Minggu, 03 Juni 2018

Verboden

Sebenarnya aku ingin menyudahi perbincangan-perbincangan tentangmu. Tapi beberapa waktu lalu, lewat pesan singkat, personal message dan surat elektronik, sejumlah orang menanyakan kabarmu. Perihal kemana kamu belakangan ini? Apakah kamu baik-baik saja? Dan... Ah, yah, bagaimana rasanya memiliki keluarga baru? Menyenangkan seperti yang kamu bayangkan, kan? Kuharap, iya.

Jadi, kenapa mereka bertanya kabarmu padaku? Kenapa tak langsung menanyakannya saja padamu?

Entahlah.

Barangkali sama sepertiku dulu, mereka sebenarnya diam-diam telah jatuh hati dan memeram rindu untukmu. Umm... pada caramu melihat sesuatu yang kerab ajaib mungkin lebih tepatnya. Tapi daripada harus mengaku rindu, mereka lebih memilih berlaga tak acuh. Malu.

Ya, jadi karena musabab itulah, semoga kamu tak keberatan bila aku akhirnya masih menyertakanmu dibeberapa topik percakapan.

Well, kamu masih ingat saat kita ke planetarium dulu?

Kemarin lusa bersama rinai dan senja aku melewati kawasan itu. Tak perlu heran bila kemudian ingatanku akan sangat dengan mudahnya terlempar ke masa lalu. Satu masa dimana kamu kerap terdengar sok tahu.

Seperti ke-sok-tahuanmu kala kita melintasi jalan satu arah di kawasan Cikini yang ramai namun lancar itu. Seraya merenggangkan remasan jemarimu pada pinggang switerku, kamu membuka tanya, "Kenapa sih, (verboden) jalan satu arah mesti ada? Padahal tak jarang kondisi itu membuat kita jadi harus sedikit memutar untuk bisa sampai ketempat yang kita tuju."

"Biar bisa dijadiin bahan pertanyaan gak penting yang nantinya lu tanyain ke gue kayanya, sih..." Sahutku dingin.

"Umm... Iya juga, yah...." Balasmu tenang.
Ya, begitulah kamu, yang tetap bisa elegan senyinyir apapun sikap orang lain padamu. Aku selalu menaruh curiga, sepertinya model stimulus-respons tidaklah terlalu memiliki efek terhadapmu. Pasalnya, perlakuan buruk orang lain tak lantas membuat sikapmu menjadi buruk pula. Kamu behavioris yang selalu bisa menemukan sisi humanis pada setiap manusia. Ya, begitulah kamu.

"Tapi kalau dipikir-pikir..." Lanjutmu kemudian, "Ada untungnya juga yah keberadaan verboden. Seenggaknya bisa meminimalisir macetnya jalanan kota. kawasan ini buktinya, meski ramai, arus lalu lintasnya tetap lancar."

"Iyah." Singkat komentarku yang masih beku.

"Sama seperti mimpi-mimpi dan harapan kita, yah? Satu dua hal yang kita pengin kadang ngga bisa langsung terealisasi. Sesekali perlu sedikit memutar untuk bisa sampai ke sana. Tapi bukan berarti menghambat, sebenarnya dengan sedikit memutar justru membuat jalan menuju ke mimpi dan harapan itu menjadi lebih lancar. Kita mungkin hanya tak sadar sehingga kerab menjadi tak sabar."

"Ah, mosok?" Celetukku benar-benar batu.

"Dan," seolah tak peduli kau terus berceloteh, "verboden membuat perjalanan kita menjadi tidak membosankan. Karena saat pulang nanti kita tak akan melewati jalan yang sama seperti ketika kita berangkat kini. Ini akan menjadi perjalanan yang benar-benar menyenangkan," pungkasmu bungah.

"Ya... Mudah-mudahan jadi perjalanan yang gak nge-bete-in." Sahutku yang memang tetap konsisten terdengar menyebalkan. Tapi sekarang kutanya pada kalian, (Iya, kalian yang membaca racauan ini) apa yang akan kalian katakan bila berada diposisi sepertiku? Satu posisi di mana seorang wanita telah berhasil membuat pembendaharaan kata yang kita miliki seakan pergi tiba-tiba tanpa sebelumnya meminta izin pada tuannya?




(fb:10112013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar