Selasa, 05 Juni 2018

Fuck lah!

"Lawan buku dengan buku, lawan tulisan dengan tulisan."
-Gus Dur. Mantan Presiden RI.-

"Jangan pernah minjemin buku, selain gak bakal balik belum tentu dia baca juga. Biasanya begitu."
-Diki Umbara. Program Director MNC Business Channel, Guest Lecturer, Documentary Filmmaker.-

"Semua buku bermutu. Gimana cara pandangnya aja. Hasil karya orang itu, harus diapresiasi."
-Vani, hmm... Sebut aja cabe-cabean vila japos-

***

Saya kesal jika ada teman yang meminjam "buku saya" lalu ketika mengembalikanya, ada bagian --pada buku itu-- yang kotor, lecek, terlipat apalagi sampai robek.

Saya kesal jika ada teman yang meminjam "buku saya" lalu ketika mengembalikannya, --memang kondisi buku itu-- baik-baik saja , tapi pembatas halamannya hilang entah kemana.

Saya kesal jika ada teman yang meminjam "buku saya" lalu ketika mengembalikan buku itu --memang dalam keadaan baik-baik saja dan pembatas halamannya pun masih tetap ada, Tapi ternyata ia tak pernah benar-benar membacanya.
(Terus itu buku buat apaaaaaaa???)

Saya kesal, benar-benar kesal, luar biasa kesal pada hal-hal dimana buku --terlebih itu "buku saya"-- diperlakukan dengan rasa tidak hormat dan minim adab. mungkin bagi beberapa orang itu perihal sepele tapi bagi saya itu krusial.

Lantas ketika ada seorang teman yang meminjam "buku saya" tapi kemudian dengan sengaja tidak mau mengembalikannya sambil beralasan, "itu buku sesat, jangan baca buku itu." Apakah saya kesal?
Dimana buku itu tergolong buku langka, yang mungkin tidak akan pernah saya temui lagi terjaja di toko-toko buku ternama. Iyah, Apakah kemudian saya kesal?

Demi langit dan bumi serta segala yang ada di jagat semesta raya saya tidak kesal. Iya, tentu bukan kesal. Tapi saya... Murka.

Maaf, saya ulangi,
S.A.Y.A. M.U.R.K.A!!

Saya sadar, meski mungkin belum benar-benar sampai pada titik memahami, bahwa apa yang kita miliki di dunia ini pada dasarnya hanyalah tak lebih dari titipan semata. termasuk buku.

Saya tahu, bahwa sebenarnya saya memang bukan kutu buku, saya hanya pembaca pemula yang kerap masih tergagap bila mendapati kalimat yang meminta daya nalar tingkat ahli filsafat.

Tapi yah, nyatanya saya senang bila bisa berdekatan dengan salah satu bukti peradaban manusia itu, dan menikmati setiap kebersamaan kami. Yah, saya telah jatuh hati. Pada buku. oleh sebab itu, ketika kehilangan salah satu dari mereka, bisa membuat saya gusar berkepanjangan dan menggerutu habis-habisan.

Saya mungkin masih bisa menerima jawaban -meski tetap kesal- bahwa buku yang dipinjam teman saya itu hilang. Atau mungkin semacam jawaban bahwa buku yang dipinjamnya itu telah dipinjamkan lagi kepada pihak ketiga tanpa sepengetahuan saya sebelumnya lantas kemudian, hilang.

Sungguh, meski tetap kesal saya masih bisa maklum bila demikian yang terjadi.

Tapi mendengar jawaban bahwa teman saya dengan sengaja tidak mau mengembalikan buku itu , kemudian "men-sesat-sesat-kan" buku yang saya beli dengan uang dan keringat saya sendiri, benar-benar membuat saya hilang akal.

Maaf, kalau saya terdengar kasar,
Fuck lah, dengan dia!

Iya, iya, Barangkali niatnya baik, mengingatkan saya yang memang masih sangat awam ini, tapi tidakkah ia memiliki cara yang lebih gentle dan elegan dari pada harus men-sesat-sesat-kan buku itu, "mencurinya" dari saya lantas pergi begitu saja? Mengapa tidak ia berikan buku "tandingan" pada saya lalu membebaskan saya untuk memiliki asumsi sendiri tanpa adanya tendensi juga intervensi? Lain soal kecuali diskusi.

Ah, kenapa beberapa orang di negeri ini gemar sekali men-sesat-sesat-kan sesuatu? Dan senang meng-kafir-kafir-kan sesama cuma lantaran sedikit berbeda paham? Kalau memang mereka telah yakin dengan apa yang sudah mereka yakini kenapa mesti gusar ketika ada orang lain yang memiliki keyakinan lain?

Mungkin ada benarnya apa yang di ungkapkan Goenawan Muhammad, "Mereka yang pendiriannya lemah, itulah yang takut berbenturan atau bersaing dengan pendirian lain."

Semakin miris sekaligus tragis, ketika mendapati perkara men-sesat-sesat-kan ini dilakukan oleh orang terdekat, sembilan tahun kami berteman--sebenarnya saya sudah menganggapnya sebagai sahabat-- tidak bisakah ia mengerti atau setidaknya menghormati kemerdekaan saya dalam berfikir dan menentukan apa-apa yang ingin saya baca dan apa-apa yang ingin saya ketahui? Lebih dari pada itu, kenapa kita tak saling menghormati saja pada apa-apa yang kita percaya dan yakini masing-masing?

Tidak bisakah kita belajar dari Soekarno dan Hatta? Yang meski berselisih paham dalam berpolitik tapi masih bisa mesra di perkara yang lain. Oh, ayolah... Jangan menjadi teman yang menjengkelkan.

Atau jangan-jangan sebenarnya ini tak ada kaitannya dengan apa yang sudah saya "muntahkan" barusan? --sebisa mungkin saya telah mencoba untuk menyepak jauh-jauh prasangka ini, tapi entah kenapa, selalu saja kembali terbesit dipikiran-- bahwa sebenarnya ia hanya ingin memiliki buku itu.

Kalau memang demikian adanya kenapa tak jujur saja. Padahal bila ia memintanya, mungkin -meski dengan sedikit tidak ikhlas- saya akan tetap memberikannya.

Aduh, gusti... bicara apa saya?
Lagi-lagi emosi membuat saya melantur kemana-mana.

Maaf, tapi saya benar-benar hanya ingin buku itu kembali. Jika memang jodoh saya dengan buku itu telah jatuh tempo. Dan sudah waktunya kami berpisah, saya hanya ingin kami berpisah dengan baik-baik. Beruntung, bila saya mendapatkan penggantinya. itu saja.

bukan sebuah keinginan yang berlebihan, bukan?


***

"Kalaupun terpaksa mesti minjemin buku, baiknya sih barter."
-Diki Umbara. Program Director MNC Business Channel, Guest Lecturer, Documentary Filmmaker-





(fb:22012014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar