Minggu, 13 Januari 2019

Lebah

“Perumpamaan orang beriman itu bagaikan lebah. Ia makan yang bersih, mengeluarkan sesuatu yang bersih, hinggap di tempat yang bersih dan tidak merusak atau mematahkan (yang dihinggapinya).”
Rasul Muhammad

***


-disengat lebah --nyaris di ubun-ubun kepala --saat tengah bermain layang-layang --di tanah lapang belakang rumah --bersama kedua abangku, adalah keping-keping ingatan pertama dalam hidup yang dapat kuingat sejauh ini. Mungkin saat itu usiaku sekitar 4 tahun, karena ketika peristiwa itu terjadi kami sekeluarga masih tinggal di Jakarta. Belum disini, kami hijrah di dusun ajaib ini saat usiaku memasuki tahun ke-5.

Dulu aku pernah menceritakan perihal ingatan pertamaku ini padamu. Dan kamu spontan tertawa. Sial. Tapi tawamu tak seberapa lama, karena setelahnya –dengan nada cemas seperti mengingat sesuatu- kamu bertanya apakah dulu lebah itu benar-benar menyengatku? Tentu saja, jawabku. Mamaku malah pernah cerita, waktu itu sempat sedikit kesulitan saat hendak mencabut sengat lebah yang tertinggal dan tertancap di kepalaku. Bahkan hingga kini samar-samar aku masih bisa membayangkan bagaimana nyerinya kepalaku ketika itu.

“Kasihan…” katamu.

“Oh, tapi sekarang udah ngga apa-apa, kok.” Kataku.

“Bukan kamu, tapi lebah itu.” Terangmu.

“Lha, lu ngga empati sama gue?” gerutuku.

“Bukan. Bukan begitu, andai kamu tahu kalau lebah salah satu makhluk yang menjalani hidupnya dengan sangat terpuji dan merepresentasikan cara hidup yang islami, kamu mungkin akan lebih empati pada lebah itu.”

“Maksud lu?”

Kamu diam sebentar, seperti memberi kesempatan untukku menggunakan nalar. Sia-sia. Aku islam tapi tak seperti Syafi’i Ma’arif yang paham betul soal indikator nilai-nilai berkehidupan islami itu yang bagaimana. Dan, ah, melirik ke dalam matamu, firasatku berkata kali ini lagi-lagi kamu akan bicara panjang lebar.

“Setidaknya ada tiga hal yang bisa kamu pelajari dari cara hidup seekor lebah.” Nah, benar, kan dugaanku? Lanjutmu, “Pertama, lebah itu makhluk yang sangat selektif dalam urusan memakan sesuatu, sepanjang hidupnya lebah hanya akan mengkonsumsi nehktar dan serbuk sari dari bunga-bunga. Jadi jangan heran kalau pada akhirnya lebah merupakan satu-satunya serangga penghasil madu, sesuatu yang memiliki begitu banyak manfaat bagi kita manusia. Dari lebah kita bisa belajar bahwa segala sesuatu yang bermula dan didapat dari hal baik pada akhirnya akan menghasilkan hal baik pula. Bukan hanya itu, saat menghisap bunga sari secara langsung lebah juga membantu proses penyerbukan sehingga nantinya bunga bisa menjadi buah dan tanaman dapat terus bertumbuh.”

“Oh… Jadi tuh lebah waktu itu mengira kepala gue putik bunga, gitu?” Sedikit jengkel aku menyela sekenanya.

“Ih… Dengarin dulu… ini belum sampai pada giliranmu.” Kali ini ada senyum yang menyimpul di bibirmu. Melihat itu aku kembali mencair, yah, kamu memang selalu juara dalam menghadapi bocah lelaki berotak bebal sepertiku. Sejurus kemudian kamu melanjutkan bicara, “Kedua, lebah itu makhluk cinta damai, dalam artian dia bukanlah makhluk perusak, dimanapun lebah hinggap tak pernah ada satupun ranting tanaman yang patah. Lebah sangat menjaga kelestarian tempat dimanapun dia singgah. Aku berharap kita bisa meniru perilaku terpujinya itu dimanapun nanti kita hidup.”

(Iya deh… lebah mah cinta damai, dia menyengat kepala gue maksudnya pingin kasih semacam ciuman sayang, kan??’) ingin sekali aku sampaikan kalimat sarkas itu, tapi teringat senyummu tadi membuatku mengurungkan niat dan memilih untuk mendengarmu lebih jauh.

“Lalu kenapa lebah itu menyengatmu?”

(Nah, bagian itu yang sedari tadi gue tunggu-tunggu sampai nyaris sakit kepala rasanya. Bisa lekas elu jelaskan itu?) Tak bicara, kujawab pertanyaan retorismu dengan anggukan kepala.

“Bisa jadi karena ia merasa terancam. Ah, yah, saat itu kamu sedang main layang-layang dengan kedua abangmu. Tentu aku tak lupa pada bagian itu. Aku tidak sedang menghakimi kamu dengan menuduh telah mengganggu lebah itu lebih dulu. Ngga sama sekali. saat itu barangkali kamu hanya ngga menyadari bahwa kehadiran kalian –kamu bersama abang-abangmu-- sudah membuat lebah itu merasa terancam. Itu sangat mungkin sekali. Kan? Dan jelas, itu bukan salahmu, karena kamu memang ngga ada niat menggangunya.”

“Ya, bisa jadi kaya gitu.” Hipotesamu cukup masuk akal pikirku.

“Dan ini yang harus kamu tahu sekaligus pelajaran ketiga yang bisa kita ambil dari seekor lebah. Meskipun penganut cinta damai bukan berarti lebah tak bisa melakukan serangan. Lebah bisa melawan, Itupun dilakukannya bila sudah benar-benar merasa terdesak, sebab saat seekor lebah merasa terganggu, biasanya hal pertama yang ia lakukan adalah lebih memilih menghindar atau pergi. Aku tekankan sekali lagi disini, lebah hanya akan menyerang bila merasa sudah benar-benar sangat terancam. Dan serangan lebah dengan cara menyengat merupakan bentuk pertahanan terakhirnya, karena setelah melakukan serangan dengan menancapkan sengatnya ke tubuh makhluk yang mengganggunya, lebah akan mati dalam waktu yang tak lama sesaat setelah sengat itu terlepas dari tubuhnya. Itulah mengapa tadi aku merasa kasihan pada lebah yang menyengatmu. Bukan karena aku tak berempati padamu, tapi lebih kepada… yah, aku rasa kini kamu mengerti.”

Yah, aku mengerti maksudmu. Aku hanya tak tahu bagaimana mengatakannya. Kali ini aku merasa… ah, lebah yang malang…




fb27052016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar