Sabtu, 12 Januari 2019

Mading

"Seperti padi, kian berisi kian merunduk."
Peribahasa

"Padi tumbuh tak berisik."
Tan Malaka

"Kau membuatku mengerti hidup ini. kita terlahir bagai selembar kertas putih. tinggal kulukis dengan tinta pesan damai. dan terwujud harmoni."
Band Padi - Harmoni

***


"Aku selalu menaruh percaya padamu. Kamu ngga akan kehabisan akal untuk bisa menjadi apa yang kamu mau." Ujarmu membuka percakapan kita di siang itu. Di lorong sekolah menuju kantin, di mana di sana telah terpampang pengumuman perihal kompetisi majalah dinding (mading) antar sekolah Se-Jakarta yang kita ikuti dulu.

Kita? Ah, yah, namamu memang tidak tertera dalam struktural team mading sekolah, tapi secara esensial kamulah muasal inspirasi dan roda penggerak tak kasat mata. Tipikal orang yang tak terlalu ambil peduli soal pengakuan nama. Bukankah kamu yang dulu bersikukuh meyakinkanku agar tetap mengeluarkan semua ide-ide yang tak biasa itu. Rupa mading tiga dimensi yang sempat dipandang sebelah mata misalnya, atau tentang konten mading yang tak usah terlalu baku dalam penyajiaannya. Ketika itu kau berkata, "Udah... buat dulu aja. Ngga usah terlalu dengerin komentar miring mereka apalagi sampai disautin. Mereka cuma sedang ngalamin semacam gegar budaya. Mungkin belum siap terima hal-hal baru yang agak beda dari biasanya."

Ya, meski tidak banyak orang, tapi mendapati kepercayaan darimu itu sudahlah cukup bagiku. Sangat amat cukup. Persis seperti pepatah Prancis yang mengatakan, "Kepercayaan dapat memindahkan gunung." Pun begitu yang aku alami bersama dengan keempat teman di team mading kita. Berangkat dari kepercayaan yang kau titipkan, lalu setelah melalui tiga tahap membuat mading dengan tema berbeda-beda yang nyaris membuat oleng kepala, akhirnya sekolah kita berhasil menyabet piala juara. Meski juara ketiga dan bukan juara pertama tapi hal itu sudahlah cukup membuat dadaku busung melampaui gunung. Celaka!

...

"Aku selalu menaruh percaya padamu. Kamu ngga akan kehabisan akal untuk bisa menjadi apa yang kamu mau." Ujarmu membuka percakapan kita di siang itu. Di lorong sekolah menuju kantin, dimana di sana telah terpampang pengumuman perihal kompetisi majalah dinding antar sekolah. Lanjutmu, "Selamat ya untuk kemenangannya."

"Yoiii..." *kibasin kerah baju sembari angkat kepala tinggi-tinggi*

"Jangan tinggi hati, kita ini makhluk dhoif. Belajar dari padi. Aku yakin kamu ngerti maksudku."

"Iya..." *langsung nunduk lesu*

"Ngga sebegitunya juga kaliii... Angkat kepala kamu. Sewajarnya. Nggak tinggi hati bukan berarti jadi rendah diri."

"Terus gue mesti gimana?" *sedikit ada nada gemas di pertanyaanku kali ini.*

"Padi yang menguning dan merunduk memang bisa menerbitkan gurat senyum para petani, tapi padi tidak berhenti sampai disitu. Masih ada proses panjang yang mesti dilaluinya; ditumbuk menjadi gabah, digiling menjadi beras, diayak untuk memisahkan beras dan sisa sampah gabah hingga ditanak menjadi nasi yang bisa menjadi manfaat dan di nikmati manusia. Proses panjang sejak pembibitan sampai menjadi nasi ia lalui dengan sabar, rendah hati dan tanpa banyak bicara."

"Tapi dari tadi lu banyak amat ngomongnya." Dengan kurang ajar ku sela bicaramu.

"Baiklah, akan kupersingkat. Menjadi padi yang merunduk belumlah cukup. lagi pula jangan artikan ini secara harfiah. Merunduklah dari dalam, sebab di luar sana masih ada proses panjang yang mesti kamu lalui dengan kepala tegak ke depan."

Seandainya ini seperti film-film drama garapan negeri Paman Sam, barangkali sudah kupeluk dan kecium kamu saat itu. Tapi tidak. Adat ketimuran dan adab kepercayaan yang kita yakini tak mengizinkan itu, mau bagaimana lagi, ketika itu aku hanya bisa terpaku melihat kamu yang menutup percakapan dengan senyum sipu.


2006--fb:30032015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar