Minggu, 13 Januari 2019

Pak Hamid

“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabbmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”

(QS. An-Nahl: 125)


***



Namanya Pak Hamid. Abdul Hamid Sholeh. Belio adalah guru Qur’an Hadits, saat saya masih duduk di bangku Madrasah Aliyah. Jika ditanya, seperti apa guru ideal dalam perspektif saya, maka Pak Hamid inilah jawabannya. Salah satu dari beberapa representatif guru paling asoy yang pernah dan masih saya miliki.



Jika boleh mengutip twit @noffret, “Bagiku, guru bukan orang yang pernah mengajarku. Guru adalah sosok yang ingin kutiru.” Pun begitu juga dengan saya, yang memaknai arti guru sama persis seperti kicauannya itu.



Ada beberapa alasan mengapa saya “diam-diam” mengagumi guru masa putih abu-abu yang satu ini. Pertama dan utama, karena belio adalah sosok yang mentransferkan pengetahuannya dengan sangat bil hikmah. (Meminjam istilah kekinian, cara ngajar doi itu masuk kategori: selow maksi).


Melalui narasi belio menyampaikan ilmu tanpa kesan menggurui. Dalam membahas materi pelajaran, tak jarang pak Hamid seperti keluar dari bahan ajar yang tertulis di buku paket pelajaran. Sebab, alih-alih menyampaikan materi yang tertera di sana, belio justru akan bercerita tentang banyak peristiwa dan kejadian. Baik itu kisah-kisah faktual di masa lampau atau cerita-cerita aktual yang baru terjadi.


Sesekali belio juga menyampaikan esensi subtansi suatu penciptaan. Sekali lagi itu pun disampaikan melalui cerita yang kerap lucu sehingga jauh dari kata jemu. Tapi meski nampak seperti keluar dari bahan ajar –ini yang mengherankan— disatu titik, saya –atau barangkali hal ini juga dialami teman-teman yang lain, pada akhirnya akan menemukan pemahaman yang bahkan lebih dalam, daripada apabila hanya membaca materi yang tertera di buku paket pelajaran keluaran dinas pendidikan departemen agama tersebut.



 Tak bisa dipungkiri, bahkan kegemaran saya bercerita di kemudian hari, sedikit banyak dipengaruhi dari cara pak Hamid menyampaikan narasi.


Yang kedua, selain sangat-sangat asoy dalam mentransferkan ilmunya, pak Hamid bisa dibilang seorang figur yang elegan dalam perkara menegur para muridnya. Saat seorang murid membuat ulah dan bertingkah tak sesuai tuntunan kitab suci dan sabda nabi, belio tidak akan langsung menunjuk hidung si bocah bermasalah itu. Barangkali demi menjaga hati si murid tadi. Sebab seperti tak pernah kehabisan kisah sarat makna, guru rendah hati saya ini lagi-lagi akan bercerita di depan kelas, dan dengan luwes serta selera humor yang renyah, akan membuat proses menegur murid ini menjadi momen yang “tak terasa” dan menyenangkan.


Siswa-siswa yang berada di kelas itu mungkin akan mengira bahwa belio sedang bercerita seperti biasanya, tapi bagi murid yang bermasalah tadi, biasanya ia akan segera tahu bahwa saat itu, sebenarnya Pak Hamid sedang menegurnya.


Satu hal yang saya amati, jika pak Hamid menatapmu (((cukup lama))) sambil tersenyum di sela-sela ceritanya yang sering berujung tawa, berarti kau masih melakukan kenakalan taraf wajar, yang memang biasa dilakukan remaja labil pada umumnya. Tapi di lain waktu apabila dalam bercerita, belio menatapmu (((dalam relatif waktu yang lama dan berulang))) dengan muka yang datar, nyaris tanpa ekspresi, tidak tampak sedang melucu atau tidak juga terlihat murka, berarti kau sudah melakukan perbuatan yang benar-benar tercela. Jika sudah sampai demikian, segeralah bertobat dengan nasuha. :)


Bolehlah, kalau metode ini saya rasa sangat efektif, sebab bila ditilik dengan seksama, entah bagaimana persisnya, murid-murid yang awalnya berperangai macam bandit, biasanya perlahan-lahan akan mulai belajar menjadi anak baik bila sudah “berurusan” dengan pak Hamid.


Alasan ketiga kenapa saya mengidolakan Pak Hamid, adalah karena belio seorang personal yang berpikir terbuka. Pada satu perihal, belio sebisa mungkin tak hanya melihat secara parsial tapi juga holistik. Tidak sekedar ‘nanggung’ di satu sisi tapi matang secara menyeluruh. Tipikal orang yang selalu berusaha memahami suatu perkara tak hanya meluas tapi juga mendalam.


Mungkin kau pernah menemukan orang yang pintar dalam perkara ilmu agama. Saking pintarnya merasa paling benar sehingga yang lain harus berkiblat padanya. Tapi jangan sekali-kali kau bayangkan perangai itu pada Pak Hamid. Sia-sia. Sebab kepadanya kau bisa dan boleh berpendapat selama kau punya landasan yang kuat. Tak perlu berdebat karena belio lebih menyukai diskusi. Dan setelah diskusi usai kau tak harus mengganti paradigma sesuai dengan sudut pandang yang belio pakai. Kau tetap bisa mengenakan kaca matamu sendiri.


Belio pengajar sekaligus pembelajar yang percaya bahwa mazhab memang banyak. Bahwa ajaran tak semata bersifat literal dan beralur tunggal. Hemat kata, salah satu dari sekian banyak hal lain yang saya ingin pelajari dari belio, adalah bagaimana untuk bisa benar-benar memahami, lalu mengimplementasi bahwa berbeda pendapat itu rahmat.


Ah, yah, omong-omong kenapa saya dengan lancangnya berani menilai guru saya sendiri?? (Yah, mau bagaimana lagi? Tabiat minus adab hormat saya memang sudah mengakar kuat.) ^.^


Akhir kata, seperti kata pepatah, “Tak ada gading yang tak retak”, Pak Hamid pun sebenarnya memiliki kekurangan. Meski ini amat disayangkan, tapi pertemuan dengan belio yang hanya dua jam jadwal pelajaran dalam seminggu, bagi saya terasa sangat-sangat-sangat amat kurang. Hingga sampai detik ini saya sering bertanya-tanya pada diri sendiri, kenapa cobak, guru model Pak Hamid cuma dapet jatah ngajar sedikiiit banget? KENAPAAA??!

*tebalikin meja

*eh?





Ps. Saya mohon dengan sangat, Jangan ada yang nge-tag-in racauan saya ini ke akun Pak Hamid. Terima kasih.











fb28062016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar