Selasa, 05 Juni 2018

Di Antara Gerbong Kereta Bogor-Tangerang

Sepenggal cerita di antara gerbong kereta Bogor-Tangerang, lima tahun silam.

Kau dengan lelaki yang tergila-gila padamu, dia dengan lelaki yang tergila-gila padanya dan aku yang tergila-gila pada setiap perjalanan yang kita lakukan bersama. Berlima, dengan menaiki kereta, kita baru saja mengunjungi tempat dimana jasad mendiang nyonya Raffles dikebumikan. Kebun raya.

Satu dari beberapa liburan biasa yang kerap kita lakukan bersama yang memang biasa-biasa saja, bahkan tanpa rencana namun selalu meninggalkan kesan yang tak terduga. Bagiku ide-ide spontan selalu jauh lebih menyenangkan. Terlebih ide-ide perjalanan yang meletup begitu saja saat kita tengah merasa hampir mati bosan karena rutinitas yang seakan membebat kaki-kaki lincah dan menyumbat mimpi-mimpi kita yang membucah.

Baiklah, tentang bagaimana detail perjalanan keberangkatan dan apa saja yang kita lakukan dikebun raya, barangkali akan kuceritakan dikemudian hari. Kali ini aku hanya berselera menceritakan perihal perjalanan pulang. Yah, pulang. Akhir-akhir ini aku rindu dengan kata itu.

...

Di atas gerbong kereta kelas ekonomi yang sudah dipenuhi penumpang. Bersama senja, rinai hujan dan aroma tanah basah, kita tengah dalam perjalanan pulang, sejak kali pertama masuk tadi, gerbong ini memang hanya menyisakan dua bangku kosong yang bersebelahan dengan pintu. Maka dari itu kami, para lelaki pada akhirnya lebih memilih berdiri, dan mempersilahkan kalian para wanita untuk duduk menempati dua bangku yang tersisa. Maaf, tak bermaksud meremehkan energi kalian. Ini hanya soal kebiasaan. Itu saja.

Kereta melaju. Menerbitkan suara gemeretak roda yang beradu dengan lintasan rel dibawahnya. Suara "gelajuk-gelajuk" yang membuatku serasa dipeluk. Entah bagaimana mendeskripsikannya, yang jelas aku suka.

Kereta berhenti di stasiun berikut untuk menurun-angkut-kan penumpang. Baik penumpang orang ataupun penumpang barang. Yah, kau tak perlu heran. Karena ini kereta, kereta kelas ekonomi, atau lebih spesifik lagi, kereta ekonomi di negeri ini. Jadi sekali lagi kuingatkan, jangan heran.

Hmm... Tapi hari ini, hari keberuntungan, karena meski kami, para laki-laki harus berdiri disepanjang perjalanan, setidaknya kita tidak perlu saling berdesak-desakan dan mengalami sesak karena terlalu banyak berbagi oksigen juga karbondioksida secara bersamaan. Kali ini kereta lengang.

Kereta berhenti lagi di stasiun kedua yang kita lewati. Di gerbong seberang, terlihat beberapa penumpang turun, digantikan dua pemuda dan seorang ibu paruh baya yang masuk. Dia, ibu paruh baya itu, nampak 'celingak-celinguk'. Barangkali mencari tempat duduk yang tersisa. Percuma saja pikirku.

Tak seberapa lama, kereta kembali melaju. Di gerbong seberang sana si Ibu paruh baya tadi masih terlihat mencari-cari, melewati sambungan kereta dan mulai memasuki gerbong kita. Benar-benar seorang ibu yang tak mudah putus asa.

Gemeretak roda kereta yang beradu dengan rel dibawah sana terdengar lagi, tapi kali ini diiringi samar gemeretak sendi-sendimu. Kamu membuat gerakan seperti sedang merenggangkan otot-otot kaku layaknya orang yang baru bangun pagi, lantas siap-siap berdiri sambil seakan berceloteh pada diri sendiri, "huahh, Pegelnya duduk melulu."

Kami --lelaki yang tergila-gila padamu, dia, lelaki yang tergila-gila padanya, aku dan sepasang muda-mudi yang duduk di samping kirimu-- menoleh ke arahmu di waktu yang hampir bersamaan. Sebentar saja.

Ibu paruh baya tadi semakin dekat berjalan kearah kita. Masih dengan 'celingak-celinguk'-nya.

Kamu berdiri, mengulum senyum seraya perlahan bertanya, "nih, siapa yang mau gantian duduk?" Menawarkan kami yang berdiri.

Lelaki yang tergila-gila padamu, lelaki yang tergila-gila padanya dan aku yang tergila-gila pada setiap perjalanan kita, saling melihat satu sama lain. saling mempersilahkan lewat anggukan. Namun tak memberi jawaban.

Ibu paruh baya tadi kini tepat di dekat kami, melihat ada tempat untuk duduk iapun berucap, "kalau ini kosong, saya duduki yah..."

Sontak, serempak kami mengiyakan.
Sementara kamu hanya tersenyum ramah dan mengangguk kecil pada ibu paruh baya itu.

Kali ini kereta tetap melaju distasiun berikutnya. Tak berhenti.

Kini kau berdiri di antara aku dan lelaki yang tergila-gila padamu. Dengan tangan kanan memegang besi pegangan dan tangan kiri menempel pada pangkal paha. Tak bermaksud kurang ajar, tapi yah, aku melirik ke arah situ diam-diam. Di sana tanganmu tak hanya sekedar melekat, tapi secara perlahan "nampak" tengah memijat-mijat. Nyaris tak terlihat.

Aku tahu sebenarnya kau teramat lelah berdiri, celetuk soal pegal-pegal dan tawaran duduk pada kami tadi hanya sekedar pengalihan agar kami tak sadar, bahwa kau memang sengaja ingin memberi duduk pada ibu paruh baya itu.
Perlu kau tahu, tak sekali ini saja aku memperhatikan "kebiasaan-kebiasaan" kecilmu. Sebagian "telihat" pintar, sebagian lagi "terasa" janggal. Tapi yah, aku suka usahamu dalam menyembunyikan kebaikan-kebaikan itu.





(fb:10052014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar