhana. Ia hanya ingin wanita bisa lebih berpendidikan dan mempelajari banyak hal tentang ilmu pengetahuan dan etika. Sebab dengan begitu, peran wanita tidak hanya menjadi makhluk yang hanya bisa bergantung dan dikte oleh kaum lelaki saja.

Meski beragam aral melintang menyandung impiannya. Mary tetap berkeras dan mengkritisi kepandiran masyarakat kala itu melalui buku-buku radikalnya. Kelak dari sana ia menginspirasi banyak wanita di berbagai belahan dunia. Diantaranya Elizabeth Cady Stanton dan R.A. Kartini.

Dari perjuangannya itu, kini sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan tidak hanya diperuntukan bagi kaum lelaki saja. karena wanita yang menggenggam buku bukanlah lagi perkara tabu.



Seratus enam puluh tahun yang lalu, William Lloyd Garrison (10 Desember 1805 – 24 Mei 1879) ditertawakan oleh masyarakat yang hidup sezaman denganya. Apa pasal? Pria yang bergelut di ranah jurnalis ini meneriakan tuntutannya pada pemerintah untuk menghapus perbudakan. Menurut Garrison, perbudakan adalah pelecehan terhadap penciptaan Tuhan, serta merendahkan harkat martabat manusia.

Perlu ketahui, pada masa itu sistem perbudakan merupakan hal yang lumrah terjadi di Amerika dan Eropa. Sehingga saat Garrison meneriakan tuntutannya itu, ia tak hanya ditertawakan, dicibir dan ditentang oleh semua institusi negaranya, tapi juga oleh masyarakat yang mengamini sistem purba tersebut. Ditambah fatwa dari para ahli agama yang menyatakan bahwa perbudakan adalah bagian dari kehendak Tuhan, semakin membuat teriakan Garrison terdengar seperti igau dari sesat pikir seorang jurnalis yang utopis.

Garrison tak peduli, ia terus menulis dan meneriakan protesnya tanpa henti. Orang-orang yang menentangnya berdalih bahwa perbudakan sudah ada sejak ratusan bahkan ribuan tahun lalu. Jadi tak akan mungkin bisa dihapuskan. Tapi dasar memang Garrison kepala batu, ia berkeyakinan bahwa apa pun itu meski sudah dilakukan ratusan bahkan ribuan tahun dan dilakukan banyak orang sekali pun, bukan berarti sesuatu itu benar dan bisa terus dibenarkan. Tekadnya bulat sudah, tak sudi mundur satu pijak pun ia melangkah meski perjuangannya dimustahilkan oleh jutaan orang.

Bak bola salju, tulisan-tulisan dan teriakan Garrison yang awalnya menjadi bahan olok-olok mulai perlahan-lahan mendapat tanggapan positif dari banyak orang. Ia mulai mendapat dukungan. Awalnya satu orang hingga terus menerus menjadi jutaan suara berpihak padanya. Meski sampai akhir hayat Garrison tak sempat melihat buah perjuangannya, namun cita-citanya kemudian diteruskan oleh orang-orang lain yang sejalan dengannya, diantara Abraham Lincoln dan Martin Luther King. Dan kini perbudakan manusia akhirnya resmi dinyatakan sebagai kejahatan.

***

Ps. Selamat ultah kak Maria Ozawa. Kaka mau kupinjami komik Salad Days nomor 18? ^.^




14012017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar