Minggu, 03 Juni 2018

Cimande

"Kemenangan terbesar seorang pendekar adalah kemenangan tanpa pertarungan."
-Rahmat, pelatih seni beladiri cimande SLTPN 11 Tangerang-

***

Saya sempat tak habis pikir kenapa cimande, seni beladiri asal Jawa Barat, mesti terpilih menjadi salah satu mata pelajaran dalam kurikulum pendidikan di sekolah tempat saya dulu menimba ilmu ketika masih mengenakan seragam putih biru. Maaf, saya perjelas, seni beladiri cimande ini bukan hanya sekedar menjadi kegiatan ekstrakurikuler tapi benar-benar dijadikan muatan lokal yang dapat mendongkrak nilai raport anak-anak didik 11 Tangerang ketika itu.

Bayangkan, di usia yang tengah menghadapi fase transisi remaja, saya beserta 500-an teman-teman seangkatan dan sekitar 1000-an kakak serta adik kelas lainnya seperti "dipaksa" untuk belajar bagaimana cara membentuk kuda-kuda, memukul, menangkis, menendang dan mengunci lawan dengan benar.

Membuat saya pada akhirnya berani menarik kesimpulan tolol, "Oh... pantes aje temen-temen doyan perang, secara, di sekolahan diajarin cara-cara menyerang."

Asumsi mengenaskan.

Cukup lama saya meyakini asumsi konyol ini. Sampai suatu ketika, saya menyadari satu hal, bahwa ternyata para begundal sekolah yang gemar bertengkar demi gagah-gagahan agar bisa "dipandang" dan ditakuti itu justru adalah anak-anak didik yang nilai mata pelajaran beladirinya hanya berkutat diangka 6 atau paling tinggi tidak lebih dari angka 7. Sebuah nilai yang --karena ini pelajaran muatan lokal-- besar kemungkinan hanya didasarkan pada rasa belas kasihan dari kak Rahmat, pelatih cimande kala itu.

Bagaimana tidak, rata-rata dari mereka --maksud kata "mereka" di sini termasuk juga saya-- hanya akan terlihat lincah pada gerakan di Rey 1 sampai Rey 3, tetapi memasuki Rey berikutnya kami mulai terbata-bata. Seperti terjangkiti amnesia jama'ah, susah payah kami mencoba mengingat-ingat bagaimana gerakan selanjutnya. Maaf, saya ulangi, itu baru pada gerakan rey, bagaimana dengan gerakan jurus? seperti pandundung 12, misalnya? Oh, saya mohon dengan sangat, jangan membuat kami menjadi terlihat semakin mengenaskan dengan menanyakan seperti apa gerakan mumpuni itu. Mati kutu.

Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan begundal-begundal karbitan, si jawara di sekolah kami --kalian biasa menyebutnya "pentolan"-- Suradi namanya, salah satu dari sedikit murid yang benar-benar mampu menguasai padundung 12 justru sama sekali tidak pernah terdengar bertengkar.

Iya, menyebalkan memang, mengetahui kenyataan bahwa seorang siswa dengan penampilan biasa, tidak banyak polah, gemar tersenyum dan tak sungkan untuk lebih dulu menyapa siswa lain bila berpapasan dengannya, ternyata seorang pentolan. Siswa yang paling disegani seantero sekolah. Bedebah. ini benar-benar paradoks semesta yang menyebalkan.

Lantas kenapa dia, -Suradi- bisa menjadi semacam pentolan?

Saya bilang "semacam" karena sebenarnya tak ada pengumuman resmi dari pihak sekolah yang menyatakan bahwa seorang siswa bisa dinobatkan sebagai pentolan, barangkali akan terdengar sedikit gila bila hal demikian benar-benar terjadi.

Jadi predikat pentolan yang di sandang Suradi tak lebih dari predikat yang didapat tanpa terucap. Hanya lewat diam kami seakan sama-sama sepakat, bahwa kalau memang harus ada seorang pentolan dalam sebuah sekolah, maka di SLTP 11 ini, Suradi-lah orangnya.

Bukan karena dia sudah menaklukan begitu banyak begundal sekolah dengan pertarungan, sebab seperti yang telah saya katakan barusan, dia tipikal siswa bersahaja dan terkesan "diam". Tapi seperti kata pepatah lama, silent of deadly, dalam diam dia mematikan.

Barangkali tidak sepenuhnya benar, tapi sepertinya hal ini adalah salah satu dari bentuk implikasi betapa dia telah sampai pada titik benar-benar memahami esensi dari ilmu beladiri. Bukan lagi sekedar kemampuan untuk bertahan, menghindar dan menaklukan. Tapi lebih kepada kemampuan untuk menyurutkan niat lawan yang ingin menyerang. Kemampuan inilah yang rasa-rasanya kemudian menjadi alasan kenapa ia dinobatkan sebagai pentolan. Karena pada kenyataannya memang tak ada satu pun begundal sekolah yang berani, atau mungkin tak berselera untuk menantangnya. Suradi telah menang bahkan sebelum pertarungan.

Maaf, bila harus saya ulang, tidak semua kemenangan mesti melalui pertarungan.

***

"Mengalahlah sampai kau menjadi orang yang tak terkalahkan."
-Taurosa, Pelajar SLTPN 11 Tangerang-




(fb:12122013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar