Minggu, 10 Juni 2018

Bumi, Kartini, Buku dan Soal Peringatan

Semacam prolog:
Mblo, ini apdetan kurang kerjaan yang mayan panjang. Jadi kalo kalian lagi sibuk modusin gebetan, mending kalian abaikan postingan yang kurang berfaedah ini.

Tapi... Ya terserah sih, pilihan tetep ditangan kalian.



***

“Saya akan mengajar anak-anak saya, baik laki-laki maupun perempuan untuk saling memandang sebagai makhluk yang sama. Saya akan memberikan pendidikan yang sama kepada mereka, tentu saja menurut bakatnya masing-masing. …Lagi pula, saya bermaksud akan menghapuskan batas yang menggelikan antara laki-laki dan perempuan yang dibuat orang sedemikian cermatnya.” 
(Kutipan Surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar 23 Agustus 1900.)

“Entah akan berkarir atau berumah tangga, seorang wanita wajib berpendidikan tinggi karena ia akan menjadi ibu. Ibu-ibu cerdas akan menghasilkan anak-anak cerdas.” 
(Dian Sastrowardoyo)

"JAL...! BANGUN. SEKOLAH!"
(Teriak Emak gue dulu saban pagi.)

***



Mblo...
Gak berasa udeh di akhir bulan April aja, ya... Sebulanan ini, saking banyaknya hal yang terjadi, gue sampe bingung mau nyeritain yang mana dulu.
Gak. Gak sedih kok kalo diceritain mah. Yang ada malah hepi. (Siapa yang gak hepi coba kalok abis terima gaji??) #hakhakhak *tawadevil

Selain gaji, gak bisa dipungkiri bahwa hepi ini memang didasari dari dinamika hidup gue yang selalu dikelilingi wanita-wanita luar biasa setengah peri yang tanpa pamrih selalu mau-maunya peduli sama progres pendidikan gue. Padahal jelas-jelas gue gak akan bisa membalas kebaikan-kebaikan mereka kecuali hanya dengan memanjakan mata mereka dengan mengandalkan tampang gue yang gak seberapa tampan ini. #ZzzZz...
Terberkatilah mereka semua.

Baiklah mblo, untuk mempermudah plot dan menyederhanakan pemetaan cerita, gimana kalo kita runut sesuai tanggalnya aja...

*bikin mapping point*

Yang pertama tanggal 21 April; perihal "kontroversi Hari Kartini."

Sebenernya ini polemik lama, jadi gak usah heran ya, mblo... karena memang begitulah hidup yang gak akan pernah lepas dari pro-kontra. Ada yang suka, ada yang belum suka. Yang suka mah, bakal hepi-hepi aja ngeliat jejeran bocah-bocah unyu pake kebaya dan baju-baju daerah, pawai keliling kampung guna memperingati hari lahirnya Kartini ini. Sementara yang "belum suka" bakal sering-sering mempertanyakan kembali soal kepahlawanan Kartini. Perihal kepantasannya dijadikan sosok pahlawan pergerakan nasional sampai-sampai hari kelahirannya dijadikan perayaan untuk memperingati hari emansipasi wanita setiap setahun sekali.

Salahkah mereka mengkritisi Hari Kartini?

Ayolah mblo... Jangan terlalu kaku terpaku sampe semua hal harus selalu disangkut-pautin sama dikotomi salah atau benar, hitam atau putih. Karena ini hidup mblo... Ada warna abu-abu yang kadang muncul disana. Ada hal yang memang sia-sia bila hanya dilihat dari perspektif benar-salah.
jadi, mari kita coba lihat hal ini dari sudut pandang yang sedikit berbeda. Sudut pandang yang meniadakan konsep salah-benar yang menghakimi.
(Njir, ngehek banget bahasa gueh.) : )))

Bagi yang "kontra", mereka kerap mempertanyakan Hari Kartini sebab, dibanding Kartini, ada begitu banyak pejuang wanita lain di negeri ini yang menurut mereka jauh lebih hebat dan lebih layak untuk dijadikan sebagai sosok pahlawan dalam peringatan "Hari Kartini". Hal ini dilandasi karena perjuangan yang dilakukan wanita-wanita hebat itu dalam membela kaumnya bisa dibilang lebih progresif dari pada "hanya" sekedar melakukan korespondensi seperti yang dilakukan oleh ibu dari Soesalit Djojoadhiningrat ini.

Sebut saja Siti Aisyah We Tenriolle yang mendirikan sekolah di Tanette, Sulawesi Selatan pada tahun 1908. Tempat pendidikan modern pertama untuk anak-anak pria maupun untuk anak-anak wanita. Selain itu kontribusinya dalam menerjemahkan mahakarya epos La Galigo dari bahasa Bugis kuno ke bahasa Bugis umum, menjadikan Tanette memperoleh popularitas hingga benua Eropa. Bait-bait epos La Galigo tersusun dalam 300.000 larik, tercakup lebih dari 7.000 halaman folio.
(Gak kebayang deh, mblo, gimana rasanya ngartiin epos sampe 7.000 halaman. Disuruh nerjemahin arti senyum mantan gebetan gue dulu yang ambigu aja kadang gue suka langsung nge-lambai-in tangan ke kamera. Nyerah. -___-")

Atau Dewi Sartika yang berjuang mendirikan Sekolah Kautamaan Istri pada tahun 1910, hingga akhirnya banyak sekolah bertebaran di seantero Bandung.

Atau Rohana Kudus yang mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia di tahun 1911 dan Rohana School di tahun 1916. Dimana ia juga merupakan seorang jurnalis wanita pertama di Indonesia yang menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri diantaranya; Suntung Melayu (Koto Gadang), Wanita Bergerak(padang) dan Cahaya Sumatera (Medan).
(Jangankan nerbitin surat kabar, tulisan gue bisa jadi kolom di salah satu koran nasional aja, barangkali udeh bakalan ngebuat gue sujud syukur kali, mblo. *ngarepsss*)

Atau Nyai Ahmad Dahlan yang memimpin organisasi Aisyiah sebagai kelompok perempuan dalam tubuh Muhammadiyah yang diresmikan pada tahun 1917. Dan, melalui Aisyiah ia mendirikan sekolah-sekolah putri.

Atau Rasuna Said selaku pendiri Sekolah Thawalib. Dimana dalam perjuangannya bahkan sempat ditangkap dan dipenjarakan oleh pemerintahan Belanda pada tahun 1932.

Atau Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Malahayati dan masih banyak yang lainnya yang gak bisa gue sebutin satu persatu disini tapi gak akan mengurangi kadar takzim gue ke mereka karena perjuangannya yang bisa dibilang sampe berdarah-darah.

(Atau mungkin, kenapa gak mantan gebetan gue aja yang di"Kartini"kan?? Mengingat kegigihan dia dalam memotivasi gue selama ini untuk tetep terus bisa sekolah setinggi-tingginya, membuat dia tuh seharusnya minimal banget dapet tanda kehormatan Bintang Jasa Utama dari negara.) *ditoyor*

Yah, mereka (orang-orang yang mencoba mengkritisi Hari Kartini) memiliki argumen yang tak salah, sebab tak bisa dipungkiri bahwa negeri ini, sedari dulu bahkan hingga kini, memang memiliki wanita-wanita hebat yang layak --sangat amat layak untuk diapresiasi. Wanita-wanita yang namanya pantas ditulis dengan tinta emas sejarah.

Gue pun sebenernya turut senang dengan adanya kontroversi ini, sebab berkat adanya pro-kontra yang terjadi telah membangun kesadaran buat diri gue pribadi untuk ngebet-ngebet buku sejarah lagi guna mencari informasi mengenai wanita-wanita hebat di negeri ini. Bukan tidak mungkin kontroversi ini bisa dijadikan semacam "alat" untuk menyebarkan informasi mengenai wanita-wanita hebat indonesia (selain Kartini) seluas-luasnya.
Tapi, rasa-rasanya akan menjadi ironi apabila kontroversi ini justru hanya digunakan untuk memperkecil penghargaan kita pada Kartini.

Iya, betul. Bahwa Hari Kartini merupakan "produk Belanda" seperti yang pernah dituliskan Harsja W. Bahtiar dalam sebuah artikelnya, "Kita mengambil alih R.A Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut"

Tapi, apakah dengan mengetahui hal itu kemudian "tradisi" Hari Kartini, kini menjadi tak pantas lagi untuk terus dilestarikan dan dirayakan?

Iya, betul, Belanda memang pernah menjajah kita. Kampretlah! dengan kolonialisme mereka di masa lampau. Yang tak hanya merampas harta kekayaan alam bangsa tetapi juga mengakibatkan hilangnya banyak nyawa. kampretlah! dengan siasat devide et impera peninggalan mereka, yang membuat orang-orang di negeri ini menjadi begitu mudahnya untuk di adu domba. Dan Kampretlah! dengan sistem feodal warisan mereka, yang -sadar atau engga- nyatanya mempengaruhi mental banyak orang di negeri ini menjadi... Ah, Mbuhlah.
Pokoknya mumet kalo diinget-inget.

Tapi, Kalau saja kita mau jujur dan berani untuk mengakui, apakah gak ada satu pun dari "warisan" Belanda yang gak bisa kita manfaatkan di masa sekarang?

Yah, pada akhirnya semua jawaban dan pilihan, gue kembalikan kepada kalian, mblo...
Mau ikutan pro, monggoh. Mau ikutan kontra, ya, gak salah. Netral-netral aja juga gak apa-apa. (denger-denger negeri ini pake sistem demokrasi, kok.) :)

Oh, iya, hampir lupa mblo, setahun sebelum meninggal, setelah pernikahannya dengan Raden Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat pada tahun 1903 (ditulis dengan huruf: seribu sembilan ratus tiga), Kartini mulai merintis mendirikan sekolah bagi anak-anak perempuan di rumahnya sendiri, yakni di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang. (Cie, cie, Kartini ternyata anak kompleks. Terus lagi "kecil-kecilan bikin usaha" sekolahan, cie... ) *ditempeleng*

Jadi mblo, sebenernya yang dilakukan Kartini ketika itu bukan hanya sekedar menyeh-menyeh curhat nulis-nulis surat ke sahabat-sahabat penanya di Eropa saja. Sebab ia sudah mulai merintis perjuangannya dengan tindakan nyata. (Gak kaya gue yang seringnya cuma apdet status gak jelas kerjaaannya.)
Sayang, Tuhan berkendak lain, mblo. Karena belum genap satu tahun sekolah itu berdiri, Kartini sudah dipanggil ke haribaanNya. Kartini wafat (secara jasad) di usianya yang keduapuluh lima.

*nenggak aer putih*
Bentar mblo, minum dulu. Aus gue.
Lu kalo udeh mulai bete nyimak ni apdetan, saran gue, mending nyeduh kopi dulu aja. Atau gak, ditinggal tidur aja. Jangan dipaksain. Ntar sakit kepala lho.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

.
.
.

masih mau lanjut, mblo?

.
.
.

.
.
.

.
.
.
.
.
.
.
.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

.
.
.

Yakin, gak sakit kepala?

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

.
.
.

.
.

.
.
.
.
.

Kalo lu mimisan terus pingsan gegara ngeladenin gue yang kaya kurang kerjaan gini jangan nyalahin gue ye, mblo...

.
.
.

.
.
.

.
.
.
.
.
.

.
.
.
.
.

.
.

Okehlah, Buat yang ngeyel dan masih mau lanjut, kita terusin ke perihal yang kedua, tanggal 22 April; soal peringatan "Hari Bumi".

"Satu-satunya Kepunahan yang Bermanfaat bagi Bumi Hanyalah Kepunahan Manusia." @noffret

Wew,
Serem amat ya mblo quote Noffret di atas?? --Lebih serem dari pada ditinggal kawin sama gebetan lantaran dianya udah "gak tahan", sementara kitanya secara mental dan finansial, masih belum mapan untuk bisa komit sama ritual sakral bernama pernikahan. #yelah

Tapi harus diakui bahwa apa yang ditulis oleh Noffret bisa dibilang ada benarnya. Bahkan kalau kalian pernah membaca buku Kisah Para Nabi-nya Ibnu Katsir pasti tahu, kalau dulu Malaikat sempat mempertanyakan, kenapa Tuhan mesti menciptakan Adam untuk dijadikan sebagai khalifah di bumi? sebab kelak (menurut malaikat), kita selaku anak-cucu Adam hanya akan melakukan pengrusakan di muka bumi. Tapi untunglah Tuhan Maha Bijaksana, Dia tahu segalanya. Dan dengan sifat Maha Pengasih lagi Maha PenyayangNya, Dia tetap mempercayakan kita untuk mengelola bumi yang wow ini.

Jadi, setelah Tuhan tetap mempercayakan kita untuk mengelola bumi, kita jangan sampe ngecewain Dia ya, mblo... Seenggak-enggaknya sebisa mungkin meminimalisir kerusakan yang barangkali memang sulit untuk dihindari.
(Udah cukup kita ngecewain mantan gebetan aja, mblo. | HaH! kitah??? Eloh ajah kaleeeh jalllhhh | -________-")

Oh, iya mblo, polemik soal penambangan dan pendirian pabrik semen di gunung Kendeng, Rembang apa kabarnya yak? #NgalihinPerhatian

Yah, moga-moga penambangan plus pembangunan pabrik itu bisa di tinjau ulang ya, mblo... Mengingat adanya beberapa hal yang kayanya mesti dipertimbangkan lagi. Gak cuma di Rembang aja sih sebenernya, beberapa pertambangan yang ada di negeri ini sepertinya perlu peninjauan kembali.

Memang sih, kita membutuhkan semen sebagai salah satu bahan vital dalam pembangunan. Tapi kalau untuk membangun, kita malah justru jadi lebih banyak menghancurkan, ya buat apa?

Memang sih, lahan yang dijadikan penambangan dan pendirian pabrik bukan di daerah persawahan milik warga. Tapi kalau dengan hal itu justru mengancam ekologi dimana keberadaan sumber mata air yang notabene merupakan sumber krusial agar sawah-sawah warga bisa tetap basah, sehingga pada akhirnya nanti, dalam jangka panjang dapat mengakibatkan kekeringan dan gagal panen lantaran rusaknya keseimbangan ekosistem alam, ya buat apa?

Memang sih, salah satu pemasukan devisa negara selain diperoleh dari eksplorasi di sektor kelautan, kehutanan, perkebunan dan pertanian juga didapat dari pertambangan, tapi kalau dengan pengeksploitasian di salah satu sektor sumber daya alam malah justru menjadikan sektor yang lainnya jadi rusak berantakan, ya buat apa?

Intinya sih, bukannya gak boleh, cuma tolonglah itu AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan)nya diperhatikan lagi dengan cara seksama dan dalam tempo yang gak usah sesingkat-singkatnya. (Analogi sederhana tapi rada ngaconya tuh; jangan sampe kita kaya orang yang pake baju bertebaran intan permata etapinya gak pake celana, sama aja boong ya, mblo...)

Oh ya, omong-omong makam kartini itu ada di Rembang kan, yah ? Ini bukan kebetulan kan, yah? Mengharukan banget ya mblo, ternyata gak cuma bapak-bapak aja, tapi ibu-ibu di Rembang juga ikut berpartisipasi melakukan aksi massa meminta agar penambangan plus pendirian pabrik di gunung Kendeng bisa di tinjau ulang. Udah gitu pake cara persuasif dan mayan kreatif.

Adem rasanya mblo, kalo ngeliat demo yang kalem dan gak mengganggu ketertiban umum.
^.^

Perihal ketiga sekaligus yang terakhir, tanggal 23 April, soal: "Hari Buku"

Caius Titus, seorang pejabat senat dari kekaisaran Romawi pernah berkata; "Verba Volant, Scripta Manent." Terjemahan bahasa Indonesianya kurang lebih, "Yang terucap kan lenyap tak berjejak, yang tertulis kan adi mengabadi." Sementara artian bebas menurut versi guenya, "Cowok yang bisanya ngegombalin kata cinta mah cuma modus. Tapi Cowok yang bisa nyantumin nama gebetannya di KUA, nah, itu baru serius." #bodo #amat #dah #jalll

Mblo...
Seperti yang sama-sama kita tahu, bicara soal buku tentu erat kaitannya dengan kegiatan membaca dan menulis. Kalau buku salah satu bukti peradaban manusia, maka membaca dan menulis, adalah kegiatan terpuji yang bisa dilakukan manusia. Hanya manusia.

Bagi gue pribadi, sejauh ini buku adalah keajaiban semesta yang gue letakkan di peringkat pertama. Jadi, jangan tanya seberapa besar rasa cinta gue pada buku dan dunia aksara.

Gue pernah membayangkan, kalau aja program televisi Katakan Cinta masih ada, terus suatu ketika ada seorang wanita yang --melalui acara itu tiba-tiba menyatakan cintanya ke gue (tuh, wanita kaya raya, cakep, cerdas dan solehah tapi keknya rada-rada "sarap" sebab mau-maunya nembak gue, udeh gitu lewat acara reality show yang ditonton orang se-Indonesia Raya pula.) Dia menyatakan perasaannya sambil memberikan pilihan, "Kalau kamu terima aku, ambil buku itu. Tapi kalau kamu tolak aku, ambil jepitan rambut it..." Di detik 0,05 sebelum dia menuntaskan kalimatnya, bisa ditebak, yang langsung gue ambil ketika itu udah pasti -gak mungkin gak- adalah buku! Gila aja kali mblo, kalo ada wanita solehah, cerdas, cakep, kaya raya plus dapet bonus buku, gue tolak begitu aja cuma demi buat ngedapetin jepitan rambut.
Sebego-begonya gue masih pake takeran juga kalik. #terserah #eluh #dah #jalll

Yah, inti sebenernya yang gue pengen sampein adalah kadar menariknya seorang wanita dimata gue, bakal menjadi berpangkat kuadrat, jika dia memiliki kecintaan pada dunia aksara dan bisa bersikap santun pada buku. Terlepas dari --seajaib apapun selera bacaannya.

Tapi gak berhenti sampe disitu, sebab jika wanita itu ternyata juga memiliki kema(mp)uan menulis, maka kadar menariknya gak cuma berpangkat kuadrat tapi meningkat menjadi berkali-kali lipat pangkat kuadrat dikali berlipat-lipat pangkat kuadrat dipangkatkan kuadrat lagi dikali pangkat kuadrat atau (baca: sisi menarik dia jadi sama dengan tak berhingga.) #lebey #emang #biarin #dih

Bukan tanpa alasan gue punya rumusan sendiri soal ini. Sebab kerap kali gue temui, ada beberapa tipikal orang yang awalnya nampak biasa-biasa aja tapi, begitu ia diberi pena, kertas dan waktu, maka jangan heran jika nanti pada akhirnya ia akan menunjukan siapa dia yang sebenarnya.
#tsaelaaah

Adenita, Afifah Afra, Asma Nadia, Ayu Utami, Clara Ng, Dewi Lestari, Djenar Mahesa Ayu, Fira Basuki, Helvy Tiana Rosa, Jazimah Al-Muhyi, Maria Ardelia, Mira Widjaja, Nisa Riyadi, Rachmania Arunita, Ratih Kumala, Risa Saraswati, Pipiet Senja, Upi Avianto, Waheeda El-Humayra hanyalah segelintir orang yang sudah membuktikannya.

Jadi,
Kalo lu pernah bermimpi menjadi penulis profesional, maka duduk dan mulai menulislah. Bagi gue sayang banget kalo mimpi seseksi itu sampe gak terealisasi.

Kalo lu tipikal introvert yang cuma menulis buat diri sendiri di lembar-lembar diary, itu bukan masalah. Karena dimata gue begitupun tetep seksi. Anne Frank pun menulis untuk dirinya sendiri.

Kalo lu tipe orang yang cukup percaya diri tapi memang cuma mau berbagi tulisan dengan beberapa orang lewat korespondensi, gue tetep bakal bilang; itu pun juga gak kalah seksi.
Ah, ya, sekedar perlu di ketahui, Kartini pun gak pernah menulis bukunya sendiri, ide mengumpulkan surat-surat Kartini lantas membukukannya itu gagasan dari sahabat Belandanya; Mr. J.H. Abendanon.

Apapun bentuk dan media yang digunakan sebagai upaya lu untuk meninggalkan jejak bahwa elu memang pernah ada di bumi lewat simbol-simbol aksara, itu udah sangat lebih dari cukup buat gue bilang bahwa elu; SEKSI.

Inget ini baik-baik ya, mblo;
"Scribo Ergo Sum. Aku menulis maka aku ada."
(Robert Scholes)

***

Semacam epilog:
Mblo... Sampe dengan hari ini emak gue masih tetep suka tereak-tereak tiap pagi, cuma sedikit berbeda dari belasan tahun lalu, tereakan emak gue sekarang itu,
"MUT...! BANGUN. SEKOLAH!!"
(Mut: nama kecil dari Muthmainnah, adek perempuan gue yang sekarang lagi seneng-senengnya pake seragam putih-biru.)





(fb:30042015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar