Selasa, 05 Juni 2018

Salting

Mendebatmu adalah caraku untuk mengatasi kaku laku dan kelu lidahku ketika kita bertemu secara tiba-tiba. Begitu saja tanpa disangka-sangka.

Ya ya ya, kau menyebutnya salah tingkah.
Whatever-lah.

Yang jelas saat malam setelah perjumpaan kita di jelang petang itu aku merutuki diri sendiri habis-habisan. Merasa sepertinya percuma saja ku habiskan banyak waktu untuk mempelajari beberapa psikologi dasar hanya agar bisa bersikap wajar bila menghadapimu, tapi nyatanya tetap saja, menyadari bahwa saat itu kau begitu dekat membuatku seakan-akan kehilangan daya untuk tetap bisa tenang. Aku mati gaya.
brengsek memang.

Jadi apa yang kita perdebatkan di senja yang kian jingga itu?

Ah, yah, soal warna. Jadi sebenarnya kaos lengan panjangmu yang dulu kerap kau kenakan itu, hijau tosca atau hijau tua?

Aku mengkategorikannya hijau tosca. Kau bilang bukan, tapi hijau tua.
Oh, Ya ampun... Jadi siapa yang benar-benar tak pintar soal komposisi dan kombinasi warna kali ini?

Halah, sudahlah. Kau mengibaskan tangan. Lalu kemudian bilang, warna adalah salah satu cara untuk bicara tanpa kata tanpa suara. Ia seni berkomunikasi dalam bentuk visualisasi.

Oh, yeah? Masaaa? ejekku retoris.

Katamu, lampu rambu lalu lintas contohnya, semua pengendara pasti tahu apa arti setiap warna pada lampu itu. Sambil menaikan alis kanan kearahku kau menambahkan, yah, kecuali pengendara yang mungkin belum punya surat izin mengemudi, tentu dia tak tahu.

Keparat. Kali ini aku tahu kau tengah menyindirku.

Lanjutmu, merah berarti berhenti, kuning hati-hati dan hijau? Ah, tentu kamu tahu, bukan? kenapa nyala lampu hijau di persimpangan jalan selalu dinanti-nanti setiap orang saat kemacetan tengah terjadi.

Ya ya ya, bocah-bocah tengil taman kanak-kanakpun kurasa tau fungsi lampu rambu itu. So what?

Bacalah warna, pahami maksud dan kegunaannya. Di semesta ini terdapat miliaran bahkan tak terhitung banyaknya jumlah spektrum warna. Kamu boleh menyukai satu atau beberapa warna saja. Tapi bukan berarti menutup mata sehingga menjadi lengah, bahwa selain warna hitam kaos oblong itu, kulit sawo matangmu mungkin akan lebih cocok bila dipadu-padankan dengan warna-warna cerah.

Ya ya ya, jadi dulu kau memintaku untuk menanggalkan kaos hitam lalu mengenakan pakaian dengan warna-warna cerah agar membantuku nampak ceria. Tapi kau sendiri mengenakan kaos lengan panjang dengan warna -yang menurutmu hijau tua- padahal itu juga bukan tergolong warna cerah sehingga tak bisa menyelamatkan pigmen kulitmu yang tak kalah sawo matangnya denganku. Bukankah itu lucu?

Kau menggeleng lalu berkata, karena alasanku dulu mengenakan kaos hijau tua itu bukan hanya semata untuk kepentingan penampilan, tapi lebih kepada aku ingin supaya kau bisa membaca warna.

Ah, yah, dulu tak kusadari itu. Tapi kini kau memang tak mengenakan kaos lengan panjang hijaumu lagi, di perjumpaan kita di petang itu, kau memakai setelan kemeja putih dengan corak -semacam- bunga bunga kecil berwarna merah dan kuning dengan berlapiskan blazer hitam yang hampir menutupi keseluruhan kemeja putihmu.

Dan yah, aku "lihat" itu, diam-diam di bawah meja di seberang sana, tangan kirimu tengah meremas kencang tangan kanan lelakimu. Kau mungkin mencoba untuk menyembunyikannya dari ku juga lelakimu. Tapi aku tahu, kau sedang membutuhkan dukungan seseorang untuk tetap terlihat tangguh diperjumpaan kita yang tak terduga itu.





(fb:07032014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar