Sabtu, 12 Januari 2019

Transisi Bocah

Dia hanya bocah lelaki biasa seperti kebanyakan, yang sedang berproses menggenapi masa sekolah lanjutan tingkat pertama dan mengalami satu fase, dimana orang-orang pintar bergelar S.Psi. kerap menyebutnya sebagai masa transisi remaja.

Tentu kau tahu bukan, fase ini adalah bagian dari siklus hidup manusia, pada masa ini bocah-bocah tak lagi tampak menggemaskan, sebab tengah beranjak memasuki gerbang pendewasaan. Secara psikis ditandai dengan mulai bermunculannya pertanyaan-pertanyaan dalam hati perihal eksistensi mereka di semesta ini dan tentang percarian jati diri.

Pun begitu pula yang dialami si bocah lelaki, tokoh kita ini. Salah satu impact dari kondisi itu, ialah kecendrungan untuk mencoba banyak hal baru. Meski tak jarang hal-hal itu secara terang benderang membelakangi nilai-nilai yang tertulis dalam Kitab Suci dan Dasa Darma Pramuka, dia tak ambil peduli. Kenakalan remaja, begitulah kira-kira jika kau ingin memperhalus istilah.

Sebutkanlah bermacam-macam jenis kenakalan (selain menindik telinga dan merajah tubuh dengan tinta) yang biasa dilakukan siswa-siswa sekolah, maka nyaris bisa dipastikan dia sudah melewati semuanya. Atau jika nanti kau singgah di sekolah tempat si bocah menghabiskan masa putih birunya itu dan menyempatkan diri berkunjung ke ruang bimbingan konseling, mungkin nanti kau akan dengan mudah menemukan namanya tercantum di "buku hitam" siswa-siswa bermasalah.

Wali kelas, guru agama, guru pendidikan moral dan semua orang yang berkepentingan pada nama baik sekolah gusar dibuatnya, tak habis-habis menegur dengan keras tabiat keparat si bocah. Tapi celakanya, semakin keras kau larang dia, maka semakin lepas ia akan menerabas larangan-larangan itu.

Pihak sekolah jengah, kabar bahwa si bocah yang kerap membuat ulah, akhirnya sampai juga ke telinga pihak keluarganya di rumah, jangan heran jika hal itu membuat bapak si bocah naik pitam. Malu dibuatnya, habis sudah kesabaran. Menjelang akhir studi, si bapak berwacana ingin mengirim anak tak tahu diri itu ke pondok pesantren milik kawan lamanya di pelosok daerah.

Kau tahu kawan, mendengar kata 'pesantren' bagi anak tak tahu adat sepertinya, sudah barang tentu membuat ia sakit kepala. Sebenarnya bukan semata hanya karena itu saja, sebab, sejak awal duduk di bangku kelas tiga, si bocah ini sudah menetapkan hati ingin melanjutkan studi di sebuah sekolah milik pemerintah di selatan Jakarta. Maka dengan terang-terangan dimentahkan rencana mulia orangtuannya itu. Berhari-hari perang dingin antara bapak dan anakpun tak bisa dihindari.

Tak tahan melihatnya, sang ibu menengahi, di perbolehkannya si anak tetap bersekolah di Jakarta, namun dengan satu permintaan, si anak tidak akan bersekolah di SLTA yang sudah direncanakannya itu, tapi di sebuah Madrasah yang terletak di sebelah barat pinggiran Jakarta. Salah satu intitusi pendidikan yang menurut pemahaman si ibu ialah sekolah yang membekali siswa-siswinya dengan pengetahuan umum dan ilmu agama dalam persentase pembagian 50:50. satu hal yang baru benar-benar disadari si bocah di kemudian hari.

Singkat kata singkat cerita, setelah mengikuti serangkaian test, dan memenuhi segala syarat administrasi, si bocah itupun akhirnya terdaftar disana.

Madrasah Aliyah Negeri Sepuluh. Mungkin bukanlah nama sekolah yang terdengar gagah. Namun di sanalah ia akhirnya bertemu dengan (beberapa guru) juga gadis bermata teduh itu . Salah satu dari segelitir orang yang tidak pernah menganggapnya sebagai bocah bermasalah apalagi sampai menghakimi. Melalui kasih, gadis itu selalu mencoba untuk membuka mata si bocah lelaki.

Sesekali pertengkaran kecil diantara mereka memang terjadi, tapi si gadis tetap "menemani" si bocah lelaki untuk bisa melewati fase transisinya. Bersama-sama mereka khatamkan masa putih abu-abu yang sesingkat senja. Satu masa dimana bocah lelaki itu akhirnya menemukan madu termanis dalam siklus waktu. Satu tempat yang membuatnya kerap dihinggapi segala bentuk perasaan rindu.

Maaf, jika ini terdengar klise, tapi kini si bocah lelaki itu tak henti-henti mensyukuri, karena Tuhan telah membelokan beberapa rencana dan memberinya kesempatan kedua.

***

"Manusia bisa dikiaskan sebuah BUKU.
Cover depan adalah tanggal lahir.
Cover Belakang adalah tanggal kematian.
Tiap lembarnya adalah tiap hari dalam hidup kita dan apa yang kita lakukan.

Ada buku yang tebal dan ada buku yang tipis,
Ada buku yang menarik dibaca dan ada buku yang sama sekali tidak menarik.
Sekali tertulis tidak akan pernah bisa diedit lagi.

Tapi hebatnya, seburuk apapun halaman sebelumnya, selalu tersedia halaman selanjutnya yang putih bersih, baru dan tiada cacat."
--Kgs.Muttaqien ZA.



(15062015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar