Jumat, 08 Juni 2018

Hitam Kopi

"Aku suka kopiku pekat dan nendang, jika suatu saat kafein membuatku tumbang, setidaknya aku pernah merasakan tendangannya yang paling kencang. "
(Partikel - Dee)

***

Tak ada yang banyak berubah. Bila dulu setiap kali kita kongkow-kongkow di warung somai depan sekolah, hal pertama yang kupesan adalah kopi hitam, maka sekarang pun tetap begitu.

Lantas, setelah pesanan datang, bergegas kutuang kopi dari gelas ke piring kecil tatakan yang biasanya menjadi alas, agar panas kopi menguap menjadi hangat kuku lekas-lekas.

Dulu kau akan tertawa, minimal melempar senyum jenaka melihat kebiasaan kecilku yang katamu "ajaib" itu. Yah, kau memang mudah gembira. Bahkan pada hal-hal yang paling sederhana sekalipun. Aku suka.

Petang ini, aku menyempatkan diri berkunjung ke warung somai langganan kita. Entah sudah berapa purnama tak bertandang, sepanjang yang terekam dalam ingatan, kali terakhir aku di sini ketika menunggumu. Menunggu kamu yang ternyata tak jadi datang lebih tepatnya. Pekerjaan tambahan tiba-tiba membuatmu akhirnya berhalangan dan tak bisa melunas tuntaskan janji pertemuan kita. Tak apalah. Kau memang pekerja sekaligus pelajar yang keras dan memiliki daftar prioritas yang jelas. Aku menaruh hormat padamu untuk itu.

Aha, Kopi hitam pesananku datang. Masih seperti dulu, segera kutuang kopi dari gelas ke piring tatakan yang semestinya menjadi alas. Aku memang tidak sedang bergegas, tapi aku ingin kopiku menjadi hangat kuku lekas-lekas.

Kamu masih ingat? Kali pertama melihatku memesan kopi hitam kau mencuatkan mimik "mengerikan" seraya berretorika, "apaan jal?? kopi item? Aku lagi gak berhadapan sama aki-aki yang buka praktek perdukunan, kan?" Lantas meledakan tawa yang tercecer dimana-mana.

Keparat.
Saat itu kau memang nampak keparat. Juga biadab. Meski begitu, kau memang selalu mampu membalut canda seperti cerca. Kadang butuh kecerdasan yang tak biasa untuk bisa memahami cara kerja selera humormu itu.

Beberapa jenak kopiku menghangat. Seruputan pertama membuat wajahmu seketika membias dihitamnya kopi.

Dulu, setelah kau "guncang" warung ini, diujung tawa yang mereda, secara tiba-tiba kau "rampas" piring kecilku lantas ikut menyeruput kopi yang memang belum benar-benar tandas dan masih tersisa itu. Aku ingat betul bagaimana kau kemudian membelalakan mata. Tapi kemudian diam. Tapi kemudian hening. Suara baling-baling kipas terdengar diatas kepala kita. Anginnya semilir perlahan menerbitkan suasana menenangkan. Bahkan suara gemeretak nikotin terbakar yang kuhisappun samar-samar terdengar.

.
.
.

"Orang yang pertama kali meracik kopi pasti seorang jenius." cetusmu memecah keheningan."Dia tahu betul bagaimana cara mengatasi hitam dan pahitnya kopi. Bersama takaran gula yang proporsional ia mampu membuat kopi menjadi minuman yang sedap. Memang, hitamnya kopi tetap hitam. Pahitnya pun sebenarnya masih sedikit tertinggal dipangkal lidah saat kita menyesapnya, tapi... yah, kopi ini nikmat sekali. Aku rasa dalam banyak hal kita bisa belajar dari bagaimana cara meracik dan menikmati kopi."

Nah, ini bagian yang paling ku senangi dari dirimu. Sebenarnya secara esensi bukan kebiasaan kecilku yang "ajaib". Tapi caramu melihat sesuatu itulah yang kerap "ajaib". Kau selalu mampu melihat segala perkara dari celah yang paling menarik. Bahkan pada kopi yang pahit.
...

Yah, sepertinya tak ada yang banyak berubah, jika kelak kita punya kesempatan untuk bisa berkunjung ke warung somai depan sekolah sambil menikmati kopi bersama lagi, aku akan tetap menuangkan kopi dari gelas ke piring kecil yang seharusnya menjadi alas, agar panas kopi menguap menjadi hangat kuku lekas-lekas.
Sedikit perbedaan ketika itu, barangkali hanyalah kita tak lagi menikmati kopi berdua saja. Tapi bertiga. Aku, kau dan lelaki yang kini selalu punya waktu untukmu.




(fb:26082014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar