Sabtu, 12 Januari 2019

Ekalavya

“Tetesan air yang terus-menerus mampu melubangi batu yang keras sekalipun.”
Ibnu Hajar

***


Mblo... kalian tau Arjuna? Iya, Ksatria dari geng pandawa yang konon katanya memiliki ketampanan di atas rata-rata. Salah satu ksatria yang senyumnya bisa bikin banyak kaum hawa mendadak amnesia. Lupa soal gimana caranya bernapas dengan baik dan benar sesuai anjuran DR. Achmad Riva'i, MBA selaku pembina MAHATMA yang akibatnya bisa ngebuat sesek dada. #WarrBiasaDahPokonya

Dalam epos Mahabrata (baik versi India maupun versi Jawa) dikisahkan bahwa Arjuna adalah pemanah paling handal yang gak hanya diakui di negeri Hastinapura tetapi bahkan di seantero jagat raya. Dengan kemampuan memanah itulah --terlepas dari adanya beberapa faktor lain-- membuat Arjuna akhirnya bisa menumbangkan Karna dalam pertempuran di Kuruseta.

Ummm...
Tapi benarkah demikian adanya? Benarkah Arjuna ksatria satu-satunya yang memiliki kemampuan memanah paling mumpuni?

Sepertinya gak persis begitu.

Jadi, dalam bab lain sebelum perang Bharatayudha antara Pandawa dan Kurawa terjadi, (ini lebih ke versi India) tersebutlah seorang pangeran, nih, pengeran gak ganteng-ganteng amat, gak pinter-pinter amat, bukan artis, bukan politikus, bukan teknokrat, malah bisa dibilang doi dari kaum paling rendah yang terkenal sebagai kaum pemburu, yakni kaum Nisada.
Pangeran itu terlahir dengan nama Ekalavya. Dimana apabila ditilik dari terminologi bahasa #Woilahhh (((terminologi))) :))), nama tersebut diambil dari bahasa Sanskerta yang berarti "ia yang memusatkan pikirannya kepada suatu ilmu/mata pelajaran". Nah, sesuai dengan arti namanya, Ekalawya adalah tipikal orang yang memusatkan fokus perhatian kepada ilmu (khususnya) memanah. Bisa dibilang ilmu itu yang bikin Ekalavya lebih berselera dari pada kawin muda. :)

Didorong keinginan yang kuat untuk mengasah kemahirannya dalam memanah, Ekalavya memutuskan pergi ke Hastinapura guna berguru pada bagawan Drona, yakni seorang ahli dalam pengembangan seni pertempuran.

Tapi mesakke cah, kalok kata pepatah mah jauh panggang dari api. Sebab setelah bertemu guru Drona, ternyata ia gak bersedia menurunkan ilmunya pada Ekalavya.

Kenapa?

Ada beberapa versi yang mengisahkan alesan penolakan guru Drona tersebut. Tapi secara pribadi gue lebih seneng sama versi dimana alesan guru Drona menolak Ekalavya karena ia udah kadung janji, yakni cuma akan ngajarin anak-anak Kurawa dan Pandawa. serta menjadikan Arjuna sebagai pemanah nomer satu dan paling sakti sejagat raya. yah, mau dikata apa, bagaimanapun komitmen guru Drona mesti dihormati.

Lalu apa kabarnya Ekalavya? Patah arangkah ia?

Ternyata gak ngefek, mblo. Penolakan sang guru gak jadi penghalang niat Ekalavya untuk memperdalam ilmu memanah, ia kemudian masuk ke hutan (tapi gak belok ke pantai kek puisinya Rangga di Ada Apa Dengan Cinta.) Di hutan itu Ekalavya mulai belajar memanah. Ia membuat patung guru Drona sebagai media untuk memuja dan menghormati sang guru. mungkin istilah canggihnya agar hal itu bisa menjadi semacam sugesti pada diri sendiri guna terus bisa membarakan semangat. Dengan gigih ia berlatih, sampai pada akhirnya Ekalawya memiliki kecakapan yang luar biasa dalam ilmu memanah, yang sejajar bahkan lebih pandai daripada Arjuna.

(Mblo... sampai disini mungkin kalian bisa sedikit mengadopsi cara Ekalavya. Kalok-kalok nanti semisal kalian ditolak sama gebetan, larilah kehutan, buatlah patung yang menyerupai doi. Tapi biar rada beda dan ada gregetnya, berilah sedikit improvisasi dengan membuat patung itu dari bahan jerami, tempelin foto gebetan di sana. lalu tusuk-tusuk dengan paku seraya merapal mantra-mantra.) #hakhakhak :)))

Suatu hari, di tengah hutan saat Ekalavya sedang berlatih sendirian, ia mendengar suara anjing menggonggong, tanpa melihat ia melepaskan anak panah dari busurnya, dan --aje gileee, anak panah itu tepat mengenai mulut anjing tersebut. #KhanMaendah
Saat anjing itu ditemukan oleh para Pandawa, mereka bertanya-tanya siapa gerangan yang mampu melakukan ini semua selain Arjuna. Kemudian mereka melihat Ekalawya, yang memperkenalkan dirinya sebagai murid dari guru Drona.

#JengJengJeng ~musik dramatisir~

Mendengar pengakuan Ekalawya, Arjuna jadi galau (lebih galau dari kalian mblo yang lagi nimbang-nimbang mau nembak gebetan atau gak), musabab melihat kemahiran memanah Ekalavya membuatnya sadar bahwa kini ia gak bisa lagi petantang petenteng karena ternyata bukan pemanah terbaik dan ksatria utama. #yailah

Di istana galaunya Arjuna bisa terbaca oleh guru Drona, yang juga mengingat akan janjinya pada Arjuna bahwa ia akan digaransi menjadi murid yang terbaik di antara semua muridnya. Tak ayal, kemudian guru Drona akhirnya memutuskan untuk mengunjungi Ekalawya.

Kedapatan dikunjungi oleh "guru" yang sangat dikaguminya, Ekalawya girang bukan kepalang, dengan sigap ia menyembah pada sang guru sebagai wujud bhakti. Namun apes mblo, doi malah dimaki-maki. Ia dianggap lancang karena mengaku sebagai murid guru Drona meskipun dahulu sudah pernah ditolak untuk diangkat menjadi murid. Tapi nasi udah jadi bubur. mau pagimanah lagi. sekarang tinggal mikir gimana caranya bisa dapetin kuah kaldu, kacang kedele, seledri, bawang goreng plus irisan ayam biar ituh bubur enak untuk dimakan. mungkin kira-kira begitu yang ada di pikiran guru Drona ketika itu.

Guru Drona pun akhirnya meminta Ekalawya untuk melakukan Dakshina, yakni sebentuk permintaan guru kepada muridnya sebagai tanda terima kasih seorang murid yang telah menyelesaikan pendidikan. kaga tanggung-tanggung, guru Drona meminta supaya Ekalavya memotong ibu jarinya.
(Lha, coba ituh mblo? Jempol bagi seorang pemanah itu ibarat kata-kata bagi kang nyepik. kaga ada kata-kata selesai sudah karir si kang nyepik itu.)

Apa yang dilakukan Ekalavya kemudian? Karena besarnya rasa hormat dan demi menunjukkan wujud bhakti kepada sang guru, dengan nyantai ia potong jempolnya sendiri kek emak-emak yang udah biasa motong bawang, lantas menyerahkan pada guru Drona. Sejak saat itu Ekalavya kehilangan kemahirannya dalam memanah.

Tamat.

Eh, gak ding. Berlanjut ke bab berikutnya.
Kata kunci: Belajar. Gigih. Bhakti.




16062016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar